bunga gugur, siapa berbagi duka.
Dimanakah kerinduan memuncak
Saat bunga mekar & gugur.”
Budaya-Tionghoa.Net | Syair diatas ditulis oleh Xue Tao, seorang pelacur kenamaan dari jaman Dinasti Tang.
Mungkin ada yang bertanya: Mengapa pramunikmat saja butuh kemampuan sastra? Kalau memang punya ketrampilan, mengapa harus jadi pelacur?
Sumber : http://jiuguishu-1972.blog.163.com/blog/static/82236033201271610562706/
Pertama-tama perlu diketahui, bahwa definisi kata Ji 妓 (pelacur) di Tiongkok kuno tidaklah terbatas pada penjaja seks semata. Lebih sering, mereka justru menghibur para tamunya dengan ketrampilan seperti: berpuisi, menulis kaligrafi, menyanyi, memainkan alat musik, menari, melukis, bermain catur, dsb.
Beberapa pelacur bahkan terang-terangan menyatakan hanya menjual bakat, bukan tubuhnya. Toh buktinya mereka tetap kebanjiran pelanggan. Ini membuktikan kalau wisma bunga raya di Tiongkok kuno sejatinya adalah tempat hiburan yang bermakna luas. Adapun posisi wanita penghibur disini kadang lebih mirip entertainer/pekerja seni, ketimbang pekerja seks komersial.
Tak heran kalau Luo Ye dari Dinasti Song pernah menulis bahwa kebanyakan penghibur kenamaan dijamannya tidaklah cantik. Namun mereka dikagumi karena talentanya.
SEJARAH SINGKAT PELACURAN DI CHINA KUNO
Jaman Chun Qiu (770-476 SM)
Guan Zong, seorang perdana mentri dari Kerajaan Qi membangun 700 rumah plesiran & memajaki penghuninya. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk meningkatkan kas negara. Inilah bentuk prostitusi legal tertua di China.
Sekitar 200 tahun kemudian, Raja Yue Goujian menempatkan janda-janda prajurit di Dufushan (Gunung Janda), mereka kemudian dijadikan pemuas hasrat bagi prajurit-prajuritnya. Ide Gojian ini disebut sebagai cikal bekal Yingji (pelacuran di barak militer).
Dinasti Han (206 SM-220)
Kaisar Han Wudi menata ulang konsep penghibur di barak militer. Wanita-wanita itu ditugaskan untuk melayani prajuritnya yang sedang berperang melawan Bangsa Xiongnu (Bangsa Hun).
Orang-orang kaya mulai mengikuti kebiasaan pejabat memelihara penyanyi & penari wanita. Mereka dikenal dengan istilah “Jiaji” (penghibur keluarga).
Jaman Utara & Selatan (386-589)
Kerajaan Wei Utara (386-534) memperkenalkan institusi Yuehu 乐户 (keluarga pemusik). Mereka adalah keluarga narapidana politik, kriminil & tawanan perang yg dihukum menjadi penghibur secara turun temurun. Sistem Yuehu juga dikenal sebagai Yueji 乐籍 (register pemusik).
Dinasti Tang (618-907)
Untuk melembagakan penghibur bagi kekaisaran, Kaisar Gaozu (Li Yuan) membangun Jiaofang (教坊), yakni sebuah departemen yang mengumpulkan & melatih para gadis dengan pelbagai ketrampilan; seperti menyanyi, menari, kaligrafi, puisi, tatakrama, seni pertunjukan, dsb. Wanita penghibur dari Jiaofang dekanal sebagai Gongji 公妓 (penghibur milik negara), yg terdiri dari: Gongji 宮妓 (penghibur keluarga kaisar) & Guanji (penghibur pejabat).
Catatan: Jangan rancu antara Gongji 公妓 (penghibur milik negara), dengan Gongji 宮妓 (penghibur keluarga kaisar), Gongji 宮妓 meerupakan bagian dari Gongji 公妓.
Jiaofang sempat diganti namanya menjadi Yuan Shaofu (云韶府) oleh Kaisar Wanita Wu Zetian. Belakangan Kaisar Xuanzong (Li Longji) mengembalikan namanya menjadi Jiaofang. Kaisar yang gila seni & hiburan ini bahkan menambahkan 2 Jiaofang baru, yakni Jiaofang Kiri & Jiaofang Kanan. Masing-masing berkedudukan di Chang’an & Luoyang. Jiaofang yg orisinil kemudian disebut “Jiaofang Dalam” & berada di Istana Penglai.
Pihak swastapun tidak ketinggalan mengumpulkan & melatih gadis-gadis berbakat. Mereka dikenal sebagai Siji (pelacur partikelir). Sebagian besar kelompok ini menetap di Pingkang Li (平康里), yaitu sebuah sudut kota Chang’an yg menjadi pusat prostitusi. Lebih spesifik lagi, wanita-wanita itu menetap di sebuah bangunan yang disebut Qinglou (rumah bordil).
Qinglou sendiri aslinya bermakna hunian yg indah untuk para bangsawan. Namun sejak Liu Miao dari Liang Selatan (397-414) menulis sajak yg menghubungkannya dengan Changnu (pelacur), konotasi Qingloupun lambat laun berubah menjadi sarang pelacuran, alias wisma bunga raya.
Dinasti Song (960-1279)
Saat kekuasaan beralih ke Wangsa Zhao dari Ahala Song, pembuatan & penjualan arak diatur oleh negara. Untuk meningkatkan omzet kedai arak milik pemerintah, pejabat-pejabat terkait mulai menempatkan gadis-gadis penghibur di sana.
Berbeda dengan periode Tang yang relatif liberal, Kekaisaran Song jauh lebih konservatif mengatur moral pejabatnya. Pemerintah menegaskan bahwa Guanji dari Jiaofang hanya memberikan hiburan yg berupa tarian, nyanyian & musik saja. Mereka bukanlah budak seks.
Dinasti Ming (1368-1644)
Pendiri Kekaisaran Ming, Zhu Yuanzhang melarang para pejabatnya main pelacur. Sehubungan dengan itu, beliau juga meredefinisi fungsi Guanji. Penghibur resmi milik negara ini sekarang tidak lagi diperuntukan bagi pejabat, melainkan menjual jasanya pada masyarakat umum. Wilayah pesisir sungai Qinhuai di Jinling (Nanjing) menjadi pusat lokalisasi para Guanji. Kebijakan anti prostitusi bagi pejabat yg diterapkan Zhu Yuanzhang terbukti tidak efektif. Khususnya di penghujung Dinasti Ming, dimana banyak sekali pejabat & kaum cendekia yg berhubungan dengan pelacur secara terang-terangan.
Pangeran Zhu Di menggulingkan Kaisar Jianwen (yg notabene keponakannya sendiri). Zhu Di kemudian naik tahta sebagai Kaisar Yongle. Ia mengasingkan seluruh keluarga simpatisan Jianwen ke Shanxi & Shaanxi (Shanxi & Shaanxi adalah 2 propinsi yg berbeda). Anak & istri mereka dipaksa menjadi Yuehu (keluarga pemusik) secara turun temurun. Mereka adalah Jianmin (pariah) yg harus lahir, hidup, & mati sebagai penghibur.
Hari-hari terakhir Kekaisaran Ming bisa disebut sebagai era Renaissance-nya pelacur multi talenta. Mereka memberi sumbangsih yang amat besar bagi perkembangan seni & sastra di Tiongkok. Kaum cendekia bahkan tak malu-malu menyebut mereka sebagai “Xiong” (kakak laki-laki). Contohnya Gu Mei (Gu Hengbo) yang sering dipanggil “Mei Xiong“.
Dimasa ini juga mucul istilah 8 wanita cantik dari Sungai Qinhuai (Qinhuai Bayan), yang mengacu pada 8 bunga raya termahsyur, yakni: Gu Hengbo, Dong Xiaowan, Bian Yujing, Li Xiangjun, Kou Baimen, Ma Xianglan, Liu Rushi & Chen Yuanyuan. “
Dinasti Qing (1644-1911)
Rezim Manzhu menandai datangnya era baru yang lebih ketat mengatur prostitutsi. Dimulai dari Kaisar Shun Zhi yg melarang para wanita dari Jiaofang memasuki istana. Institusi itu kini hanya boleh merekrut penghibur dari kalangan kasim & pria saja. Selanjutnya pada masa pemerintahan Yongzheng, Jiaofang diganti namanya menjadi Heshengshu. Ini untuk meningkatkan derajat penghibur kerajaan. Karena sebelumnya citra Jiaofang sudah begitu cemarnya. Baginda Yong Zheng juga merehabilitasi para Yuehu (keluarga pemusik) di Shanxi & Shaanxi. Mereka yg turun temurun diharuskan menjadi penghibur sejak jaman Yongle (Dinasti Ming), kini diperkenankan menggeluti profesi lainnya. Dengan kata lain, mereka berhak kembali menjadi warga biasa (Liangmin), bukan warga buangan (Jianmin) lagi.
Setelah Yuehu di Shanxi & Shaanxi, Yongzheng juga merehabilitasi kaum Jianmin di berbagai wilayah China lainnya. Para pariah yg sudah termarginalkan selama ratusan tahun karena dosa/pandangan politik leluhurnya, sekarang dapat sedikit bernapas lega.
Dengan dihapusnya berbagai institusi penghibur milik negara, seperti Jiaofang, Guanji & Yuehu, prostitusipun kini menjadi domain swasta.
Seiring perkembangan jaman yang semakin liberal & materialistis, Yiji sejati, yakni pelacur yang hanya menjual bakatnya saja telah terkikis (kalau bukan punah) dari bumi Tiongkok. Berbeda dengan saudarinya di Jepang, Geigi (Geisha) yang tetap lestari sampai hari ini.
Oleh : Henry Soetandya
=========================================================
SUMBER REFERENSI PUSTAKA
-Fang Fu Ruan, Molleen Matsumura. Sex in China: Studies in Sexology in Chinese Culture
-Jean Elizabeth Ward, Poet Laureate. Li Qingzhao: an Homage to.
-Rachel A. Harris, Rowan Pease, Shzr Ee Tan. Gender in Chinese Music.
-Rubie Sharon Watson, Patricia Buckley Ebrey. Marriage and Inequality in Chinese Society.
-Gail Hershatter. Dangerous Pleasures: Prostitution and Modernity in Twentieth-century Shanghai
-Anders Hansson. Chinese Outcasts: Discrimination and Emancipation in Late Imperial China.
-Tim Shephard,Anne Leonard. The Routledge Companion to Music and Visual Culture.
-Bonnie G. Smith. The Oxford Encyclopedia of Women in World History: 4 Volume Set.
-Melissa Hope Ditmore. The Encyclopedia of Prostitutes and Sex Work.
-East Asian History. Number 25/26-June/Dec 2003.
-Encyclopedia of China-India Cultural Contacts Vol II
-Sufen Xu. Lotus Flowers Risiong from the Dark Mud: Late Ming Couresans and their Poetry
-Choi Siu-Man. The Yongzheng emperor revisited: the Confucian and legalist elements in his policies, 1723-35
SUMBER REFERENSI WEB
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1957-geji-geisha-2–tokoh-tokoh-dalam-sejarah
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/konten/esai/item/1916-geji-geisha-1-dalam-budaya-tionghoa
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/konten/esai/item/2051-geji-geisha-3–peranan-geisha-dalam-dunia-modern–kesimpulan
http://listverse.com/2014/02/11/10-types-of-prostitutes-in-history/
http://baike.baidu.com/view/714.htm
http://www.theworldofchinese.com/2013/11/prostitutes-and-poets/
http://zh.wikipedia.org/wiki/%E6%AD%8C%E5%A5%B3
http://www.fridae.asia/gay-news/2007/06/19/1879.same-sex-love-in-ancient-and-modern-chinese-history-2-2
http://www.theworldofchinese.com/2013/11/prostitutes-and-poets/
http://www.chinahistoryforum.com/topic/9271-origins-of-qing-lou-http://www.chinaculture.org/classics/2009-07/28/conhttp://baike.baidu.com/view/814064.htmtent_339652_3.htmyaituhttp://baike.baidu.com/subview/28599/8560957.htm
http://zh.wikipedia.org/wiki/%E6%9F%B3%E5%A6%82%E6%98%AF
http://news.ifeng.com/history/zhongguogudaishi/detail_2014_02/08/33617521_0.shtml
http://baike.baidu.com/view/12125http://baike.baidu.com/view/914727.htm
http://www.chinahistoryforum.com/topic/549-famous-prostitutes-in-chinese-history/
http://www.chinahistoryforum.com/topic/29209-chinese-equivalent-of-geishas/
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa