Menyaksikan Cloud Atlas berarti menyaksikan sebuah karya yang selangkah lebih “kurang ajar” dari “Babel”-nya Brad Pitt. Dahulu Babel (2006) mereduksi kompleksitas sosial dengan mencomot satu persatu manusia dari akar kulturnya dan dipertemukan dalam dunia yang mengkerut yang jaraknya tidak lebih dari enam langkah keterpisahan sosial (sixth degree of separation). Seperti kibasan seekor kupu-kupu di Hawaii yang menyebabkan badai di Karibia demikian pula sebuah peluru nyasar di Maroko terhubung secara ko-insidental dengan manusia-manusia lain Jepang , Meksiko dan Amerika Serikat yang jaraknya berjauhan satu sama lain.
Wachowski bersaudara yang termashur dengan “The Matrix Trilogy” kini kembali dalam adaptasi karya novel David Mitchell . Mereka sukses membuat “Cloud Atlas” menjadi suatu tontonan yang penuh dengan tanda tanya besar. Dahulu “Matrix Trilogy” masih memberikan bonus koreografi laga bagi penonton yang bingung dengan dialog-dialog filsafat didalamnya . Eksistensialisme , feminisme , Buddhisme , nihilisme , postmodernisme , marxisme , atau sebut saja “isme” secara sembarang maka dapat ditemukan dalam The Matrix. Sementara “Cloud Atlas” langka dengan adegan laga penuh dengan permutasi karakter-karakter yang absurd , lintas ras , lintas wilayah , antara masa lampau dan masa depan , antara baik dan jahat dalam rentang waktu era Victorian sampai pasca apokaliptik (1849-2321) . Jadi benar-benar merupakan karya atau maha-karya yang sangat ambisius.
SIXTH DISPARATE SECTION
Jika “Babel” berjalan dalam kaidah “sixth degree of separation” yang sejaman , maka “Cloud Atlas” mengalir dengan “sixth disparate section” yang terkocok seperti kartu . Enam kisah bergulir dari ruang dan waktu yang berbeda ini secara bersamaan dengan durasi singkat . Film ini di awali dan diakhiri dengan celotehan Zachry di masa depan .
1849 Pasifik Selatan – Seorang pengacara muda asal Amerika , Adam Ewing (Jim Sturgess) datang ke sebuah pulau untuk menjalani kesepakatan bisnis dengan Gilles Horrox (Hugh Granth) . Karena suatu insiden , Ewing sakit dan diobati (diracuni) oleh Dr Henry Goose (Tom Hanks) . Disisi lain Ewing berteman dengan seorang budak bernama Autua (David Gyasi).
1936 Britania Raya – Robert Frobisher (Ben Whinshaw) seorang musisi muda biseksual yang punya kekasih sesama jenis, Rufus Sixsmith (James D’Arcy) . Frobisher berusaha untuk berkerja untuk komposer terkenal Vyvyan Ayrs (Jim Broadbent) yang punya istri bernama Jocasta Ayrs (Halle Berry) . Sebuah komposisi musik agung “The Cloud Atlas Sextet” menjadi judul dari film ini.
1973 California – Rufus Sixmith (James D’Arcy) di tahun 1973 merupakan seorang ilmuwan tua . Halle Berry kini menjadi Luisa Rey, seorang jurnalis kulit hitam yang sedang menyelidiki kasus konspirasi reaktor nuklir. Mereka terancam oleh seorang pembunuh bernama Bill Smoke (Hugo Weaving) .
2012 Britania Raya – Di tahun 2012 , Timothy Cavendish seorang penerbit kawakan berurusan dengan seorang penulis brutal bernama Dermot Hoggins (Tom Hanks) . Timothy berurusan dengan masalah hutang sehingga mencoba meminta pertolongan dari saudaranya , Denholme Cavendish (Hugh Grant) , yang malah menjerumuskannya ke panti jompo.
2144 Seoul , Sonmi-451 (Donna Bae) seorang gadis cantik hasil kloning yang diperkerjakan dalam sebuah restoran cepat saji di Seoul. Dia diwawancara menjelang eksekusi atas dirinya dan kisah berjalan mundur ketika Sonmi menceritakan persahabatannya dengan sesama gadis cloning bernama Yoona-939 (Zhou Xun) , bagaimana sikap bossnya Seer Ree (Hugh Grant) dan hubungannya dengan seorang pemuda pembangkang , Hae Joo Chang ( Jim Sturgess).
2321 Hawaii – Dunia sudah kembali menjadi terbelakang karena bencana besar. Zachry (Tom Hanks) menjadi anggota sebuah suku primitif dan dihantui oleh mahluk aneh bernama Georgie (Hugo Weaving) yang senantiasa membisiki hal-hal yang menyeramkan kepada Zachri. Kehidupan Zachry dan istrinya Rose (Zhou Xun) terancam oleh suku kanibal yang dipimpin oleh Kona (Hugh Grant) . Suatu ketika Meronym (Halle Berry) yang berasal dari sisa dunia modern yang berteknologi tinggi mengunjungi pulau untuk mencari Cloud Atlas.
BENANG MERAH ATAU BENANG KUSUT ?
Dalang dari Cloud Atlas ini adalah David Mitchell. berkelimpahan dengan ide-ide luas tentang etnisitas , hubungan sesama jenis , perselingkuhan , humanitas dan narasi postmodernisme . Mitchell memakai diskursus Nietzschean dan teori yang dikembangkan Michel Foucault. Friedrich Nietzsche memperkenalkan pemikiran mengenai perulangan yang abadi dan teori keinginan untuk berkuasa. Nietzsche percaya bahwa alam semesta kambuh secara constant dan akan terus menerus kambuh dengan kemiripan dan perulangan yang tak terbatas. Waktu pun dipandang siklis daripada linear , berakhir dimana mereka berawal seperti film yang diawali dengan Zachry (Tom Hanks) dan diakhiri pula oleh Zachry dalam rentang masa lampau , masa sekarang dan masa depan .
Zachry berseru bahwa jiwa-jiwa melintasi abad seperti awan melintasi angkasa. Awan jika kita lihat bentuknya tidak pernah sama tetapi apapun bentuknya tetap dikenali oleh orang awam sekalipun sebagai sebuah awan. Ini mengingatkan saya pada pandangan Heraklitus yang memandang dunia selalu berubah terus menerus dan bahwa kestabilan hanyalah ilusi. Dengan tegas Heraklitus menyatakan bahwa seseorang tidak pernah menjejakkan kaki pada sungai yang sama untuk kedua kalinya. Demikian pula dengan Hermann Hesse , pemenang nobel sastra yang dalam novel “Siddhartha”-nya juga mengungkap hal yang sama .
“Souls cross ages like clouds cross skies, an’ tho’ a cloud’s shape nor hue nor size don’t stay the same, it’s still a cloud an’ so is a soul. Who can say where the cloud’s blowed from or who the soul’ll be ‘morrow? Only Sonmi the east an’ the west an’ the compass an’ the atlas, yay, only the atlas o’ clouds.” ― David Mitchell, Cloud Atlas
Mitchell menentang Nietzsche menyodorkan kemampuan setiap individu untuk memilih , dengan kesadaran akan masa lampau , masa kini dan kemungkinan sebuah pilihan yang dibuat dimasa kini untuk masa depan.
Enam protagonist dalam enam kisah ditandai dengan tanda lahir yang sama yang menghubungkan mereka seperti sebuah sextet terdiri dari enam instrument yang tumpang tindih dengan bahasa , aturan , skala dan warna suara yang berbeda. Setiap instrument solo diinterupsi oleh instrument berikutnya dan berikutnya kemudian kembali terjadi re-interupsi. Mitchell meminjam karakter Robert Frobisher untuk mengkomposisi sebuah gubahan dalam gubahan , magnum opus dalam magnum opus. Sudah barang tentu signifikansi sextet Cloud Atlas sebagai simbol ini terlihat dari judulnya yang sama.
Sebuah magnum opus yang hidup seperti dawai semesta dalam kosmologinya Mitchell. Karena dalam “Cloud Atlas” itu begitu banyak nada, sehingga mengingatkan akan pernyataan Shi Bo 史伯 ( +- abad ke 7 BCE ) bahwa, “Elemen-elemen dasar yang dipadukan akan melahirkan elemen yang baru dan itu disebut keharmonisan 和 bukan kesamaan 同.” Disini juga seperti halnya nada-nada yang dipadukan akan melahirkan suatu simfoni yang indah. Sebaliknya satu nada yang berdiri dan ditumpuk terus menerus yang tidak akan menghasilkan keharmonisan atau keindahan.
Enam instrument ini kongruen dengan enam protagonis dalam enam kisah . Setiap kisah seperti setiap instrument yang bisa tampil sebagai solo atau berhubungan satu sama lain seperti alam semesta yang mencintai ketersembunyiannya (ataukah seperti jerat laba-laba yang menunggu penonton untuk terperangkap didalamnya ?). Seorang kritikus kondang Roger Ebert sendiri kebingungan dalam labirin tekstual-nya Mitchell yang bertransformasi kedalam labirin visual Wachowski bersaudara. Ebert tahu bahwa menonton Cloud Atlas untuk pertama kali mengharuskan dia menonton kembali untuk kedua kalinya. Dan setelah menonton untuk kedua kalinya dia tahu harus menonton untuk ketiga kalinya. (Roger Ebert , Sun Times , 24 Oktober 2012) .
Dengan kata lain “Cloud Atlas” ini memiliki kehidupannya sendiri seperti nubuat Roland Barthes dalam “The Death of Author”. Di seksi awal PASIFIK 1849 kita sudah dihadapkan dengan tema perbudakan yang masih saja merajalela di Dunia Baru . Adam Ewing (Jim Sturgess) yang naïf bertemu dengan Dr Henri Goose (Tom Hanks) yang menghianati sumpah Hippokrates dengan membohongi Ewing bahwa cacing parasit sedang melahap otak Ewing. Sementara seorang misionaris bernama Gilles Horrox (Hugh Granth) dengan seorang budak Autua (David Gyasi) menawarkan wacana klasik tentang hak-hak alamiah manusia yang menurut John Locke tidak bisa dicabut begitu saja . Walau demikian seorang John Locke-pun dengan munafiknya memiliki budak filosofis yang sama ketika Dr Henry Goose (Tom Hanks) yang melanggar sumpah Hippokrates dengan meracuni Ewing demi merebut hartanya.
Diary milik Ewing dibaca oleh Robert Frobisher dalam setting BRITANIA 1936. Hubungan antara dua pria , Frobisher dengan Sixsmith merupakan wacana klasik dari mulai kisah Sodom-Gomorah sampai saat Ang Lee meraih Oscar keduanya dalam “Brokeback Mountains”. Hubungan yang pelik ini tidak ada bedanya antara hubungan tuan dan budak antara Adam Ewing dan Autua dan perselingkuhan antara Frobishers yang biseksual dengan Jocasta Ayrs (istri dari Vyvyan Ayrs) menambah keruwetan yang diidap Frobisher sebagai prodigy musik yang punya ambisi untuk menciptakan sebuah ars magna bersama komposer besar Vyvyan Ayrs.
Sesungguhnya ars magna Cloud Atlas Sextet ini memang mencerminkan keruwetan kisah Cloud Atlas itu sendiri. Sudah jelas bahwa sebuah karya musik seperti itu punya daya tahan yang mungkin mendekati rentang waktu yang ditawarkan dalam film ini (1849-2321) dan jelas pula bahwa karya Frobisher ini sama dengan judul film “Cloud Atlas” menunjukkan signifikansi karya Frobisher dalam film ini. Semestinya musik klasik bisa melepaskan Frobisher dari lingkaran penderitaan Schopenhauer, tetapi jiwa semuda Frobisher terlalu rapuh untuk menghadapi berbagai tekanan dari hubungan sesama jenis, perselingkuhan, reputasi masyarakat terhormat, ancaman dari superior. Frobisher memerlukan pistol Luger sebagaimana seorang samurai memerlukan pedang dalam satu disiplin bunuh diri.
Kekasih Frobisher , Rufus Sixsmith (James D’Arcy) masih terus hidup menua sampai empat dekade kemudian. Dia kini menjadi seorang ilmuwan dibalik konspirasi besar nuklir bertemu jurnalis wanita kulit hitam bernama Luisa Rey (Halle Berry) . Bayang-bayang Frobisher masih menghantui kenangan Rufus dan musik klasik Rufus begitu membuat Luisa Rey terpesona. Kasus yang dihadapi Luisa Rey ini merupakan wacana nuklir yang masih relevan dimasa sekarang dan potensi besarnya menjadi “nuclear holocaust” (The Fall) dikemudian hari yang menjadi garis pemisah antara SEOUL 2144 dengan HAWAII 2321 , masa ketika dunia dan manusia menjadi begitu terbelakang seperti nubuat Einstein : “I do not know with what weapons World War III will be fought, but World War IV will be fought with sticks and stones.”
Perbudakan yang muncul dalam PASIFIK 1841 kembali terulang di SEOUL 2144 dalam bentuknya yang lebih modern , lebih kejam dan berkonotasi gender. Sonmi (Donna Bae) adalah sosok manusia kloning, hidup dan keberadaannya di dunia futuristik dan canggih bagaikan ironi. Sedari dilahirkan dari tabung laboratorium tidak sedikitpun kebebasan dan hak asasi manusia dimilikinya, ia adalah budak dan berada dalam hirarki kelas terendah dalam masyarakat. Kloning manusia telah lama menjadi isu kontroversial dan implikasi etik. Kloning manusia menantang langsung pranata sosial dan hubungan keluarga sebagai komponen terkecil masyarakat.
Tampak bahwa “Cloud Atlas” juga membicarakan hirarki, kelas-kelas dalam masyarakat. Plautus (254-184 BCE) mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), seperti yang menimpa pada budak-budak mulai dari jaman dahulu hingga masa mendatang. “Yang kuat memakan yang lemah”, terdengar berkali-kali dalam “Cloud Atlas” seolah-olah melawan pernyataan Charles Darwin yaitu “yang bertahan adalah yang bisa menyesuaikan” (survival of the fittest). Seperti halnya yang menjadi utama dalam “Kitab Perubahan” bahwa yang bisa berubah itu yang bisa bertahan.
Konsep yang terkuat itu sering menjadi dasar dari peradaban manusia. Menekan yang lemah, menghabisi yang tidak berdaya, membangun struktur kelas, dan menekan terus menerus. Tapi tekanan yang berlebihan akan melahirkan reaksi perlawanan karena adanya “enam pemikiran” Adler yang membuat manusia akan menilai dan beraksi. Fabricant atau manusia kloning yang dilahirkan dari tabung untuk menjadi kelas pekerja, saat “dimatikan” tubuhnya diproses kembali menjadi sumber protein bagi sesama fabricant. Seperti ayam dan sapi yang bagian organ tubuhnya didaur ulang untuk menjadi makanan bagi sesamanya.
Mortimer J Adler menuliskan enam pemikiran besar (Six Great Ideas) yang menentukan kultur atau hidup baru dan bisa dibagi menjadi dua trinitas, pertama : liberty, equality dan justice; kedua : truth, goodness dan beauty. Dimana sebenarnya 6 pemikiran itu ada dalam satu lingkaran besar yang tidak terpisahkan dan saling terkait satu dengan yang lain. Enam pemikiran ini tidak akan lepas dari sikap manusia dalam menilai dan dinilai serta pemikiran untuk bertindak.
Selama ini penggolongan kelas adalah hal yang lumrah dalam suatu peradaban dan rasanya tidak ada peradaban yang bisa menghilangkan penggolongan kelas. Walau demikian saat penggolongan ini menjadi satu “narasi besar” (grand narrative) seperti yang diungkap Lyotard dan dipercaya oleh banyak orang, maka menurut saya saat itulah terjadi “perbudakan” pikiran dan akan memicu keinginan akan trinitas Adler yang pertama, yaitu : kebebasan, kesetaraan dan keadilan.
Filsafat Taoisme mengenal “saat mencapai puncaknya maka itulah saatnya menurun (berkebalikannya menaik )” ( 物極必反 ), ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang sudah mencapai titik ekstrem maka akan menurun dan akan ada gerakan penyeimbang untuk menurunkan yang sudah mencapai ekstrem itu. Jadi tidak perlu bingung bahwa segala sesuatu yang bersifat hirarki atau kelas hingga mencapai satu titik maka gerakan penyeimbang atau istilah saya adalah “penyeralasan” ( 和 ) akan muncul. Seperti apa yang menimpa pada Ewing, Sonmi atau Sixsmith yang melihat adanya perbudakan dalam segala bentuk. Seperti juga perbudakan melalui minyak yang dilakukan oleh para kapitalis, atau mengurung dalam rumah panti jompo dan mereka akan melawannya.
Laozi berkata bahwa “orang yang penuh cinta (welas 慈) bisa melahirkan keberanian yang luar biasa” (夫慈故能勇). Saat manusia dalam penuh tekanan dan ketakutan, selama ada harapan maka akan melahirkan keberanian. Penyebaran ketakutan untuk memupus harapan tidak akan bisa bertahan selama manusia masih memiliki keinginan akan trinitas pertama dan juga trinitas kedua sebagai penggerak. Yang menjadi permasalahan adalah perbedaan nilai dari trinitas-trinitas tersebut di atas, keseragaman nilai akhirnya hanya konsensus belaka. Siapa yang bisa menguasai melalui kata-kata yang bisa memberikan pengharapan dan penggerak, maka ia akan berhasil.
Sonmi dengan kekuatan kata-kata berhasil mengubah dunia dan akhirnya dunia juga mengangkat Sonmi sebagai lambang dari pengharapan tersebut, baik sebagai dewi yang disembah atau juga sebagai “ikon” dari kebebasan. Harapan dan ketakutan selalu mengiringi manusia bagaikan bayang-bayang, ketakutan bisa menjadi satu kekuatan seperti halnya harapan tapi juga bisa menjadi suatu racun yang membahayakan. Berharmonisasi adalah suatu upaya manusia dalam bergelut dengan ketakutan dan pengharapan, bagaikan dua bandul yang selalu bergoyang.
Bagi banyak orang, kematian itu hanya sekedar tertutupnya suatu rangkaian dan terhenti. Tetapi bagi orang lain, kematian itu bagaikan pintu yang melanjutkan rangkaian yang terputus hingga selesai sebuah siklus, atau yang dikenal dengan reinkarnasi. Melihat adanya enam rangkaian dan enam peristiwa yang terkait juga termasuk adanya “cinta” yang dibentuk dalam wujud berbeda bahkan “cinta” itu juga bisa terjadi dalam satu gender atau yang dikenal homoseksualitas. Dari Adam Ewing dan Matilda Ewing hingga Zachry dan Meronym, mereka semua terikat oleh “cinta” tapi tidak semua cintanya bisa terealisasikan dalam kehidupan-kehidupan yang ada, bertemu tapi tidak bisa melanjutkan “tali jodoh”. Bagaikan karma yang saling mengikat, tarik menarik, rantai sebab akibat. Jika kondisi tidak memungkinkan maka tidak bisa terjadi “situasi” yang dikehendaki. Timothy Cavendish, Zachry dan beberapa lainnya mengalami “déjà vu” seolah-olah pernah ada dan hadir dalam kehidupan masa lampau, “mengulang” lagi ritme yang telah terlewatkan. Kematian adalah sebuah pintu untuk menuju pintu lainnya, dan selalu mengandung harapan.
Tali temali yang menjalin dalam rangkaian cerita “Cloud Atlas” seolah-olah menggambarkan bahwa seluruh alam semesta itu terjalin dalam satu rangkaian, tidak perduli masa lalu, sekarang atau masa yang akan datang itu terjalin dalam satu rangkaian. Seperti halnya dalam Buddhisme, Taoisme yang mengenal Buddha Tiga Masa ( 三世佛 ) atau Tianzun Tiga Masa ( 三代天尊) yang terangkai dengan Buddha Lima Arah ( 五方佛 ) atau Dijun Lima arah ( 五方帝君 ), tidak terpisahkan dan terikat dalam satu ikatan yang bergerak terus menerus, membentuk jejaring alam semesta. Tiada suatu perbedaan di dalam jejaring itu, semua yang membedakan dan berjarak itu adalah ilusi semata. Selama ada kesenjangan dari bentuk-bentuk ilusi yang menari dalam pikiran manusia, maka dua trinitas Adler selalu ada. Dan menghasilkan atau memancing untuk menilai dan bertindak, baik mempertahankan atau meruntuhkan system yang dianggap tidak sesuai dengan nilai yang dibentuk karena konsensus. Konsensus bisa tercipta karena adanya kawanan-kawanan. Kawanan menghilang dan melebur dalam satu kesatuan yang mengikat satu dengan yang lain, tidak ada beda antara yang lahir dari tangki atau rahim.
Xiaoyao 逍遙 atau terbebaskan dari bentuk-bentuk ilusi yang mengikat dan mencapai keakuan sejati sebagai manusia 真人, adalah mereka yang bisa mengatasi bentuk-bentuk pembedaan baik secara fisikal, psikis, tampak, dan tidak tampak, menyadari hakekat manusia adalah satu dalam jejaring alam semesta. Terbebas dari kungkungan samsara seperti Sonmi, berarti terlepas dari ketakutan dan tiga racun lobha, dosa, moha (kebodohan, kebencian dan ketamakan) sehingga kata-katanya menjadi kekuatan. Kemampuan melepaskan dari roda samsara yang berulang-ulang dalam rangkaian tumimbal lahir, dengan bisa melakukan pilihan yang berbeda. Itulah nyanyian simfoni alam semesta “Cloud Atlas”.
Oleh : Huang Dada & Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa