Tionghoa di Dungkek dan pulau Sapudi
Dungkek dan pulau Sepudi berada di wilayah sebelah timur pulau Madura dan masuk dalam kabupaten Sumenep. Tidak jelas kapan sejarah kedatangan Tionghoa ke pulau Madura, ada yang mengkaitkan dengan armada Tartar yang dikalahkan oleh Raden Wijaya dan juga pelarian dari kerusuhan Batavia 1740[1], semua itu adalah kemungkinan tapi ada factor lain yang perlu dipertimbangkan bahwa ada kemungkinan orang Tionghoa datang ke pulau Madura bukan sebagai pelarian atau juga keturunan tentara Tartar. Bisa ada kemungkinan mereka adalah pedagang perantara yang sudah bermukim sejak jaman sebelum dinasti Ming.
Menurut bapak H.Freddy Hartono[2], asal mula kata Dungkek adalah “makdung singkek” yang artinya adalah ‘singkek[3] penatah batu’ dan salah satunya bermarga Tjoa 蔡氏berasal dari Dungkek yang membangun masjid agung dan keraton Sumenep, bapak Eddy Setiawan[4] menambahkan bahwa Dungkek itu juga bisa berarti ‘singkek yang datang’. Ada hal yang menarik tentang asal muasal kata Dungkek ini saat mengunjungi area pemakaman Tionghoa di Dungkek[5] yang diantar oleh bapak Santoso yang merupakan menantu dari haji Abdul Gaffar, seorang Tionghoa Muslim di Dungkek, di sana ditemukan beberapa bekas penggalian yang cukup dalam yang ditinggalkan dan berdasarkan penuturan bapak Santoso, masih banyak lubang lagi di sebelah atas bukit tapi karena keterbatasan waktu, tidak sempat melihat ke atas. Berdasarkan hal ini ditanyakan kepada bapak haji Imam selaku Tionghoa Muslim di Dungkek pada saat wawancara, beliau mengatakan bahwa itu adalah sisa-sisa dari penggalian batu yang dilakukan oleh kaum singkek pada masa lampau. Mereka datang ke Dungkek dan memiliki keahlian membangun rumah dari batu, kemudian pada masa sultan Abdurahman, mereka diminta untuk membangun keraton dan masjid Sumenep dan atas jasa kaum singkek itu mereka diberi tanah yang disebut tanah ‘merdekan’ yang artinya bebas pajak dan digunakan sebagai kompleks pekuburan Tionghoa[6]. Melihat dari apa yang di pekuburan, mugkin pendapat bahwa asal mula kata Dungkek adalah “makdung singkek”. Tapi untuk sampai pada kesimpulan itu perlu diteliti lebih lanjut dan waktu yang lebih panjang untuk menggali asal muasal keberadaan lubang-lubang bekas penggalian batu itu.
gambar 1. lubang bekas galian batu
Dari hasil pengamatan lapangan di Dungkek dan wawancara dengan bapak H.Gaffar dan bapak Iman, mereka berdua adalah pedagang perantara gula siwalan hasil produksi penduduk setempat kemudian menjualnya ke Surabaya, dapat dikatakan bahwa salah satu hasil bumi utama Dungkek adalah gula siwalan[7]. Sedangkan dari pengamatan lapangan dan wawancara dengan bapak H.Dedeh, ny.janda Phoa Sunhwa, bapak Suwondo, di pulau Sepudi ini mereka menjadi pedagang, juragan kapal bahkan produksi kerupuk seperti yang dikerjakan oleh bapak Suwondo yang merupakan menantu dari ny.jd Phoa Sunhwa. Yang amat menarik dari rumah besar milik ny.jd Phoa Sunhwa itu adalah angka “1902” yang terpampang dengan jelas di depan rumahnya, berdasarkan wawancara dengan ny.jd Phoa Sunhwa[8] diketahui bahwa gedung itu dibangun dan dimiliki oleh Phoa Switee, kakek dari Phoa Sunhwa dan usaha yang mereka lakukan adalah pencelupan dan pembuatan batik di pulau Sepudi, sehingga hal ini tentunya menarik dan perlu dikaji lebih mendalam bagi mereka yang meneliti batik Madura.
Satu hal yang menarik dari hasil wawancara dengan beberapa orang Tionghoa di Dungkek adalah banyak orang Tionghoa di Dungkek berasal dari pulau Sepudi, tapi dari hasil wawancara dengan haji Dedeh dan ny.jd Phoa Soenhwa (ny. Ong Gwat Bing ) di pulau Sepudi tidak didapat keterangan kapan orang Tionghoa datang ke pulau Sepudi tapi dengan melihat tahun bangunan rumah ny.jd Phoa Soenhwa dapat dilihat bahwa keluarga Phoa ( 潘氏 ) sudah ada sebelum abad 20.
Gambar 2. Rumah keluarga Phoa ( Angka 1902 tertera pada bangunan utama )
Kuburan tertua yang dapat ditemui di pulau Sepudi adalah tahun Guangxu 光绪 ke 30 ( 1904 ). Sayangnya makam yang lebih tua yang dikatakan oleh haji Dedeh tidak dapat diteliti karena sudah tertutupi tanaman berduri serta tumbuhan besar. Dari nama-ama kampung leluhur yang didapat di batu nisan, semua berasal dari provinsi Fujian dan mereka memiliki kaitan kekerabatan karena pernikahan diantara mereka. Dari kuburan tertua yang ditemui, bisa diperkirakan bahwa mereka sudah ada sejak sebelum abad ke 20 dan ukiran tulisan batu nisan yang begitu dalam dan tegas menunjukkan bahwa keluarga yang meninggal memiliki kemampuan ekonomi yang cukup makmur, karena pembuatan batu nisan seperti itu memerlukan biaya yang tidak sedikit serta memiliki hubungan dengan orang Tionghoa yang berada di luar pulau Sepudi. Dalam buku “The History of Java” karya Thomas Stamford Raffles, kita bisa melihat bahwa populasi Tionghoa maupun peranakan Tionghoa di Sumenep sebanyak 3.102 orang dari total jumlah penduduk Sumenep sebanyak 96.200 orang dan di pulau Sepudi mencapai 583 orang sedangkan total penduduk pulau Sepudi berjumlah 6.602 orang[9]. Hal yang amat menarik jika dikaji dari jumlah populasinya sebesar 8,8 % dari jumlah populasi yang ada di pulau Sepudi sedangkan di pulau Sumenep hanya sebesar 3,2 %. Data jumlah penduduk yang ditulis oleh Raffles di tahun 1817 dalam bukunya “The History of Java” yang menunjukkan bahwa populasi Tionghoa di pulau Sepudi cukup banyak, bisa juga disebabkan oleh kasus kejadian huru hara anti Tionghoa yang terjadi di tahun 1741[10].
Nama tempat di Madura |
Jumlah Tionghoa dan peranakan Tionghoa |
Jumlah total penduduk |
Persentasi jumlah orang Tionghoa |
Sumenep |
3.102 |
96.200 |
3,2% |
Pulau Sepudi |
583 |
6.602 |
8,8 % |
Pulau Raas |
– |
2.856 |
– |
Pulau Gila Ginting |
7 |
1.862 |
0,3% |
Gila Raja |
52 |
1.568 |
3,3% |
Putran |
188 |
6.818 |
2,75% |
Kang’ean |
128 |
5.580 |
2,29 % |
Tabel 1. Daftar orang Tionghoa menurut “History of Java” karya Thomas Stamford Raffles
Foto makam |
Nama di makam |
Kampung leluhur |
Tahun |
Daerah |
Keterangan |
Wu Youtai 吴有太 dan Guo Chenniang 郭晨娘 |
Desa Xiao Xi 小溪, kota Zhangzhou 漳州 provinsi Fujian |
Tahun pemerintahan Guangxu ke 30 ( 1904 ) |
p.Sepudi |
Makam tertua yang berhasil ditemukan. Bentuk makam masih berbentuk umum. |
|
Wang Juan 王居安 dan Guo Xuanniang 郭宣娘 |
Desa Jinshan 金山, karesidenan Nan Jing 南靖, provinsi Fujian |
Tahun Republik 18 ( 1919 ) |
p.Sepudi |
Bentuk makam masih berbentuk umum. |
|
Guo Tongchao 郭同朝 dan Pan Jiniang 潘吉娘 |
Desa Longxi 龍溪, kota Zhangzhou 漳州 provinsi Fujian |
Tahun Kongzi 2513 ( 1962 ) |
p.Sepudi |
Bentuk makam masih berbentuk umum. |
|
Phoa Soenhwa |
|
1994 |
p.Sepudi |
Bentuk makam sudah berubah dari yang umum. |
|
Samsul Bahri (Tjiong Bieng Hieng ) dan Hertin ( Law Kiem Hwa ) |
Madura |
2008 dan 1999 |
Dungkek |
Dua batu nisan dalam satu makam dan dari nisan Samsul Bahri diperkirakan beragama Muslim. |
Table 2 Daftar beberapa foto dan nama makam di kompleks pekuburan Dungkek dan pulau Sepudi
Makna Kuburan Berbentuk Perahu
Arsitektur kuburan dapat dianggap sebagai tempat tinggal ini terkait dengan konsep yinzhai 陰宅[11] . Bentuk kuburan orang Tionghoa juga dari jaman ke jaman mengalami perubahan, yang umum diketahui oleh masyarakat Indonesia itu adalah bentuk kuburan pada masa dinasti Qing. Pada umumnya bentuk kuburan Tionghoa berbentuk gundukan tanah yang tinggi dan berbentuk bulat, disebut fenqiu 墳丘, semakin tinggi gundukannya menunjukkan status, ekonomi dan kekuasaan empunya kuburan semakin tinggi. Dan gundukan itu dikelilingi tembok yang disebut huqiang護牆 atau houshan 後山[12].
Berdasarkan pengamatan lapangan, tahun-tahun yang tertera pada kuburan yang berbentuk perahu itu berkisar antara tahun 1950 hingga 1990[13]an, tapi banyak kuburan di Dungkek yang berbentuk perahu itu sudah tidak memiliki batu nisan sehingga nama dan tahun meninggal tidak diketahui. Ada beberapa yang menarik adalah adanya dua nisan di dalam satu kubur yang mana hal ini tidak ada dalam kuburan Tionghoa pada umumnya, dari pengamatan, dua nisan itu adalah mereka yang masih memiliki kekerabatan tapi berbeda keyakinan.
Gambar 3. Hu qiang ( tembok pelindung ) makam ( dok.pribadi )
Gambar 4. Bentuk tembok pelindung yang mirip dengan lunas perahu ( dok.pribadi )
Foto |
Lokasi |
Nama |
Tahun |
Keterangan |
Dungkek |
– |
– |
Sudah tidak ada batu nisannya. |
|
Dungkek |
Kwee Kiem Wan |
1951 |
Makam berbentuk perahu. |
|
Dungkek |
Tee Hongsin |
1966 |
Makam berbentuk perahu. |
|
Dungkek |
Tee Tjien Liang Herni Krisnawati |
1991 1992 |
2 nisan, tidak jelas apakah Herni Krisnawati ini adalah muslim |
|
Dungkek |
– |
– |
Batu nisan sudah tidak ada. |
|
|
P.Sepudi |
Liem Hay Kien |
– |
Makam berbentuk perahu tapi diberi keramik warna hijau. |
Tabel 3. Kuburan berbentuk perahu ( dok.pribadi )
Jika dilihat dari arah hadapan, maka arah rata-rata kuburan di Dungkek dan pulau Sepudi adalah mengarah selatan dan menghadap ke laut dan memunggungi perbukitan, sedangkan gundukan tanah kuburan yang dibentuk seperti lunas perahu seolah-olah menggambarkan perahu dari lautan yang mendarat. Arsitektur tidak hanya dibatasi pada fungsi kegunaan. Ia memiliki fungsi multiguna dan bisa memiliki beberapa dimensi makna[14]. Dengan begitu, arsitektur kuburan tidak bisa dilihat hanya sebagai bangunan untuk mengubur, banyak makna yang tersirat di dalam kuburan itu. Makna kuburan berbentuk perahu di Dungkek dan pulau Sepudi juga bisa memiliki banyak makna, tidak hanya satu makna saja. Dalam memaknai bentuk kuburan di Dungkek dan pulau Sepudi, dari hasil wawancara dirasakan amat minim sekali informasi yang bisa digali mengapa ada bentuk seperti itu. Geertz mengatakan :” Analisis kebudayaan adalah ( atau seharusnya ) menerka makna-makna, menaksir terkaan-terkaan itu, dan menarik kesimpulan-kesimpulan eksplanatoris dari terkaan-terkaan yang lebih baik, bukannya menemukan Benua Makna dan memetakan pemandangannya yang tak berwujud itu”[15]. Bisa dimaknai secara homophone[16] atau fungsionil, dimana kata chuan 船 perahu memiliki bunyi yang sama dengan chuan傳 yang berarti pewaris, penerus. Tapi pemaknaan bentuk perahu itu sangat tidak terkait dengan homophone chuan 傳 sebagai pewaris jika diterapkan pada bentuk kubur di Dungkek dan pulau Sapudi dan pada umumnya mayoritas bentuk kuburan Tionghoa itu adalah bulat.
A.Ketakutan
Madura yang tenang ternyata menyimpan permasalahan sosial terutama antara penduduk Madura dengan orang Tionghoa, hal ini disebabkan oleh pola ekonomi tidak sehat yang diterapkan oleh pemerintah colonial Belanda. Kuntowijoyo menulis : “ Pedagang-pedagang Cina hadir sebagai pemegang monopoli opium dan pegadaian, pajak-pajak pemotongan dan penjualan lembu dan babi serta sarang burung ( di Sumenep dan Pamekasan ) ”[17], belum lagi beberapa orang Tionghoa yang menjadi rentenir dan menjadi permasalahan yang cukup memusingkan colonial Belanda terutama saat yang dihutangi itu adalah kaum bangsawan dan barisan[18] . Pada bulan Juni 1913, SI Sapudi[19] memulai propaganda menentang Cina dan memboikot aktivitas-aktivitas perdagangan mereka[20] yang lebih disebabkan masalah persaingan perdagangan. Kasus kejadian anti Tionghoa yang besar merebak meluas pada masa awal pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan ( 1941-1947 ) dan menjadi salah satu masa paling kelam bagi masyarakat Tionghoa yang dapat dibaca pada buku “Indonesia dalam Api dan Bara” karya Tjamboek Berdoeri ( Kwee Thiam Tjing ) yang diterbitkan ulang atas anjuran Benedict Anderson, hal ini bisa disebabkan adanya kekosongan kekuasaan dan tidak adanya keamanan di beberapa tempat terutama saat perang kemerdekaan, tidak aman bagi masyarakat Tionghoa dan pengungsian baik secara paksa maupun sukarela terjadi, ketakutan melanda masyarakat Tionghoa[21]. Kedudukan politik etnis Tionghoa yang demikian lemahnya menjadikannya sasaran empuk dalam setiap tindak kekerasan[22]. Berita kejadian itu pasti menyebar luas terutama karena jaringan Tionghoa yang terbentuk, baik dari jaringan ekonomi, sub etnis[23] maupun jaringan melalui pendidikan[24] dan organisasi seperti laporan dari Chung Hoa Tsung Hui Batavia ( 巴城中華總會 )[25] dan kejadian itu tidak hanya terjadi di pulau Jawa saja tapi juga mencapai pulau Madura[26]. Masa-masa sulit ini terulang kembali setelah kejadian G30S/PKI.
B.Permasalahan Identitas
Walau mereka sudah bergenerasi tinggal tetapi permasalahan identitas tetap ada sehingga ada istilah ‘peranakan’[27] dan tidak bisa menjadi ‘pribumi’. Konsep bangsa Indonesia yang kaku ( rigid ), yaitu, konsep pribumi, selalu menjadi rintangan besar untuk terintegrasinya orang Tionghoa, terutama yang peranakan, ke dalam wadah besar bangsa Indonesia[28]. Ditambah pula oleh kejadian PP 10 dan pasca G30S/PKI yang membuat kerinduan akan eksisntesi dan identitas sebagai Tionghoa bisa semakin menguat apalagi dengan keluarnya INPRES 14/ 1967 yang melarang orang Tionghoa melakukan kegiatan yang terkait dengan budaya mereka yang mana hal itu tidak pernah dilarang pada masa sebelumnya yang mana mencoba mencerabut orang Tionghoa dari identitas yang terkait dengan estetika kebudayaan. Masalah kerusuhan yang salah satunya adalah factor ekonomi hanya salah satu hal yang terkait dengan permasalahan identitas dan eksistensi sebagai Tionghoa. Masalah identitas di tempat baru mereka akan atau mengakar juga menjadi permasalahan, dikotomi non pribumi dan pribumi menjadi hal yang menyebabkan “kebingungan” eksistensi orang Tionghoa, apakah penerimaan dari masyarakat setempat itu bisa diterima secara utuh sebagai orang Tionghoa dan sebaliknya ? Pertanyaan ini akan berujung pada “Siapakah kami ? ” . Permasalahan identitas bagi orang Tionghoa tidak hanya dalam wujud pengakuan negara tapi juga terkait dengan pengakuan masyarakat sekitarnya. Mayoritas orang Tionghoa di Dungkek dan pulau Sapudi adalah pengusaha[29], yang mana pada masa pemerintahan Hindia Belanda mendapatkan privilege tapi disisi lain menyimpan bara dalam sekam pada saat revolusi kemerdekaan, dimana ada pandangan bahwa masyarakat Tionghoa jauh lebih makmur dibandingkan masyarakat pribumi[30]. Masalah ras ini merupakan masalah yang besar dan PNI[31] sendiri memiliki gagasan-gagasan rasial[32]. Sejak proklamasi, minoritas ini dianggap senantiasa menimbulkan “masalah”: Tetapi, “masalahnya” tidak selalu sama, mula-mula dianggap pro-Belanda dan antinasionalisme Indonesia, ekslusif dan kerjanya hanya mencari keuntungan, kemudian dianggap unsur komunis atau simpatisan komunis[33].
Kejadian-kejadian seperti itu membuat sebagian orang Tionghoa merasa bingung akan status mereka itu sendiri, walau tidak dapat dipungkiri sistem segresi yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Masyarakat kolonial membeda-bedakan penduduk Indonesia berdasarkan ras/suku bangsa, dan pemikiran kaum nasionalis Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh cara berpikir kolonialis Belanda itu sehingga mengakibatkan terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia[34] .
KESIMPULAN
Untuk tahu “siapa kami” maka harus “mengenal diri”. “Mengenal diri” kata Comte, “adalah mengenal sejarah”[35]. Bentuk perahu adalah suatu upaya mengenal sejarah orang Tionghoa di Dungkek maupun pulau Sapudi yang melambangkan kedatangan mereka dari suatu tempat yang jauh, melintasi lautan dan mendarat di tempat yang baru. Pengharapan mereka akan tempat yang baru itu agar bisa diterima sebagai bagian dari penduduk setempat tapi karena adanya berbagai kerusuhan dan tekanan-tekanan yang “tampak” maupun “tidak tampak”, baik karena permasalahan sosial, budaya maupun ekonomi sehingga mereka “dipaksa” ingat bahwa mereka adalah pendatang dari lautan sebrang yang mendarat dengan perahu. Dengan cara membekukan moment kuburan yang berbentuk perahu yang mendarat. Dan semua kuburan itu arah papan nisannya menghadap laut, sesuai asas fengshui yang berpatokan pada gunung dan air. Tapi tidak selalu harus terkait dengan fengshui karena banyak kuburan yang dibuat oleh Tionghoa Muslim maupun Kristen di Dungkek dan pulau Sapudi itu nisannya menghadap ke laut, sehingga bisa dikatakan seolah-olah memandang laut sebagai asal mereka datang.
Daftar Pustaka :
Cassier,Ernst, ” Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia”, 1987, Jakarta : PT Gramedia
Chen Huawen 陳華文,”Sejarah Penguburan” (喪葬史), 1999, Shanghai : Shanghai Wenyi Chubanshe 上海文藝出版社
Geertz, Clifford Geertz, “Tafsir Kebudayaan”, 1992, Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Huang Kunzhang dan Li Xuemin黃昆章 李學民, “Sejarah Huakiao Indonesia”( 印尼華僑史 ) , 2007, Guang Zhou : Penerbit Pendidikan Tinggi Guangdong 廣東高等教育出版社
Kuntowijoyo, “Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940”, 2002, Jogjakarta : Matabangsa
North, Winfried , “Of Semiotics “, 1995, Indiana : Indiana university press
Raffles, Thomas Stamford ,“The History of Java”, 2008, Yogyakarta : Penerbit Narasi
Soetiono, G Benny, “Tionghoa dalam Pusaran Politik”, 2003, Jakarta : Elkasa
Suryadinata, Leo, “Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia Sebuah Bunga Rampai 1965-2008”, 2010, Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Twan Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, ed.2, 2005, Yogyakarta : Penerbit Niagara
Zhuang Wubin, “ Chinese Muslim in Indonesia”, 2011, Singapore : Select Publishing
[1] Wawancara dengan bapak Eddy Setiawan
[2] Wawancara dengan bapak H.Freddy Hartono pada tanggal 21 Juni 2013 jam 09:15. Bapak Freddy Hartono ini adalah wakil ketua II takmir Masjid Agung Sumenep.
[3] Singkek 新客 artinya tamu baru atau yang sering disebut dengan istilah totok.
[4] Wawancara dengan bapak Eddy Setiawan pada tanggal 21 Juni 2013 jam 14:05, bapak Eddy Setiawan ini adalah budayawan dan pemerhati masalah Sumenep yang sering menjadi nara sumber.
[5] Pemakaman Tionghoa di Dungkek seperti halnya di Sumenep dan pulau Sepudi itu adalah daerah cadas
[6] Wawancara dengan haji Imam pada tanggal 23 Juni 2013 jam 15:00, menurut beliau, kompleks pekuburan yang kami kunjungi itulah yang disebut tanah Merdekan.
[7] Gula siwalan ini salah satu bahan baku untuk membuat kecap manis dan menurut bapak Iman dan bapak Gaffar, gula siwalan ini mereka jual ke Surabaya dan dari Surabaya baru dijual ke pabrik-pabrik kecap.
[8] Wawancara dengan ny.jd Phoa Sunhwa pada tanggal 23 Juni 2013 jam 16:10
[9] Lih. Thomas Stamford Raffles, “The History of Java”, hal.621, 2008, Yogyakarta : Penerbit Narasi
[10] Lih. Benny G Soetiono, “Tionghoa dalam Pusaran Politik”, hal.147, 2003, Jakarta : Elkasa. Dalam buku tersebut Benny mengutip tulisan Dr.Peter Carey, dimana kemarahan Cakraningrat yang bergabung dengan Kompeni menyapu seluruh Jawa Timur dengan pasukan Maduranya. Mungkin saja hal ini menyebabkan terjadinya eksodus orang Tionghoa hingga pulau Sepudi, karena dalam buku Raffles, pulau-pulau lain seperti pulau Raas tidak ada catatan jumlah orang Tionghoa dan secara geografis pulau Sepudi lebih dekat dengan pulau Madura dibanding pulau Raas, jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya seperti pulau Gila Ginting yang hanya berjumlah 7 orang, pulau Gila Eyang 52 orang dan lain-lainnya ( lihat tabel 1 ).
[11] Yin zhai ( rumah yin ) adalah istilah dalam geomancy yang untuk menata “rumah” bagi mereka yang meninggal dan bagi mereka yang masih hidup disebut yang zhai 陽宅.
[12] Memiliki fungsi menahan rembesan dan arus air agar tidak masuk ke dalam kuburan.
[13] Berdasarkan penelitian lapangan.
[14] Winfried North, Of Semiotics, hal.436, 1995, Indiana : Indiana university press.
[15] Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, hal.25, 1992, Yogyakarta : Penerbit Kanisius
[16] Orang Tionghoa sering menggunakan homophone untuk memaknai symbol atau tanda yang ada, misalnya di peranakan Tionghoa mengartikan buah pepaya yang ditabukan sebagai persembahan dalam ritual mereka karena mengandung bunyi “payah” atau angka empat si 四 yang memiliki kesamaan bunyi dengan mati 死.
[17] Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, hal.158, 2002, Jogjakarta : Matabangsa
[18] Lih. Kuntowijoyo hal. 234-235
[19] Sarekat Islam cabang pulau Sapudi yang didirikan oleh Pak Bidri alias Abubakar dari Desa Jambuwir dan seorang Arab,Sekh Subidi dari desa Gayam. Lih. Kuntowijoyo hal.477
[20] Ibid hal.477.
[21] Lih. Twan Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, hal.187-196, ed.2, 2005, Yogyakarta : Penerbit Niagara
[22] Benny G Soetiono, “Tionghoa dalam Pusaran Politik”, hal.611, 2003, Jakarta : Elkasa
[23] Orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya adalah dari etnis Han dan plural, jadi sub etnis yang dimaksud adalah orang Tionghoa Hakka, Hokchia, Konghu dan sebagainya.
[24] Sekolah Tionghoa sudah ada di Madura sejak tahun 1887. Lihat Kuntowijoyo hal.194
[25] Chung Hua Tsung Hui Jakarta berdiri pada tanggal 26 bulan Desember tahun 1945 ( Huang Kunzhang dan Li Xuemin, hal. 52 ). Laporan kasus tersebut dikompilasi oleh Chung Hua Tsong Hui dengan judul “Memorandum Outlining Acts of Violance and Inhumanity by Indonesian Bands on Innocent Chinese Before and After The Ducth Police Action Was Enforced On July 21 1947.
[26] Vihara Candi di Pamekasan termasuk yang dijarah, berdasarkan wawancara dengan bapak Kosala Mahinda tanggal 28 Juni 2013 jam 14:26
[27] Istilah peranakan digunakan oleh pemerintahan kolonial Belanda kemungkinan digunakan pada abad ke 19 untuk mengidentifikasi Tionghoa muslim. Lih: Zhuang Wubin, “ Chinese Muslim in Indonesia”, hal.96, 2011, Singapore : Select Publishing
[28] Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, hal.187, 2010, Jakarta : Penerbit Buku Kompas
[29] Pengusaha dalam hal ini bukan berarti pengusaha yang memiliki modal kuat, mereka pada umumnya adalah pedagang perantara.
[30] Pendekatan Liem Koen Hian dan Hatta terkait masalah kemakmuran dan ras, memiliki signifikan praktis yang sangat besar. Jika Liem Koen Hian mendefinisikan secara berlebihan unsur kelas di masyarakat Cina dan Indonesia, Hatta terlalu menekankan korelasi antara ras dan apa yang kemudian ia sebut ‘kelas’. Kedua pendekatan ini sama sekali berlawanan. ( Twan Peck Yang : 169 )
[31] PNI ( Partai Nasional Indonesia atau Perserikatan Nasional Indonesia ) adalah partai politik tertua di Indonesia, didirikan pada 4 Juli 1927, dengan para pendirinya adalah : Dr.Cipto Mangunkusumo, Mr.Sartono, Mr.Iskhaq Tjokrohadisoerjo, Mr Soenarjo.
[32] Lih.Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, hal.129-130, 2010, Jakarta : Penerbit Buku Kompas
[33] Ibid hal.184
[34] Ibid hal.211
[35] Ernst Cassirer hal.99