Prolog
Sore itu aku heran melihat Om So Soe Tat tetanggaku sedang menggerakkan gerakkan 3 buah lidi yang membara di atas kepalanya saat itu aku masih duduk di SD Santo Yusup Semarang. Karena penasaran aku tanyakan apa yang sedang ia lakukan dan apa yang dia bawa, dan Om So Soe Tat menerangkan bahwa ia sedang bersembahyang kepada Tian 天 dan lidi yang ia pegang namanya hio.
Mungkin saat itu merupakan peristiwa pertama kali aku mulai mengenal budaya Tionghoa. Menurut Elliot bahwa keyakinan masyarakat Tionghoa kepada Tian biasa disebut Shen-isme (A.J.A. Elliot, 1955 dalam Gondomono). Sedangkan Tan Chee Beng menyebutkan keyakinan tersebut dengan agama orang Tionghoa atau keyakinan religious klasik orang Tionghoa (Tan Chee Beng 1983 dalam Gondomono). Sedangkan Setiawan dan Kwa (1990: hal 34,35) menuliskan bahwa Tian berarti tempat tinggal Shang-di (kaisar langit) tapi lama kelamaan sejak jaman dinasti Song batasan Tian dan Shang–di jadi kabur sampai sekarang.[1]
Pemujaan roh sudah dilakukan orang Tionghoa sejak dahulu hingga saat ini, mereka percaya bahwa arwah akan membantu mereka jika dihormati dan sebaliknya akan mengganggu jika tidak dihormati (Tjan dan Kwa, 2011:hal 9). Masyarakat Tionghoa selalu menghormati Langit, Bumi dan Leluhur. Roh leluhur atau roh suci yang dipuja itu disebut shen-ming /sinbeng, sedangkan shen-ming biasanya dibuatkan patung/rupang yang biasa disebut jin-shen/kimsin (Tjan dan Kwa, 2011).
Masyarakat Tionghoa umumnya menganut tiga ajaran filosofi atau agama yaitu konfusianisme, Taoisme, Budhisme yang biasa disebut San-jiao / Sam Kauw. Ketiga ajaran ini membentuk landasan yang kokoh dalam perilaku kehidupan sehari-hari mereka dan mereka tidak mempertentangkan darimana asal ajarannya tetapi menyerap dan memilah hal hal yang dianggap baik dan menguntungkan.
Tulisan ini hanya sekedar menceriterakan sekelumit pengalamanku dalam mengenal budaya Tionghoa khususnya arsitektur tempat ibadah masyarakat Tionghoa yang biasa disebut kelenteng.
Mengenal Kelenteng Pertama Kali
Masa KKN (Kuliah Kerja Nyata) adalah masa paling menyenangkan bagi mahasiswa, karena paling tidak itu adalah masa-masa akhir seorang mahasiswa sebelum menyelesaikan tugas akhir. Pada saat KKN itulah saya berkenalan dengan Kuncoro Suharli, seorang mahasiswa Tionghoa yang kuliah di jurusan Ekonomi Undip. Pertemanan ini berlanjut terus sampai KKN usai terlebih dengan saling bertukar ilmu, ia mengajarkan fengshui sedangkan aku sendiri mengajarkan teknik pernafasan kepadanya. Dari dialah aku mengenal kelenteng, tentang tata ruangnya, dewa-dewa yang ada di kelenteng, simbolisasi maupun filsafat Tionghoa yang berpengaruh pada arsitektur di bangunan ibadah tersebut.
Proses mengenal budaya tionghoa bagiku juga tidak lepas dari peran para pengurus vihara Sasana Shanti. Bangunan ibadah ini lokasinya tidak jauh dari rumahku semasa kecil yaitu di Jalan Peterongan Kobong yang bersebelahan gang dengan rumah orang tuaku di Jalan Sompok. Pada waktu pembangunan vihara tersebut aku turut membantu mendesain plafon di lantai II bangunan tersebut. Romo Pikin, Pak Sahlan Hidayat (alm), Ko Tjong San dari vihara Sasana Shanti secara tidak langsung banyak mengenalkan tentang budaya Tionghoa padaku.
Arsitektur tradisional Tionghoa yang kaya akan teknik sambungan kayu dan simbolisasinya sangat menarik minatku dalam mempelajarinya. Pengetahuan tentang budaya Tionghoa bertambah setelah aku sering membaca diskusi di web Budaya Tionghoa khususnya topik tentang arsitektur tradisional Tionghoa . Oleh karena itu hampir semua kelenteng di pesisir utara bagian timur pernah saya kunjungi mulai dari Tuban, Lasem, Rembang, Juana, Welahan, Kudus, Demak dan Semarang. Pengetahuan ini juga yang mengantarku mengambil tema budaya Tionghoa dalam menyelesaikan studi pasca sarjana di Undip
Menurut Tjan dan Kwa (2011 hal 10) tempat pemujaan shen-ming (roh leluhur atau roh suci) disebut miao 廟 (kuil, bio). Walaupun demikian sebutan miao atau bio tidak begitu dikenal di Jawa[2], tetapi sebutan kelenteng untuk bangunan ibadah masyarakat Tionghoa ini lebih dikenal daripada miao. Kata kelenteng untuk bangunan tempat ibadah masyarakat Tionghoa, sulit ditelusuri asal-usulnya. Ada yang menyebutkan bahwa, sebutan kelenteng berasal dari bunyi lonceng yang digunakan sebagai perlengkapan peribadatan, yang berbunyi klinting-klinting atau klonteng-klonteng. Sebagian lagi berpendapat bahwa kelenteng berasal dari kata Yin-ting atau Guan-yin-ting, yang artinya tempat ibadah Dewi Kwan Im (Moerthiko,1980, 96-97).
Di Tiongkok kelenteng disebut bio, yaitu rumah pemujaan dan penghormatan kepada arwah leluhur. Bio merupakan perkembangan dari ci 祠 yaitu rumah abu dimana setiap marga/klan membuat ci祠, untuk menghormati leluhur mereka (Setiawan dan Kwa,1990: hal 13). Para leluhur yang berjasa dalam kehidupan keluarga dan masyarakat dipuja sebagai dewa/dewi, yang kemudian dibuatkan tempat pemujaan khusus yang disebut bio. Di dalam bio kadang masih terdapat ruang abu leluhur suatu marga
Menurut Johannes Widodo sebuah kelenteng dapat diklasifikasikan;
- Berdasarkan dewa utama
- Fungsi dan tujuan pembangunan kelenteng
- Luasan atau besaran kelenteng
Klasifikasi berdasarkan dewa utama (tuan rumah)
Berdasarkan dewa utama (tuan rumah) dari kelenteng maka kelenteng dapat dibedakan menjadi kelenteng Tao, kelenteng Budha dan kelenteng Konfusius. Yang dimaksud dewa utama/tuan rumah adalah altar utama biasanya terletak tegak lurus dari pintu utama bangunan ibadah tersebut. Kelenteng yang dibangun sebelum tahun 1900 di Pantura Jawa tengah bagian timur terdiri dari kelenteng yang memuja dewa utama agama Budha dan kelenteng yang memuja dewa utama dari ajaran Tao. Kelenteng Buddha dapat ditandai dari namanya yang memakai Sie, dan kelenteng Tao ditandai dari namanya yang memakai Bio atau Kiong. Walaupun demikian kelenteng di Pantura Jateng bagian timur pada umumnya memuja dewa dari 3 ajaran di atas yang biasa disebut Tri Dharma atau Sam Kauw.
Klasifikasi berdasarkan fungsi dan tujuan pembangunan
Kelenteng juga dibedakan berdasarkan fungsi dan tujuan pendiriannya, yaitu ada kelenteng umum dan kelenteng marga.
- Kelenteng umum dibangun atas prakarsa masyarakat dan dapat digunakan oleh masyarakat umum, pendirian kelenteng ini biasanya juga sebagai ungkapan syukur sekelompok masyarakat atas keberhasilan atau kemajuan suatu daerah.
- Kelenteng marga adalah kelenteng yang dibangun oleh suatu marga untuk menghormati leluhur mereka oleh karena itu kelenteng marga biasanya memiliki ruang abu. Di dalam kelenteng marga, pemujaan kepada leluhur menjadi fokus utama walaupun demikian di dalam kelenteng ini juga dipuja dewa/dewi dari Buddha, Tao dan Confusius.
Klasifikasi berdasarkan luas bangunan
Selain klasifikasi-klasifikasi tersebut di atas, ada klasifikasi kelenteng berdasarkan luas bangunan, oleh karena itu kelenteng dapat dibedakan menjadi kelenteng besar atau kelenteng kecil.
- Kelenteng kecil adalah kelenteng yang hanya memiliki 2 buah ruang utama atau 2 buah jian, yaitu serambi dan ruang pemujaan utama.
- Kelenteng besar adalah kelenteng yang memiliki tata ruang yang lebih kompleks yaitu ruang yang berlapis serta bangunan tambahan di sisi kiri dan kanan bangunan/ruang ibadah utama.
(Bersambung)
Oleh : Djoko Darmawan (edited by admin)
Email: [email protected]
===================
Catatan Juri:
[1] Tian berarti tempat tinggal Shang-di adalah definisi menurut E.T.C Werner yang digunakan sebagai referensi buku Dewa-Dewi Kelenteng terbitan tahun 1990. Namun buku tersebut telah direvisi, dan definisi tersebut tidak tepat.
[2] Istilah miao adalah bahasa Tionghoa untuk kuil / kelenteng yang memang kurang dikenal, tetapi istilah bio adalah bahasa Hokkian, yang mana cukup dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa, terutama Jawa Tengah yang cukup banyak memiliki komunitas Hokkian serta kelenteng-kelenteng Hokkian.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa