Secara umum, mandala adalah dapat diartikan sebagai semacam lingkaran yang memiliki satu pusat. Menarik sekali mengaitkan mandala dengan sistim pemerintahan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusantara. Mandala ternyata memiliki hubungan erat dengan masyarakat agraris atau hidup dari pertanian. Hal ini tercermin dalam sistim pemerintahan berbagai kerajaan yang pernah eksis di muka bumi ini, terutama yang bersifat agraris. Sebagai contoh adalah Kekaisaran Tiongkok, yang menganggap kaisar sebagai pusat segenap kehidupan masyarakat.
Kaisar diumpamakan sebagai “bintang kutub” yang tak bergerak dan dikelilingi oleh bintang-bintang lainnya. Oleh karena itu, bintang kutub juga disebut sebagai “bintang kaisar” atau Ziwei. Bintang-bintang lain yang nampak bergerak mengelilinginya diumpamakan sebagai menteri-menteri kaisar. Menteri-menteri itu dibagi dua, yakni sipil dan militer. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kaisar merupakan pusat bagi “mandala” rakyat Tiongkok di masa kekaisaran.
Masyarakat India tempat asal usul mandala juga merupakan masyarakat agraris dan sistim pemerintahan di India juga sedikit banyak mencerminkan pola mandala ini. Mengapa konsep mandala dapat tumbuh di masyarakat agraris? Masyarakat yang hidup dari pertanian memerlukan suatu pelindung atau pemersatu yang kuat. Itulah sebabnya diperlukan suatu “pusat.” Apa yang menjadi “sentra” atau pusat ini akan menyelesaikan permasalahan intern di antara mereka, umpamanya masalah pembagian jatah pengairan (irigasi) sawah. Mereka juga memerlukan suatu pusat kuat yang dapat melindungi mereka dari serangan musuh.
Sistim pemerintahan model mandala ini nampak nyata pada kerajaan-kerajaan yang tumbuh dan berkembang di belahan barat Kepulauan Nusantara. Mari kita ambil Kerajaan Sriwijaya sebagai contoh. Pola Mandala dapat digambarkan sebagai berikut:
Nampak bahwa pusat tatanan pemerintahan Sriwijaya adalah raja atau datu. Contoh lainnya adalah Kerajaan Mataram, yang membagi wilayah kerajaannya menjadi Negaragung (wilayah inti), mancanegara kulon, mancanegara wetan, pesisiran kulon, dan pesisiran wetan. Kosmologi mandala nampak pada kraton Mataram dan kerajaan pecahan-pecahan Mataram (Yogyakarta dan Surakarta). Terdapat sitihinggil (terjemahan harafiah: “tanah yang ditinggikan”) sebagai wujud Gunung Meru selaku pusat alam semesta. Dari sitihinggil ini raja dapat memandang para kawulanya.
KAWASAN INDONESIA TIMUR
Di kawasan Indonesia Timur yang budayanya lebih ke arah maritim sistim pemerintahan model mandala ini kurang kuat pengaruhnya. Kita akan mengambil contoh Sulawesi. Masyarakat Bugis di Sulawesi mengenal epos La Galigo yang mencerminkan kuatnya budaya maritim. Memang benar bahwa raja merupakan penguasa tertinggi di kerajaannya. Tetapi raja hanya dapat dinobatkan oleh dewan adat. Raja dapat dipecat pula oleh dewan adat. Sebagai contoh, di Kerajaan Gowa, sombaya atau raja Gowa hanya dianggap sah bila telah dinobatkan oleh Bate Salapanga, yang merupakan gabungan federasi dari para pemimpin lokal (primus interpares) sebelum adanya institusi kerajaan.
Bate Salapanga merupakan federasi sembilan pemimpin lokal sebelum turunnya tomanurung (penguasa Kerajaan Gowa pertama). Selain itu, keabsahan raja juga bergantung apakah ia memiliki pusaka kerajaan (regalia) atau tidak. Seorang raja dianggap tak sah apabila tak memiliki regalia atau pusaka kerajaan. Di Gowa regalia ini dikenal sebagai kalompoang.
Bila kita mencermati sejarah Kesultanan Buton, nampak nyata bahwa beberapa sultannya pernah dipecat oleh rakyat dan dewan adat Buton.
Semua contoh di atas memperlihatkan bahwa konsep mandala dengan suatu pusat yang “mutlak” dan kuat tidak begitu berpengaruh di belahan timur Kepulauan Nusantara. Salah satu faktor lain penyebabnya adalah kurang mengakarnya budaya Hindu Buddha di Nusantara timur.
CATATAN:
Meskipun masyarakat Indonesia timur kuat budaya maritimnya, tidak berarti kegiatan maritim tidak ada di Indonesia barat. Angkatan laut Sriwijaya menurut sejarah terkenal ketangguhannya. Sebaliknya, bukan berarti pertanian tidak dikenal di Indonesia timur. Hanya saja budaya agraris lebih dominan di barat, dan maritim di timur.
SISTIM PEMERINTAHAN DI TIMOR
Yang cukup menarik dikaji adalah sistim pemerintahan di Pulau Timor. Keunikannya adalah terdapatnya dua pusat, yakni raja yang “tidak aktif memerintah” dan “aktif memerintah.” Hal ini mirip dengan konsep yin dan yang dalam filsafat Tiongkok. Raja yang “tak aktif memerintah” ini di kerajaan Wesei Wehali dikenal sebagai maromak oan. Beliau dibantu oleh raja yang “aktif memerintah” dan disebut liurai. Secara umum dalam Imperium Wesei Wehali terdapat tiga liurai, yakni liurai Wehali (liurai Fatuaruin), liurai Likusaen (liurai Suai Kamanasa), dan liurai Sonbai.
Para liurai ini sangat terkenal, sehingga sumber Tiongkok menyebut raja Timor sebagai liulai. Karena sifatnya yang pasif itu, maromak oan, disebut “raja makan tidur.” Tentu saja ini hanya perumpamaan belaka, karena seorang maromak oan merupakan rujukan tertinggi bila terdapat permasalahan yang tak dapat diselesaikan para liurai. Karena itu, seorang maromak oan harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai sosial dan politik negerinya. Maromakoan juga dipandang sebagai raja spiritual selaku perantara antara manusia dan Tuhan.
Peran maromak oan ini sedikit banyak mirip dengan kaisar Tiongkok, yang merupakan penghubung antara rakyatnya dengan Langit. Kaisar Tiongkok secara berkala mengadakan upacara persembahan di Altar Langit (Tiantan). Oleh karena itu, kaisar Tiongkok boleh dikatakan memangku jabatan sebagai “raja imam” (priest king), sebagaimana halnya maromak oan Wesei Wehali. Sebagai catatan, sistim ini juga terdapat di Kerajaan Insana, dimana raja “tak aktif”nya disebut atupas.
Demikianlah, kita boleh menganggap bahwa sistim pemerintahan di Timor ini sebagai suatu varian dari konsep mandala, dimana mandala yang asli biasanya hanya mempunya satu pusat saja.
Ivan Taniputera
Edisi 1: 23 Januari 2011
Edisi 2: 23 Desember 2013
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Referensi:
- Mappangara, Suriadi. Ensiklopedi Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
- Parera, ADM. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: Suatu Kajian atas PetPolitik Pemerintahan Kerajaan-kerajaan di Timor Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
- Suwarno, P.J. Tatanegara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia Modern, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2003.