Budaya-Tionghoa.net |
CATATAN ADMIN : paper yang dibawakan pada Seminar dan gathering milis Budaya Tionghoa di Bandung tanggal 22 Febuari 2014.
Ekspresi Kekerasan Pada Masyarakat Tionghoa di Indonesia dalam Bahasa
Perubahan Positif dan Tantangannya
Setelah era reformasi, ada pekembangan positif dan terbuka yang membentuk “kesadaran baru dalam berelasi“ bagi masyarakat Tionghoa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Gambaran positif itu diwakili dengan dicabutnya Instruksi Presiden no. 14 tahun 1967 tentang pelarangan ekspresi kebudayaan Cina di ruang publik oleh keputusan Presiden no 6 tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Tidak lama setelah itu, diterbitkan pula UU Kewarganegaraan Indonesia No 12 tahun 2006, yang menjamin suasana kondusif bagi kesetaraan warga Tionghoa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya itu, berbagai fenomena muncul mengikuti “kesadaran baru” itu, seperti adanya kebangkitan Agama Khonghucu, banyaknya penerbitan buku dan tulisan mengenai kebudayaan Tiongkok, banyaknya penampilan barongsai dan tarian singa/ naga di berbagai kota, keterbukaan pada peluang belajar dan penggunaan bahasa Mandarin yang semakin besar, dan sebagainya.[1]
Akan tetapi, gambaran positif itu belum sepenuhnya ideal. Kekerasan pada masyarakat Tionghoa di Indonesia masih dirasakan muncul dalam percik-percik tindakan kekerasan secara parsial. Bukti mengenai hal itu dapat diamati pada momen pemilihan kepala daerah/ presiden masih dinilai diskriminatif. Apakah gerakan ke arah positif itu belum dilakukan sepenuh hati sehingga masih menyisakan peluang akan kekerasan? Jika ya, apakah motivasi yang menggerakkannya dan bagaimana kekerasan itu bekerja?
Kekerasan sebagai Konstruksi Manusia dalam Sejarah
Sejarah pembentukan identitas orang di Indonesia diwarnai oleh berbagai peristiwa kekerasan. Fakta menunjukkan bahwa ada pola kekerasan yang terus menerus dan berulang dalam sejarah panjang orang Tionghoa di Indonesia. Uniknya, kekerasan ini tersebar di mana-mana dan tampil dalam berbagai ragam bentuknya, dan melibatkan berbagai pihak. Kekerasan dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari pelaku terhadap korban, korban terhadap pelaku, maupun sesama pelaku atau korban. Kekerasan dilakukan antara kaum “pribumi” terhadap “non-pribumi” (dan sebaliknya), juga di antara sesama kaum “pribumi” maupun “non-pribumi”.
Fakta tersebut bukanlah suatu kebetulan sejarah. Paul Ricoeur, seorang filsuf Perancis, menyelidiki tema kekerasan dalam kaitannya dengan sejarah manusia. Dalam bukunya yang berjudul History of Truth, Ricoeur menyatakan bahwa sejarah hidup manusia adalah sejarah yang senantiasa diwarnai kekerasan.[2]Kekerasan dapat terjadi kapanpun dan di manapun sepanjang hidup manusia. Oleh karenanya, mengamati kekerasan dapat dilakukan dengan mengamati berbagai peristiwa konkret dalam sejarah, misalnya seperti jatuh bangunnya suatu kerajaan, perpecahan antaragama, permainan kekuasaan politis, kepemilikan properti, konspirasi intelektual, dan sebagainya.
Ricoeur masuk ke dalam pertanyaan reflektif: mengapa kekerasan atau teror senantiasa ada dalam sejarah? Ricoeur berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan itu lewat pengamatannya terhadap fisiologi kekerasan pada anatomi perang. Dari situ, ia menemukan bahwa ternyata ada keterlibatan manusia pada sejarah panjang teror kehidupan. Manusia berperan aktif bagi keberlangsungan kekerasan dalam sejarah.
Ricoeur berpendapat bahwa kekerasan bersifat intensional. Kekerasan tidak muncul begitu saja tanpa alasan, tetapi dilakukan manusia secara sadar dan sengaja. Artinya, kekerasan mensyaratkan adanya alasan rasional manusia yang mendasarinya. Bagi Ricoeur, kekerasan terjadi karena intensi untuk membunuh.[3]Ia menggambarkan bagaimana dalam suatu peristiwa kemarahan, seseorang dapat menemukan alasan rasional untuk membunuh saudaranya sendiri, dan akhirnya ia membunuhnya. Kekerasan adalah bentuk penghilangan atau pendegradasian martabat manusia, dengan logika dasar yang bekerja di dalamnya ialah negativitas: “kehendak untuk mengeliminasi atau meniadakan yang lain”. Dengan kata lain, Ricoeur menegaskan bahwa kekerasan tidak lepas dari soal tataran kesadaran manusia yang melandasinya. Kekerasan adalah konstruksi manusia dalam sejarah, yang dibangun dan dilestarikan oleh pikiran manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, perkara kekerasan bukanlah sekadar perkara fenomenologis (tampak di permukaan), tetapi juga perkara epistemologis. Berbicara kekerasan bukan hanya berbicara tindakan kekerasan berikut efek-efeknya yang kelihatan langsung, tetapi juga apa yang bekerja secara laten di baliknya, yaitu rasionalitas kita. Galtung mengatakan bahwa kekerasan langsung (misalnya pembunuhan, penganiayaan) pada hakekatnya dilegitimasi oleh kekerasan struktural (yakni mekanisme tidak setara dalam struktur sosial yang membuat adanya dominasi pihak superior terhadap inferior). Sementara itu, kekerasan struktural dilegitimasi oleh kerangka pikir tertentu (yang tersembunyi dalam ideologi, seni, agama, bahasa, sains) sehingga dapat muncul sebagai kekerasan kultural, yang sifatnya permanen, berulang, dan seakan-akan dibenarkan dalam sejarah.[4] Kekerasan menjadi kekerasan paradigmatis, sehingga mempelajari kekerasan berarti juga mempelajari paradigma berpikir yang melandasinya.
Kekerasan bekerja Secara Legitim dalam Institusi-Institusi
Menurut teori identitas sosial, identitas masyarakat dibangun dari proses kategorisasi sosial. Di dalam proses tersebut ada kegiatan memilah (segregasi) sosial ke dalam dua kutub: ingroup (anggota internal dalam kelompok) dan outgroup (anggota kelompok lain). Namun, efek dari pengkategorisasian itu secara ekstrem adalah adanya kecenderungan untuk mempersepsi ingroup secara positif sekaligus outgroup secara negatif. Proses ini disebut stereotipesasi. Solidaritas dan rasa bersatu terbentuk dalam ingroup karena kesamaan (perasaan senasib, sepenanggungan, pengalaman, pekerajaan dll.), yang membuat setiap individu di dalamnya merasa nyaman dan aman. Absolutisme pembedaan itu memunculkan kecenderungan favoritisme pada nilai-nilai dalam kelompok sendiri, dan perendahan kepada kelompok lainnya.[5] Absolutisme dan fanatisme atas pembedaan ini secara ekstrem dapat memunculkan konflik atau kekerasan.
Baik Arendt maupun Ricoeur menegaskan bahwa institusi-institusi, khususnya negara, dapat melegitimasi dan menghidupkan terus menerus kategorisasi ingroup-outgroup ini. Lewat mekanisme institusional, orang Tionghoa diposisikan sebagai economic middleman pada era kolonial. Orang Tionghoa dijadikan “tameng” penjajah dalam mengeksploitasi sumber daya negara kita. Pola yang sama, di era Orde Baru, orang Tionghoa menjadi “tameng” pelanggengan kekuasaan.
Negara bukan sekadar menjalankan fungsi administratif, tetapi juga menjadi tempat terkonsentrasinya dan terlegitimasinya kekerasan, kata Ricoeur maupun Arendt. Bentuk yang paling konkret dari kekerasan yang dilegitimasi itu adalah perang. Negara merupakan momen di mana perang dapat terjadi, yakni dua kedaulatan yang bertemu saling menghabisi dan meniadakan satu sama lain habis-habisan, sedemikian rupa sehingga hanya ada satu entitas saja yang bisa eksis.[6]
Kekerasan itu bisa beroperasi dengan ciri-ciri menghukum/ penal, kata Ricoeur,[7] yakni lewat aturan-aturan yang memaksa dan menundukkan atau membuat patuh. Lebih luas lagi, kekerasan dapat hadir melalui kekuasaan yang bekerja dalam institusi-institusi yang sifatnya menormalkan, mendisiplinkan, atau membuat tubuh menjadi patuh, seperti aturan-aturan, sains, administrasi, sistem perdagangan, pendidikan, rumah sakit, penjara, dst, sebagaimana digagas Foucault.[8]
[1]Ju-Lan, 2010: 1-23.
[2]Ricoeur 1965: 5.
[3]Ricoeur, 1965: 227.
[4]Galtung, 1990: 291.
[5]Afif, 2012: 27.
[6]Ricoeur, 1965: 241, bdk. Arendt, 1972:113-115.
[7]Ibid: 234.
[8]Foucault, 1977: 135-194.