[1]. Apa yang disebut manusia ? Manusia adalah mahluk yang berkata. “Manusia disebut manusia, adalah ( karena ) kata. Manusia tidak dapat berkata, bagaimana menjadi manusia” (人之所以为人者言也 人而不能言 何以为人)[2]. Dengan bunyilah manusia merefleksikan perasaannya yang disebabkan adanya unsur-unsur luar, seperti ditulis dalam kitab Liji “Asal dari bunyi, berasal dari hati manusia. Gerak dari hati manusia, berasal dari benda (pengaruh luar ) ( 凡音之起, 由人心生也. 人心之動, 物使然也)[3] . “Interaksi dengan benda melahirkan gerak, terbentuk dengan suara. Suara saling berinteraksi, itulah melahirkan ragam. Ragam menjadi fang( 5 nada ), itulah bunyi”( 感于物而動, 故形于聲.聲相應,故生變. 變成方,謂之音)[4].
Manusia dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain itu menggunakan “bunyi” yang disebut kata, kata ini adalah bagian dari bahasa. Ernst Cassier menuliskan bahwa “Demoskritos-lah orang yang pertama mengajukan tesis bahwa bahasa manusia berasal dari bunyi-bunyi tertentu yang semata-mata bersifat emosional”Segala bunyi, lahir dari hati manusia. Perasaan bergerak di dalamnya, menjadi suara. Suara menjadi bahasa, itulah bunyi ( yang beragam) ( 凡音者, 生與人心者. 情動與中, 故形與聲. 聲成文, 謂之音)[5]. Manusia memiliki indera-indera tubuh sehingga bisa berinteraksi dan memiliki nalar untuk merefleksikan hasil interaksi itu, menggunakan bunyi yang kemudian menjadi kata dan berkembanglah bahasa sebagai alat penghubung ( alat komunikasi ) antara satu dengan yang lain. Seperti tertulis dalam kitab Liji,”sifat alami manusia adalah hening, gerak karena adanya interaksi ( dengan ) benda ( luar )” ( 人生而静天之性也感于物而動)[6]. Bahasa bagi manusia itu sifatnya primer, dapat diucapkan, dan menghasilkan bunyi, apakah ini berarti semut tidak memiliki kemampuan berkomunikasi ? Apakah hanya manusia saja yang mengenal bahasa ? Apakah kemampuan empiris manusia yang berdasarkan indra-indra manusia saja sehingga hanya manusia yang memiliki kemampuan berbahasa ? Menurut penulis, tidak selalu seperti itu. Semut juga memiliki kemampuan berkomunikasi dengan sesame semut melalui senyawa-senyawa kimia.
Tanpa adanya indera-indera itu maka manusia tidak bisa menggunakan bahasa dan selama mahluk hidup memiliki indera, maka mahluk hidup itu memerlukan bahasa sebagai alat penghubung, tidak selalu harus dengan bunyi. Manusia memperluas fungsi bahasa sebagai alat penghubung menjadi amat kompleks, tidak lagi semata-mata alat komunikasi tapi juga sebagai ekspresi diri. Bahasa bisa menjadi sebagai alat fungsi dan strata sosial, misalnya bahasa kromo inggil pada bahasa Jawa; juga sebagai sarana ekspresi diri seperti dalam sajak, puisi.
Film Babel menggambarkan permasalahan bahasa manusia dalam berinteraksi satu dengan yang lain yang berlatar budaya dan pemikiran manusia yang berbeda-beda. Manusia merefleksikan perasaannya melalui bunyi dan tidak luput dari pengaruh-pengaruh luar yang melatari perasaannya. Pengaruh-pengaruh itu bisa menjadi dasar-dasar budaya yang berbeda-beda sehingga bahasa juga menjadi berbeda-beda. Bahasa juga bersifat arbriter, bunyi dor, bisa menjadi bang dalam bahasa Inggris, ini juga menunjukkan betapa bunyi bisa berbeda-beda. Dalam film Babel, bisa melihat jelas masalah perasaan ini, misalnya : Chieko Wataya, seorang gadis bisu juga tetap mengeluarkan bunyi bahkan dari bunyi itu juga bisa dirasakan ekspresi perasaan hatinya yang depresi karena permasalahan seksualnya. Selain bunyi yang dikeluarkan juga dengan gerak tubuh yang distandarisasi menjadi bahasa bagi mereka yang bisu agar bisa berkomunikasi satu dengan yang lain. Susan yang tertembak tanpa disengaja saat berlibur di Maroko, ketika hendak diobati lukanya tanpa obat bius, seorang ibu tua melihat ekspresi kesakitan dan ketakukan Susan, ia memberi Susan candu. Walau bahasa menghalangi tapi gesture dan bunyi yang dikeluarkan dengan intonasi yang menentramkan bisa membuat Susan menyadari apa yang hendak dilakukan oleh ibu tersebut.
Bahasa sebagai pengikat sekelompok manusia bisa menjadi hambatan dalam berkomunikasi dengan kelompok yang berbeda, bahkan bisa melahirkan benturan. Baik bahasa dalam bentuk bunyi maupun bahasa dalam bentuk “bahasa isyarat”. Misalnya cara menyapa orang Tibet yang dengan membuka telapak tangan di samping kepala dan menjulurkan lidah, bisa berarti penghinaan bagi etnis lain. Padahal maknanya salam orang Tibet itu adalah ketulusan, tidak memiliki niatan buruk. Membuka telapak tangan artinya menunjukkan tidak menyimpan senjata dan menjulurkan lidah menunjukkan lidahnya tidak hitam. Lidah yang hitam berarti orang tersebut memiliki ilmu hitam yang sering mencelakan orang lain. Bahasa tubuh manusia dalam menyapa itu memiliki makna-makna yang berbeda-beda dan binatang sekalipun memiliki bahasa “tubuh” maupun bahasa “bunyi”, misalnya kucing dengan anjing yang memiliki bahasa tubuh yang berbeda. Menaikkan dan menggoyangkan ekor, bagi anjing adalah perasaan senang sedangkan bagi kucing adalah mengancam, sehingga kucing dan anjing bisa berkelahi karena bahasa yang berbeda, demikian juga manusia yang bisa berkelahi karena perbedaan bahasa.
“Keseragaman esensial”[7] antara manusia dengan binatang hanya dalam bentuk ekspresi perasaan yang dikeluarkan melalui “gerak tubuh” maupun “suara” atas respon yang dihadapinya. Respon terhadap ancaman, ketakutan, kesenangan akan melahirkan “bunyi”, tapi yang membedakannya, menurut kitab Liji adalah “hanya mengenal suara tapi tidak mengenal bunyi adalah binatang” ( 是故知聲而不知音,禽獸是也)[8]. Pengertian bunyi disini adalah intonasi yang beragam dan bisa dimainkan sehingga menjadi music, sehingga manusia bisa memperluas ekspresi perasaannya melalui bunyi-bunyi yang dirangkai menjadi music[9].
Dalam mitologi Tiongkok, tulisan diciptakan oleh manusia yang bernama Cangjie 倉頡. Tujuannya adalah mempersatukan berbagai bunyi yang berbeda menjadi satu bahasa tulisan yang berbentuk gambar. Walau beragam bunyi tapi memiliki kesamaan dalam bentuk “tulisan”, ini adalah mitos yang mengharapkan adanya kesatuan bahasa dan dituangkan dalam bentuk kisah “pahlawan cultural” bernama Cangjie. Semakin kompleksnya permasalahan manusia dan juga berkembangnya budaya, maka bahasa tulisan “symbol” ini menjadi beragam bentuk dalam perkembangan bahasa Tionghoa, baik dari segi piktofonetic, ideograpic, asosiatif, indikatif. Semua yang terkait dengan bahasa memiliki akar kata yan 言, arti kata yan ini adalah ide dan makna. Keseragaman dalam bentuk tulisan ini membuat satu ciri khas dalam budaya Tionghoa, dimana “bunyi” tidak lagi memegang peranan penting dalam berkomunikasi, yang memegang peranan penting adalah “tulisan”. Biar beragam dialek tapi memiliki universalitas dalam bentuk tulisan. Dari bahasa bunyi yang bersifat “primer” menjadi bahasa tulisan yang bersifat “sekunder”, tapi tetap menghasilkan bunyi pada saat dibacanya. Keunikannya bahasa Tionghoa adalah memiliki ragam sub dialek. Misalnya kata saya 我 dalam dialek Beijing adalah wo, dialek Hakka dibaca ngai, dialek Minnan wa, dialek Guangfu ( Guangdong ) ngoh.
Manusia menginginkan bahasa persatuan untuk interaksi sesama manusia tapi faktanya terpecah-pecah melalui bahasa seperti dalam mitos menara Babel. Upaya penyatuan bahasa dilakukan oleh banyak orang, salah satunya adalah Qin Shihuang yang menyatukan ragam tulisan menjadi satu bahasa tulisan, tapi tetap bunyi (sub dialek ) menjadi pemisah dalam masyarakat Tionghoa, karena itu diperlukan satu bunyi ( dialek ) sebagai pemersatu. Sehingga dalam sejarah Tiongkok ada banyak “bahasa pejabat” ( 官话 ) berdasarkan sub dialek dan sekarang ini dialek Beijing menjadi “bahasa pejabat”. Itu adalah kesepakatan bahasa di masyarakat Tiongkok sedangkan masyarakat dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bahasa itu secara tidak sadar mencoba mencari bahasa persatuannya. Sekarang ini bahasa persatuannya masih berupa bahasa symbol, yaitu bahasa yang digunakan oleh para pengguna jalan. Contohnya adalah rambu lalu lintas yang diterima sebagai kesepakatan manusia dalam berlalu lintas.
Semua yang terkait dengan bahasa harus mengandung ide dan makna, baik dalam proses tuturan ( la parole ) maupun bahasa ( la langue ). Ferdinand de Saussure menarik tajam antara la parole dan la langue. Bahasa ( la langue ) bersifat universal, sedangkan proses tuturan ( la parole ) sebagai proses temporal bersifat individual[10]. “Dao yang dapat dikatakan bukanlah dao sesungguhnya” ( 道可道非常道 ) dan “nama yang dapat dinamakan bukanlah nama sesungguhnya” ( 名可名非常名 )[11], ini adalah proses individual yang bersifat temporal dalam “mengarungi” dunia yang penuh dengan “kata”, karena penghayatan akan “dao” selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan batin, selain itu adalah pemikiran manuisa yang berubah-ubah. Sebagai contoh adalah kata “asu” yang bisa berarti hinaan, cacian tapi juga bisa sebagai ungkapan perasaan diri. Tapi manusia tetap memerlukan sesuatu yang perlu dipegang sebagai dasar untuk keseragaman, karena itu Laozi mengatakan “Kupaksa beri nama dao” (強名曰道 ) sebagai kata yang bersifat universal seperti ungkapan Hui Neng, “jari yang menunjuk ke bulan” tapi kata dao itu bukanlah bulan. Dalam kaligrafi Tiongkok juga memiliki proses individual dan ekspresi individual sehingga bisa menjadi satu “bahasa” ekspresi individual dan memiliki ragam gaya. Dengan belajar menamai benda-benda, seorang anak tidak sekedar menempelkan daftar objek-objek empiris yang “sudah jadi” dan yang sebelumnya ia miliki[12]. Ada pepatah dalam bahasa Tionghoa, “penamaan benar perkataan lancar” ( 名正言顺 ), bahwa dengan penamaan yang tepat maka ucapan ( makna ) akan lancar ( sesuai ). Demikian pula dengan Laozi yang memaksakan memberikan nama pada satu entitas yang penuh “misteri”, tanpa penamaan sebagai “jangkar” dalam menjelaskan persepsi-persepsi akan membuat kabur. Tanpa bantuan nama, setiap kemajuan baru dalam proses objektifikasi selalu punya resiko segera lenyap pada saat berikutnya[13]. Nama-nama pertama yang dipakai oleh seorang anak secara sadar dapat diibaratkan sebagai sebuah tongkat yang dipakai seorang buta untuk meraba-raba jalan.
