Budaya-Tionghoa.Net | Liang Shanbo dan Zhu Yingtai (Pinyin) atau di Indonesia orang lebih mengenalnya sebagai Sam Pek – Eng Tay adalah kisah cinta legendaris yang berlatar jaman Jin Timur (265-420 CE). Kisah ini termasuk dalam 4 besar kisah legenda Tiongkok, disamping Kisah Ular Putih (Baishezhuan), Si Gembala dan Gadis Penenun (Niulang Zhinu), dan Meng Jiangnu yang meratap di Tembok Besar.
Berikut ini seorang member grup berkesempatan menceritakannya kembali.
Mencari ilmu
1000 tahun yang lalu, di samping Sungai Yushui, Propinsi Zhejiang terdapat sebuah desa keluarga Zhu. Tuan Zhu di desa tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Yingtai. Ia baru saja berusia 19 tahun, ia tidak hanya pintar dan cantik, tetapi juga banyak belajar. Tetapi peraturan Tuan Zhu sangat ketat, pada hari-hari biasa tidak mengizinkan anak perempuannya keluar rumah. Hal ini membuat Yingtai sangat bermuram durja.
Suatu hari, Yingtai bermalas-malasan duduk di samping jendela memandang dan menikmati pemandangan musim semi yang indah. Di saat yang indah seperti ini memikirkan dirinya sendiri hanya bisa tinggal di dalam rumah, Yingtai diam-diam hatinya menjadi pilu.
Pada waktu itu, Yingtai melihat dari depan jendela sekelompok pelajar dari luar daerah yang pergi ke kota Hangzhou untuk mencari ilmu, hatinya sangat iri, lalu segera berlari memohon kepada ayahnya agar ia diizinkan pergi ke Hangzhou untuk menuntut ilmu. Ayahnya merasa sangat terkejut. Seorang anak perempuan, tiba-tiba ingin keluar rumah pergi ke luar kota untuk belajar? Ini sangat mustahil? Ayah secara tegas menolak permintaan Yingtai.
Yingtai mendapat penolakan, hatinya sangat tidak bahagia, lalu mengurung diri di dalam kamar berpura-pura sakit, tidak mau keluar menemui ayahnya, lalu dengan diam-diam mendiskusikan cara membujuk ayahnya dengan Yinxin, pembantunya.
Tuan Zhu mendengar anak perempuannya sakit, hatinya sangat khawatir. Pada waktu itu, Yinxin berlari masuk ke dalam rumah dan berkata kepada Tuannya, ”Di luar ada seorang peramal, haruskah membiarkan ia masuk untuk meramalkan nasib Nona?” Tuan zhu sedang gelisah, tidak tahu harus bagaimana baiknya, segera menjawab, ”Cepat panggil dia masuk!”
Yang masuk adalah seorang peramal muda yang tampan. Tuan Zhu berkata, “Saya mempunyai seorang anak perempuan, ingin pergi ke Hangzhou untuk mencari ilmu, karena dia anak perempuan, saya tidak menyetujuinya, dia sepanjang hari selalu bersedih, sakit-sakitan, saya tidak tahu bagaimana baiknya, oleh karena itu secara khusus meminta tuan untuk meramalkannya.” Peramal itu lalu menanyakan tanggal lahir Yingtai dan menghitungnya, kemudian berkata pada Tuan Zhu, ”Dilihat dari hasil ramalan, dengan tinggalnya nona di rumah, bisa banyak mendapat ketidakberuntungan dan banyak terkena penyakit, kemungkinan dengan menuntut ilmu di luar, bisa membaik.”
Tuan Zhu begitu mendengar menjadi gelisah, lalu berkata, ”Bagaimana bisa! Bagaimana bisa!” Yinxin dan peramal itu melihat wajah Tuan Zhu tersebut lalu tersenyum. Tuan Zhu berkata dengan tidak senang, “Apa yang kalian tertawakan?” Peramal itu menghentikan senyumannya, dan memanggil, “Ayah!” kemudian menanggalkan baju dan topinya. Ternyata ia adalah Yingtai.
Tuan Zhu sangat marah. “Yingtai! Kamu berani mempermainkan ayahmu!” Yingtai menjawab,”Saya berpakaian seperti anak laki-laki, ayah juga tidak dapat mengenali saya, sekarang ayah bisa membiarkan saya untuk pergi sekolah?” Tuan Zhu berkata,”Ngawur! Sejak jaman dulu mana ada anak perempuan yang pergi sekolah? Di rumah membaca buku juga sudah cukup.”
Yingtai berkata, ”Di kota Hangzhou banyak guru yang terkenal, saya pergi ke sana demi menuntut ilmu dan menambah pengetahuan.” Yinxin juga membantu membelanya,”Nona setiap hari murung di dalam rumah, kalau sampai sakit akan gawat.”
“Ini….” Tuan Zhu pada saat itu tidak bisa berkata-kata. Yingtai melihat ayahnya tergugah, lalu menyadarkan ayahnya dan berkata, ”Tahun ini keluarga kerajaan mencari dayang istana, jika saya terpilih masuk istana, kita tidak bisa bertemu lagi selamanya.”
Tuan Zhu lama berpikir, mendesah panjang, berkata tanpa ada jalan lain, ”Kalau begitu, sebaiknya mengizinkan kamu pergi untuk menghindar sementara waktu, tetapi kamu harus ingat, pertama, sekolah di luar, sama sekali jangan membuka identitasmu, kedua, sekolah tiga tahun penuh, harus tepat waktu kembali, ketiga, jika di rumah ada masalah, begitu melihat surat dari rumah, segera kembali ke rumah!”
Yingtai menyetujui permintaan ayahnya dengan gembira.
Yingtai berpakaian seperti pelajar pria, Yinxin berpakaian seperti Shutong. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada ayahnya, lalu berangkat.
Mengikat persaudaraan
Bunga bermekaran, rumput menghijau, pemandangan di musim semi begitu indah. Yingtai dan Yinxin bahagia sama seperti burung yang keluar dari sangkar.
Mereka di perjalanan bercakap-cakap, bernyanyi, dan berjingkrak-jingkrak.
Setelah lelah berjalan, mereka beristirahat di sebuah paviliun di samping jalan. Mereka baru saja duduk sebentar, dua orang datang menghampiri. Orang yang berjalan di depan adalah seorang pelajar muda, yang mengikuti dibelakangnya adalah seorang shutong. Setelah pelajar itu melihat Yingtai, sikapnya sangat wajar.
Pelajar itu menghampiri dan memberi hormat pada Yingtai. Mereka duduk dan bercakap-cakap. Ternyata pelajar itu juga pergi menuntut ilmu ke Hangzhou. Ia bermarga Liang, namanya Shanbo, berasal dari Guiji.
Yinxin mengingatkan Yingtai untuk berangkat, dan kelepasan bicara memangil, “Nona….” Shanbo mendengar sepintas lalu kebingungan. Yingtai segera mengalihkan pembicaraan, “Nona baik-baik saja di rumah, kamu mengungkitnya untuk apa?” Yinxin berkata, ”Saya rasa jika nona bisa sama-sama sekolah pasti menyenangkan.”
Yingtai menjelaskan kepada Shanbo, “Di rumah saya ada seorang adik perempuan, sebenarnya ingin bersekolah bersama-sama dengan saya, menurut ayah karena dia seorang anak perempuan, maka tidak diizinkan. Menurut pandangan saya, wanita seharusnya boleh pergi sekolah di luar dan melihat dunia luar.”
Shanbo sangat setuju pada pendapatnya. Mereka berdua bercakap-cakap dengan gembira, merasa menemukan sahabat karib. Shanbo mengusulkan pada Yingtai untuk mengikat diri sebagai kakak-adik, Yingtai berpikir sejenak, lalu menyetujuinya. Mereka berdua di paviliun berdoa pada langit mengikat hubungan sebagai kakak-adik. Shanbo berusia 20 tahun, satu tahun lebih tua dari Yingtai, sehingga Yingtai memanggil Shanbo “Kakak Liang”, sedangkan Shanbo memanggil Yingtai “Adik yang saleh”.
Mereka bersama-sama melanjutkan perjalanan. Setelah sampai di Hangzhou, ternyata mereka memiliki guru yang sama dan kelas yang sama. Mereka setiap waktu bersama, dalam belajar saling membantu, persahabatan mereka sangat mendalam.
Shanbo adalah seorang laki-laki yang lugu, tidak pernah menyadari bahwa Yingtai adalah seorang perempuan. Yingtai sebaliknya menyimpan rahasia di dalam hati, tidak menyingkap identitas dirinya sendiri. Tetapi ada satu-dua kali, Shanbo tanpa sengaja menyelidikinya, tetapi semuanya dapat dikelabui oleh kepandaian Yingtai.
Suatu kali, mereka berdua bermain ayunan di taman, Shanbo melihat kelemah-lembutan Yingtai, lalu berkata berkata sambil tersenyum, ”Adik sungguh seperti seorang gadis.” Setelah Yingtai mendengar, segera turun dari ayunan, berkata, ”Di rumah, ayah juga mengatakan saya demikian.”
Suatu kali, mereka berdua belajar bersama(1), Shanbo menemukan telinga Yingtai ada tanda pernah memakai anting-anting, lalu bertanya, ”Kita belajar bersama sudah begitu lama. Hari ini baru menyadari ada lubang anting di telinga adik. Hanya anak perempuan yang telinganya ditindik, bagaimana ini bisa terjadi?”
Wajah Yingtai memerah, berkata, ”Kami keluarga Zhu setiap tahun mengadakan perayaan, orang-orang desa meminta saya di dalam perayaan tersebut berpura-pura menjadi wanita(2), lalu menindik telinga saya, kakak harus belajar dengan baik, bagaimana bisa tanpa sadar berbicara tanpa sebab.” Shanbo segera meminta maaf.
Seperti biasanya Shanbo memperlakukan Yingtai seperti seorang adik kandungnya sendiri, membimbing adiknya belajar, dan seringkali menggandeng tangannya dengan mesra mengajaknya pergi ke Telaga Xihu untuk berenang. Setiap pada saat itu, Yingtai merasa wajahnya panas dan hatinya deg-degan, tetapi juga merasa sangat bahagia. Selain sebagai kakak-adik dan persahabatan di kelas, Yingtai terhadap Shanbo tumbuh semacam perasaan yang sulit dilukiskan. Mereka merasa tidak dapat meninggalkan satu sama lain.
Perpisahan
Angin musim semi yang bertiup setahun sekali meniup daun-daun di sebelah selatan hilir Sungai Changjiang. Yingtai pergi sekolah sudah 3 tahun penuh. Telah datang beberapa pucuk surat dari rumahnya yang mendesaknya untuk pulang. Pada hari itu, Yinxin masuk membawa sepucuk surat lagi. Begitu Yingtai membacanya, ada kabar bahwa ayahnya telah jatuh sakit dan menyuruhnya segera pulang.
Setelah menerima surat itu, hati Yingtai sangat serba salah, ia terpaksa mengatakan pada Yinxin bahwa ia telah jatuh cinta pada Shanbo, sehingga tidak ingin berpisah dengannya. Yinxin menasehatinya agar mencari bantuan pada ibu guru.
Ibu guru adalah seorang wanita yang baik hati. Ia melihat Yingtai dengan wajah merah mencarinya, lalu bertanya pada Yingtai ada masalah apa. Setelah Yingtai terdiam beberapa waktu lamanya barulah memberitahukan ibu guru bahwa ia sebenarnya adalah seorang gadis, karena ingin sekolah maka ia menyamar sebagai laki-laki.
Ibu guru tertawa, berkata, ”Saya sudah mengetahuinya sejak awal.” Yingtai memberitahukan kegundahan hatinya pada ibu guru, kemudian ia menyerahkan sebuah bandulan kipas pada ibu guru dan berkata, ”Tolong anda memberikannya pada kakakku Liang Shanbo, saya selamanya tidak akan melupakan kebaikan hati anda.”
Ibu guru berkata, ”Kamu pergilah dengan tenang, saya akan melakukannya untukmu. Kalian benar-benar adalah pasangan yang serasi.”
Liang Shanbo mendengar berita bahwa Yingtai akan pulang, ia merasa ini sangat tiba-tiba dan ia sangat bersedih, tapi ia tidak dapat menghalanginya, sehingga ia hanya bersedih di dalam hati.
Hari ketika Yingtai berangkat, Liang Shanbo mengantarnya, mereka berdua tidak ingin berpisah. Yingtai berpikir, hari ini berpisah dengan kakak Liang tidak tahu kapan baru bisa bertemu lagi. Yingtai ingin memberitahukan hal yang sebenarnya padanya, tetapi sulit untuk mengatakannya. Ketika ia sedang ragu-ragu, tiba-tiba terdengar bunyi “Cha-Cha.” Ia mengangkat kepalanya dan melihat, rupanya ada sepasang burung murai yang bertengger di atas ranting.
Hati Yingtai tergerak dan berkata pada Shanbo, “Kak Liang, lihatlah! Burung murai di atas pohon semuanya berpasangan, tetapi adik hari ini akan pulang seorang diri.” Shanbo berkata, ”Burung murai selalu membawa berita gembira, mungkin mereka datang untuk mengucapkan selamat jalan padamu, walaupun kamu pulang seorang diri, tetapi begitu tiba di rumah, kamu akan seperti burung-burung ini yang telah pulang ke hutan.”
Yingtai melihat Shanbo tidak menangkap arti kata-katanya, sehingga ia bermaksud akan terus memberikan isyarat padanya bahwa dirinya adalah seorang gadis.
Setelah berjalan tidak terlalu jauh, mereka melihat seorang penebang kayu. Yingtai berkata lagi, ”Penebang kayu menebang pohon demi istrinya, demi siapakah Kakak Liang berjalan begitu jauh?” Tanpa berpikir panjang Shanbo langsung menjawab, ”Tentu saja demi adik.”
Mereka melewati beberapa rumah penduduk, di halaman rumah mereka sedang bermekaran bunga peony yang beraneka warna, Shanbo sangat suka melihatnya. Yingtai berkata, ”Kamu melihat bunga peony samakah dengan gadis yang cantik? Di rumah saya juga ada bunga peony yang cantik, bila Kak Liang menginginkannya, datanglah ke rumah saya untuk memetiknya.”
Shanbo berkata,”Saya pasti akan ke rumah adik, sampai pada saat itu kita bisa menceritakan tali persahabatan ini sambil menikmati bunga.”
Mereka berjalan lagi, kemudian tiba di depan sebuah kolam, di atasnya terdapat banyak yuanyang (bebek Mandarin) yang sedang berenang berpasang-pasangan. Yingtai berkata,”Kak Liang, apabila Yingtai adalah seorang gadis, aku ingin berdua dengan kak Liang seperti bebek ini yang tak terpisahkan.” Shanbo tersenyum. “Sayang kamu bukanlah seorang gadis.”
Mereka berdua tiba di tepi sebuah sumur, Yingtai menarik Shanbo ke permukaan sumur, Shanbo dengan heran berkata, ”Kamu tidak meneruskan perjalanan, malahan menarik saya ke permukaan sumur, untuk apa?” Yingtai menunjuk ke dalam sumur dan berkata,”Lihatlah kedua bayangan itu, yang satu adalah laki-laki dan yang satu lagi adalah perempuan.”
Shanbo salah paham lagi akan maksud Yingtai dan berkata, ”Kenapa kamu sembarangan bicara, saya laki-laki, kenapa kamu mengibaratkan saya adalah seorang perempuan?”
Mereka melewati lagi sebuah sungai, di sungai itu terdapat sepasang angsa putih yang sedang berenang dengan posisi satu di depan dan satu di belakang. Yingtai menunjuk angsa itu dan berkata, “Kak Liang, Kak Liang, lihatlah! Angsa betina itu mengikuti dari belakang angsa jantan yang namanya Kakak.”
Shanbo berkata, ”Adik jangan sembarangan bicara.“ Yingtai melihat Shanbo selalu tidak menangkap isyaratnya, hatinya sangat khawatir, lalu berkata, ”Kakak Liang sama bodohnya dengan angsa itu!” Shanbo melerai lengan bajunya dan berkata, “Hari ini ada apa denganmu, sepanjang jalan kamu terus membandingkan sesuatu dengan saya?”
Yingtai melihat Shanbo bukan saja tidak mengerti isi hatinya tetapi malah menjadi marah. Terpaksa Yingtai minta maaf dan berkata,”Kak Liang jangan marah, adik hanya ingin menjodohkan Kakak.” Shanbo segera bertanya,”Gadis manakah yang ingin Adik jodohkan dengan saya?”
“Ia adalah adik perempuan saya.” Yingtai memberitahukan Shanbo bahwa adik perempuannya mirip dengannya, juga sangat pintar. Setelah Shanbo mendengarnya ia sangat gembira, langsung menyetujuinya. Ketika berpisah, Yingtai berkali-kali menyuruh Shanbo segera melamar ke rumahnya.
Setelah Yingtai pergi, Shanbo sangat kesepian, ia setiap hari merindukan Yingtai. Pada hari itu, ia pergi mencari gurunya untuk minta izin karena akan pergi menjenguk Yingtai. Ibu guru memberikannya sebuah bandulan kipas dan berkata, “Ini adalah barang yang dititipkan Yingtai pada saya, sekarang saya serahkan padamu.”
Shanbo bertanya, ”Kenapa diberikan pada saya? Yingtai akan menikahi siapa?” Ibu guru tersenyum, ”Yingtai adalah seorang gadis, adik perempuannya itu adalah dirinya sendiri, bodoh!” Setelah mendengarnya Shanbo tertegun beberapa saat. Ia mengingat situasi ketika mengantar Yingtai pergi, barulah ia menyadari maksud hati Yingtai. Dia sangat gembira, lalu segera membereskan barang-barangnya, setelah berpamitan dengan pak guru dan ibu guru, ia membawa shutongnya segera pergi ke desa Zhu.
By Richard , http://www.aldisurjana.com/
(Bersambung ke bagian 2)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa