Seni dan Kelenteng
Jacob Sumardjo menuliskan :
“Benda-benda budaya warisan masa lampau itu sebenarnya sudah menceritakan dirinya sendiri. Benda-benda itu punya struktur luar yang segera nampak, itulah kuantitas. Dari struktur yang nampak itu terdapat system hubungan unsur-unsurnya yang hanya bisa dipahami melalui pola pikir tertentu. Dan pola berpikir benda-benda itulah yang masih tersembunyi, masih bisu, sehingga kita harus membuatnya agar bisa bicara tentang dirinya”[1]
Jika bangunan kelenteng kita masukkan ke dalam benda budaya yang memiliki nilai seni karena mengandung banyak unsur seninya, maka seni itu bisa mengandung unsur religiousitas dan spiritualitas serta moralitas. Saya katakan demikian karena orang Tionghoa itu tidak mengutamakan agama sebagai identitas diri tapi meleburkan konsep-konsep tiga agama utama orang Tionghoa ke dalam satu pola pandang yang unik dan itu juga bisa meredam konflik tiga agama utama yang berkembang di Tiongkok, bahkan agama Buddha sendiri mengalami sinifikasi, sulit sekali menemukan kelenteng yang memiliki ciri khas satu agama di pedesaan Tiongkok dan juga di banyak tempat di Indonesia, walau demikian tetap ada kategori-kategori yang dibuat untuk membedakan tempat ibadah agama apa tapi itu lebih di kota-kota besar di Tiongkok dan di Indonesia sendiri walau ada tapi seiring perkembangan masyarakat Tionghoa yang plural maka kelenteng juga mau tidak mau menampung perbedaan-perbedaan itu. Jadi disini kita bisa melihat bangunan kelenteng sebagai seni.
Seni berurusan dengan spiritualitas, baik secara rasio maupun secara pengalaman[2]. Ini menandakan bahwa banguna kelenteng bisa dilihat sebagai satu kesatuan seni yang mengandung spiritualitas yang bertujuan membangun karakter dan membangun hubungan vertical maupun horizontal antar manusia dengan “Yang Transenden” maupun sesama manusia dan alam sekitarnya. Mitos dan legenda sering nampak dalam seni di kelenteng itu dan mitos Tiongkok seperti halnya kebanyakan mitos di banyak masyarakat Indonesia ini lebih bersifat kosmosentris sehingga tidak mengherankan jika arsitektur kelenteng juga mengandung konsep kosmologi orang Tionghoa.
Kita harus mengakui bahwa ikonografi sangat membantu dalam penyebaran agama, baik di masa lampau, sekarang bahkan di masa mendatang. Tapi bagaimana menilai dan melihatnya ? Gadon melihatnya sebagai visual art sebagai jembatan untuk memahami agama[3]. Menurut Gadon pula, bahwa ini disebabkan pengalaman visual lebih melibatkan perasaan dan emosi, bersifat langsung dan mutlak[4]. Tentunya juga kelenteng mengandung ikonografi yang bisa membawa umatnya lebih memahami hakekat ajarannya dan ironisnya sekarang ini ikonografi di kelenteng adalah cermin para umatnya sehingga tereduksi menjadi sekedar idol belaka.
Arsitektur kelenteng itu hampir seragam, yang membedakan hanya pernik-pernik luar yang bersifat kedaerahan. Sesuai dengan pepatah Tiongkok “seratus li tidak sama anginnya, seribu li [5]tidak sama kebiasaannya” ( 百里不同風千不同里俗 ) , jadi kita bisa melihat banyak pernik-pernik yang berbeda tapi tetap harus memiliki kesamaan pola. Arsitektur kelenteng Tionghoa itu menirukan arsitektur bangunan kerajaan dan mengikuti pola kosmologis, hal ini juga berlaku untuk arsitektur Buddhisme terutama sejak dinasti Ming. Pola-pola bangunan kelenteng yang kita lihat di Indonesia itu adalah pola bangunan arsitektur jaman Ming dan Qing, walau secara kosmologis tidak ada perubahan besar, yaitu pembagian 9 wilayah dalam kelenteng sesuai dengan kotak luoshu 洛書. Jadi secara umum, kelenteng terlepas dari pengelompokkannya memiliki kesamaan yang menyolok.
Dalam kelenteng kita bisa melihat adanya seni ukir yang tertuang dalam ornament-ornamen yang mengandung symbol pengharapan; seni lukis yang menceritakan kisah-kisah yang menggugah hati, seperti kisah kepahlawanan, kisah perjuangan hidup, kisah bakti dan banyak kisah-kisah lainnya. Sastra juga dibuat dalam ukiran-ukiran kuplet yang mengandung makna dan tujuan kelenteng itu didirikan, bisa juga puji-pujian atau pengingat manusia. Seni origami atau seni melipat kertas[6] yang menggunakan “kertas sembahyang” dan dibentuk menjadi beragam bentuk yang indah sebagai persembahan ketulusan mereka dan juga pengharapan mereka. Selain itu adalah kertas-kertas yang direkatkan pada batang-batang bamboo untuk menjadi sesuatu yang indah.
Dengan melihat paparan di atas, seni dalam kelenteng memiliki dua tujuan besar. Pertama sebagai sarana pendidikan moral, kedua adalah “doa bisu” yang dituangkan melalui berbagai symbol dan syair.
Pemilahan Kelenteng
Kelenteng adalah istilah “generic” untuk tempat ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa, dan sebutan ini hanya dikenal di pulau Jawa, tidak dikenal di wilayah lain di Indonesia, sebagai contoh di Sumatera mereka menyebutnya bio; di Sumatera Timur mereka menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan di etnis Hakka mereka sering menyebut thai Pakkung, pakkung miau, shinmiau. Tapi dengan waktu seiring, istilah ‘kelenteng’ menjadi umum dan mulai meluas penggunaannya. Istilah kelenteng ini sulit dilacak asal usulnya tapi diperkirakan berkaitan dengan bunyi genta yang dipakai di kelenteng yang khas dan bukan bunyi tambur yang menjadi penanda, ini menurut saya karena tambur atau bedug merupakan alat music yang banyak digunakan di mesjid yang memiliki bunyi yang mirip dengan bedug di kelenteng, jadi bunyi ‘dug dug dug’ tidak dipakai. Secara umum dalam bahasa Tionghoa disebut simiao 寺廟.
Pada umunya kelenteng dipilah menjadi tiga golongan besar, terutama yang sering ditulis oleh para penulis di Indonesia, yaitu kelenteng Taoism, kelenteng Buddhism dan kelenteng Ruism ( Kong Hucu ). Pembagian ini menurut pola yang terjadi di Tiongkok dan berdasarkan “institusional religion” dan tidak selalu tepat pembagian itu terkadang tumpang tindih dalam prakteknya, banyak yang menggunakan kata miao廟 untuk tempat ibadah mereka. Sedangkan faktanya di Tiongkok sendiri banyak kelenteng-kelenteng di pedesaan yang bernafaskan “agama/kepercayaan rakyat”[7], sebagai contoh adalah Longmu miao 龍母廟 di Zhaoqing 肇慶, Guangdong 廣東, Hoktek bio di Banyumas.
Kelenteng Sebagai Diffused Religion
Banyak orang yang beranggapan bahwa kelenteng itu adalah sebuah tempat ibadah yang bersifat institutional religion. Pendapat itu ada benarnya tapi juga ada kelenteng-kelenteg yang bersifat difused religion. Untuk memahami itu, maka diperlukan pemilahan berdasarkan institutional religion. Tapi sebelum memasuki pemilahan-pemilahan, saya perlu nyatakan bahwa pemilahan itu tidak harus sifatnya, kecuali ada beberapa yang memang menunjukkan jelas pembagiannya itu. Sebagai contoh adalah si 寺 dan guan 觀 yang mencirikan kelompok agama Buddhisme dan Taoisme. Di Tiongkok dan Taiwan, pembagian ini masih terasa kuat tapi di Asia Tenggara pembagian ini terasa tidak berlaku. Jika pada point empat dan lima akan terasa tumpang tindih, harap dimaklumi.
1.Buddhisme, secara umum disebut siyuan 寺院 :
1.1 Si 寺, pada umumnya disebut vihara, contoh adalah TaJue si ( 大覺寺 ) atau yang dikenal dengan sebutan Taikak si di Semarang. Kata 寺 pada awalnya mengacu pada biro pemerintahan pengadilan dan ritual, kemudian pada masa dinasti Han ada biro urusan orang orang asing dan biro tersebut memiliki tempat penginapan terutama untuk tamu-tamu utusan dari kerajaan lain. Dari biro untuk orang asing kemudian berubah menjadi sebutan tempat ibadah agama asing, contohnya yang hingga hari ini bertahan adalah mesjid disebut qingzhen si ( tempat ibadah Kebenaran Murni ) 清真寺 atau gereja Kristen Nestorian disebut jing si 景寺.
1.2 Yuan 院, pengertian ini lebih luas daripada si vihara, karena mencakup tempat pendidikan, pelatihan diri untuk para bhiksu, biara.
1.3 An 庵, banyak orang beranggapan an ini khusus untuk bhiksuni, tapi secara umum bisa diartikan bahwa an adalah tempat kaum perempuan melatih diri, bisa bhiksuni 尼姑, bisa daogu 道姑[8], bisa zhai jie齋姐[9].
1.4 Ta 塔 ( pagoda )[10], bangunan ini bernuansakan Buddhisme, dimana pagoda ini adalah tempat untuk penyimpanan relics Buddha, kitab suci atau juga para bhiksu-bhiksuni yang sudah parinibbana. Di Bandung kita bisa melihat di kelenteng Ling Guang si memiliki dua pagoda untuk mengenang suhu yang sudah meninggal. Pagoda bisa ada dalam lingkup vihara atau berdiri sendiri, seperti pagoda Lei Feng 雷峰塔 di Hang Zhou.
2. Taoism, secara umum disebut gong guan 宮觀, awalnya tidak disebut gongguan tapi dengan berbagai sebutan seperti jing 靖 ( berarti damai ), she 舍 ( gubuk), 廬 ( juga berarti gubuk tapi dengan atap yang menutup penuh ), guan 館 ( rumah yang indah dan ada aktifitas sosial masyarakat, sekarang ini disebut gedung ). Istilah gong guan 宮觀 baru digunakan di jaman dinasti Tang[11]. Secara umum memiliki dua pembagian besar, yaitu zisun miao 子孫廟yang dikelola oleh pribadi dan aturan yang tidak begitu ketat, satunya adalah conglin miao 叢林廟 , memiliki aturan yang ketat dan memiliki organisasi pengurusan.
2.1 Gong 宮, artinya adalah istana. Penyebutan tempat ibadah Tao dengan penyamaan dengan kata istana ini bermula pada masa dinasti Tang. Para kaisar dinasti Tang beranggapan mereka adalah keturunan dari Li Er[12], karena itu mereka membangun kelenteng-kelenteng Taoisme dan menggunakan kata “istana” untuk tempat ibadah Taoisme.
2.2 Guan 觀 , artinya adalah mengamati, penyebutan ini terkait dengan panggung obervasi langit 觀臺 pada jaman pra dinasti Tang. Fungsinya mirip dengan yuan院 .
2.3 Dong 洞, artinya adalah gua. Biasanya adalah tempat para pertapa. Contohnya adalah Leizu dong, di gunung Wudang
2.4 Dian 殿, artinya aula. Statusnya lebih rendah dari gong 宮. Contohnya Xuanjiang dian 玄江殿 Singapore.
3.Ruism ( Confuciusm )[13]
3.1 miao 廟, artinya adalah tempat penghormatan leluhur[14]. Kadang juga digunakan untuk tokoh yang berjasa, seperti misalnya Kong Miao 孔廟, kelenteng untuk menghormati Kong Zi.
3.2 ci 祠, secara umum diartikan rumah abu, dimana bisa menjadi rumah abu yang bersifat ke margaan atau juga untuk tokoh yang dihormati, seperti Lei Zu ci 雷祖祠 untuk menghormati pejabat bernama Chen Wenyu 陳文玉.
3.3 Li tang禮堂, secara umum artinya adalah aula penghormatan, penggunaan kata li tang sebagai tempat ibadat Ruism ini belum saya temui di negara lain kecuali di Indonesia. Menurut pendapat saya, istilah ini lahir karena factor politik yang terkait dengan Inpres 14 tahun 1967 mengenai kepercayaan orang Tionghoa.
4. Kepercayaan rakyat[15], pada umumnya mereka menggunakan istilah miao 廟, tapi dalam banyak tempat ibadah kepercayaan rakyat, kita bisa melihat penggunaan gong, ci, tang. Sebenarnya pembangunan tempat ibadah pada jaman dahulu memiliki kaedah utama yaitu pengesahan dari kerajaan, tapi terkadang aparat pemerintah tidak menjangkau hingga pedesaan, jadi tidak menjadi suatu permasalahan bagi rakyat pedesaan. Selain itu adalah penganugrahan para tokoh yang dihormati, secara umum dilakukan oleh kerajaan, praktek ini mirip dengan beatifikasi agama Katolik. Selama masyarakat pedesaan menghormati tokoh-tokoh yang oleh kerajaan dianggap sebagai tokoh yang mengajarkan moralitas, memiliki kontribusi positif bagi masyarakat, hal itu masih dibiarkan. Tapi saat sudah menjurus kepada pemujaan terhadap “dewa” yang dianggap tidak bermoral atau buruk, maka kerajaan akan mengambil tindakan dengan melakukan pelarangan bahkan penghancuran tempat ibadah masyarakat. Hal ini sering terjadi terutama pada Wu Tong 五通 yang dikategorikan sebagai dewa sesat dan cabul [淫神 ][16], puncaknya terjadi pada masa dinasti Qing.
5. Istilah lain yang sering digunakan, antara lain adalah tang 堂 yang berarti aula, biasanya itu adalah kelenteng kecil bersifat pribadi. Yang lainnya adalah shentan神壇 yang berarti aula dewata juga berukuran kecil, dian 殿 ( aula yang luas ). Tang dan shentan kadang dimiliki oleh pribadi tapi terbuka untuk umum, pada umumnya memiliki fungsi pelayanan sebagai pendoa. Kelenteng yang menggunakan istilah dian ini saya tidak menemukannya di Indonesia. Tang pada umumnya orang mengkaitkan dengan Fotang佛堂[17]tapi ini juga tidak selalu karena ada yang dari Taoisme menggunakan istilah tang ini. Sedangkan shentan pasti bernuansa Taoisme maupun agama rakyat.
Pada umumnya kelenteng pada jaman dahulu terutama yang berada di pedesaan dan di perkotaan memiliki fungsi yang luas selain tempat ibadah, antara lain adalah sekolah, tempat kegiatan komunitas rakyat.
Ciri khas masing-masing kelenteng berdasarkan penggolongannya tentunya harus ada, terutama pada kelenteng-kelenteng yang bersifat “institutional religions”, ciri itu begitu terasa dan dengan mudah dibedakan. Untuk beberapa kelenteng yang bersifat kerakyatan, pada umumnya mengandung unsur lokalitas dan primordial, tapi terkadang merupakan tempat praktek “suhu” dari agama rakyat, ini bisa dilacak dari dewata utama, pernik-pernik hiasan kelenteng maupun perlengkapan kelenteng ritual itu.
Ciri-cirinya sebagai berikut : ( a ) menyerap kepercayaan setempat, seperti di Bogor, Sukabumi, banyak kelenteng yang memasukkan Eyang Suryakencana sebagai salah satu figure penghormatan dengan menggunakan kemenyan dan kembang tujuh rupa sebagai alat ritual. ( b ) dewa-dewi Taoisme dan Buddhisme bercampur baur. ( c ) melakukan upacara shamanisme ( 巫教 ).
BERSAMBUNG
[1] Jacob Sumardjo, Estetika Paradoks, hal.55, cet.pertama edisi revisi, 2000, Bandung : Sunan Ambu STSI Press
[2] Ibid hal.111
[3] Lih. Elinor W.Gadon, “Religion in A Secular City”, hal.283
[4] Loc.cip
[5] Li 里 adalah ukuran jarak 540 meter.
[6] Selain seni melipat juga seni merekatkan kertas di batang-batang bamboo.
[7] Lih. Chen Zhihua 陳志華, “Kelenteng, Permata Pedesaan” ( 廟宇, 鄉土瑰寶 ), hal.3, 2006 : Beijing, Sanlian Bookstore Publisher. Dalam tulisan Chen Zhihua, dikatakan bahwa kelenteng di pedesaan adalah perpaduan dari Taoisme, Buddhisme maupun kepercayaan akan dinamisme dan animism. Umumnya disebut sebagai kepercayaan rakyat ( 民間信仰 ).
[8] Dao gu adalah sebutan untuk pendeta perempuan dari agama Tao
[9] Zai jie adalah pendoa perempuan dari etnis Hakka, merupakan sinkretisme antara kepercayaan Taoisme dan Buddhisme serta mengandung ajaran moralitas Ruism.
[10] Lih. Wang Qijun 王其鈞, “ Kamus Bergambar Bangunan Tiongkok ( 中國建築圖解詞典 ), hal.202, 2006 : Beijing, Industri Mekanik Publisher .
[11] Lih. Duan Qiming et.al ed. “ Tempat Ibadah Buddhisme dan Taoisme di Tiongkok ( 中國佛寺道觀 ), hal.735-736, 1997 : Beijing, Yuanshan Publisher.
[12] Li Er 李耳 atau Lao Zi 老子 dalam agama Tao dianggap sebagai pembuka ajaran Taoisme, dimana pemula ajaran Taoisme adalah Kaisar Kuning 黃帝 dan ketua agama adalah Zhang Daoling 張道陵.
[13] Untuk Ruism, saya masukkan miao dan ci karena salah satu fondasi utama ajaran Kong Zi adalah penghormatan leluhur.
[14]Dalam kitab Li Ji ( Catatan Etika Ritual ) dituliskan bahwa raja ada tujuh miao, raja muda lima miao, mentri tiga miao dan sarjana satu miao, maksudnya bukan berarti memiliki tujuh bangunan miao廟 tapi menghormati leluhurnya hingga tujuh generasi ke atas.
[15] Untuk kelenteng kepercayaan rakyat, terbagi menjadi beberapa kategori, bersifat kedaerahan, keahlian, maupun bersifat marga.
[16] Yang dimaksud sesat dan cabul ini adalah persembahan untuk dewata itu sudah melampaui batas norma-norma etika susila, misalnya mengorbankan manusia hidup untuk dewa sungai, atau juga melakukan “hubungan seks” dengan dewata.
[17] Fotang adalah tempat ibadah Buddhisme dan juga digunakan oleh Yiguan Dao ( aliran sinkretisme yan berasal dari Tiongkok dan kemudian berkembang pesat di Taiwan ) untuk menyebut tempat ibadah mereka.