Menyambut Rejeki (Kemakmuran) di Malam Tahun Baru Imlek
Kita sering dengar “open house” pada saat perayaan-perayaan tertentu. Misalnya saat Imlek atau Idul Fitri, mereka dari kalangan yang mampu mengadakan “open house” bagi kaum fakir miskin. Mereka membagi-bagi rejeki kepada kaum fakir miskin, memang hal itu adalah hal yang baik. Karena melaksanakan amal dan membagi keuntungan yang didapat selama ini bagi kaum yang tidak mampu. Tapi dalam masyarakat Tionghoa ada satu tradisi yang mulai melenyap.
Pada umumnya masyarakat Tionghoa saat menyambut imlek itu berkumpul dan makan bersama, kemudian menunggu datangnya “dewa rejeki” sambil bercengkrama sesama anggota keluarga. Ada yang melakukan ritual di rumah untuk menyambut “dewa rejeki”, tapi sesungguhnya ada satu tradisi yang nyaris terlupakan bahkan dipinggirkan sehingga nilai-nilai luhur imlek itu menjadi sebatas lingkungan keluarga saja.
Pada umumnya masyarakat Tionghoa melakukan upacara ritual menyambut dewa rejeki itu adalah pada malam tahun baru dan pada malam tanggal 4 bulan 1 penanggalan imlek.
Pada malam tanggal 4 itu masyarakat Tiongkok selatan (di sebagian Tiongkok ada yang tanggal 2 bulan 1 ) sebenarnya menyambut HUT Dewa Rejeki yaitu Caishen yang jatuh pada tanggal 5 bulan 1. Tradisi lainnya pada tanggal 5 adalah mengambil ciamsi untuk mengetahui peruntungan selama satu tahun ke depan. Selain itu juga banyak toko-toko yang membuka tokonya pada tanggal 5.
Pada umumnya masyarakat Tionghoa memasang gambar Caishen untuk menyambut tahun baru ini, tapi pemasangan gambar ini memiliki nilai luhur yang bertujuan mengurangi “celah” sosial ekonomi masyarakat. Hal ini yang tidak disadari atau tidak diketahui oleh masyarakat umum, karena tradisi ini mulai melenyap seiring dengan waktu atau terpaku pada sosok “adikodrati” yang memberikan rejeki dan berbondong-bondong melakukan ritual bahkan sampai ada yang ke tempat ibadah pada malam tahun baru Imlek.
Tradisi “membeli dan menjual dewa rejeki” ( 買財神 賣財神), “menyambut dan mengantar dewa rejeki “ (接財神 送財神 ) menjadi sekedar ritual yang mengkaitkan manusia dengan “adikodrati” atau berada di atas, bersifat vertical. Padahal banyak tradisi dan festival Tionghoa itu bersifat horizontal atau membangun hubungan antar manusia termasuk juga tradisi “membeli dan menjual dewa rejeki” (買財神 賣財神), “menyambut dan mengantar dewa rejeki “ ( 接財神 送財神 ).
Umumnya mereka yang status sosial ekonominya menengah ke atas pada saat malam Imlek membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan kaum fakir miskin atau mereka yang berkekurangan akan meneriakkan “menjual dewa rejeki (kemakmuran)” atau “mengantar dewa rejeki (kemakmuran )”. Kaum yang berpunya ini umumnya akan mengatakan “menjemput” atau “membeli” dewa rejeki (kemakmuran) ini. Biasanya menukarkan atau barter antara tulisan (kuplet) yang isinya tulisan-tulisan yang mengandung makna rejeki (kemakmuran) atau lukisan dewa rejeki dengan hongbao (angpao).
Uniknya adalah para penjual atau pengantar dewa rejeki ini harus memiliki modal terlebih dahulu, entah membeli gambar Caishen, melukis atau menulis kaligrafi. Disini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya ada nilai-nilai luhur dan pendidikan bagi mereka yang merayakan imlek.
Tradisi ini mengandung makna yang mendalam. Pertama adalah kaum berpunya atau berlebih harus menyadari bahwa rejeki ( kemakmuran ) yang mereka miliki atau dapat itu BUKAN dari mahluk adikodrati tapi sebenarnya kaum fakir miskin itulah pemberi rejeki dan kemakmuran mereka sehingga mereka harus menyadari penuh dan tidak berlaku tamak. Apalagi pada saat upacara mengantar dewa dapur sebenarnya lebih pada tujuan refleksi diri atas kesalahan yang dilakukan dan melakukan pertobatan dan saat malam imlek itu selain berkumpul dengan keluarga dan bersendau gurau dengan anggota keluarga juga harus sadar bahwa masih banyak yang miskin dan kekayaan yang mereka miliki sebenarnya berasal dari kaum miskin itu. Kedua adalah kaum fakir miskin tidak sekedar berbaris meminta angpao saja, tapi harus berusaha entah dengan membeli gambar Caishen, melukis atau menulis kaligrafi dan menawarkan dengan berkeliling, harus menyadari bahwa rejeki yang didapat juga melalui usaha dan modal bukan dengan mengemis hanya mengadahkan tangan dan berkata-kata memohon iba.
Tradisi ini timbul karena ada kepercayaan bahwa tiap malam tahun baru Imlek, dewa Rejeki akan mengutus anak-anak kecil untuk menjual rejeki kepada mereka yang mampu, disebut pai caishen 派財神. Tradisi lain yang terkait adalah “menjual kemalasan”, biasanya dilakukan pada anak-anak yang malas belajar. Anak-anak yang malas belajar itu biasanya akan menulis kata lan 懶 ( malas ) dan menyelipkannya dalam tulisan atau gambar-gambar yang mereka jual. Dengan harapan kemalasan itu bisa dibuang.
Jadi sadarilah bahwa sebenarnya tidak perlu ke tempat ibadah pada malam harinya dan memohon berkah dari “mahluk adikodrati” tapi lupa bahwa berkah dan rejeki itu berasal dari sekeliling kita. Sadarilah bahwa kekayaan yang diperoleh itu bukan dari atas tapi dari masyarakat sekitar kita. Mereka yang miskin dan dianggap tidak memiliki rejeki untuk menjadi kaya itu sesungguhnya adalah penopang bagi orang kaya. Betapa banyak kaum miskin dieksploitasi dan kadang kaum miskin mengekspoitasi kemiskinannya untuk mengundang iba. Tapi segala sesuatu itu harus berdasarkan simbios mutualisme. Dengan harapan mereka yang bisa menjadi kaya dan makmur bisa memiliki jiwa filantropis. Itulah beberapa beberapa semangat dan makna dari “membeli dewa rejeki”.
Selamat tahun baru Imlek 4713 Huangdi Era .
Ardian Cangianto