Pentjoeri Hati, naskah aslinya adalah sebuah drama pendek yang hanya terdiri atas 31 halaman, berjudul PENTJOERI – Tooneelstuk dalem Satoe Bagian (diterbitkan Drukkerij Moestika, Batavia, cetakan I, 1936). Pada halaman judul bagian dalam buku tipis itu, di bawah judul dan subjudul terdapat keterangan:
“Satoe lelakon loetjoe dalem penghidoepan golongan Tionghoa hartawan di Djawa Koelon.”
Pentas Pentjoeri Hati, GKJ, 7-8 Agustus 2010
Dalam kata pengantarnya tertanggal “Tjitjoeroeg[1], 7 December 1935”, Kwee Tek Hoay mengatakan, naskah ini dibuat karena banyaknya permintaan dari berbagai perkumpulan Tionghoa kepada dirinya, untuk membuatkan cerita tooneel (tonil/drama) yang bertempo paling lama satu jam. Latar kejadiannya dibuat di Batavia, sehingga dalam lakon ini disisipkan kata-kata bahasa Betawi. Ia berpesan, apabila dipertunjukkan di daerah lain, hendaknya kosakata dan logat disesuaikan dengan masyarakat setempat. Ia juga memberikan saran dalam soal pakaian pemain. Dikatakannya, anggapan bahwa di atas panggung seorang pemain harus memakai kostum sebagus-bagusnya, adalah keliru. Hendaknya pakaian pemain dalam tonil modern disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya.
Karena aslinya merupakan lakon yang sangat singkat, khusus pada penulisan naskah ini saya mengadakan penambahan adegan dan tokoh sekitar 60%, untuk keperluan pementasan sekitar 2,5 jam. Saya juga banyak mengurangi kalimat-kalimat yang umumnya terlalu panjang, pada dialog-dialog naskah ini. Penambahan tokoh dilakukan untuk menghidupkan cerita, terutama dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang dialog maupun lakunya mampu mengundang tawa penonton. Penambahan juga dilakukan pada alur yang aslinya sangatlah sederhana. Namun, semuanya itu sama sekali tidak mengaburkan jalan cerita asli dan pesan yang ingin disampaikan pengarang asli. Dalam Pentjoeri, KTH menyentil orang-orang yang sering memandang orang lain berdasarkan perbedaan derajat.
Yauw Kong Lo, seorang ayah dari keluarga yang terpandang dan berpendidikan tinggi (meskipun belakangan agak mengalami kesulitan keuangan), melarang putranya yang bernama Peter Yauw menikahi kekasihnya, Lientje Tjee, karena berasal dari keluarga miskin dan tak berpendidikan (meskipun saat itu sudah menjadi hartawan). Demi menyadarkan orangtuanya dan memperoleh restu, Peter pura-pura mencuri perhiasan Lientje lalu pura-pura menggadaikannya pada seorang kerabat yang memiliki rumah gadai. Kie Swan Kim, pemilik pegadaian, kemudian mendatangi orangtua Peter dan mengatakan bahwa ada dua polisi Belanda yang menanyainya karena perhiasan yang sama persis dilaporkan telah dicuri dari rumah Lientje dan Peter terancam akan dipenjara. Yauw Kong Lo dan istrinya panik. Kelucuan timbul dari kepanikan ibu Peter yang sampai pingsan dan beberapa kali pula dipanggilkan dukun yang salah oleh pembantu mereka yang lugu. Peter disuruh mengembalikan uang hasil penjualan perhiasan itu. Ibu Peter terpaksa menelepon Lientje dan merayu-rayu agar keluarga gadis itu mencabut laporan di polisi, agar Peter tidak perlu ditangkap. Pada akhirnya barulah terkuak bahwa semua itu hanya akal-akalan Peter untuk mencuri hati orangtuanya agar menyetujui hatinya yang sudah dicuri oleh Lientje. Pernikahan pun digelar dengan meriah pada akhir cerita.
Coba simak bagaimana liciknya kedua orangtua Peter “menjilat” Lientje yang di awal cerita mereka usir-usir dengan teganya. Bukankah yang seperti ini masih (bahkan makin) kental terjadi di mana-mana?
Nyonya Kong Lo datang setengah berlari, dengan muka belum terpulas bedak dengan rata. Baju kebayanya pun acak-acakan, belum diberi peniti. Ia lalu menubruk dan memeluk-cium Lientje hingga gadis itu mundur beberapa tindak dengan rupa ketakutan.
NYONYA KONG LO
(sambil memeluk cium) Ai, Lientje, si manis, si botoh, yang Encim paling sayang…, baru sekarang dateng di sini, sampe Encim kangen satengah mati! Marih duduk di sini, minum thee!
LIENTJE
Trima kasih, Cim.
Kong Lo mengangkat satu kursi untuk Lientje duduk. Nyonya Kong Lo tarik tangan Lientje yang agak malu dan sangsi, hingga terpaksa duduk. Lantas, Kong Lo menuangkan sirop ke gelas, istrinya menuangkan teh ke cangkir. Berbarengan keduanya menyodorkan minuman hingga Lientje bingung. Swan Kim dan Peter berdiri mengawasi sambil tersenyum. Akhirnya, Lientje mengambil kedua minuman lalu menaruh di pinggir meja. Kong Lo dan istri lalu berbareng menyodorkan biskuit dan kue-kue sambil mendesak Lientje untuk memakannya.
LIENTJE
(dengan bingung) Banyak trima kasih, Cek, Cim…, biar saja saya ambil sendiri, saya bukan tetamu yang kudu dilayanin.
NYONYA KONG LO
Encim memang harep-harep Lientje tida jadi tetamu lagi, dan bakal tetep selamanya temenin Encim di ini rumah, ya, Manis? Ya, Lientje musti jadi kita punya anak, di antero Batavia tida ada gadis yang lebih berharga dari Lientje buat jadi kita punya anak…!
Seperti juga naskah Nonton Capgome, naskah Zonder Lentera pun ditransliterasi dan diadaptasi dari sumber buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4 (Penyunting: Marcus AS dan Pax Benedanto, Kepustakaan Populer Gramedia, 2001), yang menampilkan novel Zonder Lentera secara utuh. Naskah aslinya dicetak pertama kali oleh Drukkerij Panorama, tahun 1930. Karena pengadeganan di sini sudah lumayan lengkap, penambahan untuk keperluan pemanggungan yang dilakukan kali ini hanya sekitar 20%, sedangkan pada Nonton Capgome sekitar 30%.
Lagi-lagi, dalam novel ini KTH menampilkan ciri khasnya: lakon yang serius tapi kocak, dengan alur tak tertebak dan kejutan di akhir cerita, serta berisi pesan positif yang tetap aktual sampai sekarang, yaitu tentang karier seorang pejabat Tionghoa di zaman Belanda bergelar wijkmeester/bek (= bek, setingkat ketua RW sekarang), yang suka korupsi, main perempuan, berjudi, dan suka menjilat atasan. Bek bernama Tan Tjo Lat ini akhirnya harus mendekam di penjara hanya karena dua anak sekolah yang naik sepeda zonder lentera (tanpa lampu). Kecerdikan, keberanian, dan kejujuran anak-anak muda yang masih sekolah ini digarisbawahi sebagai watak calon pemimpin masa depan.
Yang sangat menarik adalah ulah Willem Tan dan Johan Liem, nama dua anak sekolah tersebut, yang dua kali menyebut alamat dan identitas palsu ketika tertangkap basah petugas naik sepeda tak berlampu malam-malam, yang disalahpahami sang bek sebagai kesempatan untuk menjilat atasannya yang baru, Komisaris De Stijf, yang jujur dan antikorupsi. Alamat pertama yang disebutkan dua pemuda itu adalah rumah obat “GWA PO TONG” milik seorang pedagang Tionghoa totok, dan mereka mengaku bernama “HONG HIANG CIU” dan “CU PEK SAN” (yang sebenarnya adalah nama-nama obat yang dijual di rumah obat tersebut!). Yang kedua adalah Restoran “SUDI MAMPIR”, dan mereka mengaku bernama “HE WAN CA” dan “FU YONG HAY” (yang jelas merupakan nama makanan). Nama-nama palsu yang diajukan dalam nota di mejanya itu, dikira Tan Tjo Lat adalah pesanan terselubung sang komisaris yang berubah pikiran (secara kebetulan, sehari sebelumnya, ketika bertamu di rumah De Stijf, sang bek menawari untuk membelikan obat-obatan dan makanan-makanan tersebut, namun ditolak sang komisaris). Pada akhirnya terbukti segala kebejatan sang bek dan ia dipecat serta dimasukkan penjara.