Nama dr.Iwan Satibi (Ie Tiong Bie) sering saya dengar dari Pak Sugiri, tapi belum sempat bertemu dengannya. Akhirnya bulan kemarin penulis sempat bertemu dengan beliau, tapi sayangnya beliau sendiri juga sedang melayani pasien, dan kita juga hanya sekedar mampir di tempat beliau. Dr. Iwan Satibi, umurnya sudah 80 tahun lebih, masih tetap mengabdi membantu masyarakat miskin di Kadipaten, Majalengka. Beliau hidup dalam kesederhanaan dan saya melihat disamping tempat praktek itu beliau membuka warung kecil-kecilan untuk menopang hidupnya. Saya melihat banyak pasien yang antri dan mayoritas (kalau tidak mau disebut semua pasien) bukanlah orang yang mampu. Saat kami bertemu dengan beliau, terlihat kehangatan dan kekeluargaan yang terpancar dari wajah dan sikap beliau. Selain itu beliau walau sudah uzur dan bukan di kota besar, tapi semangatnya terhadap budaya Tionghoa tidak menjadi penghalang. Sungguh seorang dokter yang penuh dedikasi dan saya yakin anak-anaknya bangga dengan beliau walau tidak hidup berkemewahan.
Ini sekilas riwayat hidup dr.Iwan Satibi berdasarkan penuturan dari anak beliau, Ibu Ita Romero, beliau lahir di Probolinggo tanggal 16 Sept 1931, anak tertua dari 3 bersaudara. Adiknya yg tengah meninggal waktu umur 22, kecelakaan motor. Adiknya yg paling kecil baru meninggal beberapa tahun yg lalu. Orangtua dr.Iwan Satibi & adik-adiknya semua dikubur di Probolinggo. Kuliah di Universitas Airlangga Surabaya, bertemu dengan jodohnya yang tinggal dekat tempat kostnya.
Setelah lulus dari kuliah kedokteran, beliau pernah ditugaskan di Jakarta, di RS Angkatan Laut. Pernah juga jadi dokter Asian Games atau apalah, saat itu Ibu Ita, anak dr. Iwan belum lahir. Di Jakarta cuma sebentar terus pindah ke Cideres jadi kepala dinas kesehatan kabupaten Majalengka merangkap kepala RS Cideres. Kalau tidak salah setelah 20 tahun, dr. Iwan Satibi mengajukan pensiun muda.
Beliau beberapa kali mendapat penghargaan, termasuk dari mantan Presiden Soeharto, beberapa gubernur Jabar. Beliau tidak mau tinggal di kota besar soalnya di kota besar banyak orang kaya, kalau semua dokter mau tinggal di kota, siapa yg mau membantu orang kampung? Ibu Ita masih ingat kadang-kadang pasien dr. Iwan Satibi membawa ayam hidup, sayuran, ikan hidup, dan lain lain. Sering juga pasien yg tidak mampu berobat gratis malah diberi ongkos pulang. Kadang-kadang kalau perlu operasi dibayar semua biaya operasi oleh dr. Iwan Satibi. Menyumbang mesjid, panti asuhan, dll. Kadang-kadang saya (Ibu Ita) complain, “Papi ga bisa begitu terus, roda ga selamanya diatas. Dokter-dokter lain setelah pensiun punya rumah sakit, lab, apotek, dll.” Papi (dr. Iwan Satibi) menjawab, “Dokter bukan cuma ngandelin otak, tapi juga hati nurani.”
“Makanya setelah tua papi tidak punya apa-apa. Saya (ibu Ita) pindah ke Amerika supaya bisa bantu meskipun sedikit. Uang bisa diganti, tapi orang tua sampai kapanpun tidak pernah bisa diganti. Papi senang bantu orang tanpa melihat latar belakang mereka. Saya bangga sama papi mami yg mendidik saya jadi orang tahan banting. Waktu kecil mami tidak memanjakan saya, mainan kebanyakan bikin sendiri, beda sama anak-anak lain, baju baru, pesta ulang tahun setiap tahun. Tapi saya & cici? Kalau saya complain mami bilang kalau papi mami bisa ngasih lebih dari apa yang teman-teman saya dapetin dari ortu mereka. Tapi mami mau mendidik anak-anaknya hidup prihatin. Kita tidak tau masa depan kita. Semua orang pengen sukses, kalo masa depan saya ga sesuai harapan, kalo ga kuat bisa gila, karena udah terbiasa dari kecil keturutan apa yg kita mau. Setelah dewasa baru saya ngerti maksud mami mangkanya saya bisa survive di Amerika. Waktu baru datang saya sempat jadi babu, jam 3 pagi sudah berangkat kerja, naik sepeda, kalo hujan sampai gemeteran nahan dingin tapi saya ga pernah mengeluh & cerita sama keluarga di Indo. Terimakasih buat mami yg sudah mendidik saya tahan banting menghadapi hidup.” (Berdasarkan penuturan Ibu Ita yang terus terang saya juga baru kenal karena posting ini dan akhirnya saya tidak perlu menelpon dr. Iwan untuk bertanya riwayat hidupnya. Terimakasih ibu Ita Romero)
Oleh : Ardian Zhang
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa