Film karya Garin Nugroho berjudul “Daun Di Atas Bantal “ adalah film kelam yang menceritakan masyarakat yang terpinggirkan, dilupakan, bagaikan kotoran yang selalu disapu terus menerus ke kolong ranjang, menggambarkan kondisi Indonesia.
Sumber : http://jejakandromeda.com/galery-film-jadul/christine-hakim-daun-diatas-bantal/
Film itu jika kita simak tidak melulu membahas masalah kaum terpinggirkan. Bahwasanya Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945 dan seperti juga dalam isi UUD 1945 pasal 34 ayat 1 : Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Pada kenyataannya anak-anak yang terlantar dan fakir miskin tidak dipelihara oleh negara dan ironisnya lagi adalah tidak adanya perlindungan bagi mereka. Dalam kondisi seperti itulah Asih bagaikan ibu pertiwi yang menampung tiga anak jalanan bernama Kancil, Sugeng dan Heru yang berlatar etnis berbeda-beda juga memiliki karakter yang berbeda-beda, seolah menggambarkan Indonesia yang heterogen.
Cara mereka untuk bisa bertahan hidup juga amat menarik untuk disimak, menggambarkan betapa “aturan” yang ada itu sudah tidak dipikirkan lagi. “Taik kucing dengan segala aturan” itu kita bisa lihat dalam kehidupan kita sehari-hari, lihat saja betapa banyak yang melanggar aturan lalu lintas padahal mereka menyadari bahwa aturan itu memang ada dan dibuat untuk mereka semua. Apa penyebabnya ? Apakah alienasi seperti pemikiran Marx ? Alienasi karena struktur sosial ? Apakah alienasi itu akan melahirkan konflik sosial ?
Konflik antar anak asuh dan ibu asuh itu juga selalu terjadi bahkan sesama anak asuh itu sendiri, seperti halnya yang kita lihat bahwa konflik yang bernuansa SARA sering terjadi dan tidak selalu latar ekonomi adalah akar utama konflik itu bahkan terkesan latar ekonomi adalah ‘bungkus’ belaka untuk menutupi perbedaan-perbedaan yang ada dan disempitkan sehingga saat mencari akar konflik itu menjadi banal. Perbedaan-perbedaan itu seharusnya bisa menjadi satu kekuatan dan satu kekuatan itu ada dalam naungan ibu pertiwi sebagai ibu yang mengasuh semua anak-anak yang ada, karena dengan adanya perbedaan dan mempelajari perbedaan serta saling menghormati perbedaan itu akan membawa pada suatu masyarakat yang harmonis, seperti ujar Kong Zi “ harmoni dalam perbedaan” bukankah hal itu juga yang termaktub dalam “Bhinneka Tunggal Ika” ?
Demokrasi pada hakekatnya adalah sebuah ruang kosong, yang oleh karena itu oleh pemilik sejatinya, yakni “rakyat yang berdaulat”, dipinjamkan kepada berbagai rezim atau pemerintahan yang berkuasa secara sementara[1]. Berdasarkan hal ini kita bisa melihat bahwa “rakyat yang berdaulat” itu akan memberikan kepercayaannya kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur negara, seperti halnya konsep “Mandat Langit” yang diusung oleh kaum Ruisme dan juga “Pencabutan Mandat” jika sudah tidak lagi menjalankan “Keutamaan Rakyat”[2]. Semua itu harus berdasarkan pada dasar “kepercayaan”, jika tidak ada kepercayaan dari rakyat kepada para pemimpinnya maka yang terjadi adalah “perlawanan”[3].
Demikian juga apa yang terjadi antara Asih dengan anak-anaknya adalah tiadanya terjalin hubungan “kepercayaan” yang kuat antar mereka sehingga apapun aturan yang dibuat itu menjadi sia-sia karena dianggap adalah pengekangan dan mengakibatkan perlawanan. Jika rakyat percaya maka aturan itu akan diterima dengan baik, seperti halnya apa yang dilakukan oleh Jokowi dan Basuki Rahmat saat memimpin kota Jakarta, karena adanya kepercayaan itu maka banyak yang membela dan sukarela saat aturan diterapkan. Jika anak-anak asuhnya percaya bahwa Asih melindungi mereka dengan sungguh-sungguh, maka aturan itu bisa diterima dengan baik.
Asih sendiri adalah perempuan yang galau dan tidak berdaya, ketegarannya itu adalah ketegaran semu. Ia “terjebak” dalam kondisi yang memilukan, terjebak diantara ketidak berdayaannya, terjebak pada “suami” yang salah. Bukankah ini bisa kita lihat Indonesia sendiri terjebak dalam ketidak berdayaannya, ketidak mampuan membangun kepercayaan bagi rakyatnya yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpinnya yang “dipinjamkan” oleh rakyatnya, seperti halnya ke tiga anak jalanan yang “meminjamkan” mandatnya untuk diasuh oleh Asih. Asih bisa menjadi perlambang pemimpin atau juga perlambang ibu pertiwi. Ke tiga anak ini disatukan oleh Asih seperti halnya Indonesia yang menyatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu naungan yaitu “Republik Indonesia” yang dibangun oleh segelintir orang berdasarkan kesepakatan politik yang mewariskan wilayah administrasi Belanda.
Suami Asih yang selalu merongrong dan meminta uang pada Asih bisa menjadi suatu gambaran bahwa suami yang seharusnya menjadi pelindung Asih malah ‘memperkosa’ Asih dan melihatnya sebagai “pohon duit” yang digoyang terus menerus. Suami itu bisa beragam bentuknya, bisa menjadi oknum aparat, bisa menjadi kaum kapitalis serakah, bisa juga kekuatan asing yang selalu ‘memperkosa’ ibu pertiwi ini. Sungguh ironis jika ‘suami’ yang seharusnya memberikan rasa aman dan tanggung jawab menjaga ibu pertiwi ini malah selalu memperkosa. Kejadian-kejadian ini tentunya diketahui oleh anak-anak asuh Asih dan bisa membuat mereka berani pula melawan atau “memperkosa” dengan cara lain yaitu melawan aturan, melawan Asih. Seperti halnya para pengguna jalan yang banyak memperkosa negara dengan melawan aturan lalu lintas.
Tapi aturan itu tidak selalu baik bahkan para penguasa seringkali membuat aturan untuk mengukuhkan kekuasaannya dan aturan itu akhirnya akan memarjinalkan kelompok-kelompok tertentu, lupa bahwa kekuasaan mereka adalah pinjaman dari rakyat. Suami Asih yang selalu memeras Asih dengan berbagai bentuk “hukuman” dan juga “aturan” ikatan suami istri, membuat Asih mencoba mencari pria lain tapi ia juga tidak bisa memutuskan hubungan dengan suaminya itu, seperti juga Indonesia yang terjebak pada neokolonialisme yang ingin keluar tapi tidak bisa, hanya bisa melirik-lirik “pria” lain saja tanpa adanya kekuatan untuk memutuskan hubungan dengan “suami”nya. Dalam dunia politik juga sama, para pemimpin Indonesia “terbelenggu” oleh ketidak berdayaannya karena ulahnya sendiri yang membuat belenggu untuk dirinya.
Ketidak berdayaan itu akan melahirkan perlawanan dari bawah, seperti yang dilakukan oleh Heru, Kancil dan Sugeng dengan mengisap lem, menjual ganja, mencuri, menjual diri, bergaya seperti punk tanpa menyadari apa dan mengapa punk bisa lahir dan menjadi subkultur. Mereka tidak perlu tahu apa itu punk yang penting apa yang mereka lakukan adalah “meniru” dan apa yang ditiru itu dianggap sebagai cara pelariannya melawan ketidak berdayaan itu. Sebenarnya mereka meniru punk tanpa disadari sudah melahirkan semangat “perlawanan” itu dengan caranya sendiri.
