Budaya-Tionghoa.net|Saya dan seorang kolega, mengadakan kunjungan ke kota Ketapang, Kalimantan Barat. Siang hari kami mengadakan sarasehan bagi murid-murid di sebuah sekolah; malamnya kami bertemu orangtua siswa di sebuah rumah makan. Kami menyiapkan dua meja. Awalnya kami ragu, berapa orang yang bakal datang. Tapi syukurlah, tak lama kemudian satu persatu orangtua mulai berdatangan; kadang ada yang berpasangan. Dalam waktu setengah jam, dua meja terisi sudah. Hidangan pun mulai disajikan. Ada ca kailan muda, udang bago bakar, cumi asam manis, kangkung asap, dan ikan tim jelawat. Usai bersantap, saya mulai bicara di depan, mengenalkan diri dan sekolah yang saya wakili, orangtua duduk mendengarkan. Acara berlangsung baik dan lancar. Makan malam menjadi ajang silaturahmi, saling berkenalan, saling menjajagi.
Malam sebelumnya, kami sempat diundang ke rumah salah seorang tokoh yang kebetulan memiliki relasi bisnis dengan saya.
“Suka durian kah?,” tanya si tokoh.
Saya mengangguk. Dan kami langsung diantar seorang teman ke rumah si tokoh, sementara si tokoh keluar mencari durian. Kami tiba di rumah si tokoh, ternyata masih lengang. Si tokoh belum sampai ke rumah. Kami keluar lagi, berputar keliling kota, yang dalam waktu lima belas menit telah selesai dikitari. Saat kami kembali, si tokoh sudah di rumah, siap dengan dua puluhan durian seukuran buah kelapa; tergeletak di teras belakang.
“Ini durian Sempadi….,” jelas si tokoh sambil membuka durian dengan mudahnya menggunakan parang tajam. Dan kami pun mulai menikmati buah durian Ketapang masak pohon, yang kini tersaji dan terbelah. Bau harum durian matang menelisik olfaktori rongga hidung. Satu buah durian Sempadi masak pohon, perlahan meluncur anggun, dikulum mulut yang kadung berliur. Bagaimana rasanya? Duh! Ya Allah Gusti! – manis, legit, pulen, sedikit pahit; persis malam pertama. Uenak pisan. Pongge demi pongge, tak terasa berpindah ke perut kami.
“Ayooo…, tambah lagi…,” ujar tuan rumah.
Dan kami pun kembali menjumput buah terlegit di dunia yang terasa lembut di tangan. Sesekali kami menjilati jari-jari yang belepotan sisa daging durian; klamut, klamut, klamut – haojek!
Pagi ini saya akan balik ke Semarang. Dari hotel saya dijemput seorang kolega menuju ke airport. Saya minta dijemput awal. Saya pengin makan bakmi Cesong yang konon kesohor.
“Tapi jam segini bakmi Cesong belum buka, Pak…,” ujar kolega saya saat tiba.
Belum sempat saya jawab, ia melanjutkan, “Makan kwe cap mau, Pak?”
Saya mengangguk. Ok, sembarang – apa saja, asal bukan fast-food.
Kami sampai di sebuah pasar. Suara burung walet nyaring terdengar disana sini. Ini memang ciri khas kota Ketapang. Hampir semua bangunan berbentuk ruko, berderet di sepanjang jalan. Lantai satu untuk toko, lantai dua untuk rumah walet.
“Ini pasar Kayong, Pak.”
Saya mengangguk, lalu mengikuti kolega saya turun dari mobil. Sisa-sisa spanduk ucapan Capgomeh dari caleg-caleg berbagai parpol, nampak bertebaran di beberapa sudut. Saya perhatikan, spanduk caleg Tionghoa maupun Melayu, semuanya bernuansa merah; dan semua caleg – memakai cheongsam! Hmm…
Kolega saya langsung menuju ke sebuah warung makan di seberang jalan. Nampak kertas cetakan komputer bertuliskan: ‘Kwe Cap’ dan ‘Kwe Kia Theng’, menempel di balik etalase kaca. Saat hendak mencari tempat duduk, tiba-tiba seseorang memanggil nama saya. Saya menoleh. Seorang pria berkaos krah putih, bercelana bermuda tiga-perempat abu-abu, datang mendekat.
“Saya yang datang semalam, Pak…,” ujar si pria, tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya.
Saya menyambut ulurannya sambil balik tersenyum. Saya ingat wajah si Engkoh ini.
“Ayo ciak kopi disana,” ajak si Engkoh menuding ke kerumunan orang di warung sebelah. Saya mengikuti dari belakang. Saya dikenalkan dengan teman-teman si Engkoh.
“Kami biasa nongkrong disini…, tiap pagi…,” ujar si Engkoh.
Saya mengangguk, lalu ikut duduk. Saya pesan kopi-oh, kopi item. Belum juga kopi datang, kami harus pindah. Nampaknya ada aturan tak tertulis. Kopi boleh pindah warung, kwe cap tak boleh.
Sambil duduk menunggu kwe cap dan kwe kia theng, entah itu isinya apa, kami mulai kongkow. Ternyata si Engkoh ini juga aktif mengurus kelenteng satu-satunya di kota Ketapang.
“Kelenteng Toa Pek Kong…,” ujar si Engkoh sambil menyeruput kwe cap yang baru datang. Saya mengangguk dan ikut menyeruput kwe cap yang berupa sup bening, isinya seperti irisan rambak bewarna coklat muda. Rasanya haojek juga. Kemudian kwe kia theng datang. Kwe kia theng agak lain – berisi jeroan dengan kuah bewarna coklat tua seperti kecap. Wah, wah, kolesterol bakal nambah sekian poin, nih. Hehehe.
Usai makan yang dibayari si Engkoh, kami berjalan menuju ke sebuah ruko yang bagian depannya dipenuhi jajan pasar.
“Pesawatnya jam berapa?,” tanya si Engkoh.
“Jam delapan empat lima..,” jawab saya.
“Masih lama…, beli cakwe dulu ya…?,” tawar si Engkoh.
Saya mengangguk sambil melirik arloji – masih jam delapan kurang seperempat.
Si Engkoh sibuk menuding dan memilih cakwe. Ada yang lebar, ada yang berbentuk memanjang seperti lilin.
“Mau hekeng*, ya?”
Saya mengangguk.
“Coba ale ale*, ya?”
Saya mengangguk lagi. Dalam kondisi seperti ini, pasrah ada pilihan paling mulia.
Dari pasar, saya menyempatkan diri menuju kelenteng Toa Pek Kong.
“Masih ada waktu…,” ujar si Engkoh pede.
Saya melirik arloji – jam delapan kurang lima menit. Wokey, you’re the boss! Ketapang kota kecil, kemana-mana dekat. Tak ada macet.
Kami sampai di kelenteng dalam hitungan menit. Ternyata nama kelentengnya bukan ‘Toa Pek Kong’, melainkan ‘Tua Pek Kong’; pakai ‘u’. Saya masuk dan sembahyang tanpa hio, bersoja dan menunduk. Kemanapun saya pergi, saya memang selalu berusaha mampir ke sebuah kelenteng. Bukan untuk apa, hanya mau lapor dan pamitan. Itu saja. Sebelum ke airport, saya menyempatkan diri berfoto di depan patung Dewi Kwan Im setinggi, mungkin, tiga meteran, dengan si Engkoh.
Saya sudah duduk di ruang tunggu bandara Rahadi Oesman. Pesawat ditunda satu jam. Hmm… Saya mengaduk-aduk isi tas rotan, yang barusan saya beli tadi di bandara, untuk membawa segebung ‘oleh-oleh’ dadakan yang dibelikan si Engkoh. Saya mengeluarkan sebuah cakwe dan mulai mengunyah. Hmm…, enak juga.
Seorang bapak tua duduk di sebelah saya; tersenyum. Saya balik tersenyum, lalu mengambil sebuah cakwe. Saya tawarkan kepada si Bapak, yang segera menerimanya dengan senang hati. Berdua, sambil menunggu datangnya pesawat, kami mengunyah keramahan khas Ketapang yang terasa manis, gurih, hangat, lembut dan pulen.
Pebruari, 2014
*hekeng: kekian
*ale ale: daging kerang yang diasinkan
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa