[1] Namun demikian, popularitas wayang tersebut masih kalah jika dibandingkan dengan wayang po the hi (pu-tai-hi).
| Karya visual pada seni pertunjukan juga menunjukkan jejak budaya Tionghoa. Wayang kulit Jawa versi Tionghoa pun lahir ditangan Gan Thwan Sing. Pria kelahiran Jatinom Klaten ini memadukan tokoh legenda Tiongkok dengan gaya Mataraman Yogyakarta. Pertunjukan yang pernah berjaya pada tahun 1925 hingga 1967 itu berbahasa Jawa dengan lakon, antara lain: She Yu, Sik Jin Kwi – Luk Log Cing Thong, dan Hwi Lyong Thwan. Di antara tokonya adalah Sih Ten San, Sik Jin Kwi, Ting Jing, Liong, dan Burung Hong; tidak ketinggalan pula gunungan.Masih terkait dengan bentuk visual seni pertunjukan, I Made Bandem dan Fredrik Eugine deBoer memperkirakan bahwa bentuk Barong Ket di Bali mendapat pengaruh dari Tionghoa, yaitu barongsai.[2] James R. Brandon, pakar sejarah seni pertujukan, juga tidak menampik pengaruh Tiongkok pada seni pertunjukan di Asia Tenggara.[3]
Pada hal-hal kecil pun pengaruh budaya visual Tionghoa dapat dilacak keberadaannya. Permainan kartu ceki, yang juga disebut péh-pai atau kartu putih, adalah contoh yang menarik. Kartu ini terdiri dari enam puluh kartu yang terdiri dari tiga puluh gambar berbeda. Kartu itu dicetak hitam putih pada karton kecil berukuran 5,7 x 2,8 cm; pada beberapa kartu diberi penekanan dengan warna merah. Karena kartu ini populer di Jawa, maka masyarakat juga menyebutnya dengan nama kartu Jawa.[4]
Tidak hanya itu, pengaruh budaya Tionghoa juga tampak dalam arsitektur tempat tinggal. Dialek Tionghoa dapat digunakan untuk menilai keluasan pembauran tersebut. Loteng, atau ruangan yang ada di atas, berasal dari kata lou-ding (dilafalkan lao-ding); dan ubin bermula dari you-mian (dilafalkan yiubbin).[5] Tidak hanya rumah, pengaruh Tionghoa juga merambah pada perabot yang ada di dalamnya. Jepara, sebagai pusat kerajianan mebel di Indonesia, pun bersinggungan dengan budaya Tionghoa. SP. Gustami menyatakan, jauh sebelum masa kemerdekaan, ada ahli ukir utusan dari Tiongkok yang datang ke Jepara guna membina para pengrajin.[6]
Berbagai budaya visual tersebut menggugah selera untuk dinikmati. Beberapa pameran pun digelar untuk mengapresiasi. Salah satunya adalah pameran Peranakan Tionghoa di Bentara Budaya Jakarta pada tanggal 6 Februari 2012. Pameran yang disertai peluncuran buku berjudul Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya itu memajang keramik, perhiasan, aksesoris, perabot rumah tangga, batik dari Pekalongan hingga Lasem, kursi (Gao Beiyli), ranjang, almari, meja, dan berbagai artefak lainnya.[7]
Tionghoa dalam Infrastruktur Seni Rupa Indonesia
Sentuhan Tionghoa juga tampak pada dunia seni rupa, khususnya seni murni, yang merupakan anak emas dalam budaya visual. Peran Tionghoa tidak hanya terletak pada seniman, tetapi juga menjadi penopang inftrastruktur seni rupa. Berikut ini adalah sebagian contoh.
Karena kepiawaiannya, Lee Man Fong diangkat sebagai pelukis istana oleh Presiden Soekarno. Seniman kelahiran 1913 di Guangzhou Kanton itu juga ikut menyusun buku lukisan dan patung koleksi Bung Karno.[8] Peraih Malino Grant tahun 1947 dari Pemerintah Belanda untuk belajar melukis di Eropa hingga 1952 itu memadukan cita rasa lukisan Tiongkok melalui teknik Barat dengan mengangkat tema kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Lukisan tentang penjual sate madura menjadi contohnya.
Sidik W. Martowidjojo, atau Ma Yongqiang, pria kelahiran Malang Jawa Timur 24 September 1937, juga mengabdikan diri pada lukisan bergaya Tionghoa (guo hua). Sejak 1998 Sidik telah menggelar lebih dari 20 pameran tunggal dan bebarapa kali pameran bersama yang digelar di Jakarta, Magelang, Beijing, Fuzhou, maupun Shanghai. Karya hitam putihnya, Bunga Phoenix, memperoleh penghargaan dari Pemerintah Tiongkok dengan kategori karya terbaik pada kompetisi Chinese Painting tanggal 1 September 2001.
Pelukis Tionghoa tidak selalu melukis bergaya lukisan Tiongkok. Chusin Setiadikara, misalnya, menggarap lukisan bergenre realisme fotografis. Pria kelahiran Bandung 1949 ini belajar pada pelukis Barli Sasmitawinata. Lukisannya yang bertema Pasar Kintamani berhasil dikoleksi Museum Fukuoka Jepang. Karyanya yang berjuluk Float and the Might 1 meraih gelar The Excellent Work Award pada gelaran “2nd Beijing International Art Biennale 2005 (BIAB)”.[9]
Selain itu, perupa kontemporer Tionghoa, atau yang lebih dikenal dengan istilah China Avant-Garde, juga ikut menghebohkan dunia seni rupa Indonesia. Edwin’s Gallery pada tahun 2003 mengusung karya Zhang Xiaogang, Fang Lijun, dan lainnya dalam pameran bertema From China with Art.[10] Kurator seni Aminudin TH. Siregar mencatat, karya-karya yang datang dari belahan bumi utara itu ikut mewarnai langgam estetis pelukis Indonesia, seperti langit berawan[11] atau objek besar dengan latar belakang flat.
Tokoh Tionghoa juga banyak berjajar sebagai penopang infrastruktur seni rupa, baik sebagai kolektor, pengelola galeri, atau pewacana. Oei Hong Djien dari Magelang adalah kolektor seni rupa paling beken sekaligus kontroversial; pedagang tembakau kelahiran Magelang 5 April 1939 itu banyak mendukung seniman muda Indonesia agar selalu berkarya. Kedudukan Sunarjo Sampoerna di Surabaya juga ikut menopang dunia pengkoleksian seni rupa. Semetara itu, Edwin Rahardjo di Jakarta maupun Chris Darmawan di Semarang sibuk mengurus galeri seni rupa agar seniman Indonesia selalu bergeliat. Ciputra juga menjadi pendiri Pasar Seni Ancol tahun 1975. Tidak kalah jasanya dalam memajukan dunia seni rupa Indonesia, Teguh Wibisana dengan rela merogoh kocek pribadi agar dapat menerbitkan majalah seni rupa Visual Art. Ia pun mendapat penghargaan “Academic Art Award #2” dari ISI Yogyakarta.[12]
Ragam Konsep di Balik Representasi Budaya Visual
Untuk masalah kepercayaan, ketika membicarakan Tionghoa, agama yang mungkin paling cepat dikaitkan adalah Kong Hu Cu; dan budaya visual yang menyertainya ialah klenteng. Bangunan jenis ini telah dikenal di Nusantara sejak abad ke-17. Di klenteng terdapat seimbol-simbol dengan makna tertentu, seperti naga (long) yang melambangkan kejantanan sebagai unsur yang dan burung phoenix (feng-huang) yang menyimbolkan kemakmuran atau keindahan sebagai unsur yin.
Akan tetapi, pembahasan Tionghoa atau Tiongkok tidak mesti selalu terkait dengan Kong Hu Cu maupun Tao. Bahkan, Kaisar Qin Shi Huang Di atau Kaisar Pertama yang menyatukan Tiongkok dan membangun Ribuan Pasukan Terakota di makamnya maupun memperpanjang Tembok Besar, justru menganut ajaran Shang yang merupakan kebalikan dari ajaran Kong Hu Cu.[13]
Demikian pula, penjelajah samudra dari Tiongkok yang berpengaruh di Nusantara, Cheng Ho, adalah seorang Muslim yang taat, demikian catatan Gavin Menzies dalam 1421 Saat China Menemukan Dunia.[14] Kisahnya telah diceritakan secara menarik oleh Wiwid Prasetyo dalam novel Cheng Ho Sang Laksamana Muslim dari Negeri Seberang.[15] Maka tidak aneh jika visual Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya bergaya bangunan tradisional Tiongkok, laksana klenteng.
Selain itu, orang Tionghoa juga menganut beragam agama, seperti Buddha, Hindu, Kataolik, maupun Protestan. Untuk itu di kalangan Tionghoa dapat dijumpai beragam organisasi keagamaan, seperti Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Keragaman tersebut semakin memperkaya khasanah budaya visual yang lahir dari kandungannya. []
[1] Woro Mastuti, “Rupa Wayang Kulit China-Jawa”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Februari 2011), 42-46.
[2] R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cetakan ke-2, 2010), 57.
[3] James R. Brandon, Jejak-Jekaj Seni Pertunjukan di Asia Tenggara (Bandung: P4ST UPI, 2003), 39-47.
[4] Lombard, 2008, 311.
[5] Lombard, 2008, 313.
[6] SP. Gustami, Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara: Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin (Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-5, 2004), 14.
[7] Yusuf Susilo Hartono, “Peranakan “Merah Putih””, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Maret – April 2012), 36-39.
[8] Agus Dermawan T, Contemporary and Modern Art Evening Sale (Singapura: Borobudur Aution & Larasati Auctioneers, 2012), 71.
[9] Melani Setiawan, “Biennale, Modernisme, Tradisi, dan Promosi yang Mencengangkan”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Desember 2005 – Januari 2006), 96-99.
[10] Edwin Raharjo, “Dunia Seni Rupa China”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Agustus – September 2006), 64.
[11] Aminudin TH. Siregar, “Seni Rupa China: Fenomena atau Trend?”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Agustus – September 2006), 70.
[12] Hardiman, “Academic Art Award #2: Penghargaan untuk Para Pembaharu”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Vol. 5, No. 29, Februari – Maret 2009), 18-20.
[13] John Man, The Terracotta Army: Kisah Misterius tentang Pasukan Penjaga Makam Keramat Kaisar Pertama China (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), passim.
[14] Gavin Menzies, 1421 Saat China Menemukan Dunia (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007), 18.
[15] Wiwid Prasetyo, Cheng Ho Sang Laksamana Muslim dari Negeri Seberang (Yogyakarta: Diva Press, 2011), passim.
—————————————
DAFTAR PUSTAKA
Aboebakar, H., Sedjarah Mesdjid dan Amal Ibadah dalamnya (Jakarta-Banjarmasin: Adil, 1955).
Bonneff, Marcel, Komik Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, cetakan ke-3, 2008).
Brandon, James R., Jejak-Jekaj Seni Pertunjukan di Asia Tenggara (Bandung: P4ST UPI, 2003).
Dijk, Kees van, “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, dalam Henk Schulte Nordholt, Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (Yogyakarta: LKiS, 2005).
Graaf, H.J. de & Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, terj. Pustaka Grafitipers dan KITLV(Jakarta: Pustaka Grafitipers, cetakan ke-2, 1986).
Gustami, SP., Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara: Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin (Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-5, 2004).
Hardiman, “Academic Art Award #2: Penghargaan untuk Para Pembaharu”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Vol. 5, No. 29, Februari – Maret 2009).
Hartono, Yusuf Susilo, “Peranakan “Merah Putih””, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Maret – April 2012).
Hermanu, Pikat: Pameran Iklan Cetak Generasi Ke-2 (Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta, 2006).
Kemper, A.J. Bernet, Ancient Indonesia Art (Amsterdam: C.P.J. Van Der Peet, 1959).
Lombard, Denys Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-4. 2008).
Man, John, The Terracotta Army: Kisah Misterius tentang Pasukan Penjaga Makam Keramat Kaisar Pertama China (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011).
Mastuti, Woro, “Rupa Wayang Kulit China-Jawa”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Februari 2011).
Menzies, Gavin, 1421 Saat China Menemukan Dunia (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007).
Prasetyo, Anindito, Batik Karya Agung Warisan Budaya Dunia (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2010).
Prasetyo, Wiwid, Cheng Ho Sang Laksamana Muslim dari Negeri Seberang (Yogyakarta: Diva Press, 2011).
Pudjiachirusanto, E., “Keraton Kasepuhan Cirebon Ketika ‘Bouroq’ dan Burung Hong Bercumbu”, dalam majalah Warisan Indonesia (Bekasi: Media Widya Delasiga, Vol. I, No. 08, 15 Agustus – 15 September 2011).
Raharjo, Edwin, “Dunia Seni Rupa China”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Agustus – September 2006).
Setiawan, Melani, “Biennale, Modernisme, Tradisi, dan Promosi yang Mencengangkan”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Desember 2005 – Januari 2006).
Siregar, Aminudin TH., “Seni Rupa China: Fenomena atau Trend?”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Agustus – September 2006).
Soedarso, Sp., “Seni Rupa Indonesia dalam Masa Prasejarah”, dalam Mochtar Kusuma-Atmadja, et al.,ed. Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah hingga Masa Kini (Jakarta: Panitia Pameran KIAS, 1990-1991).
Soedarsono, R. M., Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cetakan ke-2, 2010).
Soekmono, R., Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1 (Yogyakarta: Kanisius, edisi ke-3, cetakan ke-28, 2012).
__________, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (Yogyakarta: Kanisius, edisi ke-3, cetakan ke-26, 2010).
__________, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (Yogyakarta: Kanisius, edisi ke-3, cetakan ke-23, 2012).
Soetriyono, Eddy, “Borobudur dan Porselin China Kuno”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: April – Mei 2006).
Sudiyati, Noor, “Keramik Cina Menguak Peradaban Manusia”, dalam Jurnal Seni Rupa dan Desain Ars (Yogyakarta: FSR ISI Yogyakarta, No. 10, Januari – April 2009).
Sunaryo, Aryo, Ornamen Nusantara Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia (Semarang: Dahara Prize, 2009).
Susanto, Handoyo, “Berburu Keramik China”, dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts (Jakarta: Vol. 6, No. 33, Oktober – November 2009).
T., Agus Dermawan, Contemporary and Modern Art Evening Sale (Singapura: Borobudur Aution & Larasati Auctioneers, 2012).
Taniputra, Ivan, History of China (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008).
Yudoseputo, Wiyoso, “Pengaruh Cina dalam Seni Indonesia”, dalam Hilda Soematri, Indonesia Heritage: Seni Rupa (Jakarta: Grolier International, 2002).
—————————–
*PENULIS
Deni Junaedi adalah dosen Estetika dan Sejarah Seni Rupa Indonesia di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta maupun Modern School of Design (MSD) Yogykarta. Pria kelahiran Sukorejo Kendal 21 Juni 1973 ini juga aktif sebagai wartawan majalah Visual Art dan pernah mengelola majalah Makna Media Para Perupa. Tulisan yang dihasilkan berbentuk penelitian, publikasi ilmiah, buku, buku ajar, makalah seminar, maupun opini lepas di media massa. Selain itu, ia juga mengikuti berbagai pameran seni rupa, antara lain digelar di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Semarang, Bali, Budapest, Eger, Portugal, Singapura, Hongkong, Tokyo, dan New York. Penghargaan yang pernah diraih antara lain adalah Point Tertinggi Pameran Kartu Pos Indonesia-Jepang tahun 1997; Pemenang Kompetisi Seni Lukis Total Indonesie-YSRI 2000; Nominator Indofood Art Awards 2003; Nominator Jakarta Art Award 2008; dan Nominator Indonesia Art Award 2010. Kegiatan yang pernah diketuai, antara lain, Pameran Besar Seni Rupa FSR ISI Yogyakarta The Highlight 2008 dan Pasar Seni FKY XV 2003.
Alamat: Bekelan RT.2 DK.II Kersan Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta Indonesia 55181; telp.: +6281392976723, email: [email protected] dan [email protected].
Baca : BENTANGAN BUDAYA VISUAL TIONGHOA Sejak Prasejarah hingga Kontemporer (1)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa