Kelenteng Tjoe Wie Kiong Rembang
Rembang merupakan kota tua yang telah dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit, seperti disebutkan dalam kitab “Nagrakartagama Pupuh XXI” Asal mula kota Rembang diperoleh dari kebiasaan orang – orang Jawa asli yang menikah dengan pendatang Campa (Tonkin, Vietnam) yang pandai membuat gula tebu. Dibulan Waisaka orang – orang memulai memangkas tebu (Jawa : ngrembang). Sebelum mulai ngrembang mereka mengadakan upacara suci “Ngrembang Sakawit” dan Samadi ditempat tersebut, tebu yang dipangkas lalu dipotong menjadi dua batang untuk “Tebu Temanten”. Demikianlah asal mula kata ngrembang menjadi nama kota Rembang (Handajani:1997). Di kota ini juga masih banyak ditemui rumah dengan arsitektur tradional tionghoa, dan kota ini juga mempunyai 2 buah kelenteng kuno yang dikenal dengan kelenteng Mak Co atau kelenteng lor dan kelenteng Kong Co atau kelenteng kidul.
Kelenteng Makco atau Klenteng Tjoe Wie Kiong terletak di Desa Tasikagung, di jalan Pelabuhan no 1 Rembang. Kelenteng ini dikelola oleh Yayasan Dwi Kumala dimana pengunjung yang berasal dari arah kota Semarang bisa langsung menuju lokasi karena lokasinya sebelum memasuki kota Rembang.
Keberadaan kelenteng Tjoe Wie Kiong dan permukiman Tionghoa di Rembang tidak dapat lepas dari sejarah masa lalunya. Sesudah pecahnya pemberontakan Tionghoa dan diperoleh kenyataan adanya persatuan antara orang-orang pribumi dan Tionghoa, maka hal ini dianggap membahayakan kejayaan Kompeni. Selanjutnya Kompeni melakukan pemecahbelahan antar dua kelompok ini. Bahkan Kompeni mengeluarkan perintah memindahkan pemukiman orang-orang Tionghoa di Dresi dan Jangkungan menuju ke sebelah timur atau masuk ke dalam kota Rembang yang sekarang ini.
Lokasi kelenteng ini berada di tepi sungai Karanggeneng dan menghadap ke arah bekas pelabuhan Rembang di muara sungai ini yang sekarang berada di sisi barat Kawasan Bahari Terpadu. Kelenteng Mak Co di Rembang ini didirikan pada tahun 1841, bangunan ibadah ini mula-mula didirikan di desa Jangkungan, kecamatan Kaliori kemudian dipindah ke lokasi sebagaimana yang sekarang bisa dijumpai.
Kesibukan nelayan Rembang berupa mempersiapkan kapal, membongkar muatan maupun ketika memperbaiki jala dapat dilihat langsung oleh pengunjung kelenteng secara langsung karena jaraknya yang tidak terlalu jauh. Selain aktivitas nelayan para pengunjung kelenteng juga bisa menikmati indahnya pemandangan laut serta puluhan kapal yang bersandar setelah melaut. Dengan revitalisasi yang terencana maka pemandangan laut yang indah, serta bangunan kuno bersejarah berupa kelenteng merupakan potensi wisata yang menjanjikan bagi Kabupaten Rembang. Ide ini yang aku tawarkan ke mahasiswaku untuk mengambil tugas akhir dengan tema revitalisasi kawasan kelenteng Dewi Mazu ini.
Siang itu aku, Kuncoro dan mamanya tiba di kelenteng Makco Rembang, cuaca saat itu sangat cerah. Kami disambut pelataran yang sangat luas dengan dua buah tiang berwarna merah yang tinggi yang disebut Kie Kwa yang tidak dapat di jumpai pada kelenteng lain. Seperti halnya kelenteng Tjoe An Kiong, kelenteng ini didirikan sebagai ungkapan syukur kepada Tian Shang Sheng Mu (Thian Siang Sing Bo – Hokian) atau dikenal juga dengan sebutan Ma Zu atau Tian Hou.
Open Space di depan Kelenteng Tjoe wie kiong merupakan open space yang paling luas diantara open space kelenteng dewi Mazu yang lain. Shan men 山門/ pai lou 牌樓 atau pintu gerbang besar khas arsitektur Tionghoa yang indah siap menyambut para pengunjung yang akan memasuki area kelenteng. Di atas pai lou/shan men terdapat sepasang naga mengapit huo zhu火珠, atau mutiara api, bentuk bola api (mutiara Budha), sedangkan pada bagian atas pintu gerbang tersebut tertulis nama kelenteng dalam aksara Tionghoa.
Pailou Kelenteng Tjoe Wie Kiong (Sumber : Dokumentasi pribadi 2010)
Atap kelenteng Tjoe wie kiong berbentuk pelana yingshading硬山顶 dengan bubungan yang melengkung keatas di ujung sisi kiri dan kanannya yanwei燕尾形, dan pada segitiga atap di sisi kiri dan kanannya terdapat ornamen sulur, bunga dan manusia
Ma tou qiang Kelenteng Tjoe Wie Kiong (Sumber : Dokumentasi pribadi 2010)
Seperti halnya hiasan atap pada kelenteng Tjoe An Kiong di Lasem bagian atap bagian depan kelenteng Tjoe Wie Kiong ini menampakkan paduan hiasan yang penuh makna, yaitu sepasang naga berjalan atau xing long 行龍 mengapit mutiara api, bentuk bola api yang disebut huo zhu火珠, atau (mutiara Budha) yang melambangkan matahari sedangkan pada atap bangunan altar samping terdapat hiasan burung phoenix/hong. Pada atap bagian depan terbagi menjadi tiga bagian oleh dinding yang disebut ma tou qiang 馬頭牆.
Berbeda dengan kelenteng Tjoe An Kiong Lasem, singa batu yang disebut shi zi, 狮子 pada kelenteng ini berada di dalam gerbang di depan bangunan utama. Singa batu ini berwarna hijau terdiri dari singa jantan (dikakinya ada bola dunia) sedangkan singa betina (dikakinya ada anaknya). Di depan bangunan ibadah ini terdapat 2 tempat pembakaran kertas yang berbentuk pagoda berwarna merah dan kuning yang dililit naga di sisi kiri dan kanan tangga serambi.
Tampak depan Kelenteng Tjoe Wie Kiong (Sumber : Dokumentasi pribadi 2010)
Pintu utama berupa shuang shan ban men 雙扇版門, berupa pintu kayu 2 daun yang berukuran sama berjumlah 3 buah yang membuka kedalam, pintu tersebut terbuat dari kayu dan berwarna merah.
Pada pintu utama terdapat ge zi men,格 子 門, ge shan men, 格扇 門,pintu teralis atau pintu setengah yang terbuat dari bilah-bilah kayu selain itu pada bagian bawah pintu utama masih terdapat balok/papan yang melintang disebut di fu ban 地栿 版dan, dimana seseorang jika akan memasuki ruang altar harus mengangkat kaki agak tinggi. Menurut ibu Ratna Dewi pengurus kelenteng tersebut konon Sheng Chi dari dalam kelenteng akan berhembus membersihkan telapak kaki orang yang akan memasuki altar. Bantalan pintu, bahan dari kayu atau batu dilantai untuk dudukan sumbu engsel pintu disebut men zhen 門砧.
Dinding depan bangunan altar utama mempunyai jendela yang disebut kan chuang, 看窗, berupa jendela berornamen dimana ornamen tersebut menyisakan lobang-lobang sehingga orang diluar bangunan masih dapat melihat suasana ruang dalam bangunan ibadah atau sebaliknya. Lobang lobang pada ornamen jendela depan tersebut juga berfungsi sebagai sirkulasi udara maupun cahaya dari luar kedalam bangunan.
Lantai menggunakan ubin keramik warna merah diduga sudah mengalami pergantian karena mode, jika kita mengamati pada bangunan rumah tinggal kuno masyarakat Tionghoa Rembang yang belum banyak direnovasi bahan lantainya dari batu yang dibentuk persegi dan dihaluskan yang dikenal dengan sebutan batu Selad.
Rangka konstruksi atap terbuka (exposed) disebut che shang ming zao, terbuat dari kayu berwarna merah dengan pingul kuning di sekelilingnya, bagian serambi maupun bagian ruang ibadah utama kelenteng Tjoe wie kiong berupa rangkaian struktur kayu yang rumit dengan sentuhan seni yang tinggi. Pada serambi menggunakan sistem balok ratu (queen post), sedangkan pada ruang ibadah utama menggunakan sistem balok raja (king post). Gording berbentuk silinder berwarna putih yang di topang dougong berwarna merah dengan pingul kuning, sedangkan plafon berwarna putih. Pada 2 gording teratas ditutup dengan kayu dengan aksara Tionghoa.
Skoor atau Dougong 斗拱 pada kelenteng Tjoe wie kiong ada beberapa bentuk tetapi yang paling unik adalah skoor pada pertemuan atap bangunan serambi dan bangunan ibadah utama yaitu skoor yang di atasnya ada bentuk kepiting yang memanggul kayu.
Menurut Ardian Cangianto arti dari ornament kepiting di kelenteng ini terkait dengan kesamaan bunyi (homophone) dan kesamaan bunyi ini mengandung makna pengharapan. Kepiting itu memiliki cangkang (beike 貝殼) yang berfungsi sebagai zirah (kuijia 盔甲)pelindung tubuhnya yang lunak. Dari cangkang dan zirah itu diambil kata ke 殼 yang sebagai homophone dengan ke科 yang memiliki arti ujian kenegaraan untuk menjadi pejabat negara baik pejabat sipil maupun militer, sedangkan jia 甲 yang berarti pelindung tubuh juga bisa berarti nomor satu, dan itu digabung menjadi kejia 科甲, dimasa dinasti Ming dan Qing kejia 科甲 artinya lulusan terbaik ujian negara itu. Jadi kelenteng yang memiliki ornament kepiting itu mengandung harapan agar orang-orang terutama kaum terpelajar bisa menggapai nilai tertinggi dalam ujian
Jika kita amati dinding kiri dan kanan dari serambi kelenteng ini terdapat lukisan pada dinding bi hua 壁畫,atau disebut juga mural sebelah kiri yang menceritakan tentang 3 kerajaan (Sam Kok) seperti halnya di kelenteng Tjoe An Kiong Lasem.
Kolom pada bangunan ibadah ini ada 2 macam yaitu berbentuk persegi yang disebut fang zhu 方柱 berukuran 20/20cm serta berbentuk silinder cembung yang disebut zhu yingdengan diameter kurang lebih 40 cm bandingkan dengan besar tubuh sdr Kuncoro. Kolom persegi atau fang zhu digunakan pada ruang serambi sedangkan kolom silinder cembung atau zhu ying digunakan pada ruang ibada utama. Kolom-kolom tersebut berdiri di atas umpak bat
Pada bangunan ibadah utama terdapat 3 buah altar, yaitu altar Thian Siang Sing Bo terletak di tengah dan di sisi kiri terdapat altar Kong Tek Tjoen Ong atau Kwe Sing Ong sedangkan di sisi kanan adalah altar Tiong Thwan Gwan Swee. Kong Tek Tjoen Ong atau Kwe Sing Ong berasal dari kabupaten Nanan propinsi Fujian, sosok yang dihormati dengan gelar Guan Ze Zun Wang yang berarti Raja mulia yang memberi berkah berlimpah (Setiawan dan Kwa,1990: hal 289-291). Sedangkan Tiong Thwan Gwan Swee/Li Lo Cia/Na Cha Thay Cu adalah putera ketiga Li Jing yang sering tampak sebagai pengawal Bao Sheng Da Di dan Tian Shang Shen Mu (Setiawan dan Kwa,1990: hal 170)
Altar utama dan altar samping Kelenteng Tjoe Wie Kiong (Sumber : Dokumentasi pribadi 2010)
Pada bangunan ibadah ini selain altar pada bangunan utama terdapat altar tambahan yaitu pada sisi kiri adalah altar Koan Se Im Po Sat dan altar tambahan kanan adalah altar Tan Oei Djie Sian Seng. Khusus untuk kongco Tan Oei Djie Sian Seng hanya ada di kelenteng Rembang, Juwana dan Lasem karena mereka dipercaya sebagai tokoh pahlawan (Setiawan dan Kwa,1990: hal 311-312). Kelenteng dengan dewa utama kongco Tan Oei Djie Sian Seng terdapat di Lasem di jalan Babagan dengan nama kelenteng Gie Yong Bio. Kelenteng tersebut merupakan penghormatan perjuangan Oei Ing Kiat, Tan Kee Wie dan R Panji Margono pada perang Kuning atau Perang Gada Balik (R Panji Karsono tahun 1920)
(Bersambung)
Oleh : Djoko Darmawan (edited by admin)
Email: [email protected]