Kembali lagi pada film Babel, ragam bahasa itu memiliki satu kesamaan yaitu bahasa ekspresi perasaan yang spontan tidak ditutupi-tutupi. Ekspresi rasa senang bisa menjadi “bahasa penghubung” antara manusia yang satu dengan yang lain, karena ekspresi emosi itu adalah tampak dan bisa dirasakan dengan bahasa “rasa” bukan bahasa “struktur”. Manusia memerlukan bahasa dalam bentuk apapun dan sebenarnya alam juga memilik bahasanya. Liu Zhou 劉晝 mengatakan “Matahari dan bulan adalah bahasa langit, sungai dan gunung adalah bahasa bumi, tuturan percakapanadalah bahasa manusia. Bahasa langit hilang akan ada perubahan yang merusak, bahasa bumi hilang pasti ada bencana keruntuhan, bahasa manusia lenyap pasti ada celaka yang melukai tubuh.” (日月者天之文也,山川者地之文也,言語者人之文也。天文失則有謫蝕之變,地文失必有崩竭之灾,人文失必有傷身之患 ) . Saat bahasa tidak menyambung seperti yang dialami oleh Amelia, Santiago maupun tokoh-tokoh lainnya dalam film Babel, maka kesulitan akan menimpa Film Babel memiliki nuansa-nuansa kendala bahasa dan juga kesamaan bahasa yang tidak disadari oleh manusia, jejaring yang saling kait terkait. Ternyata senapan itu berasal dari Yasujiro Wataya dan akibatnya adalah kata “terror” yang muncul dan mencekam para turis saat ke Maroko.
Yang perlu disadari adalah semua yang ada di alam semesta ini memiliki “bahasa” dan semua yang ada itu memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, hanya saja apa disadari atau tidak bahwa kita ini ada dalam jejaring yang saling mengambil dan saling berinteraksi. Pernyataan Liu Zhou itu perlu dipikirkan mendalam bahwa dalam alam ini ada ragam bahasa dan perlunya menyadari ragam bahasa itu agar manusia bisa tetap selaras dengan alam. Menyadari bahwa ada langit dan bumi di antara manusia ini dan perlu memahami bahasa langit dan bahasa bumi disertai bahasa manusia.
Daftar pustaka :
Cassirer, Ernst , “Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Essei Tentang Manusia”, 1987,Jakarta : PT Gramedia
Xu Jialu 許嘉璐 chief ed., “Tiga Belas kitab, komparasi bahasa klasik dan modern”, jilid 2, 1995, Guangdong, Guangxi, Shanxi : Guangdong Education publisher, Shanxi people’s Education publisher, Guangxi Education publisher.
[1] Ernst Cassier, hal.174
[2] Chunqiu Guliang zhuan bab Duke Xi, hal.64.
[3] Liji bab Yueji, hal.168.
[4] Loc.cipt
[5] Loc cipt
[6] Loc cipt
[7] Lih. Ernt Cassier
[8] Liji bab Yueji, hal.168
[9] Bdk.Ernt Casier, hal.177-178. Dalam kitab Liji bab Yueji, menuliskan bahwa music adalah gabungan dari berbagai nada suara dan ekspresi perasaan-perasaan manusia.
[10] Ernst Cassier, hal. 186.
[11] Daode jing bab 1
[12] Ernst Cassier, hal.201
[13] Loc.cipt
Oleh : Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa