Penyerbukan Silang Antarbudaya[1]
Aan Rukmana & Eddie Lembong
(Yayasan Nabil, Jakarta)[2]
foto ilustrasi : bing
Pengantar
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, di bulan Oktober 2013 silam Yayasan Nabil mendapatkan undangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk memberikan makalah dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2013 di Yogyakarta. Dalam sejarah Kongres Kebudayaan yang dimulai sejak 1918, baru di kongres yang ke-15 inilah untuk pertama kalinya satu organisasi Tionghoa mendapat kehormatan untuk menyumbangkan pemikirannya di dalam acara penting tersebut.
Untuk itu Nabil sudah mempersiapkan artikel tersendiri mengenai penyerbukan silang antarbudaya yang ditulis langsung oleh penggagasnya (Eddie Lembong) dengan bantuan Aan Rukmana (staf Nabil). Materi presentasi tersebut sengaja disiapkan sebagai materi untuk KKI 2013. Topik Penyerbukan Silang Budaya dibahas dalam sidang komisi 2 pada sesi 3, tanggal 10 Oktober 2013. Acara dilaksanakan di Hotel New Saphir, Yogyakarta dengan dimoderatori oleh seorang budayawan terkemuka, Prof. Edi Sedyawati. Selamat membaca dan semoga membawa manfaat!
Salam hormat,
Sekretariat Yayasan Nabil
Catatan moderator : Paper ini dimuat atas seijin bapak Didik Kwartananda. Kami membagi paper ini menjadi tiga bagian.
Indonesia sudah sepatutnya bangkit mengejar ketertinggalan dari negara-negara lainnya. Berbagai prasyarat kemajuan sudah dimiliki Indonesia. Mulai dari kemajemukan yang beranekaragam yang diikat oleh tali satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Belum lagi berbagai kekayaan yang terdapat di dalamnya, baik kekayaan hayati, flora & fauna serta keindahan alamnya. Maka tidak heran jika Soekarno menyebut Indonesia sebagai “Taman Sari Dunia,” yang di dalamnya berbagai unsur dunia berbaur menjadi satu melukis keindahan kanvas Indonesia. Ditambah lagi bentangan gugusan pulau yang sangat luas, terbentang dari Aceh sampai Papua yang bila dicarikan padanannya hampir mirip dengan jarak antara Paris di Eropa sampai Teheran di Iran.
Apalagi setelah reformasi, di saat terjadi beberapa perombakan signifikan dalam tata kelola kenegaraan kita, seperti pemberlakuan Undang-Undang No 12/2006 tentang Kewarganegaraan yang menunjukan bahwa Indonesia sudah tidak lagi menganut paham etno-nasionalisme yang rasialis, namun sudah senada dengan isi pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang mengadopsi faham nasioanalisme modern, pemberlakuan Undang-Undang No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, implementasi Undang-Undang No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, kesuksesan mereformasi Angkatan Bersenjata yang sekaligus menghilangkan doktrin Dwi Fungsi ABRI, pemberlakuan Undang-Undang No 4/1999 tentang Otonomi Pemerintahan Daerah, pemilihan langsung presiden dan periode kepresidenan yang dibatasi hanya dua periode kepresidenan saja, pendirian Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), persoalan kebebasan pers, kenaikan alokasi biaya pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, kesuksesan swasembada pangan, khususnya beras dan pemahaman mendalam terhadap persoalan lingkungan, maka sudah tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk mundur dan tertinggal jauh dari negara-negara lainnya.[3]
Namun, apa yang terjadi kemudian? Indonesia tetap saja tertinggal! Misalnya dalam bidang kesehatan. Menurut data SUSENAS, masukan makanan sebagaimana diukur dalam kalori per kapita tidak banyak berubah selama bertahun-tahun, tercatat sekitar 2.000 kalori perkapita sehari. Belum lagi gejala stunting (berat badan kurang untuk seorang anak) telah mendekati angka sepertiga dan hampir 36 persen anak dalam kelompok ini memiliki tinggi badan yang kurang. Akibatnya, seorang anak yang kekurangan gizi cenderung lebih mudah sakit dan mengalami kesulitan belajar di sekolah. Hal yang sama terjadi di dunia pendidikan. Seorang guru di Indonesia rata-rata mendapatkan gaji separuh dari gaji sejawatnya yang berprofesi sama di Filipina dan Thailand. Bank Dunia pernah memperkirakan bahwa satu di antara lima guru tidak masuk kerja pada hari-hari tertentu dan banyak di antara mereka yang rajin tidak cukup terlatih untuk mengajar. Dalam laporan International Reading Literacy Study, sebuah tes kemahiran membaca, meletakkan Indonesia berada pada posisi ke-50 di antara negara peserta tes sains dan matematika.[4]
Dari tahun 1975 sampai 1998, jumlah universitas dan perguruan tinggi swasta naik tajam dari 400 menjadi 1.450. Kenaikan jumlah tersebut tidak sejalan dengan kualitasnya. Bahkan tidak jarang, para dosen harus mengajar berkeliling dengan “menyanyikan lagu yang sama” dari kampus ke kampus, yang dampaknya adalah makin rendahnya mutu penelitian para dosen kita. Pada tahun 2005, hanya 205 artikel yang diterbitkan di dalam jurnal-jurnal internasional yang berasal dari para sarjana Indonesia. Ini berarti kurang dari satu artikel per sejuta orang. Lebih dari dua artikel per sejuta orang di Filipina, hampir tiga per juta artikel di Vietnam dan hampir 20 per sejuta di Thailand.[5] Belum lagi sistem pendidikan yang diterapkan tidak selamanya link and match dengan kebutuhan sehari-hari, sehingga banyak sarjana yang lulus kuliah tapi akhirnya berprofesi sebagai pengangguran. Ini kenyataan yang ironis!
Belum lagi persoalan korupsi yang senantiasa mewarnai pemberitaan kita sehari-hari di mana pelakunya merata mulai dari kepala desa, camat, bupati, gubernur hingga para menteri dan anggota dewan terhormat! Apa yang sesungguhnya terjadi di negeri yang melimpah kekayaan alamnya ini? Apakah memang negeri ini akan begini selamanya? Tentunya jawabannya tidak! Maka dari itu, kita perlu mencari solusi bersama dari mana kiranya kita membenahi negeri ini. Dan hemat kami, pembenahan tersebut tidak bisa terpisah-pisah, apalagi hanya bagian perbagian, akan tetapi meliputi seluruh sektor yang ada. Dan itu hanya mungkin apabila kita bersepakat bahwa yang perlu kita benahi adalah manusianya. Ya, manusia Indonesia! Itulah yang harus kita perbaiki.
Indonesia saat ini ibarat hutan yang terkena hama. Kita tidak bisa mengobatinya hanya dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Indonesia membutuhkan “panacea” atau “obat dewa” yang bisa digunakan untuk menyembuhkan sakitnya yang sudah akut mengakar. Kita harus menyembuhkan hutan Indonesia dimulai dari tanahnya. Untuk itu kita senantiasa memiliki pandangan yang holistik, ketajaman pandangan seperti “mata rajawali” yang mampu melihat keseluruhan persoalan bangsa. Persoalan bangsa kita harus dilihat dari sisi budayanya, sisi menyeluruh dari persoalan manusia. Maka dari itu, dalam tulisan ini kami akan menyoroti perlunya penyerbukan silang antarbudaya sebagai strategi kebudayaan yang dapat dijadikan solusi jangka panjang bagi berbagai penyakit yang menimpa negeri ini.
Definisi Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Sehingga secara harfiah kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.” Namun ada pendapat lain yang mengasalkan kata “kebudayaan” kepada “budi-daya” yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari akal. Koentjaraningrat (1923 – 1999), seorang ahli antropologi Indonesia ternama, memberi definisi kebudayaan sebagai “keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, serta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.”[6]
Kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu: 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain sebagainyaa, 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Untuk wujud kebudayaan yang ideal dapat berupa adat tata-kelakuan atau adat-istiadat, yang menunjukkan bahwa kebudayaan itu berfungsi sebagai tata-kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan member arah kepada kelakukan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kedua kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial, mengenai kelakukan berpola dari manusia yang terkait dengan etos kerja, kesungguhan memegang prinsip, keuletan dan disiplin. Wujud ketiga kebudayaan yaitu kebudayaan fisik yang merupakan keseluruhan total hasil fisik yang berasal dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya kongkret dan berupa benda-benda (tangible), sehingga bisa diraba, dilihat dan lain sebagainya. Para sarjana ilmu kesusasteraan bergulat di bidang kebudayaan ideal, sedangkan para sarjana sosiologi, antropologi dan psikologi bergulat dalam ranah kebudayaan sebagai kelakuan manusia dan para sarjana arkeologi terlibat dalam kebudayaan fisikal.[7]
Dalam pernyatan sehari-hari, definisi tersebut seringkali direduksi hanya kepada kesenian belaka, sehingga kebudayaan selalu diidentikan sebagai kesenian. Ini merupakan kekeliruan paradigma yang sangat serius, karena ketika kebudayaan diartikan sebagai kesenian semata itu sama saja jasad manusia tanpa nyawa atau komputer tanpa software dan sistem yang berjalan di belakangnya. Tidak mungkina kita bisa memperbaiki manusia Indonesia lewat budaya ketika ia diartikan hanya sebagai kesenian semata!
Ajip Rosidi, seorang budayawan Sunda pernah menulis:
Dengan adanya undang-undang tentang otonomi daerah, terbuka kesempatan untuk membenahi kebudayaan dan kesenian daerah. Kendala pertama ialah kurangnya pemikir dan pemikiran tentang kebudayaan dan kesenian, arti kebudayaan sering diidentikkan dengan kesenian dan kesenian diidentikkan dengan seni pertunjukkan saja dan itu diidentikkan dengan hidangan untuk pariwisata. Kekurangan pemikir dan pemikiran biasanya ditambah pula oleh kendala lain, ialah keengganan para birokrat mengadakan kerjasama dengan orang non-birokrat, termasuk para ahli dan pegiat kebudayaan dan kesenian sendiri. Kalaupun mereka diajak, biasanya hanya dialas sebagai tenaga teknis yang tidak diminta pendapatnya. Dan kalaupun diminta, hanya performa belaka. Keangkuhan birokrat selama ini, niscaya merupakan kultur yang sulit dikikis dan masih akan tetap bertahan untuk waktu yang lama.[8]
Pandangan Ajip Rosidi tersebut begitu tegas dan barangkali terkesan sentimental, akan tetapi itu baik untuk menyadarkan kita semua akan kekeliruan kita selama ini. Kekeliruan ini berjalan sudah bertahun-tahun, bahkan sejak Kongres Kebudayaan Indonesia sejak tahun 1948 lalu. Perbincangan tentang kebudayaan seringkali terjebak hanya membicarakan mengenai perlindungan hak cipta, pengembangan seni sastra, kritik seni, sensor film, pagelaran tari-tarian, dan lain sebagainya. Kita marah ketika kesenian kita diklaim negara lain, akan tetapi kita tidak sadar bahwa klaim tersebut tidak akan terjadi manakala kita mengerti bagaimana memproduksi terus-menerus kebudayaan, lewat disiplin hidup yang tangguh, kreatif dan inovatif serta keberanian untuk bersaing sekaligus belajar dari yang lainnya. Tak mungkin negara lain berani mengklaimnya bila kita mengerti betul kebudayaan. Kesenian adalah salah satu end product dari kebudayaan. Kebudayaan sendiri bukanlah kesenian. Ia merupakan daya juang yang hidup dalam kesadaran masyarakat sehari-hari. Dengan daya juang tersebut, produk kebudayaan dapat terus tercipta kapanpun dan dimanapun.
Maka dari itu, bagi kami definisi kebudayaan sudah sangat jelas, yaitu perilaku bersama kita sebagai masyarakat. Kebudayaan adalah “our collective behavior” yang sudah mendarah daging dalam kesadaran kita yang terdalam.
[1] Makalah ini disampaikan dalam perhelatan Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 di Yogyakarta, 8 – 11 Oktober 2013 yang bertemakan: “Kebudayaan untuk Keindonesiaan.”
[2] Yayasan Nabil adalah yayasan yang didirikan oleh Drs. Eddie Lembong, Apt. dengan Akte Notaris No. 53 tanggal 30 September 2006 dengan tujuan untuk turut serta dalam proses Nation Building Indonesia. Berbagai aktivitas utama sudah dijalankannya mulai dari pemberian anuegrah Nabil Award bagi para peneliti sosial yang sudah berkontribusi besar dalam Nation Building Indonesia, seminar dari kampus ke kampus mengenai Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertilization) serta penerbitan buku yang terkait dengan ide-ide multikulturalisme, sejarah dan lain sebagainya.
[3] Bonnie Triyana, Eddie Lembong Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati (Jakarta: Kompas, 2011), hal. 2 – 5.
[4] President and Fellows of Harvard College, Indonesia Menentukan Nasib Dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 117 – 119.
[5] Ibid. hal. 119 – 120.
[6] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1992), hal. 9. Sebenarnya banyak sekali definisi kebudayaan. Definisi seperti tersebut di atas hanyalah satu definisi di antara 179 buah definisi yang pernah dirumuskan di atas kertas.
[7] Ibid. hal. 5 – 8.
[8] Ajip Rosidi, Masa Depan Budaya Daerah (Jakarta: Pustaka Jaya, 2010), hal. 15.