Pembelajaran dan Berlatih Sebagai sarana untuk keutamaan
“Do No Harm Yourself and the Others”
By: Ardian Zhang
Kenapa orang beragama masih melakukan korupsi, padahal semua agama mengajarkan moral? Jawaban yang paling klasik adalah karena dosa, lobha, dan moha, dan saat ini agama lebih banyak hanya sekedar label belaka. Korupsi berasal dari kata “corrupt” yg artinya busuk, korupsi tidak hanya terbatas pada materi tetapi juga bisa hal lain, misalnya rapat yang molor karena diisi dengan ngobrol yang tidak jelas .
Kenapa manusia bisa melakukan korupsi dan tindakan lainnya? Sebabnya adalah krisis identitas, identitas hanya label, agama hanya sekedar label, karena keturunan, atau hanya ikut-ikut an. Saat ini banyak anak bersekolah karena dipaksa, bukan karena pengertian bahwa sekolah untuk bisa hidup dengan baik. Sebagai orang tua yang mempunyai anak berarti tumbuh besar bersama dengan anaknya, matang bersama dengan anak dan tidak tebentuk gap generation. Apabila hal ini terjadi, maka anak dengan sendirinya akan memiliki pemaknaan hidup, dia akan berbakti tanpa disuruh, dan yang terpenting dia tidak korup. Pemaknaan akan hidup harus dimulai dari diri sendiri. Konsumerisme dan Hedonisme dijadikan sebagai gaya hidup. Korupsi Indonesia dilakukan untuk mempertahankan posisi nya. Apakah ini disebabkan karena kebutuhan yang tidak terpenuhi? Atau memang manusia pada prinsipnya jahat?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada pendapat yang berbeda dari beberapa filsuf Tiongkok. Mang Zi berpendapat bahwa manusia pada prinsipnya baik, Xun Zi berpendapat sebaliknya (manusia pada prinsipnya jahat), Sementara Yang Zi berpendapat pada dasarnya manusia itu campuran antara baik dan jahat. Semua pendapat di atas benar. Semua orang butuh makan tiap hari, dan rakyat ( masyarakat ) mengutamakan makanan ( kebutuhan hakiki ) yang terutama. Kebutuhan manusia yang paling utama mencakup makanan, tempat tinggal, pakaian, sembuh, sehat, seksual. Ini semua berjalan dengan dorongan/ insting yang paling mendasar yaitu mempertahankan hidup dan melanjutkan keturunan. Bahkan ajaran Ru menyebutkan “tidak memiliki keturunan sama halnya dengan tidak berbakti”.
Maslow mengelompokkan kebutuhan manusia menjadi 5 kelompok yg tersusun seperti piramida. Kelompok pertama sebagai dasarnya adalah kebutuhan fisik ( bernafas, makanan, air, tidur). Diatasnya, kelompok ke dua adalah kebutuhan akan rasa aman, aman dari kekerasan, aman dari penyakit, dan sebagainya. Kebutuhan akan rasa aman ini seringkali menjadi satu obsesi, bahkan sampai tingkat menghalalkan segala cara untuk sekedar membeli rasa aman ini. Setingkat di atasnya (kelompok ke 3 ) adalah kebutuhan untuk dicintai, termasuk didalamnya adalah kasih sayang dalam hubungan pertemanan, keluarga dan pasangan hidup. Saat seseorang merasa tidak dicintai, dia akan merasa kesepian bahkan mengalami stress, yang sering terjadi, supaya dia dicintai dia akan menunjukkan kelebihannya, narsis. Dalam upaya untuk dicintai ini ada peluang besar untuknya melakukan suatu korupsi. Yang termasuk kelompok ke 4 adalah kebutuhan akan penghargaan, rasa percaya diri, pengakuan, rasa hormat dari dan ke oranglain. Untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain ini seringkali seseorang “membeli”penghargaan dari luar, contohnya dengan membeli dan memakai barang-barang bermerek terkenal/ barang import. Di puncak piramida ini adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri ( moralitas, kreativitas, spontanitas, penyelesaian masalah, menerima kenyataan). Aktualisasi diri ini baru bisa dilakukan apabila kebutuhan yang lain sudah terpenuhi. Piramida kebutuhan ini mencakup segala aspek kehidupan. Sebagai contoh, seorang anak yang ketika bertumbuh orang tuanya tidak bisa mencukupi kebutuhannya -bukan sekedar pendidikan moral dan rasa dicintai, namun juga aktualisasi diri-, maka ketika dewasa dia akan mencari pemenuhan kebutuhannya tersebut dengan segala cara. Kebutuhan manusia juga berubah sejalan dengan perubahan jaman, bila dahulu lebutuhan utama adalah sandang-pangan-papan, maka saat ini kebutuhan untuk mengakses dunia maya menjadi yang utama.
Menurut konsep Tiongkok, rasa aman yang terutama (天下太平 ) baru diikuti oleh keperluan lainnya. Rasa aman itu penting dan masyarakat sendirilah yang wajib menjaga rasa aman tersebut. Jika rakyat sudah tercukupi maka negara akan mulai bisa damai dan kewajiban negara itu mencukupi apa yang diperlukan oleh rakyatnya. Pada jaman purba, ketika orang-orang mulai berkumpul dan membentuk satu komunitas, maka mereka butuh satu jaminan keamanan berupa norma dan etika. Untuk menjamin semua keperluan itu maka dibuatlah seperangkat hukum. Hukum ini terus berkembang dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Hukum dalam masyarakat biasa ditemukan dalam 2 bentuk. Bentuk yang pertama adalah tanda-tanda yang bersifat jelas, contoh nya adalah rambu lalu lintas. Bentuk yang kedua berupa tanda pengulangan, contoh yang sering ditemukan adalah dalam bentuk simbol. Simbol yang sering kita lihat adalah dalam bentuk rupang. Sebagai contoh Dewa Kota, setiap tahun pejabat kota harus membuat 2 buah laporan, satu untuk atasannya yang lain untuk dilaporkan kepada Dewa Kota dengan cara dibakar. Ini digunakan sebagai kontrol moralitas sang pejabat, karena dalam kepercayaan orang Tionghoa, sesudah seseoang meninggal dia harus menghadap dewa kota.
Dengan adanya aturan-aturan inipun, masih banyak korupsi yang terjadi d sekitar kita. Ini disebabkan karena orang sekarang cenderung bersikap egois. Egoisme ini ironisnya diupuk oleh kebiasaaan yang salah kaprah. Contoh yang paling sederhana adalah kebiasaan saat menancapkan Hio, yang kita alami adalah orang cenderung untuk menancapkan hio d tempat paling depan tanpa memikirkan orang yang sembahyang sesudahnya. Akibatnya orang yang mendapat giliran belakangan harus berjibaku untuk dapat menancapkan Hio miliknya, kebiasaan seperti ini secara tidak sadar mendidik orang untuk tidak memikirkan orang lain. Semestinya saat menancapkan hio, mulailah dari bagian terdalam dari Hiolo, sehingga orang yang terakhirpun dapat menancapkan hio dengan baik.
Sementara orang mementingkan ritual. Ritual sebenarnya bukannya dilakukan dengan tanpa memiliki tujuan. Ritual dilakukan dalam upaya melatih diri untuk tetib, menjaga dimana tempat seharusnya. Selain itu ritual juga merupakan sarana kita untuk belajar menghargai satu sama lain, mengayomi mereka yang memerlukan dan berlatih untuk dapat bekerja sama dengan orang lain. Jika dengan melaksanakan ritual tidak menjadi sarana pelatihan hal-hal tersebut, maka omong kosong jika ada yang berkata bahwa ritual adalah spiritualitas dan yang transeden. Keberadaan altar Leluhur dan rumah abu juga memiliki fungsi sebagai sarana berlatih terutama dalam menghormati orang tua/ leluhur. Seperti tertulis di Liji neize 禮記 內則 ( Kitab Susila, Aturan Keluarga ) yang berbunyi “Walau orangtua sudah tiada, ketika akan melakukan kebajikan, pikirkanlah akan mengharumkan nama orangtua, wajib dikerjakan. Ketika melakukan kejahatan, pikirkanlah akan membuat orangtua tercoreng, jangan lakukan” (父母雖没,將為善,思貽父母令名,必果。將為不善,思貽父母羞辱,必不果。). Tetapi pada kenyataannya, sekarang hanya sekedar label.
Klenteng menjadi tempat untuk membangun karakter, karena setiap hal yang dilakukan sebenarnya memiliki makna tersirat yang sayangnya tidak banyak yang mau mengerti. Mulai saat kita melangkah masuk melalui pintu, masuk dari pintu sebelah kiri, dengan kaki kiri dan melangkahi balok yg ada di bagian bawah pintu juga posisi saat sembahyang. Cara menancapkan dupa juga memiliki makna tersendiri. Menancapkan hio ke hiolo yang melambangkan dunia dengan menggunakan tangan kiri yg melambangkan kebajikan, dengan kata lain melambangkan menanamkan kebajikan di dunia. Selain itu masih banyak lagi yang lainnya. Semua hal ini sebenarnya merupakan suatu pengajaran, baik dengan kata maupun tanpa kata yang bertujuan membangun karakter yang baik daari seseorang, karena bila karakter yang baik tidak terbentuk maka jangan harap bisa mendidik orang lain. Rupang yang selalu kita temui di dalam klenteng juga merupakan suatu yang bersifat rohaniah yang membadan dalam material. Dia berisi simbol, tanda, dan bahasa yang berisi wawasan, visi/ pandangan, dan keinginan. Rupang juga melambangkan sesuatu yang bersifat spirit dan adikodrati. Sebagai contoh, rupang Kwan Kong melambangkan karakter jujur dan tidak gampang disogok. Sementara gambar Kwan Im yang menggendong anak melambangkan kasih ibu kepada anaknya, saat ada gambar ini di rumah seseorang ini sebagai pengingat bagi orang tua harus welas asih kepada anaknya. Ini menunjukkan bahwa ketika kita menghormati pada satu rupang, kita harus memperhatikan symbol dan makna yang sebenarnya, bukan sekedar “pai” saja. Dengan melihat rupang artinya adalah pengulangan tanda yang memiliki makna dan harus menyadari makna-maknanya, membaca keng juga merupakan suatu cara untuk mengulang makna.
Bagaimana cara kita berbuat baik? Menurut ajaran para Buddha, jangan berbuat jahat, berbuat baik, sucikan pikiran. “membina diri menentramkan rakyat (修 己以安百姓)“ Kong Zi menegaskan, seorang junzi selalu melatih diri dan menjaga pikiran dan batin, berlaku sungguh-sungguh ( 修己以敬), arti “ Jing” ( 敬 ) adalah sungguh-sungguh, dilakukan dengan hormat, dan arti Xiū(修) adalah membina diri, memperbaiki diri.
Kata militer atau beladiri “Wǔ” (武) secara etimologi dari kata “Zhǐ” (止) dan ” gē” (戈). Militer bukan berarti kekerasan. Dalam kosmologi Tiongkok, sipil lebih “tinggi” dari militer tapi tanpa adanya militer, artinya sipil lemah dan tidak bisa apa-apa. Tapi dalam prakteknya sipil bisa memporakporandakan negara dan militer juga bisa melakukan hal yang sama. Kadang diperlukan kritik terhadap yang terjadi di masyarakat tapi bukan berarti si pengkritik itu HARUS diadili dan dimusuhi. Pengkritik juga harus menguasai materi. Xun Zi berkata “Penegakan hukum demi membangun masyarakat yang tertib dan aman”. Untuk itu diperlukan penegakan hukum. Hukum memiliki makna yang tegas dan bersifat tidak berpihak/ tidak berperasaan. Dalam penegakan hukum, keadilan adalah yang utama tidak melukai dengan tetap memegang Sila/tatanan/aturan.
Kebajikan “Dé” 德 ada dua macam: 上德 ( kebajikan yang terutama ) dan 下德 ( kebajikan umum ). Kebajikan umum biasanya merupakan reward and punishment, ini berproses secara bertahap sejak kecil. Kebajikan terutama melampaui reward and punishment. Langkah-langkahnya bertahap ( hampir mustahil orang bisa melompati langkah-langkah itu ), mulai dari diri, keluarga, lingkungan, negara dan dunia. 3 hal yang tidak lapuk ( 三不朽) dalam dunia ini yang pertama “membangun kata/ucapan 立言” contohnya membuat aturan, memberi ajaran, dan memegang teguh omongan. Yang kedua “membangun jasa立功” contohnya membangun jembatan dan amal keamanan. Yang ketiga “membangun Kebajikan立德” contohnya hal-hal yang bersifat budi pekerti. Kong Zi berkata “Yang tidak sesuai dengan etika, jangan didengar, dilihat, dikatakan dan dilakukan” dan “Apa yang tidak ingin orang lain lakukan padamu jangan kau timpakan pada orang lain”.
Makhluk memiliki perasaan, di seharusnya bisa memilah. Kemampuan ini didapat melalui pelajaran budi pekerti, etika, norma, bisa juga didapat dengan melihat simbol-simbol dan maknanya yang bertebaran di sekeliling kita. Intinya adalah keseimbangan ( Yang Zi ) dan untuk itu perlunya tahapan-tahapan yang berkesinambungan, dimulai dari kata “Tidak Melakukan Hal Yang Buruk”. Ada perbadaan yang nyata antara “Suciwan” dan manusia. Para suciwan sudah jelas tidak akan berbuat jahat lagi. Manusia berteriak untuk mengajak berbuat welas asih, kebajikan tapi lupa dasar untuk itu adalah” tidak berbuat jahat” terlebih dahulu. Para Suciwan sudah bisa memaknai hidupnya baik saat ada di bumi ini maupun sudah tidak ada sementara manusia masih menggunakan identitas tanpa memaknai identitasnya itu. Ketika seseorang tidak mampu memaknai identitasnya yang terjadi adalah menganggap klenteng sebagai tempat perlindungan dari perbuatan jahat yang dia lakukan. Membangun sistem barter dengan “makhluk adikodrati”, bahkan membudaki “makhluk adikodrati” tersebut. Juga tidak merasa malu dan bersalah bahkan ketika pergi ke Klenteng stelah melakukan tindakan korupsi. Layaknya pelanggar rambu lalu lintas yang merasa takut saat ada polisi, begitu juga takut saat melihat yang “adikodrati”, dan akhirnya terjebak pada “spiritualitas syndrome”. Sebaliknya ketika seseorang telah mampu memaknai hidupnya adalah seseorang yang sudah bisa mengaktualisasi dirinya, dia dapat menikmati apa yang dia lakukan sepenuhnya seperti seorang anak kecil yang bermain.
Hidup di dunia selayaknya menyeberang lautan dan kita semua adalah penumpangnya. Agar bisa mencapai pantai seberang maka diperlukan seperangkat aturan agar kapal itu bisa berjalan dengan baik dan benar tanpa ada kekacauan dalam kapal itu. Untuk itu diperlukan latihan untuk tidak berbuat jahat dengan spontanitas dan juga buat baik dengan spontanitas. Berhenti merasa tidak puas karena bisa berhenti dari rasa tidak puas adalah kebahagiaan yang terunggul (知足常樂 ). Manusia pada dasarnya tidak mengenal rasa puas, kebutuhannya selalu bertambah karena adanya kekurangan yang menjadi pemicu dirinya untuk selalu mengejar dan membuat dirinya terperangkap dalam “kebodohan”. Menjadikan identitas diri sebagai makna hidup bukan sekedar label dalam masyarakat. Caranya dengan memulai dari “Do No Harm Yourself and the Others” 不害自己與他人 dengan cara patuh pada aturan.
Pengertian dao 盜 ( diambil dari Kitab Taiping Jing /太平經) bukanlah merampok dalam pengertian sekarang ini tapi mengandung pengertian “mengambil”. Jika sesuatu “mengambil” melebihi batasnya, maka bagaikan busur yang ditarik semakin menjauh maka busur itu akan patah. Segala sesuatu di dunia ini tidak lepas dari masalah 盜. Segala sesuatu dalam dunia ini terkait dalam jaring-jaring tersembunyi 德. Tiada yang tidak memiliki keterkaitannya itu. 1000 tangan 1000 mata saling bantu, saling melihat dan mengawasi, saling mencegah adanya yang tidak “baik”. Menyadari adanya keterkaitannya itu maka semua perbuatan baik kita tidak lagi terkait pada hadiah dan hukuman lagi. Tidak lagi seperti keledai yang berjalan karena ada wortel di depannya.
Dalam beramal/sedekah kita mengenal adanya sedekah dalam hal tenaga, amal berupa tenaga ini termasuk kedalam amal materi. Ini disebabkan karena walaupun kita menyumbangkan tenaga kta, namun tenaga ini sebagai akibat dari penggunaan hasil materi yang kita pakai untuk hidup. Kita sering mendengar kalimat “cucilah hartamu dan bersedekahlah”, kalimat ini dapat dijadikan salah satu alasan untuk melegalkan korupsi, sementara koruptor akan berusaha mencuci dosanya dengan berbagai cara. Ironisnya, kalimat tersebut justru sering diungkapkan oleh kaum agamawan, tidak mengherankan karena institusi agama itu sendiri ditopang dengan materi.
Ketika bersedekah harus dilakukan dengan totalitas. Hanya manusia yang sudah mampu mengaktualisasikan dirinyalah yang bisa bersedekah dengan totalitas. Sebelum sampai tahap tersebut, kita dapat memulai dari memperhatikan orang-orang yang paling dekat dengan kita. Contoh yang paling mudah adalah ketika orang tua sakit, biasanya anaknya akan berusaha supaya orang tuanya sembuh, tetapi pada kejadian yang sama ada kalanya yang terjadi adalah yang sebaliknya ( sang anak berharap supaya orang tuanya segera meninggal). Pada kasus kedua seringkali orang akan menganggap dia sebagai anak yang tidak berbudi padahal setelah dilihat lebih lanjut ternyata dia melakukan hal tersebut dalam upaya mengamankan harta untuk generasi penerusnya. Hanya dengan melihat dua kasus ini kita belajar untuk bersikap netral dalam mengartikan kata bakti tersebut.
Pembentukan karakter sesorang dimulai sejak masih di dalam kandungan ibu, karena itu banyak sekali pantangan yang harus ditaati oleh seorag wanita yang sedang hamil. Sesudah lahir, maka pendidikan 3 tahun pertama menjadi dasar. 3 tahun dasar ini bertujuan membentuk hubungan batin antara orang tua dan anak serta pendidikan moral awal. Pembentukan karakter di sekolah tidak akan maksimal bila 3 tahun dasarnya tidak baik. ini seringkali dilakukan dalam upaya mengamankan harta untuk generasi penerusnya. Kita sejak kecil dibiasakan untuk berdoa, doa yang baik adalah doa yang secara kejiwaan mampu menyiapkan terhadap segala kemungkinan yang terjadi.
Penderitaan manusia, seperti ada dalam diriku Bertekad melepaskan penderitaan, sehingga semua mendapatkan kebahagiaan. 太上虚皇天尊四十九章经 Kitab 49 Bab Taishang Xuhuang Tianzun. Sikap ini bisakah dicapai dengan spontan sejak lahir? Silahkan anda menjawabnya sendiri.
Catatan : Tulisan di atas adalah rangkuman diskusi bertema “Pembelajaran dan Berlatih Sebagai sarana untuk keutamaan” yang dibawakan oleh Ardian Cangianto di Semarang. Rangkuman ini ditulis oleh Ratna Setianingrum.