PK ( peekay ) mencari Tuhan
PK ( peekay ) mencari TuhanPK adalah sebuah film komedi yang disutradarai Rajkumar Hirani , dibintangi Aamir Khan dan Anushka Sharma, adalah film komedi spiritual agama yang amat menarik dan penuh nilai filosofis yang patut direnungkan. Satu tontonan wajib bagi mereka yang menjelajahi alam semesta ini terutama yang menggunakan pikiran maupun spiritualitasnya. Film ini dapat dianggap melecehkan agama bagi mereka yang berkacamata sempit dan tidak mau membuka matanya mereka. Suka tidak suka, agama manusia ini menjadi tiga golongan. Pertama adalah monotheistic, kedua polytheistic dan nontheistic. Kadang arogansi-arogansi muncul dan pemaksaan-pemaksaan muncul atas nama agama.
Alkisah ada seorang astronot dari planet lain datang ke bumi ini untuk menjelajahi dan mengetahui bumi ini. Astronot itu tidak bernama, tak berbicara dan tidak berpakaian. Setelah mendarat, remote control pesawat angkasanya dicuri oleh manusia bumi membuatnya tidak bisa kembali ke tempat asalnya. Cerita kemudian berkembang dan menjadi semakin seru.Dalam pencaharian remote controlnya, ia melakukan hal-hal konyol dan karena tidak bernama serta tingkah lakunya yang “konyol” menurut manusia bumi. Ia diberi nama Peekay (Aamir Khan ) yang berarti mabuk, ini mengingatkan penulis akan bait dalam Daode jing mengenai nama. Penamaan 有名 adalah tindakan manusia untuk membuat suatu perbedaan-perbedaan dan dari penamaan itu maka adanya perbedaan, dengan adanya perbedaan maka ada “aku”, “kau”, “dia” bahkan “yang lain”. Penamaan atau bernama ( 有名 ) itulah awal laksa mahluk. Dengan penamaanlah akhirnya si astronot bisa berinteraksi dengan yang lain dan menjadi satu “individu” dari milyaran individu yang mengisi bumi ini.
Bagi banyak budaya, nama mencerminkan karakter atau harapan. Penamaan Peekay ini bukan sembarang menamakan tapi karena mencerminkan karakter “pemabuk” yang sering dianggap keluar dari jalur yang ada. Manusialah yang merasa terunggul di alam semesta ini yang memberikan nama, karena itu dalam Daodejing bab 1 dikatakan bahwa “ada nama ( bernama ) adalah bunda segala mahluk”. Permasalahannya siapa atau apa yang bernama itu ? Apakah manusia yang memberikan nama sehingga menjadi adanya perbedaan ? Menjadi tahu bahwa a dengan b berbeda ? Peekay tidak mampu berbahasa manusia dan ia terpaksa harus “download” dengan cara menyentuh tangan wanita. Mengapa perlu berbahasa ? Manusia adalah mahluk yang berkata. “Manusia disebut manusia, adalah ( karena ) kata. Manusia tidak dapat berkata, bagaimana menjadi manusia” (人之所以为人者 言也 人而不能言 何以为人)[1]. Tapi bahasa itu juga yang menjadi masalah, karena bahasa beragam sedangkan planet Peekay tidak memerlukan bahasa untuk berkomunikasi. Bahasa bagi Peekay menjadi sulit dan bermasalah. Intonasi, nada bicara, gesture juga menjadi penghambatnya dalam berinteraksi dengan manusia bumi ini, sebagai contoh adalah kata “asu” yang bisa berarti hinaan, cacian tapi juga bisa sebagai ungkapan perasaan diri. Peekay memberi contoh kata : achcha yang bisa memiliki empat arti dan tergantung dari tinggi rendahnya nada.Peekay menyadari bahwa tanpa bahasa maka manusia tidak bisa berinteraksi satu dengan yang lain alias tidak berdaya sama sekali. Gadamer mengatakan bahwa pusat memahami dan pemahaman manusia. Tanpa bahasa manusia tidak bisa memahami satu sama lain, seperti yang dialami Peekay. Bukankah itu yang menjadi masalah manusia, bahasa menjadi amat penting dalam kehidupan sehari-hari ? Tanpa bahasa, maka logika tidak bisa diterapkan, karena logika itu berbicara tentang masalah inferensi-inferensi. Tapi seperti bangsa Peekay, mereka tidak memerlukan bahasa. Mereka berkomunikasi lewat pikiran, dan pikiran itu isinya adalah imaji-imaji bukan aksara atau angka. Apakah imaji adalah bahasa ? Bagaimana menyampaika imaji-imaji itu ? Apakah bahasa tulisan pertama adalah “imaji” yang kemudian disuarakan oleh manusia ? Selalu menjadi perdebatan menarik tentang asal muasal bahasa, fungsi bahasa, tujuan bahasa, makna bahasa.Dalam filsafat Tiongkok dalam kitab Liji adalah “hanya mengenal suara tapi tidak mengenal bunyi adalah binatang” ( 是故知聲而不知音,禽獸是也)[8]. Pengertian bunyi disini adalah intonasi yang beragam dan bisa dimainkan sehingga menjadi music, sehingga manusia bisa memperluas ekspresi perasaannya melalui bunyi-bunyi yang dirangkai menjadi music[2]. Film India menjadi menarik karena dalam beberapa bagian penting dalam film India itu, ekspresi perasaan disampaikan melalui tari dan music.
Pencarian Bhagvan ( Tuhan ) oleh Peekay karena orang-orang mengatakan bahwa hanya Tuhanlah yang bisa membantunya. Peekay mencari beragam jenis Tuhan yang dimiliki oleh beragam agama. Dari kuil Hindu hingga gereja ia jelajahi, ragam ritual ia lakukan. Terkadang kebingungan, ragam itu menimbulkan perbedaan dan juga terkadang menimbulkan perpecahan. Dalam perjalanannya ini, ia memiliki banyak pertanyaan. Mungkin terdengar bodoh. “Kau yang menciptakan Bhagvan atau Bhagvan yang menciptakan kau ?” Satu pertanyaan sederhana yang menggelitik saat ia memprotes patung dewa yang ia beli ternyata “kehabisan battery” setelah ia “mendapat” makanan saat memohon pada Bhagvan. Si penjual hanya bisa terbengong-bengong dan menjawab ya dan itu untuk memujanya. Kata memuja ini mengingatkan penulis akan George Calin, seorang comedian dari Amerika yang mengatakah hanya memuja tapi tidak berdoa pada matahari. Perkataan itu benar-benar menampar karena berapa banyak manusia yang berdoa untuk meminta-minta hal-hal yang terkait dengan ‘pemuasan diri’ mereka ? Berapa banyak yang memuja tanpa meminta-minta ?Apakah manusia itu harus beragama ? Jika ya, maka mana tanda agamanya yang melekat sejak lahir ? Bagaimana caranya tahu agama anak yang baru lahir ? Kitalah yang memberi agama itu yang melekat pada anak itu, seperti stempel yang dicap pada surat akte lahir. Bukan dari mahluk adikodrati bernama Tuhan, dewa atau apapun yang memberi stempel itu, sekali lagi manusialah yang memberi stempel itu.
Peekay menyadari bahwa di dunia ini banyak agama dan artinya banyak Tuhan yang berbeda-beda, semua memiliki aturan sendiri, rumahnya sendiri, pemuka agamanya sendiri dan tempat memujanya hanya ada Tuhannya ( dewanya ) sendiri , tidak ada yang lainnya. Mungkin jika Peekay mendarat di Tiongkok lima ratus tahun yang lalu, ia akan melihat bahwa di Tiongkok unik. Karena banyak tempat ibadah orang Tionghoa itu menerima tiga agama yang berkembang di Tiongkok tanpa adanya gesekan. Di Tiongkok ada pepatah yang terkait dengan hal itu, tiga agama menjadi satu(三教合一). Bahkan jaman dynasty Yuan sendiri sudah berdiri kelenteng tiga agama三教廟 di Beijing. Kelenteng itu bukanlah sinkretisme tapi memang benar-benar tempat ibadah tiga agama itu berada dalam satu lokasi dan mendapatkan tempat yang setara. Karena itulah gesekan antar agama tidaklah begitu menghebohkan di Tiongkok dibandingkan di wilayah lain di bumi ini yang penuh tangis dan darah saat gesekan dan pembantaian atas nama Tuhan dan agama berlangsung. Pemikiran tiga agama menjadi satu ini dalam khasanah Tiongkok adalah mereka saling menghormati agama lain, seperti bhiksu Huiyuan yang menghormati agama Tao dan Kong Hucu, Wang Chongyang menghormati agama Buddha dan Konghucu juga Wang Yangming menghormati agama Tao dan Buddha. Menyerap ajaran-ajaran yang ada dan dihargai bahwa ajaran di luar itu memperindah ajaran mereka.
Katanya kau penguasa alam semesta.
Dengarlah doaku juga, aku ingin pulang.
Oh Tuhan…….
Oh Tuhan, dimanakah Kau ?
Katanya Kau tunjukkan jalan bagi mereka yang putus asa.
Aku juga salah satunya.
Aku ingin pulang.
Oh Tuhan, dimanakah Kau ?
Haruskah aku memujaMu atau menyembahMu ?
Haruskah aku memberimu ardaas ?
Kau tidak ada di kuil….…maupun di gereja.
Mataku lelah mencariMu.
Mataku lelah mencariMu.
Semua aturanNya aku ikuti.
Aku tunduk padaMu seperti kutunduk pada duniawi.
Oh Tuhan, dimanakah Kau ?
Kau punya banyak nama.
Kau punya banyak wajah.
Ada banyak jalan menemukanMu.
Sudah kulalui semua jalan itu.
Tapi tetap tidak menemukanMu.
Aku tak mengerti apa yang Kau mau?
Aku tak mengerti apa yang Kau mau?
Aku terus berusaha tanpa berpikir dan mengerti.
Ku ikuti aturanMu dengan segala hormat.
Oh Tuhan, dimanakah Kau ?
Lagu yang dinyanyikan dan amat menyentuh saat menggambarkan Peekay mencari dan menyembah semua Tuhan yang ada. Penulis menjadi teringat satu koan Zen. Alkisah ada seorang pemuda yang hendak mencari bodhisattva hingga ke pulau Putuo yang konon adalah tempat tinggal Avalokitesvara bodhisattva. Ditengah perjalanan pemuda itu bertemu seorang bhiksu yang menanyakan tujuannya. Saat bhiksu itu mengetahui tujuannya, bhiksu itu mengatakan,” pulanglah kau ke rumah, nanti kamu bertemu orang yang memakai baju terbalik dan sandal hanya sebelah. Itulah bodhisattva yang kau cari.” Pemuda itu mendengar nasehat tersebut kemudian bergegas pulang dan menggedor pintu rumahnya di malam hari sambil berteriak untuk membuka pintu. Ketika pintunya terbuka, ia melihat seorang wanita yang memakai baju terbalik dan sandal sebelah. Wanita itu adalah ibunya sendiri.
Dari kisah Zen itu kita sering menemui banyak orang yang mencari Tuhan, dewa, dan sebagainya tapi lupa bahwa orang tua adalah reprensentasi langit dan bumi atau yinyang,suatu symbol “Tuhan” menurut Ruisme maupun Taoisme. Peekay memang memiliki tujuan mencari Tuhan karena ingin pulang, sama seperti manusia yang mencari Tuhan karena “pemuasan diri”, seperti si pemuda itu yang mencari Avalokitesvara bodhisattva hanya suatu bentuk “pemuasan diri”. “Pemuasan diri” Peekay bagaikan anak kecil lugu yang mencari dan memohon pada Tuhan dengan polos tanpa niatan-niatan nafsu keduniawian seperti kaya, dipandang, naik pangkat, lulus ujian sekolah, yang diminta hanya “remote control” saja. Kadang kita mentertawakan orang yang menyembah batu, pohon sebagai penyembah berhala saat mereka itu memohon lulus ujian tapi lupa bahwa mereka yang mentertawakan juga sering meminta hal yang sama saat mereka berdoa yang konon berdoa pada yang “BENAR”. Dan wajar saja mereka meminta hal-hal seperti itu termasuk juga jaminan setelah mati. Rodney Stark mengatakan,” Manusia mendekati tuhan-tuhan karena dua jenis keuntungan : yang dapat diperoleh di masa depan yang tak terbatas dan yang diperoleh ‘disini’ serta ‘kini’. Yang terakhir adalah keajaiban-keajaiban : efek-efek yang dikhendaki, yang diyakini tidak mungkin terjadi kecuali karena campur tangan tuhan-tuhan dalam kaitan dengan persoalan-persoalan duniawi.”[3]
Pertemuannya dengan Jaggu (Anushka Sharma ) seolah-olah memberikannya pencerahan dan juga Jaggu mendapatkan pencerahan dari Peekay. Ini mengingatkan penulis pada salah satu konsep yinyang.
Yin berdiri sendiri tidak akan melahirkan dan yang tunggal tidak akan bisa berkembang (guyin busheng duyang buzhang 孤陰不生獨陽不長).
Hubungan antara Peekay dengan Jaggu yang saling mencerahkan itu berlangsung dua arah dan terkadang tanpa disadari termasuk peranan Tapaswi dan ayah Jaggu. Kondisi ‘tanpa disadari’ itu bisa terjadi saat kita terpaku pada tokoh sentral seperti Pee Kay, melupakan tokoh-tokoh lain dalam film itu.
Sama halnya banyak yang melupakan peranan pengamen yang memberikan pencerahan bagi Buddha Gautama, karena pengamen itu ‘terlupakan’ perannya.Dari pertemuan Pee Kay dengan Jaggu, Tapaswi, ayah Jaggu, akhirnya Pee Kay menemukan dua kata kunci. “Salah sambung” dan “bisnis ketakutan” adalah yang melekat pada banyak manusia. “Salah sambung” karena sampai hari ini tidak ada manusia yang melihat dan mendengarnya langsung. Satu pernyataan menarik dari Jaggu, karena semua itu disampaikan oleh para pemuka agama. Peekay memberi solusi sederhana,”sebelum telpon diperbaiki, masalah kita terus bertambah. Kita perlu membantu satu sama lain”. Telpon model apa yang harus diperbaiki ? Mengapa salah sambung ? Karena kita selalu tergantung pada “bentuk” baik fisik maupun imajiner. Bentuk-bentuk itulah buatan kita semua sehingga kita yang menyekat diri kita dan selalu “salah sambung”. Saat Laozi mengatakan,”Dao yang dapat dikatakan bukan Dao sesungguhnya, Nama yang diberikan bukan nama sesungguhnya.” Sebenarnya mengandung satu pengertian bahwa yang “sesungguhnya” itu melampaui apa yang ada dalam diri kita, tapi Taoisme sendiri tidak mengenal konsep transenden dan imanen, Taoisme melingkupi semuanya. Dalam kitab Qingjing dikatakan”Ku terpaksa beri nama Dao”. Kata terpaksa ini mau tidak mau kembali lagi pada manusia yang menggunakan bahasa sebagai ekspresi dan juga untuk dialog dengan manusia yang lain. Apakah manusia itu kodratnya harus berbahasa ? Baik language maupun la parole ? Signified dan signifier ? Seperti pemikiran Ferdinand de Saussure ? Yang jelas manusia memerlukan suatu “alat” untuk menyampaikan gagasan, terlepas seperti apa dan bagaimana pengembangan gagasannya itu maupun caranya. “Salah sambung” ini berkembang dari “ketakutan” dan ketakutan ini menjadi bisnis sehingga telepon semakin rusak dan semakin salah sambung.
Sungguh penulis kecut melihat bahwa “bisnis ketakutan” ini adalah investasi murah tapi “menggiurkan”. Apa yang kita lihat sekarang ini “bisnis ketakutan” semakin berkembang dan juga semakin meluas. Dari yang awalnya bersifat “sacral” dan “indah” menjadi suatu komoditas bisnis yang bahkan bisa “bebas pajak” negara. Kitalah yang menciptakan Tuhan itu yang juga menurut standar kita sebagai manusia. Dan kita sebagai manusia juga beragam budayanya sehingga Tuhan itu juga menjadi standar budaya tanpa disadari oleh kita. Apakah Tuhan itu memiliki emosi ? Apakah Tuhan itu memiliki “bentuk” ? Apakah Tuhan itu satu, dua, tiga, bahkan sejuta ? Kitalah yang memberikan itu semua. Bahkan angka satu baik sebagai penanda Tuhan itu mono maupun poly sebagai penanda Tuhan itu banyak bahkan Tuhan itu tidak ada adalah berdasarkan hitungan matematis manusia belaka. Apakah Tuhan mengenal angka 0 sampai 9 ? Bukankah kita yang meletakkan angka itu pada Tuhan itu sendiri ? Dalam kitab Qingjing dituliskan bahwa Dao tidak memiliki bentuk, tidak memiliki perasaan. Jadi siapa yang melekatkan itu semua ? Manusia ? Bukankah kita yang melabelkan itu semua ?Perbedaan-perbedaan ini semua dibuat karena adanya perbandingan. Dalam Daodejing bab 2 dituliskan bahwa adanya indah maka ada buruk, sesungguhnya indah buruk, tinggi pendek itu bukanlah suatu pemisahan tapi seharusnya menjadi suatu keharmonisan. Dalam kitab Yijing dikatakan bahwa “satu yinsatu yang adalah Dao[4]” ( 一陰一陽之謂道 ), jadi bukan untuk mengabsolutkan yang lain. Kitab Yijing menekankan adanya “pergerakan” yang bersifat “relative” bukan “absolute”.
Sayangnya banyak yang terjebak pada konsep “pengabsolutan” sehingga membuat terjadinya ketidak harmonisan. Apakah Tuhan hilang atau Tuhan telah mati ? Tapaswi menyindir Peekay yang menempel selebaran yang mencari Tuhan yang hilang. Bahkan Tapaswi menyindir Peekay seperti Nietszche yang berkata “Tuhan telah mati”. Apa kondisi sosial masyarakat saat Nietsche hidup itu sama seperti yang Peekay lihat saat ini ? Penulis teringat ujar Hushi yang mengatakan bahwa,”agama modern adalah agama yang menekankan hubungan horizontal daripada hubungan vertical” dan menurut Hushi, Ruisme adalah agama yang menekankan hubungan horizontal daripada vertical. Penulis sependapat dengan pemikiran Hushi ini, karena hubungan horizontal itu yang lebih diperlukan daripada meributkan “sambungan telepon” untuk Tuhan seperti yang Peekay katakan. Tuhan yang mana yang harus dipercayai ? Tetap akhirnya banyak manusia yang bersikukuh “Tuhan kami” bukan “Tuhan kamu”. Dan akhirnya tumpah darah, pemaksaan baik halus maupun kasar, mematikan akal, membela “Tuhanku”.
Setelah menonton film itu, penulis teringat kebijaksanaan timur. Buddha Gautama berkata,”ada 84.000 jalan keselamatan”, “ajaranKu hanya segenggam daun ditangan”. Kongzi mengatakan,”sesama penganut jalan suci harus saling menghormati”, Laozi berujar,”Jalan Langit tiada berperasaan hanya abadi bersama manusia yang berkebajikan.”
“Begitu banyaknya dewata karena mereka merepresentasikan satu sifat mulia alam semesta dan dewata-dewata itu menjadi terfokus pada satu wujud yang sesuai dengan persepsi kita.” Daojiao yaolun.
“Setelah menciptakan seluruh ciptaan ini, Beliau memasuki semua ciptaan ini, Beliau merubah Dirinya menjadi berbentuk dan tidak berbentuk (Saguna dan Nirguna Brahman), Beliau menjadi benda-benda dan makhluk-makhluk yang dapat dikenali maupun yang tidak dapat dikenali; Beliau menjadi ciptaan-ciptaan yang memiliki penunjang dan juga yang tidak memiliki penunjang; Beliau menjadi berbagai ciptaan yang sadar dan juga yang tidak memiliki kesadaran. Beliau menjadi berbagai ciptaan yang kasat mata (kasar) dan yang tidak kasat mata (halus, lembut). Beliau menjadi semua ciptaan apapun juga namanya; oleh karena itu para kaum yang bijak menyebutNya sebagai Yang Hakiki.”[5]
Semoga ibumu menjadi tuhan bagimu’Semoga ayahmu menjadi tuhan bagimu;Semoga para tamu menjadi tuhan bagimu juga[6];
[1] Chunqiu Guliang zhuan bab Duke Xi, hal.64. [2] Bdk.Ernt Casier, hal.177-178. Dalam kitab Liji bab Yueji, menuliskan bahwa music adalah gabungan dari berbagai nada suara dan ekspresi perasaan-perasaan manusia. [3] Rodney Stark, Resiko Sejarah Bertuhan Satu, penterjemah M.Sadat Ismail ( Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2003 ). Hal.24. [4]Pernyataan ini adalah komentar Kongzi dalam Zhouyi xici 周易系辭. Dao ini sering diartikan jalan, tapi untuk ini diartikan adalah suatu awal yang selayaknya bersifat harmonis. Konsep ini agakberbeda dengan konsep dao道 yang dijabarkan oleh Lao Zi 老子dalam Daode Jing ( 道德经 ), dao ini dilukiskan sebagai sumber segalanya. [5] Upanishadhttp://shantigriya.tripod.com/sastra/taittiriya/taittiriya.htm [6] Upanishadhttp://shantigriya.tripod.com/sastra/taittiriya/taittiriya.htm