Tionghoa Dungkek dan Pulau Sapudi (Pulau Madura) dan
Makna Kubur Berbentuk Perahu
Ardian Cangianto
ABSTRAK
Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Nusantara sudah berlangsung selama ribuan tahun lamanya dan hubungan antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan Nusantara dicatat pertama kali dalam “Kronik Han”. Dengan adanya catatan itu menunjukkan berlangsungnya arus migrasi baik dari Nusantara maupun dari Tiongkok.
Dalam perjalanan sejarah arus migrasi dari Tiongkok dan menetapnya mereka di Nusantara, tentunya terjadi asimilasi alamiah dan akulturasi orang-orang Tionghoa yang menyimpan harapan dan keinginan dari kaum imigran Tiongkok yang menetap tersebut. Hal itu dapat kita lihat dalam ornament kelenteng maupun kuburan orang Tionghoa, dalam paper ini akan diuraikan bentuk kuburan kaum Tionghoa di Dungkek dan pulau Sapudi yang amat unik dari bentuknya berupa perahu mengandung unsur pengharapan diterima secara utuh oleh masyarakat tempat mereka tinggal dengan tidak melupakan asal mereka.
Dari pengamatan terlihat adanya perubahan bentuk kuburan dari yang berornamen Tionghoa menjadi bentuk perahu dan kemudian ornament dan bentuk kuburan Tionghoa yang tidak berbentuk perahu lagi. Dari bentuk kuburan itu dapat disimpulkan bahwa ada empat bentuk kuburan dan juga mewakili tiga masa walau tidak secara sepenuhnya dapat dikatakan harus seperti itu, dan bentuk perubahan dari yang bergaya Tiongkok maupun bergaya ‘modern’ atau makam bernuansa ‘Islam’, dapat menunjukkan kepercayaan mereka, tapi dari pengamatan makam berbentuk ‘perahu’ itu dapat dilihat bahwa ternyata hal itu tidak berlaku berdasarkan kepercayaan.
Bentuk kuburan seperti ‘perahu’ yang merapat itu bisa melambangkan pengharapan akan ketenangan dan penerimaan, juga asal muasal mereka adalah perantau melewati lautan dan mendarat di tanah yang baru.
Kata kunci : kubur, perahu, Madura, Sapudi, Dungkek.
Pendahuluan
Hubungan diplomatik Tiongkok dengan kerajaan Nusantara pada khususnya pulau Jawa dengan kerajaan Java Dvipa ( Yetiao guo 葉調國 )tercatat pertama kali pada ahala Han dalam “Buku Han Kemudian ” ( houhanshu 後漢書 )[1] dan ini membuka kemungkinan adanya arus migrasi dari Tiongkok ke pulau Jawa dan sebaliknya. Tahun 1934, arkeolog Heine Geldern di Pasemah, Sumatra Selatan menemukan prasasti yang serupa dengan prasasti di depan kuburan Huo Qubing ( 霍去病140-117 BCE ), seorang jendral pada masa pemerintahan kaisar Han Wudi dari dinasti Han, karena itu beliau menyatakan bahwa pada masa abad ke 2 dan ke 1 sebelum masehi ( masa pemerintahan kaisar Han Wudi 漢武帝 ) telah ada jejak orang Tionghoa di Sumatra[2]. Perjalanan waktu migrasi ini berlangsung ribuan tahun hingga hari ini karena hakekatnya manusia adalah mahluk hidup yang melakukan migrasi terus menerus. Mereka yang menetap di tempat baru tentunya akan memiliki kerinduan dengan tempat kelahiran dan mencoba beradaptasi dengan tempat tinggal yang baru. Karena berjalan ribuan tahun lamanya tentunya ada jejak yang hilang dan jejak yang tertinggal yang membuat kita bisa merekonstruksi kejadian-kejadian masa lampau. Umumnya catatan Tiongkok yang mengkaji kaum Tionghoa di Indonesia ini banyak sekali dan ada dua yang tercatat cukup baik dan dikutip oleh banyak penulis, antara lain adalah “Memo Perjalanan ke Batavia” ( Bayou jilue 吧遊紀略 ) karya Chen Hongzhao 陳洪照dan “Annal Lautan dan Kepulauan” ( Haidao yizhi海岛逸誌)karya Wang Dahai 王大海 [3]. Arus migrasi orang Tionghoa ke Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa bagian besar, pra dinasti Ming hingga dinasti Ming, dinasti Qing, akhir dinasti Qing, era Republik Tiongkok hingga berdirinya Republik Rakyat Tiongkok[4]. Selama arus migrasi ini pastinya sebagian mencapai Madura dan pulau sekitarnya karena di sana ada etnis Tionghoa yang tinggal hingga hari ini.
Pemilihan subjek hal pekuburan berdasarkan dalam budaya Tionghoa seperti juga dalam banyak kebudayaan lainnya, ada tiga hal penting dalam hidup ini, yaitu : kelahiran, pernikahan dan kematian, dimana semuanya dilakukan dengan khidmat dan sakral. Kuburan adalah artefak yang “berbicara” dalam hal ini untuk meneliti orang Tionghoa di Dungkek dan pulau Sapudi, karena dalam kuburan Tionghoa itu ada catatan genealoginya. Dalam kehidupan organis ada tiga modus waktu –lampau, kini dan nanti- yang membentuk suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisah-pisahkan[5], dan manusia sebagai mahluk organis tentunya memiliki niatan untuk mengingat momen dalam hidupnya apalagi dalam bentuk satu kelompok. Jadi tidaklah heran jika mereka bisa melakukan “pembekuan” momen melalui kuburan sebagai sarana pengingat seperti halnya manusia melakukannya dengan foto, cerita, lukisan dan hal-hal lainnya. Karena keterbatasan waktu yang dimiliki tidak sempat menggali lebih mendalam apa yang diketemukan di Dungkek dan pulau Sepudi tapi dari survey singkat itu terdapat hal yang menarik yaitu kuburan yang berbentuk seperti lunas perahu dan kuburan seperti itu tidak didapati di Sumenep maupun Pamekasan.
Metode analisa yang digunakan adalah metode semiotik dan hermeunetik dalam paper ini. Tulisan ini semoga bisa menggugah para peneliti masalah ‘Tionghoa Indonesia’ untuk mengkaji lebih mendalam akan bentuk kuburan ‘perahu’ di pulau Madura khususnya di Dungkek dan pulau Sapudi.
KUBURAN Bagi Masyarakat Tionghoa
Hal kelahiran, pernikahan dan kematian ( perkabungan ) dalam budaya Tionghoa dibagi menjadi dua bagian besar yaitu “peristiwa merah “ ( hong shi 红事 ) dan “peristiwa putih” ( bai shi 白事 ) dan ini terkait dengan symbol warna yang digunakan sebagai penanda dan makna simbol itu sebagai petanda[6] dan untuk ‘peristiwa putih’ ini mencakup upacara perkabungan dan pada masyarakat Tionghoa itu tidak terhenti sampai upacara penguburan saja, kuburan juga menjadi obyek spiritualitas masyarakat Tionghoa.
Kebudayaan bersifat dinamis dan berkembang sepanjang sejarah, tapi dibalik dinamis itu mengandung nilai-nilai dasariah yang melandasi kebudayaan itu. Tentunya kebudayaan Tionghoa juga amat luas dan dinamis mencakup pula penguburan bagi yang telah meninggal. Dalam budaya Tionghoa, penguburan juga beragam dan apa yang kita lihat sekarang ini juga merupakan perubahan dari masa ke masa. Dalam kepercayaan orang Tionghoa, kematian itu adalah pindah alam[7] dan kepercayaan ini masih kita bisa lihat pada saat upacara penguburan yang memberi “bekal kubur” dan penggunaan ko coa ( huzhi 糊紙 )[8]. Dalam Zhouli 周礼[9] dituliskan bahwa “Semua mahluk pasti mati, mati pasti kembali ke tanah”, dan untuk itu maka dilakukan penguburan dan dibuatlkan kuburan. Pada umumnya nisan di kuburan orang Tionghoa itu mengandung nama, tempat kampung leluhur, tahun kematian serta nama keturunannya yang masih hidup atau sudah mati yang dicatat di nisannya, sehingga dapat dikatakan bahwa nisan itu mengandung catatan tentang yang meninggal, tapi seiring perkembangan jaman, catatan kampung leluhur hampir sudah tidak diketemukan lagi dalam banyak nisan orang Tionghoa di Indonesia.
Arti kata kubur zang 葬, berasal dari kata cang 藏 ( meyimpan ) dan apa yang dimaksud cang ini adalah cara untuk mengurus yang meninggal[10]. Jadi tidak perlu kaget jika saat festival Qingming ( 清明節 )[11], banyak orang Tionghoa yang berbondong-bondong ke kuburan untuk membersihkan kuburan atau memperbaiki kuburan orangtuanya maupun leluhurnya jika masih ada. Hal ini selain mengandung makna peingat bahwa keberadaan dirinya tidak lepas dari faktor leluhur atau orang tua yang bersifat bakti, juga sebagai pemersatu anggota keluarga dalam satu naungan yaitu leluhur dan juga sebagai ‘tali asih’ antara yang hidup dengan mereka yang sudah meninggal, karena salah satu dasar budaya Tionghoa itu adalah penghormatan leluhur.
[1] Buku Sejarah dinasti Han atau yang disebut Hanshu 漢書 merupakan salah satu bagian dari 24 buku catatan sejarah Tiongkok dan “Buku Han Kemduian” dikompilasi oleh Fan Ye 范曄 ( 398-445 CE ) yang menuliskan bahwa pada masa dinasti Han Timur tahun pemerintahan Yongjian 永建 ke 6 ( 131 CE ) datang utusan dari kerajaan Yetiao atau Java Dvipa . Sedangkan “Buku Catatan Geografis Han” 漢書地理志 menulis hubungan antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan hingga semenanjung Melaya dan adanya pejabat perdagangan kerajaan Han yang ikut dengan kapal-kapal dagang.
[2] Huang Kunzhang dan Li Xuemin黃昆章 李學民, “Sejarah Huakiao Indonesia”( 印尼華僑史 ) , hal.7, 2007, Guang Zhou : Penerbit Pendidikan Tinggi Guangdong 廣東高等教育出版社.
[3] Lih. Huang Kunzhang dan Li Xuemin黃昆章 李學民, “Sejarah Huakiao Indonesia”( 印尼華僑史 ) , 2007, Guang Zhou : Penerbit Pendidikan Tinggi Guangdong 廣東高等教育出版社.
[4] Pembagian ini dibuat berdasarkan pemikiran bahwa walau terjadi migrasi dari masa sebelum masehi hingga dinasti Ming, pada kurun waktu tersebut terjadi pemberontakan dan kekacauan seperti misalnya perlawanan Destar Kuning ( huangjin qiyi 黃巾起義 184-192) , lima Hu mengacau Tiongkok ( wuhu luanhua 五胡亂華) yang terjadi pada abad ke empat dan ke lima masehi, hingga pada kejatuhan dinasti Yuan menyebabkan eksodus besar-besaran orang Tionghoa ke hingga ke Asia Tenggara, walau tercatat adanya komunitas Tionghoa dalam buku-buku catatan dari Tiongkok seperti dalam tulisan Mahuan, tapi catatan tentang mereka itu amat minim. Berbeda dengan dinasti Qing dimana pada masa itu juga terjadi migrasi besar-besaran masa kejatuhan Qing juga dimasa terjadi perang Sino Jepang ada arus balik kaum perantauan ke Tiongkok. Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok sedikit sekali terjadi migrasi dari Tiongkok. Zhu Jieqin 朱傑勤 dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Huaqiao di Asia Tenggara” halaman 5 membagi menjadi tiga masa : 1. Masa pra masehi hingga abad ke 15 ( dinasti Han hingga dinasti Ming ) 2. Dari abad ke 16 hingga abad ke 19 pertengahan ( masa kolonialisme hingga perang candu ) 3. Akhir abad ke 19 hingga abad ke 20 pertengahan, berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.
[5] Ernst Cassier,” Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia”, hal.75, 1987, Jakarta : PT Gramedia
[6]Dalam hal ini warna merah adalah lambang kebahagiaan sedangkan warna putih adalah lambang duka cita.
[7] Lih Chen Huawen 陳華文,”Sejarah Penguburan” (喪葬史), hal.121 , 1999, Shanghai : Shanghai Wenyi Chubanshe 上海文藝出版社
[8] Ko coa adalah seni merekatkan kertas sehingga menjadi benda-benda yang indah, contohnya adalah lampion yang termasuk seni huzhi.
[9] Zhou Li adalah buku tentang etika dan ritual pada masa dinasti Zhou yang dibuat oleh Zhou Gongdan 周公旦( circa 1100 BC ) dan merupakan salah satu dari tiga buku utama (Zhou li周禮, Li yi 禮儀 dan Li Ji 禮記 ) yang membahas masalah etika ritual masyarakat Tionghoa.
[10] Lih. Chen Huawen 陳華文,”Sejarah Penguburan” (喪葬史), hal.1 , 1999, Shanghai : Shanghai Wenyi Chubanshe 上海文藝出版社.
[11] Qingming atau yang juga sering disebut festival Ceng Beng di Indonesia adalah salah satu festival utama bagi masyarakat Tionghoa dan pada umumnya mereka ke kuburan orang tua atau leluhur melakukan penghormatan di kuburan itu, membersihkan kuburan.