Masih ingat dengan jelas dalam benak saya pertanyaan Apeq Erik Eresen (juga salah satu senior di grup Budaya Tionghoa) saat acara berakhir. Beliau bertanya seperti ini, “Apa perbedaan yang mencolok antara sastra Tiongkok kontemporer dengan sastra Indonesia saat ini?”
Tak begitu ngeh dengan maksud mendalam di balik pertanyaan tersebut, saya jawab bahwa sastra China mendapat dukungan dari pemerintah dengan adanya penulis-penulis yang didanai oleh pemerintah. Ternyata, jawaban saya tidak tepat dengan jawaban yang diminta beliau.
Foto by Andy Kay – Pembicara dari Tiongkok mengapit perwakilan dari Indonesia
“Sastra Tiongkok”, katanya, “tidak berani menyampaikan kritik sosial yang sedang terjadi di negara itu. bacalah lagi. Isinya adalah romantisme dan pemandangan. Coba kamu bandingkan dengan puisi yang tadi dibacakan oleh Fikar. Puisi tersebut sarat dengan kritik. Mana berani mereka (sastrawan Tiongkok) menyampaikan kritik semacam itu.”
Apa yang dikatakan beliau tepat adanya, pikir saya kemudian. Coba kita bandingkan dua puisi yang kemarin dibacakan dalam acara diskusi sastra tersebut. Puisi pertama oleh Huang Dianjin berjudul “在千万种声音中 zai qian wan zhong sheng yin zhong” (Di Tengah Seribu Sejuta Suara)
我从不敢说有最后—次
就如同在没有道路的天涯
说不出最初那片水红色情感
当开始低落的语言变为渴望
得到一首美丽的情诗
我便相信了所有心愿
都已在宽容中找到归宿
aku tak berani bilang akan ada terakhir kali
seperti ujung angkasa yang tak punya jalan
tak dapat mengungkap lembar perasaan merah basah yang paling awal itu Ketika ucapan yang rendah berubah jadi keinginan
merenguh satu puisi cinta yang indah
aku pun percaya di tengah kelapangan dada
segala harapan telah menemukn tempat pulang
Bandingkan dengan puisi Fikar W. Eda yang berjudul “Daun Kering Tanpa Ranting”:
Rnyai hujan di helai daun
Paadang basah,
harum tanah
Dalam sapa penuh cinta Tapi siapa merampas segala?
Bongkah tanah jadi lumpur
tabuh tambur bencana
Daun kering
tanpa ranting
mengabar leleh nanah
Hujaman batu
potongan kayu
menyapu kampung
tiap musim hujan Daun kering
tanpa ranting
membawa api
tiap kemarau
yang parau
menumpahkan air mata
dan jerit luka Lewat selembar kertas
kalian kirim bencana
ke atas meja makan kami
dari hutan-hutan yang tak pernah kami tebangi Hujan Bencana
kemarau Bencana
Hutan dirampas
hutan dihempas
Penguasa
asing!!!
Puisi Fikar sarat oleh kritik terhadap pemerintah. Sebut saja penggundulan hutan oleh penguasa dimana penguasa dalam puisi ini saya tafsirkan sebagai penguasa yang lebih berpihak pada orang asing; bukan penguasa berparas asing. Perbedaan itu tentu terasa begitu mencolok dibandingkan dengan puisi Huang Dianqin sebelumnya yang bercerita tentang cinta melalui penggambaran alam.
Lepas dari perbedaan isi, makna dan tujuan berpuisi atau bersastra, tentunya kita perlu juga belajar dari Tiongkok, seperti yang disebutkan oleh Fitri, seorang penulis biografi. Salah satu kata-katanya yang saya ingat sebagai berikut “Saya percaya Cina sebagai pusat sastra dunia, dari dulu. … Kita seharusnya belajar menghargai karya anak-anak kita.”
Pernyataan ini, seingat saya dikeluarkan olehnya menanggapi cerita bahwa di Tiongkok pada saat ini perkembangan sastra demikian subur. Terdapat ratusan ribu penulis baru baik yang berkarya secara profesional maupun para penulis di media internet seperti blog dan lain sebagainya. Selain itu, sastra remaja dan anak-anak juga berkembang subur. Ah, mendengarnya sedikit rasa cemburu menyelinap dalam hati. Apalagi mendengar hadiah sastra untuk kategori sastra anak di sana sebesar 400 ribu RMB. Miris memang jika dibandingkan dengan kondisi kita dimana Bakrie menyediakan hadiah sebesaar 50 juta rupiah untuk sastra terbaik pertahunnya. (dikatakan oleh Bapak Eka Budianta di sela-sela diskusi).
Menurut saya pribadi, acara diskusi tersebut berjalan dengan sangat menarik walaupun tidak patuh pada schedule yang ada di buku acara. Terlebih ketika membaca dalam hati sebuah puisi dan mendengar jawaban dari Ibu Diah Hadaning—penulis puisi tersebut—atas pertanyaan mengapa karyanya selalu mengandung Burung Hong dan Pohon Yangliu. Jawab beliau adalah “Secara pribadi saya percaya reinkarnasi. Ada yang mengatakan pada saya, bahwa harus melalui empat kali lagi reinkarnasi barulah saya kembali ke tanah utara (Tiongkok). … Zaman Song, ada seorang Raja Muda yang punya istri tidak bahagia. Kisah tersebut mirip dengan kisah saya. Dan, kebetulan setiap kali saya pindah rumah, pasti di dekat rumah saya ada Pohon Yangliu. … Cobalah yang rumahnya dekat Pohon Yangliu, di kala malam dalam temaram rembulan pasti akan terhenyak melihat bayangan pohon Yangliu tersebut. … Sedangkan Burung Hong bagi saya melambangkan kegagahan ….”
Foto by Andy Kay – Foto bersama setelah usai acara.
Sayang, saya tidak mengingat jawabannya dari kata ke kata. Tapi kurang lebih seperti yang saya tulis di atas. Jawaban beliau tersebut membuat pikiran saya mengawang-awang. Ah, rasanya akan timbul ide lain dari jawaban beliau. Terima kasih Bu Diah.
Kemudian, ada satu hal yang membuat hati saya bertanya-tanya namun tak berdaya atas keterbatasan waktu acara. Terlebih pada saat itu saya sibuk dengan catatan, hingga kaki tak juga beranjak ke depan untuk bertanya. Maka, mungkin saya bertanya saja di sini. Pertanyaan saya adalah, mendengar perkembangan sastra yang demikian pesat di Tiongkok dan lahirnya penulis-penulis amatir yang menyebarkan karya mereka melalui internet seperti blog dan media lainnya, adakah ketakutan bagi mereka karyanya akan disalahgunakan oleh orang lain?
Pertanyaan ini saya ajukan mengingat peristiwa yang dialami oleh beberapa rekan penulis di situs kemudian.com beberapa waktu silam. Beberapa karya teman-teman diplagiat secara berjamaah oleh beberapa anak SMA yang berbeda. Kasus tersebuut secara ramai dibicarakan oleh sesama penulis di sana hingga berminggu-minggu lamanya. Adapun, seperti yang saya telah dengar sebelumnya, Bu Bu Jing Xin sebuah serial TV yang dibintangi oleh Nicky Wu Qilong dan Liu Shishi awalnya adalah sastra internet yang ditulis oleh Tong Hua. Ah, betapa saya ingin bermimpi karya saya yang telah dipost ke blog pribadi kelak akan difilmkan.
Di lain menit, Ye Mei, salah satu delegasi penulis Tiongkok yang datang untuk acara diskusi sastra kemarin mengeluarkan pendapat. Hal ini dilakukan olehnya untuk menanggapi pertanyaan dari pihak penulis Indonesia tentang perkembangan bahasa dan bahasa gaul masa kini terhadap tatanan bahasa sastra. Katanya, “Dalam sastra, dengan bahasa apapun yang penting ada perasaan. Penggunaan bahasa gaul juga tidak apa-apa karena bahasa berkembang dari masa ke masa. Penggunaan bahasa terkini membuat kaya ragam bahasa yang penting adalah bagaimana memunculkan perasaan itu dalam karya tulisan.”
Jadi, seharusnya kita sebagai penulis tidak perlu meributkan masalah penggunaan bahasa gaul. Bahasa selalu berkembang dan tidak mungkin stagnan, bukan? Seperti halnya perkembangan masyarakat dan hal lain-lain, jadi yang terpenting adalah tetap berkarya dan melakukan terbaik yang kita bisa dan suka sebagai seorang penulis.
Sebagai penutup, saya kutipkan puisi yang ditulis oleh Huang Dianqin juga dengan judul “灰色的海 huisi dehai” (Laut yang Kelabu)
Catatan khusus:
- Alih bahasa pada saat dialog oleh Bapak Zhou Fuyuan dan Bapak Theodorus, disingkat Theo (迪欧).
- Bapak Eka Budianta selaku tuan rumah berperan sebagai moderator atau tepatnya MC.
- Alih bahasa puisi 70% dilakukan oleh Bapak Zhou Fuyuan (tidak ada keterangan di dalam buku acara mana saja puisi/cerpen yang diterjemahkan oleh Bapak Zhou Fuyuan)
- Isi kutipan mungkin tidak sama persis dengan yang dikatakan oleh para pembicaranya karena melalui proses translasi dan atau pencatatan. Kurang lebih seperti yang saya tulis dengan berusaha tanpa mengubah sedikitpun makna yang dikatakan para pembicaranya.
- Acara Diskusi Sastra “Pertemuan Persahabatan” dengan keenam penulis dari China diselenggarakan oleh Perhimpunan Penulis Yin Hua diadakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, Taman Ismail Marzuki tanggal 23 November 2013.
Ditulis oleh : Lia Zhang
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa