HARI AIRMATA HITAM
(10 Tahun Peristiwa Mei ’98)
Budaya-Tionghoa.net| Tanpa kita sadari, tahun ini reformasi telah berjalan 10 tahun. Reformasi telah menelan banyak korban, baik harta-benda maupun nyawa anak bangsa. Semoga semua pengorbanan itu tidak sia sia. Semoga pengorbanan itu menjadi awal dari perbaikan nasib bangsa. Mari kita doakan arwah para korban peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi, dan peristiwa Mei. Semoga mereka semua mendapatkan tempat yang layak di sisi-NYA. Mari kita isi perjuangan mereka dengan perbuatan. Tanpa pengorbanan mereka, kita tidak akan sampai di titik ini.
Perjalanan baru saja dimulai, langkah awal baru saja dijalani. Banyak yang bertanya tanya dan menjadi ragu. Benarkah kekerasan telah terjadi saat peristiwa Mei ‘98? Selain Herry Hartanto, Yun Hap, Elang Mulya, Hendriawan Sie, dan teman teman pahlawan reformasi yang telah menjadi martir memperjuangkan aspirasi, adakah peristiwa lain yang coba dikaburkan? Adakah terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan-perempuan Tionghoa? Adakah orang-orang yang mati dibakar hidup-hidup di dalam sebuah pertokoan? Barang bukti selongsong peluru tajam dan nisan-nisan pahlawan reformasi masih menunggu dalam beku. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pemerintah dan laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kerusuhan Seksual Mei 1998, masih terkatung katung hingga hari ini. Jasad-jasad hangus terbakar anak bangsa yang termarjinalkan telah lebur menjadi arang keputusasaan. Namun lembaga penegak hukum masih menunggu bukti, menunggu saksi, menunggu laporan korban, menunggu surat petunjuk, dan menunggu keterangan ahli. Tanpa perangkat dan kelengkapan itu semua, yang terjadi adalah asumsi, yang terjadi adalah ilusi.
Coba bayangkan situasi tanggal 13 Mei 1998. Di tengah kerusuhan dan kekacauan, satu keluarga dengan dua anak gadisnya terburu buru meninggalkan rumah menuju bandara dengan mengendarai mobil, namun apa lacur ditengah jalan mobil dihentikan segerombol orang. Semua dipaksa keluar. Di hadapan orangtuanya yang tidak mampu berbuat apa apa, kedua gadis yang tidak tahu apa salah dan apa dosanya, diperkosa beramai ramai. Kedua gadis yang tidak tahu apa urusan dan masalahnya, tubuhnya digerayangi, dirusak dan dilecehkan secara biadab; tanpa ampun, tanpa belas kasihan, tanpa perikemanusiaan, di hadapan kedua orangtuanya yang tidak mampu berbuat apa apa. Dan para penegak hukum masih menantikan saksi, dan para penegak hukum masih menunggu bukti dan keterangan ahli.
Saya tidak memiliki keyakinan sama sekali bakal adanya pengakuan. Hingga hari ini tidak ada kejelasan sama sekali kepada para orangtua-orangtua mahasiswa yang telah sepuluh tahun menunggu, menunggu dan menunggu – keadilan reformasi. Saya tidak yakin apakah akan ada tindakan dan pengakuan. Berapa banyak TKI kita di luar negeri yang digebuki, tapi tidak pernah diurusi sama sekali? Berapa banyak TKI kita yang diperkosa dan dilecehkan di luar negeri tapi tidak pernah digubris atau ditanggapi? Seolah itu sebuah keniscayaan yang harus terjadi – TKI-TKI yang pulang tinggal nama atau badan yang tidak lengkap atau kadang hilang ingatan.
Saya menjadi semakin yakin, peristiwa kerusuhan Mei ’98 tidak akan pernah mendapat pengakuan. Pengharapan akan pengakuan itu adalah penantian yang sia-sia, bagai pungguk merindukan bulan, bagai katak berharap jadi pangeran. Untuk itu saya hanya bisa berharap dan menghimbau. Mari kita bersama sama memperingati sendiri peristiwa Mei Hitam, bukan Mei Kelabu, tapi Mei Hitam dalam lembaran sejarah bangsa kita. Kita sendiri, sesama anak bangsa yang memperingati. Suatu lembaran sejarah hitam yang tidak mungkin terhapuskan dari ingatan. Tidak usah menunggu pengakuan atau penjelasan. Karena pengakuan itu tidak akan pernah ada, tidak akan pernah terjadi.
Bumi pertiwi menangis. Meneteskan airmata hitam bagi anak anak bangsa yang teraniaya oleh ambisi bejat sekelompok manusia yang tanpa nurani telah menodai ibu pertiwi. Mencederai ikrar kesepakatan luhur yang telah diukir melalui perjuangan dan darah dalam rentang waktu semenjak Boedi Utomo 1908, digaungkan melalui niat dan kesadaran dalam Soempah Pemuda 1928, dan dikibarkan melalui nyali dan tekad kebangsaan dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Sebagai bangsa yang satu.
Mari bersama kita peringati sendiri peristiwa kerusuhan Mei ‘98. Mari bersama kita mengenakan baju hitam, mengenakan mutiara hitam, atau meneteskan airmata hitam di “Hari Airmata Hitam”, Black Tears Day, setiap tanggal 13 Mei. Mari bersama kita saling mengingatkan tragedi kemanusiaan yang telah dilakukan anak bangsa terhadap saudaranya sendiri.
Sebagai anak bangsa saya merasa malu. Sangat ironis kalau selama ini kita lewatkan kerusuhan itu sebagai mimpi buruk di masa lalu. Selama ini kita menipu diri sendiri bahwa kepedihan itu akan berlalu bagai debu. Kita menjadi pengecut yang berlindung di balik kepahitan semu. Kita mengingkari tragedi yang benar terjadi, dengan korban yang benar ada, dengan penderitaan yang tak kan pernah sirna. Peringatan Hari Airmata Hitam adalah hari hitam bagi seluruh anak bangsa, yang harus diingat dan dilekatkan. Hari Airmata Hitam tidak mungkin ditangisi bangsa lain. Airmata Hitam adalah tangisan bangsa kita. Airmata Hitam adalah aib bangsa kita.
Kita mengingat dan menangis. Bukan untuk mengipas dendam atau menguras kepedihan, tapi saat untuk berwelas asih dan memberikan pengampunan. Yang telah terjadi tak mungkin dirubah. Yang belum terjadi jelas ada di tangan kita. Kepahitan dan kegetiran hanya luluh oleh pengampunan yang akan menyemai bunga bunga aneka warna di padang legawa. Bagaikan airmata Dewi Kwan Im yang menetes satu persatu, memercik ke bumi sebagai mutiara suinli pengampunan. Mari kita dengan penuh keikhlasan menebarkan cinta dan belas kasihan, menyemai harapan dan kedamaian.
Mei 2008
Oleh : Harjanto Halim
https://www.facebook.com/harjanto.halim.5/posts/10203707462906760?stream_ref=10
Catatan admin: Tulisan ini merupakan “repost” tulisan Bp. Harjanto Halim pada tahun 2008.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa