Logika Tiongkok Kuno
Apa itu LOGIKA?
Yang akan dibahas di sini adalah LOGIKA dlm konteks ilmu LOGIKA (逻辑学). Akan ditulis dengan kapital untuk membedakan dengan “logika” dalam bahasa sehari-hari. Ilmu LOGIKA membahas tentang bentuk penalaran yang efektif (有效推理形式). Yang dimaksud dengan “penalaran” adalah memproses premis-premis yang diberikan menjadi satu kesimpulan, dengan syarat jika premis awal yang diberikan adalah benar, maka kesimpulan yang dihasilkan juga benar. Ilmu LOGIKA tidak bertanggung jawab atas benar tidaknya premis awal yang diberikan. Singkatnya, hanya semacam rumus atau alat saja. Ibaratnya, jika diberikan panjang = 5, lebar = 2, dan luas = panjang x lebar, maka tugas LOGIKA adalah menghasilkan kesimpulan bahwa luas = 10. Soal apakah benar benda tersebut panjangnya 5, lebarnya 2, dan rumus luas adalah panjang kali lebar, atau faktor x yang tidak disebut dalam premis awal (misalnya luasnya dikorupsi siapa atau ada efek muai susut sekian), itu bukan tanggung jawab ilmu LOGIKA.
Contoh LOGIKA sederhana:
p1: semua manusia jika tidak makan maka akan mati
p2: si anu adalah manusia
p3: si anu tidak mati
kesimpulan: si anu makan
Soal benar atau tidak manusia kalau tidak makan akan mati, itu sama sekali bukan urusan LOGIKA. Belum lagi kalau dibantah, si anu kan diinfus, ga makan juga ga mati. Itu sudah oot. LOGIKA hanya memproses dari apa yang diberikan secara apa adanya, tidak lebih, tidak kurang.
Saat membahas LOGIKA, orang sering tercampur dengan pengertian logika dalam bahasa sehari-hari. Misalnya “logika” dalam kalimat “harga saham masa turun lagi, ga logis nih kalo dipikir”, atau “itu kan nurut logika lu, jangan pake kacamata kuda donk”, ini sama sekali berbeda dengan LOGIKA dalam ilmu LOGIKA. Logika dalam bahasa sehari-hari sepertinya sering mengarah pada “pola pikir orang/kelompok tertentu dalam bidang tertentu”. Contoh lain lagi, “masa cuma bakar2 kertas bisa bikin kaya, ga sesuai logika ah”. Ini juga berbeda dengan LOGIKA yang akan dibahas di sini.
LOGIKA Masa Pra Qin
Ada LOGIKA barat dan timur. Yang barat dari Aristoteles, dkk. Yang timur, ada dari Tiongkok dan India. Ilmu LOGIKA barat lebih murni dan terarah khusus hanya membahas penalaran saja. Sedangkan yang ala Tiongkok, tercampur dengan hal-hal lain, tidak spesifik khusus membahas itu saja. Di masa Pra Qin (Chunqiu & Warring State), aliran pemikiran yang membahas soal LOGIKA adalah Mo Jia dan Ming Jia.
Contoh pembahasan LOGIKA yang terkenal di Tiongkok kuno, adalah soal “白马非马” dari Gongsun Long (Ming Jia). Sepintas, banyak yang mengartikan kalimat ini sebagai “kuda putih bukan kuda”, lalu mulai bingung atau sibuk protes. Padahal kalau mau dibaca, penjelasan dari Gongsun Long sudah jelas. Dia bilang (singkatnya saja, malas translate keseluruhan buku, lagipula nanti terlalu rumit):
Kalau kita minta kuda, dikasih kuda kuning, boleh gak? Boleh.
Kalau kita minta kuda putih, dikasih kuda kuning, boleh gak? Gak boleh.
Lihat 2 kalimat di atas. Strukturnya sama persis, hanya kata “kuda” diganti menjadi “kuda putih”, dan hasilnya pun berbeda. Bisa dilihat bahwa terjadi perbedaan pengertian kata “非 (bukan)” antara Gongsun Long dan orang yang bingung atau protes. Yang bingung dan yang protes, mengartikan “非” sebagai “tidak termasuk”, alias kuda putih tidak termasuk kuda. Padahal yang dimaksud Gongsun Long, “tidak sama dengan”, alias kuda putih tidak sama dengan kuda. Kuda putih itu spesifik, ada batasan warna, sedangkan kuda itu lebih luas. Kalau dibuat dalam bentuk himpunan matematika, jelas “kuda” dan “kuda putih” adalah himpunan yang berbeda. Himpunan “kuda putih” lebih kecil dan berada di dalam himpunan “kuda”.
Ini sudah masuk ranah LOGIKA. Nantinya ada lagi teori 离坚白 (memisahkan “keras” dan “putih”). Yaitu bahwa kalimat “batu putih keras” sebenarnya terdiri dari dua kalimat “batu putih” dan “batu keras”. “Putih” merujuk ke warna, dan “keras” merujuk ke struktur. Jangan dicampuradukkan. Jadi, di sini golongan Ming Jia sudah meletakkan dasar pemikiran soal “konteks”. Dalam ilmu LOGIKA, saya rasa masuk ke prinsip 同一律 (rule of identity/law of identity). Maksudnya, proses LOGIKA harus berjalan dalam konteks, definisi, sudut pandang, dan cara penilaian yang sama.
Ada contoh lain soal debat Zhuangzi dan Huizi di atas jembatan. Soal “kamu bukan ikan”. Saya tulis sederhana saja di sini, barangkali ada yang belum tahu.
Zhuangzi dan Huizi berjalan-jalan di atas jembatan, memandangi ikan-ikan yang berenang di air.
1. Zhuangzi: Lihat, ikan-ikan itu berenang begitu gembira!
2. Huizi: Kau bukan ikan, bagaimana kau bisa tahu kegembiraan mereka?
3. Zhuangzi: Kau bukan aku, bagaimana kau bisa tahu kalau aku tak tahu kegembiraan ikan.
4. Huizi: Sama saja kan. Aku bukan kau, tak tahu kau. Kau bukan ikan, juga tak tahu kegembiraan ikan.
5. Zhuangzi: Mari kembali ke topik awal. Kau tadi tanya, “bagaimana aku tahu kegembiraan ikan”. Kan artinya kau tahu bahwa aku tahu kegembiraan ikan. Lalu kau tanya, bagaimana aku bisa tahu. Ya aku tahunya di atas jembatan ini.
Kalau dilihat dari sudut LOGIKA, Zhuangzi jelas melanggar prinsip law of identity. Perhatikan kalimat no 3 dan no 5. Dalam kalimat no 3, Zhuangzi mengartikan pertanyaan Huizi sebagai kalimat retoris, menuduh dia tidak tahu kegembiraan ikan, maka dijawab demikian. Sedangkan dalam kalimat no 5, Zhuangzi membantah dengan mengartikan kalimat tersebut sebagai pertanyaan: bagaimana caranya dia bisa tahu kegembiraan ikan. Zhuangzi menggunakan konteks dan definisi yang berbeda dalam membahas satu hal, tidak konsisten.
Kalau dari Mo Jia, ada teori “bunuh perampok bukan berarti bunuh manusia” yang agak kontroversial. Begini singkatnya:
Perampok adalah (termasuk) manusia.
Banyak manusia, bukan berarti banyak perampok.
Tidak ada perampok, bukan berarti tidak ada manusia.
Benci banyak perampok, bukan berarti benci banyak manusia.
Maka, perampok adalah (termasuk) manusia, tetapi cinta perampok bukan berarti cinta manusia, tidak suka perampok bukan berarti tidak suka manusia. Jadi, bunuh perampok bukan berarti bunuh manusia.
Dapat dilihat bahwa ujung-ujungnya juga soal penyamaan konteks dan definisi.
JADI???
LOGIKA itu memang truth value-nya cuma T dan F (benar dan salah). Tapi kalau ada model yang “bagiku kepercayaan A benar, B beda dengan A, maka kepercayaan B salah”, itu sih bukannya karena pake LOGIKA, tapi justru melanggar prinsip LOGIKA itu sendiri, tepatnya melanggar rule of identity. Kepercayaan itu hal yang kompleks. Barat, timur, dll, masing-masing punya konteks, definisi, dan sudut pandang yang berbeda. “Tuhan” ala samawi saja sudah beda dengan “Tian” ala tionghua. Prinsipnya beda, modelnya beda, konteksnya beda, sudut pandangnya beda. Kalau hal yg berbeda dicampur jadi satu untuk menarik kesimpulan, justru itu namanya melanggar LOGIKA, bukan sebaliknya.
Orang sering terjebak dalam “relativisme”, menganggap semua hal adalah relatif, benar dari sudut tertentu, salah menurut kaca mata siapa. Memang. Tapi kalau semua hal ditarik ke arah “relatif”, maka di dunia ini tiada lagi yang perlu didiskusikan, toh semua relatif pake sudut pandang masing-masing. Ngomong saja semua sesuka hati, nanti tinggal bilang “itu kan relatif, menurutku begini kok”. Sebagai contoh, kalimat “walau dia sudah mati, tapi dia tetap hidup”. Apakah kalimat ini “relatif” atau “saling berlawanan”? Kalau menurut LOGIKA, justru sama sekali tidak berlawanan. Karena yang dibilang “mati” itu adalah fisiknya, sedangkan saat bilang “hidup” itu merujuk ke mungkin kisahnya atau semangatnya atau apanya. Beda konteks. Sebaliknya, kalau ditarik ke konteks yang 100% sama persis, justru hampir semua hal adalah absolut dengan truth value T dan F (benar dan salah). Misalnya “saat ini jakarta hujan”. Kalau benar-benar menggunakan titik waktu yang sama persis sampai ke detik atau bahkan milisecond atau satuan yang lebih kecil lagi (intinya sama persis sepersis-persisnya) dan titik tempat yang juga sama persis sepersis-persisnya (bukan cuma sekedar satu kompleks atau satu jalanan atau tetanggaan), dan “hujan” dalam pengertian yang sama (bukan hujan darah vs hujan air vs hujan ludah, dll), tidak mungkin bisa hujan sekaligus tidak hujan. Kalau sampai ada yang berdebat, satu bilang hujan satu bilang tidak, kemungkinannya mereka menggunakan titik waktu yang berbeda (misalnya selisih sekian jam), atau titik tempat yang berbeda (misalnya di ujung jalan sini dan ujung jalan situ). Memang beda konteks, jadi apa yang diperdebatkan?
Jadi, LOGIKA dalam konteks ilmu LOGIKA justru objektif dan netral. Bahkan tidak “lancang” dan “sok”, karena ia hanya memproses dari premis yang diberikan saja, tidak lebih. Mengapa ilmu LOGIKA semacam ini kemudian tidak berkembang di Tiongkok? Ada opini yang mengatakan bahwa ini berkaitan dengan dibubarkannya 100 aliran pemikiran dan menggunakan Ru di jaman Han. Kalau di mata saya, LOGIKA ini bukan kekurangan bangsa barat, melainkan kerugian bangsa Tionghua! Rugi karena sudah punya, sudah ada, malah tidak dikembangkan lebih lanjut.
(the end untuk sementara, karena lagi mudik, ga bisa download materi, harusnya bisa lebih panjang lagi) alias bersambung.