Lingkaran setan kemiskinan yang melanda masyarakat terpinggirkan akan melahirkan upaya mereka keluar dari kemiskinan itu sendiri, baik secara “benar” maupun “tidak benar” atau dengan istilah umum adalah usaha haram ataupun halal yang merupakan wujud perlawanan mereka. Kesemuanya adalah symbol yang tampak tapi yang tidak tampak itu adalah “perlawanan”, “ketidakberdayaan”, dan satu lagi adalah “keberadaannya” ( eksistensi ) yang perlu celah untuk dihargai dan diterima. Saat manusia atau sekelompok orang tidak berdaya menghadapi kekuatan lebih besar maka yang dilakukan bisa dengan penolakan total, penerimaan total atau hybrid.
Ketiga upaya ini merupakan cara menutupi inferioritasnya diri mereka yang merupakan dampak dari anggapan bahwa “barat”, “modern” adalah yang unggul, yang baik[4] yang ditanamkan selama beradab-abad. Tapi tentunya dalam perjalanan sejarah manusia, hybrid adalah hal yang umum terjadi dan bukanlah hal yang dapat dielakkan, suatu upaya sekelompok manusia untuk bisa bertahan dalam arus sejarah manusia. Seperti contoh marching band dalam acara grebeg. Dalam film “Daun Diatas Bantal”, para anak jalanan tentunya belum tentu memahami permasalahan-permasalahan konflik peradaban ini, mereka hanya meniru apa yang mereka lihat dan dengan “tampil beda” maka keberadaannya akan tetap berada dalam kalangannya mereka itu sendiri. Sama halnya dengan berbagai tradisi yang ada dan mulai ditinggalkan atau terlupakan, mereka mau tidak mau berkompromi dengan berbagai symbol yang ada di luar mereka agar “keberadaannya” tetap ada dan tidak hilang.
Permasalahan terjadi saat “keberadaan” itu terkait dengan lembaga formal yaitu identitas diri. Identitas manusia dalam konsep negara itu adalah yang tercatat pada lembaga pencatatan sipil dan memiliki tanda pengenal seperti KTP, passport, memiliki akte lahir, dan berbagai kartu identitas lainnya. Dengan tidak adanya pencatatan itu maka “keberadaannya” menjadi tidak ada dan negara tidak akan mengakuinya seperti yang menimpa Sugeng, karena tidak memiliki identitas maka tidak bisa dikuburkan. Heru yang tidak memiliki “identitas” bisa dibuat identitas palsu. Jadi apa itu identitas adalah sama dengan “keberadaan” itu sendiri ? Perjuangan membentuk keberadaan yang menjadi satu identitas itu berjalan sejak manusia lahir, baik keberadaan atau identitas itu dibentuk oleh “yang lain” maupun oleh “sendiri”, misalnya nama itu diberikan oleh “yang lain”, bayi itu sendiri tidak berdaya dan tidak sanggup memilih nama, ketika sudah mampu, karena adanya pengaruh “yang lain” baik secara sadar maupun tidak sadar maka “sendiri” itu akan membuat nama lain sebagai identitas.
Identitas juga bisa beragam macamnya, seperti Sugeng yang mengenakan jaket coklat, bagi sekelompok preman yang hendak balas dendam, jaket coklat adalah identitas. Identitas di Indonesia ini amat rancu dan membingungkan, sebagai contoh masalah agama sebagai identitas dan yang diberikan oleh negara adalah pilihan untuk memilih satu dari enam pilihan agama yang ditawarkan yang jelas-jelas berlawanan dengan UUD 1945 pasal 28 E, belum lagi permasalahan identitas warga negara, siapa yang dapat disebut sebagai warga negara Indonesia ? UUD 1945 pasal 26 ayat 1 isinya : Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Istilah asli dan tidak asli juga sudah menjadi satu identitas lagi yang memisah-misahkan rakyat Indonesia. Jika permasalahan asli dan tidak asli, Sugeng itu asli atau tidak asli ? Will Kymlicka dan Wayne Norman menyatakan bahwa : Kewarganegaraan bukan sekedar status tertentu, yang ditentukan seperangkat hak dan kewajiban. Kewarganegaraan adalah juga jati diri, yakni pengejawantahan keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas politik[5].
Menilik pendapat di atas, maka Sugeng dan Heru yang tidak memiliki identitas sebagai warga negara bisa dianggap sebagai subyek yang tidak memiliki jati diri menurut kacamata politik. Karena tidak memiliki identitas maka mereka tetap akan termarjinalkan oleh system politik yang ada dan berbagai aturan yang seharusnya berbicara kesetaraan dan persamaan hak seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 28 D[6]. Tapi apakah identitas itu hanya sekedar seperangkat nomor belaka ? Bagaimana jika identitas itu dilekatkan pada kelompok seperti kelompok-kelompok yang termarjinalkan seperti kelompok pengamen ? Kembali lagi pada konsep alienasi sosial dan juga peminjaman kekuasaan oleh sekelompok orang, disini kita bisa melihat bahwa identitas itu adalah permainan dari sekelompok orang dan digunakannya identitas itu bisa sebagai upaya pelanggengan kekuasaan, dan kelompok yang tidak diperlukan dan yang teralienasi itu tidak perlu diberi identitas secara legal formal tapi kadang ada juga pemberian identitas untuk mengalienasi seperti tulisan “ET” ( eks tapol ) yang ditorehkan di kartu tanda penduduk atau juga pemberian kode tertentu untuk golongan keturunan yang dilakukan pada masa Orde Baru. Identitas akhirnya merambah kemana-mana, tidak sekedar identitas atau tidak beridentitas tapi stigma yang dilekatkan bagi mereka dan pilihan-pilihan yang terbatas untuk dipilih.
Daftar Pustaka :
Baghi, Felix ed., Kewarganegaraan Demokratis Dalam Sorotan Filsafat Politik, 2009, Maumere: Penerbit Ledalero
Hall, Stuart & Gieben, Bram ed., Formations of Modernity, ed.ke 4, 1995, Oxford : Blackwell Publishers Ltd.
Lukman,Lisa , Proses Pembentukan Subjek Antropologi Filosofis Jacques Lacan, hal.17, 2011, Jogjakarta : Penerbit Kanisius
[1] Lisa Lukman, Proses Pembentukan Subjek Antropologi Filosofis Jacques Lacan, hal.17, 2011, Jogjakarta : Penerbit Kanisius
[2] Tian ming 天命 atau mandat langit dan geming 革命 pencabutan mandat adalah konsep pemerintahan di Tiongkok jaman dahulu yang berbasis pada min ben 民本keutamaan rakyat dan xin 信 kepercayaan itu adalah landasannya. Geming seringkali diartikan revolusi padahal maknanya adalah pencabutan atau mencabut, mengubah, tian ming sendiri dalam politik adalah mandat langit yang mana mandat langit itu ada di tangan rakyat, jika kaisar atau pemimpin negara tidak melaksanakan mandat rakyat maka rakyat berhak mencabutnya.
[3] Qiyi 起義 adalah istilah yang suka dipakai oleh orang-orang yang merasa pemimpin negara sudah tidak benar, artinya adalah “bangkit menuntut ketidak adilan” atau secara umum diartikan adalah perlawanan, pemberontakan.
[4] Lih. Stuart Hall & Bram Gieben ed., Formations of Modernity, hal.275, ed.ke 4, 1995, Oxford : Blackwell Publishers Ltd.
[5] Felix Baghi ed., Kewarganegaraan Demokratis Dalam Sorotan Filsafat Politik, hal.39, 2009, Maumere: Penerbit Ledalero
[6] Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa