Lanjutan dari artikel
Thian Siang Seng Boo
Aku mengenal tokoh Dewi Samudra sejak aku mulai melakukan penelitian thesisku yang mengambil studi kasus di permukiman Tionghoa Lasem. Dewi Samudra atau Thian Siang Seng Bo atau Tianshang Shengmu (pinyin) adalah gelar yang dianugerahkan Kaisar Dao-guang pada dinasti Qing (1840) pada Mazu.
Beliau adalah seorang gadis nelayan bernama Lin Moniang berasal dari Pulau Meizhou di Kabupaten Putian, Propinsi Fujian yang dilahirkan pada tahun 960 Masehi (Setiawan dan Kwa,1990: hal 230). Mazu yang disebut juga Tian-fei atau Tian-hou (Permaisuri Surgawi), tidak hanya menjadi pujaaan rakyat jelata tapi juga merupakan salah satu dewi yang banyak sekali memperoleh gelar kehormatan dari kerajaan.
Pada tahun Xuan-he ke 5, Dinasti Song, Kaisar menganugerahkan gelar Sun-ji Fu-ren (Wanita agung yang mengantar pertolongan). Tahun Zhi-zheng ke18 Dinasti Yuan, ia dianugerahi gelar Tian-fei, dan tahun Kang-xi ke 13 (1675 Masehi) digelari Tian-hou (Setiawan dan Kwa,1990: hal 230-235).
Pemujaan pada dewi Mazu disebabkan kepercayaan di mana siapapun menyebut nama Dewi Mazu atau Macopo ketika menghadapi bahaya, entah itu angin taufan, gelombang besar atau gangguan orang jahat, Dewi Mazu akan datang memberikan pertolongan. Kelenteng dengan dewa utama Dewi Mazu dapat dijumpai di kota-kota di pesisir pantai utara seperti kelenteng Tjoe An Kiong Lasem, kelenteng Tjoe Wie Kiong Rembang, kelenteng Po An Bio Demak, dan kelenteng See Hoo Kiong Semarang. Berikut adalah catatan perjalananku dalam mengenal kelenteng Dewi Samudra ini.
Kelenteng Tjoe An Kiong Lasem
Lasem merupakan salah satu kota kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang terletak antara Kota Rembang dan Kota Tuban. Memasuki Kota Lasem kita akan disambut oleh bangunan-bangunan tua yang tersembunyi di balik tembok tinggi. Bentuk atap khas arsitektur Tionghoa terlihat diantara ketinggian dinding pagar bumi tersebut. Memang secara historis Lasem merupakan kota tua yang dikunjungi bangsa Tiongkok pada awal kedatangannya, dan lamanya mereka bermukim di Lasem. Jadi tidak heran jika di Lasem masih banyak terdapat bangunan dengan arsitektur tradisional Tionghoa.
Keindahan arsitektur vernakular Tionghoa terlihat pada desain atap yang melengkung dengan ujung seperti ekor walet. Keindahan lain adalah bentuk struktur kayu yang diekspos serta simbolisasi yang tersirat pada ukiran di bangunan tempat ibadahnya. Cantik, klasik dan sederhana serta terjaga dari coreng moreng make-up modern bak gadis desa yang lugu, itulah ungkapan untuk Lasem. Sayang pesona klasik ini sekarang sudah mulai memudar karena adanya peristiwa G30S PKI dan penerapan Inpres No. 14 tahun 1967. Pada era reformasi Presiden Abdurahman Wahid mencabut Inpres No. 14 tahun 1967, walaupun demikian Le Petit Chinois (China Kecil) ini belum bisa memancarkan pesonanya seperti dahulu kala.
Seperti halnya di kota-kota pesisir, Lasem mempunyai 3 buah kelenteng yaitu Tjoe An Kiong, Po An Bio, dan Gie Yong Bio.
Diperkirakan orang Tionghoa pertama sampai di Lasem sebelum abad 13 (Pratiwo 2010:144) jauh sebelum bangsa barat menjajah Pulau Jawa. Hal ini berarti pada jaman Majapahit masyarakat Tionghoa sudah di bumi Nusantara ini. Pada awal kedatangannya masyarakat Tionghoa di Lasem, mereka adalah orang-orang yang bertujuan untuk mencari tempat kehidupan yang lebih baik daripada di negara asalnya dengan cara berdagang, selain itu juga diduga sisa-sisa laskar Kubilai Khan yang tidak kembali ke Tiongkok. Pada abad 15 para pendatang Tionghoa ini mulai bermukim di dataran rendah di sebelah timur Sungai Lasem (Pratiwo 2010:144) dan sekaligus sebagai tempat berlabuhnya jung-jung mereka. Komunitas Tionghoa di Lasem ini diduga ada dua golongan yaitu Tionghoa peranakan yang beragama Islam dan Tionghoa pendatang baru yang menganut 3 ajaran (Budha, Tao dan Konghucu). Mereka hidup berdampingan dengan warga pribumi dengan damai dan saling menghormati adat istiadat maupun tradisi masing-masing.
Setidaknya 4 kali aku mengunjungi kelenteng Tjoe An Kiong, pertama pada saat penyusunan thesis tahun 2002. Kedua ketika melakukan studi eskursi dengan mahasiswa arsitektur Untag tahun 2010. Ketiga memenuhi undangan dari Fokmas Lasem th 2012 dan terakhir ketika menemani dosen FIB Universitas Indonesia yang melakukan penelitian di Lasem pada tahun yang sama.
Ketika mengunjungi kelenteng Tjoe An Kiong untuk pertama kali, aku ditemani Om Tjondro Surojo (alm) dan ibu, beliau orang tua dari teman SMA-ku yang sekarang menjadi dokter di Bukateja, dr. Indiyanto Candra. Tanpa keluarga ini mungkin aku akan kesulitan melakukan penelitian baik arsitektur kelenteng maupun rumah tinggal tradisional di Lasem.
Ketika memasuki jalan Dasun suasana perkampungan Tionghoa ini sangat terasa dengan dinding pagar bumi yang tinggi serta bentuk atap yang khas arsitektur tradisional Tionghoanya. Salah satu bangunan kuno yang kami lewati adalah Lawang Ombo yaitu bangunan kuno konon bekas gudang candu di Desa Soditan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, yang dibangun sekitar tahun 1800-an.
Kelenteng Tjoe An kiong yang terletak di Jalan Dasun No. 19 Lasem di tepi sebelah Timur sungai Lasem yang mengalir ke utara. Kelenteng ini dikelola oleh Yayasan Trimurti dan merupakan kelenteng tertua diantara ketiga kelenteng yang ada di Lasem. Bahkan banyak orang tua setempat meyakini bahwa kelenteng tersebut sudah ada sejak abad ke 15 walaupun tidak ada bukti tertulis mengenai hal itu. Bukti yang ada berangka tahun 1838 berupa inskripsi dari batu tentang restorasi dan nama-nama penyumbang yang berjumlah 105 yang dibuat oleh Kapiten Lin Changling (Handinoto,2010). Hal ini membuktikan bahwa kelenteng Tjoe An Kiong sudah ada jauh sebelum tahun 1838.
Kelenteng ini didirikan sebagai ungkapan syukur kepada Tianshang Shengmu (Thian Siang Seng Bo – Hokian) atau dikenal juga dengan sebutan Mazu atau Tian-hou. Masyarakat Tionghoa Lasem sendiri kebanyakan berasal dari Fujian, mungkin itulah sebabnya dewa utama untuk kelenteng tertua di Lasem ini adalah Thian Siang Seng Bo. Karena Thian Siang Seng Bo bermarga Liem (Liem Bik Nio/ Lin Moniang-pinyin) maka biasanya kelenteng marga Liem selalu mempunyai altar utama Thian Siang Seng Bo.
Selain Thian Siang Seng Bo pada altar utama juga terdapat altar Koan Si Im Po Sat di sisi kanan dan altar Ga Lam Ya di sisi sebelah kiri. Koan Si Im Po Sat atau Avalokitesvara Bodhisattva dikenal juga sebagai Dewi Welas Asih, adalah sosok yang dikenal oleh seluruh masyarakat awam tidak hanya kalangan Tao maupun Buddhis saja (Setiawan dan Kwa,1990: hal 332).
Sedangkan Kongco Ga Lam Ya adalah walikota begitulah menurut Bapak Gandor (salah satu tokoh masyarakat Tionghoa Lasem). Dalam hal ini tidak begitu jelas apakah sosok Ga Lam Ya adalah Dewa Pelindung Kota seperti halnya Seng Hong Loya salah satu dewa yang dipuja di kelenteng Tay Kak Sie. Untuk lebih jelasnya tentang dewa dewi kelenteng anda dapat merujuk buku Dewa Dewi Kelenteng karya Ir E Setiawan dan Kwa Thong Hay.
Kelenteng Tjoe An Kiong mempunyai open space yang cukup luas, ketika kita memasuki kawasan kelenteng ini maka kita akan disambut dengan gapura pai-lou 牌樓 / shan-men 山門 atau pintu gerbang khas arsitektur Tionghoa yang indah. Di atas gerbang tersebut dihiasi sepasang naga berjalan atau xing-long 行龍 mengapit huo-zhu 火珠, simbol mutiara Buddha berbentuk mutiara api, atau bentuk bola api.
Sedangkan pada balok pintu gerbang tersebut tertulis nama kelenteng dalam aksara Tionghoa. Pada kedua kolomnya bertuliskan puji-pujian yang diperuntukkan untuk Thian Siang Seng Bo (dewi utama yang dipuja di kelenteng tersebut). Menurut Kwa Tong Hay sesungguhnya liong adalah seekor binatang mithologi hasil kreasi seniman kuno yang merupakan gabungan dari berbagai macam binatang, berkepala unta, bermata kelinci, berbadan ular, bertanduk rusa, bersisik ikan, berpaha harimau dan bercakar rajawali. Sedangkan Qilin/kilin, adalah mahluk-mahluk yang dianggap melambangkan nasib baik, kebesaran hati, panjang umur dan kebijaksanaan. Kilin bertanduk satu menurut legenda, mampu berjalan di atas air dan mempunyai kepala yang mirip dengan liong, berbadan rusa, bersurai dan ekor seperti harimau.
Di pelataran tersebut juga terdapat tugu berwarna merah dan di depan pintu gerbang terdapat dua buah arca singa batu/ shi-zi 狮子 bergaya barat. Dan di belakang patung singa terdapat patung dewa penjaga gerbang berpakaian militer yang berdiri sebelum pintu gerbang tersebut. Menurut Handinoto (2010:444) gerbang tersebut didirikan atas prakarsa dari Kapitan Huang Xingguo (Oei Ek Thay – Hokkian ) pada th. 1922, kemudian diperbaiki lagi pada th. 1950 dan awal tahun 1960 an.
Atap kelenteng Tjoe An Kiong berbentuk pelana (yingshading atau 硬山顶) dengan bubungan yang melengkung keatas di ujung sisi kiri dan kanannya dikenal dengan gaya Yanbue / Yanwei 燕尾形 (ekor burung walet). Bentuk atap ini digunakan pada atap bangunan serambi maupun bangunan ruang ibadah utamanya.
Bagian atap utama (bagian depan) menampakkan paduan hiasan seperti halnya pintu gerbangnya, yaitu sepasang naga berjalan xing-long 行龍 mengapit qilin yang membawa huo-zhu 火珠. Pada bubungan atap bangunan ibadah ini jika diperhatikan juga dihiasi ukiran bunga maupun binatang yang tentunya mengandung makna tersendiri.
Setelah melewati gerbang maka kita akan diterima serambi kelenteng yang penuh ornament kayu yang mengagumkan. Kombinasi warna hijau, merah tua, biru muda, kuning, putih, abu-abu maupun hitam menambah semaraknya serambi tersebut. Pada dinding serambi terlihat ukiran burung phoenix/ hong, menurut Kwa Tong Hay burung dewata ini merupakan raja dari segala burung. Bentuknya paduan dari berbagai burung, kepalanya adalah kepala ayam pegar, paruh burung layang-layang, ekor burung merak, jengger ayam jantan. Mahluk ini melambangkan lima pokok kebajikan yaitu: ketulusan hati, keadilan, kesetiaan, dan berperi- kemanusiaan, yang dicerminkan dari lima warna bulunya yaitu : hijau, kuning, merah, putih dan hitam.
Dinding depan bangunan ibadah ini non-bearing wall yang terbuat dari kayu atau zhao, 罩 yang berornamen di mana ornamen tersebut menyisakan lobang-lobang sehingga orang diluar bangunan masih dapat melihat suasana ruang dalam bangunan ibadah. Lobang-lobang pada ornamen dinding depan tersebut juga berfungsi sebagai sirkulasi udara maupun cahaya dari luar ke dalam bangunan maupun sebaliknya. Pintu utama berupa shuang shan ban men 雙扇版門 pintu kayu 2 daun yang berukuran sama berjumlah 3 buah yang membuka ke dalam. Pintu tersebut terbuat dari kayu dan berwarna merah dengan lukisan dewa pintu yang dilukis berpakaian sipil.
Lantai serambi masih menggunakan ubin abu-abu dengan dibatasi ubin yang bermotif berwarna biru dan putih. Lantai ini diduga sudah mengalami pergantian karena mode, jika kita mengamati pada bangunan rumah tinggal kuno masyarakat Tionghoa Lasem yang belum banyak direnovasi, bahan lantainya dari batu yang dibentuk persegi dan dihaluskan yang dikenal dengan sebutan batu Selad.
Che shang ming zao 徹 上 明 造, atau rangka konstruksi atap terbuka (exposed), bagian serambi kelenteng Tjoe An Kiong berupa rangkaian struktur kayu yang rumit dengan sentuhan seni yang tinggi. Konstruksi atap terbuka di selasar luar menggunakan sistem balok ratu (queen post) dimana dua gording teratas membentuk plafond yang membulat. Sedangkan pada bangunan ibadah utama menggunakan sistem balok raja (king post) dimana gording teratas hanya satu dan membentuk plafond meruncing keatas.
Setelah melalui pintu utama maka kita akan disambut ruang yang tidak kalah menariknya dengan lukisan pada dinding bihua 壁畫 atau disebut juga mural. Ada beberapa mural pada kelenteng ini, ada yang menceritakan tentang 3 kerajaan (Sam Kok) yang melegenda ada pula berupa gambar panglima langit. Lukisan dinding ini dapat dijumpai di dinding serambi dalam maupun pada dinding ruang ibadah utama.
Jika kita menengadah ke atas maka akan tampak struktur atap kayu yang khas, plafond berwarna hijau dengan usuk berwarna merah tua dimana gording/lin dan nok terbuat dari kayu berbentuk silinder yang di cat merah dengan skoor berornamen ukiran kayu di ujungnya.
Skoor atau dougong 斗拱 pada kelenteng Tjoe An Kiong ada beberapa bentuk tetapi yang paling menarik adalah skoor pada sisi court yard berbentuk manusia yang memanggul kayu, konon ini adalah kisah di mana seseorang yang mencuri kayu pada waktu pembangunan kelenteng ini maka akan menanggung beban berat seumur hidupnya.
Kelenteng Tjoe Ankiong mempunyai beberapa ruang, yaitu serambi, ruang tengah yang berupa atrium zhongting 中庭 ruang pemujaan utama dan ruang pemujaan tambahan di samping kanan dan kiri. Atrium (ruang terbuka) yang terletak pada bagian tengah sering disebut sebagai “sumur langit” disebut zhongting 中庭 atau tian jing 天井 yang melambangkan hubungan langsung antara manusia dengan Tian.
Kolom pada bangunan ibadah ini ada 2 macam yaitu berbentuk persegi fangzhu 方柱, berukuran 20/20 cm serta berbentuk silinder zhuying dengan diameter 30 cm.
Pada sisi kiri dan kanan atrium terdapat langwu 廊屋, bangunan penghubung antara bangunan utama dan bangunan serambi. Pada kelenteng Tjoe An Kiong, lang wu sebelah kiri maupun sebelah kanan digunakan sebagai altar tambahan.
Pada ruang samping dari kelenteng ini terletak joli atau kio, konon merupakan joli yang terindah di Jawa. Pada pesta hari raya besar, patung atau rupang Thian Siang Seng Bo yang dinaikkan joli sering diarak keliling kota Lasem atau dibawa ke kelenteng Poo An Bio di Karangturi VII/15 Lasem, untuk kemudian dikembalikan lagi ketempat semula. Yang tidak kalah menariknya adalah papan bertulis aksara mandarin dalam bentuk melintang (bian-e) atau membujur (dui-lian), yang memenuhi kelenteng tersebut. Banyak informasi tentang sejarah dan pemuka masyarakat Tionghoa pada masa lalu bisa ditelusuri dari tulisan yang terdapat disana.
(Bersambung)
Oleh : Djoko Darmawan (edited by admin)
Email: [email protected]
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa