Kertas Kerja DORISEA oleh Tsuda Koji, terbitan 18, 2015, ISSN: 2196-6893
Tsuda Koji
Sistematisasi “Agama Tionghoa”
Tantangan yang dihadapi oleh Organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” Kontemporer di Indonesia
Penterjemah: Ratna Tri Lestari Tjondro
Sejak kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, kondisi sosial-politik etnik Tionghoa di Indonesia telah meningkat secara drastis, sementara pengawasan Pemerintah terhadap institusi-institusi keagamaan telah melemah. Artikel ini difokuskan pada perubahan-perubahan yang sedang terjadi yang relatif tidak menarik perhatian tapi penting mengenai “Agama Tionghoa (Chinese Religion)” di masa sesudah pemerintahan Soeharto. Pada awal abad ke-20 para cendekiawan Peranakan Tionghoa (etnik Tionghoa yang melokalisir baik dalam hal kebudayaan dan keturunan) di Hindia Belanda Timur menemukan Konfusianisme dan mengembangkan “Sam Kauw” dalam usaha mereka mencari “tonggak spiritual untuk orang Tionghoa”. Gerakan ini didorong oleh gerakan nasionalis Tionghoa, dan kristianisasi etnik Tionghoa. “Sam Kauw” atau “Tridharma” digambarkan sebagai “Agama Tionghoa tradisional” yang holistik, yang mencakup Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, begitu juga penyembahan terhadap leluhur dan praktek-praktek agama rakyat di klenteng-klenteng Tionghoa. Namun, dari pertengahan tahun 1960 di bawah rezim Soeharto, organisasi-organisasi yang membawahi Tridharma hanya berfungsi sebagai pelindung klenteng-klenteng Tionghoa, dan melakukan sedikit “aktivitas-aktivitas keagamaan”. Setelah masa Soeharto, menyusul perubahan-perubahan pada susunan “Agama Tionghoa” yang disebabkan, antara lain oleh pengakuan kembali Konfusianisme sebagai agama yang diakui secara resmi, organisasi-organisasi Tridharma telah mulai mempertegas kembali alasan mereka dengan membangun doktrin-doktrin dan menstandardisasi upacara-upcacara. Dalam artikel ini saya menawarkan suatu gambaran tentang proses-proses sejarah, sebelum meninjau usaha-usaha penting untuk mensistematisasi keagamaan yang dilakukan oleh tiga organisasi Tridharma baru-baru ini; satu di Jawa Barat (Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia), satu di Jawa Timur (Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma se-Indonesia), dan cabang terakhir di Jawa Tengah. Selanjutnya, saya menganalisa sumber-sumber pengetahuan keagamaan yang didapat untuk menunjang usaha-usaha sistematisasi ini.
Kata-kata kunci: “Agama Tionghoa”, Tridharma (Tri Dharma), masa pasca Soeharto, etnik Tionghoa
I. Pengantar
Pada bulan Mei 1998 ketika rezim Orde Baru di Indonesia jatuh setelah lebih dari 30 tahun di bawah Presiden Soeharto, dimulai tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan opresif yang menargetkan penduduk Tionghoa (mulai saat ini disebut sebagai “etnik Tionghoa). Dalam prosesnya, hukum-hukum yang melarang pengungkapan kebudayaan yang berasal dari China secara publik dihapuskan. Pasang surutnya perubahan-perubahan utama politik mempengaruhi etnik Tionghoa termasuk kepercayaan mereka. Tahun Baru Tionghoa menjadi hari libur nasional dan Konfusianisme mendapatkan kembali statusnya sebagai agama ke-enam yang diakui oleh negara. Perubahan-perubahan ini membawa peningkatan yang nyata dalam “Agama Tionghoa”1.
Selama masa Soeharto, klenteng-klenteng Tionghoa telah dilarang, meliputi pengadaan aktivitas-aktivitas secara publik dengan alasan bahwa klenteng termasuk dalam kategori “tata budaya asing” yang tidak sesuai dengan “kepribadian Indonesia”2 (Tsuda 2012b: 389-390). Namun, sekarang beberapa klenteng Tionghoa bahkan mengadakan kelas-kelas bahasa Mandarin di tempatnya. Ini adalah bagian dari tranformasi yang lebih luas yang telah menjadi nyata dalam komunitas-komunitas lokal di banyak bagian negeri ini, dengan perubahan ke arah penempatan kembali fungsi klenteng-klenteng Tionghoa yang telah dirusak selama masa Soeharto, sebagai pusat kegiatan untuk masing-masing komunitas etnik Tionghoa (Tsuda 2012b: 396-397).
Fungsi lain yang disediakan oleh klenteng-klenteng Tionghoa, mungkin secara tradisional lebih penting, adalah sebagai tempat pemujaan. Di klenteng orang-orang mengangkat dupa, menangkupkan telapak tangan saat berdoa, dan membakar kertas untuk menyembah dewa-dewa yang terkenal dalam kepercayaan Tionghoa. Sekilas pemandangan “biasa” ini membangkitkan sensasi “tradisi”, dari praktek-praktek upacara yang diturunkan dari generasi ke generasi di antara orang-orang Tionghoa, melebihi batasan-batasan waktu dan geografi. Namun, bidang ini, meskipun secara umum dimengerti sebagai “kepercayaan etnik Tionghoa”, sama sekali tidak mempertahankan keberadaannya secara “tradisional”. Sebaliknya, demi mengadaptasi ke kondisi sosial dan politik, “tradisi” ini telah melewati perubahan-perubahan berarti. Perubahan yang paling nyata terjadi pada pergantian abad ke 20 di bawah struktur kolonial Hindia Belanda Timur, ketika para cendekiawan Peranakan Tionghoa mencari dan secara sangat sadar mendukung konsep “Agama Tionghoa” yang jelas sebagai tonggak spiritual untuk memodernisasi “orang-orang Tionghoa”3.
Perubahan lain yang berarti dikembangkan ketika negara berbangsa tunggal yang baru waktu itu mempromosikan konsep “agama” yang mengikuti Islam dan Kristiani yang monotheis. Perubahan ini dipercepat oleh faktor-faktor yang sama yang dialami oleh golongan-golongan beragama lain seperti Hindu Bali, yang melalui suatu proses usaha besar yang berlangsung selama lebih dari 5 dekade, bekerja untuk menysuaikan iman mereka dengan model “agama” dari negara. Agar diakui sebagai “agama” secara resmi, adanya Tuhan yang monotheis, nabi, kitab suci, dan tempat pemujaan adalah syarat-syarat penting (Ramstedt 2004). Perubahan-perubahan ini dipercepat pada masa rezim Soeharto, dimana Pancasila sebagai filosofi negara dianggap mutlak sebagai suatu ideologi untuk melawan komunisme. Terlebih lagi rezim Soeharto menambah rangkaian kebijakan-kebijakan untuk membuat “hal-hal yang berbau Cina” (segala sesuatu yang berhubungan dengan China atau etnik Tionghoa) tidak kelihatan di tempat-tempat umum demi kepentingan keamanan. Proses penghilangan ini diintensifkan ketika rezim ini kemudian mencoba memobilisasi kekuatan ekonomi etnik Tionghoa, sambil dengan hati-hati menghindari rasa iri dari orang-orang pribumi (Tsuda 2011: 11-14; 2012b). Tindakan opresif yang sangat berat ini berakhir pada pergantian abad ke-21, ketika “hal-hal berbau Cina” mulai berangsur-angsur diterima tidak hanya secara politik tapi juga secara sosial. Selain itu, negara telah berangsur-angsur tidak mau memperlakukan “agama” di bawah kontrol pusat4.
Dengan perubahan-perubahan ini orang-orang saat ini lebih leluasa menyatakan pendapat yang berhubungan dengan kesukuan atau agama di muka publik. Mengikuti fenomena ini, dipelopori oleh organisasi-organisasi keagamaan dalam bidang “Agama Tionghoa” yang tadinya hanya memayungi dan melindungi Klenteng-klenteng, memunculkan gerakan-gerakan yang tiba-tiba ditujukan untuk menyusun doktrin-doktrin dan menstandardisasi upacara-upacara. Dalam artikel-artikel sebelumnya saya telah menggambarkan situasi di klenteng-klenteng Tionghoa di seluruh Jawa saat ini, begitu juga beberapa masalah yang dihadapi oleh klenteng-klenteng individu dalam konteks lokal (Tsuda 2012b). Dalam artikel ini saya akan fokus pada organisasi-organisasi keagamaan5 dan memberikan suatu gambaran konkret untuk sistemasisasi “Agama Tionghoa” yang saat ini berkembang – dalam usaha-usaha mereka mengembangkan “penafsiran doktrin yang benar” (orthodoxy) dan “praktek upacara yang benar” (orthopraxy) – dalam hubungan dengan perubahan-perubahan sosial politik tersebut di atas.
II. Sejarah “Agama Tionghoa”
1. Awal abad ke 20 – Kwee Tek Hoay dan Sam Kauw Hwee
Mayoritas klenteng-klenteng Tionghoa di Jawa tampaknya dibangun atau direnovasi pada pergantian abad ke19 (Salmon & Siu 1997). Secara umum klenteng-klenteng ini dipertahankan dan diurus oleh masing-masing komunitas lokal etnik Tionghoa, dengan kata lain, klenteng-klenteng tidak dihubungkan pada organisasi-organisasi keagamaan yang terpusat6. Namun, selama awal abad ke-20, suatu gerakan muncul untuk mencari suatu agama yang bisa berlaku sebagai tonggak spiritual untuk etnik Tionghoa – “Agama Tionghoa”.
Dari akhir abad ke19 sampai tahun 1920-an, beberapa golongan – mula-mula dengan maksud untuk memodernisasi masyarakat etnik Tionghoa, dan kemudian sebagai serangan balasan terhadap gelombang-gelombang modernisasi dan westernisasi – menggunakan ajaran-ajaran Konfusius sebagai tonggak spiritual untuk masing-masing gagasan (Coppel 1989). Untuk menghadapi hal ini, Kwee Tek Hoay (郭德怀, 1886-1951) yang dikenal sebagai penulis produktif dalam sastra Peranakan, sangat kritis terhadap mereka yang mempromosikan modernisasi atau menggunakan ajaran-ajaran Konfusius sebagai kedudukan yang eksklusif, secara umum menolak penyembahan leluhur dan dewa-dewa sebagai hal yang kuno. Ia juga kuatir bahwa mereka telah gagal mendapatkan dukungan di antara masyarakat Tionghoa, malahan gagal menjadi tonggak spiritual yang efektif untuk melawan gelombang Kristenisasi masyarakat Tionghoa. Dalam tahun 1934 ia mendirikan suatu organisasi baru yang dikenal sebagai Sam Kauw Hwee (三教会), secara harfiah berarti “Perkumpulan Tiga-Ajaran” (Rees 1987: 48, 53-54). Sam Kauw (dalam bahasa Indonesia, Tridharma)7 adalah istilah yang mengkonsepkan ketiga ajaran terdiri dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, yang ditanamkan secara mendalam di antara masyarakat Tionghoa, yang berbaur secara baik dan tak terpisahkan. Tentu saja, konsep “Tiga-Ajaran” atau konsep-konsep yang serupa telah mempunyai suatu eksistensi dalam filosofi Tionghoa selama berabad-abad. Tetapi Kwee sendiri, yang dapat dikatakan hampir tidak mempunyai kemampuan membaca huruf Tionghoa, secara jelas telah diperkenalkan kepada pemikiran tradisi Tionghoa melalui orang-orang Barat atau literatur Barat8, dan telah menemukan konsep “Tridharma” dalam usaha mencoba untuk menangkap kembali “Agama Tionghoa” sebagai konsep yang lebih inklusif.
Segera setelah pendirian Sam Kauw Hwee, cabang-cabang telah didirikan di seluruh Jawa dan di kota-kota besar di pulau-pulau lain. Sam Kauw Hwee mengikuti golongan-golongan sebelumnya yang mencari “Agama Tionghoa”, namun ia digagas sebagai organisasi yang lebih terbuka kepada masyarakat9. Dengan mengakuigelombang Kristenisasi masyarakat Tionghoa sebagai ancaman10, pada akhir tahun 1930 Kwee sendiri telah melihat Tridharma sebagai sebuah sistem religious (Rees 1987: 67-78. Klenteng-klenteng Tionghoa dianggap sama dengan gereja-gereja. Karena itu aktivitas-aktivitas selanjutnya ditujukan untuk mengubah peran klenteng dari hanya tempat untuk pemujaan adat menjadi tempat untuk berkhotbah yang akan memperdalam pengertian “filosofi” dari “Agama Tionghoa” yang baru dipusatkan, yaitu ajaran-ajaran Shakyamuni, Konfusius dan Lao-tze.
Dikarenakan, di antara lain, kekacauan yang terjadi selama masa kemerdekaan, Sam Kauw Hwee mengalami suatu kemacetan sementara dalam aktivitasnya. Dalam tahun 1952, enam bulan setelah kematian Kwee, cabang-cabangnya digabungkan untuk membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI). Dalam tahun 1963 nama resminya diubah menjadi Gabungan Tridharma Indonesia (GTI). Dengan berkantor pusat di Jakarta, mereka telah memperluas basisnya, terutama di Jawa Barat (Tsuda 2012b: 392-393).
2. Masa Soeharto: PTITD
Pada tahun 1967 dalam proses untuk mengatasi kerusuhan yang disebabkan oleh Gerakan 30 September, Soeharto teah merampas kekuasaan. Ditempatkan persis pada persilangan antara kebijakan-kebijakan mengenai “kepercayaan” dan “hal-hal berbau Cina”, klenteng-klenteng Tionghoa secara umum menghadapi situasi yang sulit selama rezim ini, yang akhirnya runtuh pada tahun 1998. Untuk melindungi keberadaan klenteng-klenteng, suatu golongan baru yang mengangkat konsep “Tiga-Ajaran” muncul di Jawa Timur. Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma se-Indonesia, disingkat PTITD, didirikan di Surabaya pada tahun 196711, diketuai oleh Ong Kie Tjay (王基财). PTITD mengikuti karakteristik dasar GTI dari Jawa Barat, menjunjung tinggi elemen-elemen ketiga ajaran sementara mempromosikan identitasnya sebagai salah satu sekte Buddhisme, sebuah “agama” yang diakui secara resmi. PTITD mempunyai karakteristik yang menonjol sebagai organisasi payung yang bersifat protektif; ia mendeklarasikan klenteng-klenteng sebagai fasilitas-fasilitas “agama” yang sah, sementara menyatukan mereka di bawah kepemimpinannya.
Dalam tahun 1979 ketika rezim Soeharto memasuki periode stabilitas dan kontrol negara terhadap klenteng-klenteng menjadi lebih intensif, organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” di Jawa Timur dan Jawa Barat digabungkan untuk membentuk sebuah organisasi terpadu bernama Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia). Organisasi ini berfungsi sebagai wadah tunggal, mewakili kepentingan-kepentingan klenteng-klenteng di seluruh Indonesia. Tentu saja, penggabungan ini sesuai dengan gejala pada akhir tahun 1970, ketika di bawah kepemimpinan rezim Soeharto suatu persyaratan dituntut di semua organisasi Buddhis di Indonesia untuk mengorganisirnya di bawah kerangka yang menyatukan12. Pada saat yang sama, penggabungan ini juga merupakan hasil dari usaha-usaha untuk mencari jalan bagi klenteng-klenteng untuk mempertahankan keberadaannya.
Martrisia, yang berkantor pusat di Surabaya dan di dijalankan oleh beberapa anggota dewan pengurus, terutama dari Surabaya13, memfokuskan aktivitas-aktivitasnya untuk membujuk agen-agen pemerintah dan masyarakat Indonesia agar mengakui “Tri Dharma” sebagai agama yang diakui secara resmi, dan bahwa klenteng-klenteng atau “tempat ibadat Tri Dharma” adalah fasilitas keagamaannya. Akibatnya, PTITD jarang sekali mengorganisir aktivitas-aktivitas yang lazim diasosiasikan dengan organisasi keagamaan, seperti penetapan doktrin, standardisasi upacara-upacara, atau aktivitas-aktivitas untuk menyatukan klenteng-klenteng di bawah naungannya14. Situasi ini membuat frustasi anggota-anggota di Jawa Barat yang mempunyai sejarah kegiatan secara sistematis dengan harapan untuk mendirikian suatu “Agama Tionghoa”. Frustasi ini akhirnya mengakibatkan pemisahan secara serentak dari semua cabang di Jakarta dan Provinsi Jawa Barat dari Martrisia pada tahun 1997. Pada tahun 1999 cabang-cabang ini bersatu lagi sebagai Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia, yang setelah ini disebut sebagai “Majelis Tridharma, berkantor pusat di Jakarta (Satyadharma 2004: 9-15).
Dengan demikian dua organisasi “Tiga-Ajaran” hidup berdampingan, satu mewakili Jawa Timur dan yang lain mewakili Jawa Barat. Setelah tekanan kebijakan dari negara yang menargetkan “hal-hal berbau Cina” dan “agama” melonggar, dipimpin oleh beberapa pemimpin dari organisasi-organisasi ini, gerakan-gerakan telah berkembang untuk menetapkan doktrin dan standardisasi upacara-upacara. Dalam bab berikut, saya akan menyajikan secara detil gambaran dari gerakan-gerakan tersebut ke arah sistematisasi keagamaan, dengan menfokuskan pada masing-masing organisasi.
III. Penetapan Doktrin, Standardisasi Upacara-upacara
1. Menyusuri Jejak Langkah Kwee Tek Hoay: Majelis Tridharma
Majelis Tridharma, yang dibentuk hampir bersamaan dengan runtuhnya rezim Soeharto, adalah keturunan langsung dari Sam Kauw Hwee15 dibentuk oleh Kwee Tek Hoay. Seorang pemimpin dari organisasi ini menerangkan bahwa Majelis Tridharma melepaskan diri dari Martrisia karena ketiadaan “keimanan”. Dengan kata lain, mereka tidak puas karena usaha-usaha organisasi untuk mendirikan tonggak spiritual telah diabaikan16. Bagaimana, kemudian, organisasi ini sekarang mencoba untuk memperdirikan “keimanan”?
Artikel penting berjudul “Tridharma sebagai Satu Kesatuan” dipublikasikan dalam sebuah brosur untuk “Hari Tridharma” pada tahun 200917. Pengarangnya, Budiyono Tantrayoga, Pandita Utama dari Majelis Tridharma sampai 2010, memulai artikel ini dengan menyatakan adanya krisis di tengah-tengah arus perkembangan Tridharma dewasa ini. Ia menyatakan bahwa dalam masa “modernisasi” dan “komputerisasi”, hal-hal prinsip yang seharusnya dijaga keutuhannya semakin surut, dan bahwa orang-orang dialihkan kepada pemikiran untuk lebih bangga menjadi seorang Buddhis ketimbang menjadi Tridharmais. Menurut Budiyono, Buddhisme hanyalah sebuah bagian dari Tridharma. Namun, orang-orang sekarang cenderung untuk menjadi penganut-penganut Buddhisme, bukan penganut-penganut Tridharma. Ia menuntut bahwa “ke-Tridharma-an” – suatu keadaan dimana ketiga ajaran bersama-sama melengkapi satu sama lain dan membentuk Satu Hakekat – harus dibentuk, dihayati, dan dijalani sebagai hakekat kehidupan. Dalam bagian belakang dari artikel ini, ia menerangkan bahwa unsur-unsur penting dalam ketiga ajaran masing-masing yang mengajarkan proses pencapaian tujuan maupun hakekat penghayatan, sesunguhnya memiliki banyak ragam kesamaan filosopis. Ia menyajikan tabel di bawah ini untuk menunjukkan korelasi di antara ketiga ajaran.
Padanan Yang Lima
Taoisme |
Konfusianisme |
Buddhisme |
Five Phrases (PancaBhuta/Lima Elemen/Ngo Heng) |
Five Virtues (PancaUtama/Lima Utama/Ngo Siang |
Five Precepts (PancaSila/Lima Sila/Ngo Kai) |
Wood (Mu/Bok/Kayu) |
Benevolence (Ren/Jin/Cinta Kasih) |
No killing (Tidak Membunuh) |
Metal (Cin/Kim/Logam) |
Righteousness (I/Yi/Kebenaran) |
No stealing (Tidak Mencuri) |
Fire (Huo/Hwe/Api) |
Propriety (Li/Lee/Susila) |
No sexual misconduct (Tidak Berjinah) |
Water (Sui/Cui/Air) |
Wisdom (Che/Ti/Kebijaksanaan) |
No intoxicants (Tidak memabukkan) |
Earth (Tu/To/Tanah) |
Fidelity (Xin/Sin/Dapat dipercaya) |
No false speech (Tidak Berdusta) |
Budiyono menghubungkan komponen-komponen dalam setiap dari ketiga ajaran dengan padanan setara dengan tanda sama (‘=’). Misalnya, hubungan antara komponen-komponen dari baris ketiga dari tabel ditunjukkan sebagai “Orang yang gemar melakukan perjinahan adalah orang yang tidak susila. Yang tidak susila = orang yang kurang beretika – berarti kekurangan Api”. Ia membuktikan bahwa “Keterkaitan dari masing-masing unsur iniah yang merupakan Padanan Lima Tridharma yang ternyata mencerminkan Satu Hakekat. Dengan mengatakan demikian, ia menyimpulkan tidak dianjurkan bahwa seseorang hanya bersandar pada pengertian tentang Buddhisme, tetapi sebaiknya seseorang Tridharmais seharusnya melaksanakan ilmu kebatinan dari Taoisme, tata susila dari Konfusianisme dan disiplin dari Buddhisme dalam kehidupan sehari-hari.
Bukanlah tujuan saya di sini untuk memperdebatkan keabsahan keagamaan dari doktrin Sam Kauw It Lee (三教一理). Namun, yang layak diperhatikan adalah usaha luar biasa yang dilakukan oleh pihak pemimpin dari organisasi ini untuk mendirikan “Ketiga-Ajaran” sebagai “agama” tunggal yang menyatu tanpa bersandar secara tidak seimbang pada ajaran Buddhis. Fakta bahwa artikel ini dipersiapkan sebagai sebuah artikel pengajaran untuk mengajar pemuda tentang esensi Tridharma mungkin juga penting18. Meskipun pengetahuan keagamaan yang berkenaan dengan Tridharma, munurut kebiasaan sejauh ini, diperoleh baik dengan belajar sendiri atau diturunkan melalui hubungan mentor yang tidak resmi, Majelis Tridharma saat ini mendirikan institut untuk kependetaan di Cipinang. Sekarang institusionalisasi dari metode untuk mengalihkan pengetahuan keagamaan, maupun sistemasisasi dari pengetahuan itu sendiri, sedang dalam proses, dan hal itu menunjukkan tanda yang jelas bahwa mereka yang dilatih secara resmi akan melaksanakan upacara-upacara dan berkhotbah mengenai Tridharma dalam klenteng-klenteng di seluruh Jawa Barat (Panitian Munas dan Kongres 2006)19.
2. Sebagai Lembaga Keagamaan yang Layak: PTITD Pusat
Menghadapi pemisahan dan gerakan yang giat dari para anggota di Jawa Barat (Majelis Tridharma) yang bermaksud untuk mendirikan “ke-Tridharma-an”, apa respons yang dilakukan oleh organisasi yang berbasis di Jawa Timur (PTITD-Martrisia), mulai sekarang disebut PTITD Pusat), yang sebelumnya tidak melakukan banyak aktivitas keagamaan? PTITD Pusat, yang di masa Soeharto menduduki posisi sebagai “wadah tunggal” yang mewakili klenteng-klenteng, rupanya masih harus mencari cara untuk keluar dari keadaan stagnan.
Tentu saja, usaha-usaha telah dilakukan. Dalam bulan Nopember 2006 PTITD Pusat mengadakan musyawarah dan kongres nasional di Surabaya. Selama tiga hari kongres, penunjukan dewan pengurus telah diperbaharui untuk pertama kali sejak tahun 1988, dan target lima-tahun untuk program aktivitas (periode tahun 2006-2011) disajikan dengan tujuan untuk menciptakan satu gambaran organisasi yang cocok sebagai lembaga keagamaan yang “layak”20 (Panitia Munas dan Kongres 2006). Rancangan lima-tahun ini diatur dalam kategori-kategori utama termasuk (1) bidang organisasi dan keanggotaan, (2) bidang agama/ dharm/ kependetaan rohaniwan dan sarana keagamaan serta seni agama, (3) bidang ekonomi/ kesejahteraan umat/ pendidikan, dan (4) bidang hubungan luar negeri21. Kategori kedua secara jelas menggambarkan tujuan untuk sistemasisasi keagamaan. Sebenarnya separuh dari buku kecil berukuran A4 ini, yang dibagikan kepada para peserta di kongres, disajikan untuk instruksi manual sebanyak 40-halaman mengenai tatacara upacara Tri Dharma. Manual upacara (仪式唱礼) meliputi empat kategori, yaitu “Upacara sembahyang Tridharma terhadap Sin Bing”, “Upacara pelantikan pengurus Tridharma”, “Upacara perkawinan yang diselenggarakan di tempat ibadat Tridharma atau di aula” dan “Upacara sembahyang perkabungan secara Tridharma”. Kata-kata yang dibacakan – semuanya dalam bahasa Mandarin – oleh “Petugas Upacara (执事)” dan “Pimpinan Upacara (主祭官)” maupun tatacara yang akan dilakukan selama setiap upacara dicantumkan secara rinci. Tatacara ini meliputi “tigakali berlutut dan sembilan kali kowtow, begitu juga penyajian dupa dan teh dilakukan dalam urutan secara kronologis, dengan keterangan dalam bahasa Mandarin, dan di sampingnya ada pingyin, tullisan fonetik untuk membantu pembaca Indonesia, dan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Halaman-halaman terakhir dari masing-masing manual upacara ini dilengkapi gambaran layout dari barang-barang yang harus disajikan di altar utama untuk setiap upacara. Namun isi manual upacara ini belum tentu dilakukan secara seragam di setiap klenteng yang bergabung dengan PTITD. Sebaiknya setiap klenteng mempunyai tatacara spesifik untuk melaksanakan upacara yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya. Untuk menggambarkan hal ini saya akan memperkenalkan secara singkat tentang kasus klenteng di kota Rembang, Jawa Tengah, dimana saya telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun22.
Di kota Rembang ada dua klenteng, yaitu Tjoe Hwie Kiong (慈惠宫) dan Hok Tik Bio (福德庙). Keduanya diurus di bawah satu yayasan sejak tahun 1978 (Tsuda 2011: Bagian 2). Dalam tahun 1970-an upacara-upacara di kedua klenteng ini hanya diurus oleh seorang bernama Cheng Shu Hong, yang membaca kalimat-kalimat doa (Surat Doa/ Cee Boen) dalam bahasa Hokkian ketika upacara-upacara sedang berlangsung. Ketika Cheng meninggal tahun 1980-an, kalimat-kalimat doa tidak dapat lagi dibacakan, karena tidak ada seorang pun yang mengerti arti kata-kata kalimat doa tersebut. Tan Ging Hwat, yang waktu itu bertugas sebagai sekretaris yayasan, dengan imaginasi bebas menciptakan kalimat-kalimat doa yang baru dalam bahasa Indonesia untuk menggantikan kalimat-kalimat doa dalam bahasa Hokkian. Sejak itu, selama upacara-upacara di kedua klenteng, kalimat-kalimat doa dalam bahasa Indonesia dipasang di altar dan dibacakan. “Tradisi” ini berlangsung sampai sekarang23. Cheng dan istrinya juga bertugas menyiapkan semua sesaji makanan yang diletakkan di altar. Setelah dia meninggal, Hian Khing, asistennya, mengambil alih tugasnya. Namun, ketika Hian Khing menjadi tua, muncul kekuatiran bahwa semua pengetahuan mengenai persembahan akan hilang24. Karena itu, sekitar tahun 2000, Liong Kiam Kiat yang waktu itu baru saja mulai bertugas sebagai Locu(炉主)di Tjoe Hwie Kiong, mencatat jenis dan pengaturan posisi dari sesaji seperti yang diajarkan oleh Hian Khing. Kemudian Liong Kiam Hwat menyusun “Daftar Sesaji Sembahyangan untuk Klenteng ‘Tjoe Hwie Kiong’ dan ‘Hok Tik Bio’” (Yayasan Dwi Kumala Rembang n.d.). Saat ini, orang yang mengatur sesaji adalah petugas yayasan yang mengatur upacara-upacara (seksi sembahyangan). Ini bukanlah warisan atau kedudukan seumur hidup, petugas bisa berganti seiring dengan pergantian kepengurusan. Pengaturan altar telah dilaksanakan sesuai dengan “Daftar Sesaji Sembahyangan” sebagai panduan sejak tahun 200125.
Namun, “tradisi-tradisi” seperti ini yang telah diturunkan dalam komunitas secara alamiah sama sekali tidaklah bersifat statis. “Kurangnya keyakinan” masyarakat terhadap pengetahuan upacara-upacara itu sendiri seringkali mengakibatkan secara tidak langsung perubahan-perubahan. Misalnya, tentang sesaji untuk upacara tahunan yang diadakan pada hari ke-9 Imlek (敬天公, King Thi Kong), masyarakat Tionghoa di Rembang telah mempunyai suatu “tradisi”. Namun, pada suatu hari di tahun 2001, Liong, orang yang telah menyusun “Daftar Sesaji Sembahyangan” menemukan sebuah buku kecil tua berjudul “King Thi Kong”26 milik kerabatnya di kota. Dalam buku kecil ini, satu macam kue bernama “bie-koo/ gunungan wajik”) digambarkan sebagai sesaji yang diwajibkan untuk upacara ini, tapi sejauh ini tidak dimasukkan dalam “tradisi” Rembang. Sejak saat itu, gunungan wajik ditambahkan pada altar di kedua klenteng, untuk memenuhi pedoman yang “lebih tua dan benar”27. Dari contoh ini kita bisa mengetahui bahwa “tradisi-tradisi” telah diturunkan dalam klenteng masing-masing dan komuniats sekitarnya. Namun, karena kekurangan akan basis pengetahuan yang kuat di mana masyarakat dapat percaya ketika mencari informasi mengenai upacara dan semacamnya, “tradisi” itu sendiri tergantung pada pengaruh-pengaruh. Pengaruh ini meliputi berbagai penafsiran, sumber literatur yang kelihatannya otentik, dan “orang-orang yang pandai” (bahkan termasuk mereka yang dianggap “paranormal”), sehingga pengetahuan tentang upacara-upacara28 telah berubah-ubah secara terus-menerus.
Dalam hal kasus di Rembang, dimana usaha-usaha telah dilakukan untuk menurunkan prosedur-prosedur upacara dalam komunitas Tionghoa di sekitar klenteng, sangat sedikit kemungkinan untuk mengikuti secara cepat standardisasi prosedur dan metode upacara yang diperkenalkan oleh PTITD Pusat atau organisasi lainnya. Namun pada saat yang sama, banyak klenteng saat ini menghadapi situasi dimana tidak ada seorang pun yang mempunyai pengetahuan konkrit mengenai prosedur upacara, atau orang yang bertanggung jawab untuk upacara telah mencapai usia tua. Dengan demikian, masyarakat mempunyai rasa ketidakpastian tentang keberlangsungkan praktek upacara di klenteng mereka. Dalam hal Rembang, pengetahuan tentang upacara telah berhasil diturunkan di dalam komunitas dengan diciptakannya kalimat-kalimat doa yang baru dalam bahasa Indonesia dan disusunnya “Daftar Sesaji Sembahyangan”, tetapi kasus seperti di Rembang adalah hal yang tidak umum terjadi29. Saya menghipotesa bahwa ada sejumlah besar klenteng dimana mereka menginginkan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam hal bagaimana melakukan praktek-praktek upacara. Bila memang demikian, waktunya akan tiba ketika manual instruksi upacara yang disediakan oleh organisasi payung seperti PTITD Pusat akan mempunyai pengaruh yang kuat.
3. Penafsiran Baru tentang “Tri Dharma”: PTITD Komisaris Daerah Jawa Tengah
Berhubung PTITD Pusat di Surabaya tidak mampu sepenuhnya melakukan kepimpinan secara organisasi, PTITD Komisaris Daerah Jawa Tengah, yang setelah ini disebut sebagai “PTITD Komda Jateng, telah mulai berjalan sendiri.
Jawa Tengah adalah wilayah dengan banyak klenteng-klenteng, dan sebagian besar dari mereka bergabung dengan PTITD Komda Jateng30. Selama masa Soeharto tidak banyak aktivitas di PTITD Komda Jateng, yang tetap menjadi bawahan dari PTITD Pusat di Surabaya, dan melakukan tugas utamanya dalam memberikan payung hukum di daerah administratif Jawa Tengah. Namun, setelah memasuki masa pasca Soeharto, aktivitas mereka telah hidup kembali sejak David Herman Jaya (Liem Wan King, 1952), yang menjalankan bisnis penjualan mobil di Magelang, mengambil peranan sebagai ketua cabang. Sebuah catatan penting adalah pemberian sertifikat kepada 73 orang Pandita Tri Dharma baru yang dilakukan oleh PTITD Komda Jateng pada bulan Juni 2007. Acara ini dilakukan untuk menjawab “banyaknya permintaan umat untuk pelayanan Upacara Perkawinan, Upacara Perkabungan, khotbah-khotbah, crtmah-cermah seminar-seminar (Martrisia Komda Jateng 2007: 1). Sebuah buku pedoman yang disusun khusus untuk acara ini meliputi antara lain: peraturan yang harus ditaati oleh Pandita (ketuntuan-ketuntuan umum), manual untuk perkawinan dan contoh-contoh khotbah yang diberikan selama upacara perkawinan, formulir sertifikat pernikahan 31, dan hal-hal yang harus dipahami mengenai kelahiran dan perkabungan. Sebelum upacara pemberian sertifikat, sebuah pelatihan berdasar pada buku pedoman telah dilakukan juga32.
Kemudian dalam tahun 2009 diadakan konferensi untuk mengumpulkan Pandita-pandita yang baru diangkat oleh PTITD Komda Jateng. Di konferensi itu diakui bahwa klenteng-klenteng yang tersebar di Jawa Tengah masing-masing mempunyai cara sendiri dalam melakukan upacara dan doa kepada dewa-dewa, maka standardisasi menjadi sulit dilaksanakan. Meskipun demikian David Herman Jaya mengusulkan bahwa sedikitnya mencapai kesepakatan bersama bahwa doa ditujukan pada hanya satu Tuhan, “Tian” (天). Sebetulnya konsep “Tian” sebagai Tuhan adalah bukan suatu konsep baru. Terutama selama masa Soeharto, hal ini telah ditekankan sepenuhnya di dalam klenteng-klenteng, sesuai dengan prinsip pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Tsuda 2011: 80-81). Yang menariknya adalah usulan lain yang diajukan oleh Herman Jaya selama konferensi, agar mengubah penafsiran Tri Dharma, yang tadinya secara jelas berarti ketiga ajaran dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taosime, menjadi Jiwaku, Hatiku, Dharmaku. Dengan Konfusianisme secara resmi kembali diakui pemerintah sekitar tahun 2006, aktivitas dari berbagai sekte Taoisme secara tiba-tiba dihidupkan, sementara berbagai organisasi Buddhis telah lama berjalan dengan baik dan kokoh. Dalam situasi demikian, kebutuhan mendesak muncul untuk menetapkan sebuah “ke-Tri Dharma-an” baru untuk menghindari gambaran “Tri Dharma” sebagai gado-gado dari ketiga “agama” ini. Usul ini yang dikatakan sebagai usul yang berasal dari Herman Jaya, diterima oleh para Pandita Tri Dharma. Sekarang definisi baru dari Tri Dharma ini mulai secara resmi diakui oleh PTITD Komda Jateng33.
Seperti yang kita lihat, meskipun PTITD Komda Jateng adalah bawahan dari PTITD Pusat di Surabaya, dengan adanya kepemimpinan yang kuat, ia tidak puas lagi berfungsi sebagai organisasi paying dari klenteng-klenteng. Nampaknya, cabang organisasi ini ber usaha secara intensif untuk mendirikan sebuah orde “keagamaan” dengan membuntuk fondasi baru34.
4. Latar Belakang Sistemasisasi “Agama Tionghoa”
Setelah keruntuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, organisasi-organisasi yang bertugas untuk melindungi klenteng-klenteng telah kehilangan raison d’etre. Mereka kemudian menghadapi kenyataan bahwa mereka kekurangan formalitas yang layak sebagai orde keagamaan. Di satu sisi berbagai organisasi seperti Konfusianis dan Taois yang sebelumnya tidak bisa melakukan aktivitasnya secara terbuka, sekarang mulai berusaha untuk membuat keberadaan mereka diketahui. Dalam hal Konfusianisme, doktrin dan upacara mereka telah dilengkapi dengan formalitas yang rapi sepanjang sejarah sejak awal abad ke-20. Begitu juga Taoisme, beberapa dari mereka mulai memegang contoh-contoh yang kuat sebagai referensi mereka masing-masing, dengan membuka hubungannya secara independen dengan organiassi-organisasi di daratan China atau Singapura (Tsuda 2012b: 395-396). Dalam situasi ini, meskipun telah diakui sebagai organisasi keagamaan selama bertahun-tahun dan klenteng-klenteng di seluruh negeri secara nominal ada di bawah naungan mereka, kedua organisasi yang mengakui “Tiga-Ajaran” juga menghadapi kenyataan bahwa “keimanan” mereka dipertanyakan.
Majelis Tridharma di Jawa Barat, yang berbangga bahwa sampai taraf tertentu berhasil menentukan “keimanan” sebagai “Agama Tionghoa”, dengan cepat sadar akan situasi kritis ini, dan telah memilih untuk mengikuti jalur yang dirintis oleh Kwee Tek Hoay.
PTITD Pusat di Jawa Timur, yang menghadapi kenyataan ditinggalkan anggota-anggotanya di Jawa Barat dan agak terlambat untuk mulai mencari cara merespons situasi ini, telah terinspirasi dengan suksesnya organisasi-organisasi lain yang mendukung “Agama Tionghoa”. Untuk melindungi persatuan mereka, PTITD Pusat rupanya memfokuskan secara khusus dengan menyediakan instruksi-instruksi dan pengetahuan khusus yang berhubungan dengan upacara-upacara di klenteng-klenteng.
PTITD Komda Jateng sedang mencoba memperluas otonominya sementara menghindar dipisahkan oleh kekuatan-kekuatan dari ketiga “agama” yang berbeda dengan mendirikan penafsiran baru atas apa “Tri Dharma” itu.
Seperti diuraikan di atas, organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” yang mengalami kebebasan yang makin meningat dalam akitivitas mereka di tengah-tengah suasana sosial politik dalam masa sesudah rezim Soeharto, sedang menghadapi tekanan yang makin memuncak untuk membentuk raison d’etre baru. Ini diperlukan dalam hal formalitas dari organisasi-organisasi keagamaan dan sistematisasi “keimanan” mereka sebagai orde keagamaan. Dan dengan kebebasan yang semakin meningkat, nampaknya organisasi-organisasi didesak memperlihatkan raison d’etre mereka bukan lagi terhadap negara, melainkan terhadap organisasi-organisasi “Agama Tionghoa” yang saling bersaing.
Untuk mempertimbangkan perkembangan setiap organisai menuju pelaksanaan dari penetapan doktrin dan standardisai upacara dengan caranya masing-masing, perlu dipertanyakan apakah “keimanan” yang secara tegas disusun sebenarnya perlu untuk praktek keagamaan di klenteng-klenteng. Untuk membuat pertanyaan lebih mudah dimengerti, mungkin perlu menjajarkan konsep-konsep klasik yang bertentangan, yaitu “agama wahyu (revealed/ founded religion)” dan “agama alam (natural/ folk religion)”. Bila kita mengadakan hipotesa bahwa dalam praktek keagamaan di klenteng-klenteng tekanan yang lebih besar ditempatkan pada “agama alam”, maka menjadi jelas bahwa pencarian untuk sebuah sistem keagamaan yang solid adalah sebuah lompatan yang besar. Terlebih lagi, hipotesa ini menampakkan bahwa pengertian “Tiga-Ajaran” itu sendiri menunjukkan usaha untuk menerangkan “agama alam” melalui pola pikir “agama wahyu”. Yaitu dengan teliti mengidentifikasikan sistem kegamaan yang tak bias dipisahkan dari adat dengan telah lama ditanamkan dalam masyarakat, lalu mendifinisikannya berasal dari ketiga elemen Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, lalu kemudian menggarisbawahi sinkretisasi ketiga elemen tersebut. Metode ini yang menerangkan konsep “Tiga-Ajaran” adalah penjelasan berputar-putar, namun dalam kenyataannya bahwa mereka melakukan usaha besar untuk semakin memurnikan metode penjelasan ini, kita dapat melihat historisitas dalam konsep “agama” yang telah dipelihara oleh modernitas kolonial dan konteks sosial politik Indonesia abad ke-20 yang sangat unik35. Selama rezim Soeharto berlangsung lebih dari tiga dekade, prinsip-prinsip unik yang menggambarkan “apa seharusnya agama itu”, yang cendurung dibentuk dari sudut pandang “agama wahyu” yang bersifat monotheis, telah benar-benar ditanamkan baik secara kelembagaan maupun secara sosial. Dalam situasi ini, organisasi-organisasi keagamaan mau tidak mau menyadari sepenuhnya akan kurangnya sistematisasi “keimanan”. Dan kurangnya sistematisasi itu kemudian dapat menyebabkan tekanan pada organisasi itu sendiri.
Pada tingkatan yang lain, kekuatiran yang umum di dalam masyarakat etnik Tionghoa dewasa ini adalah semakin banyak orang, terutama generasi muda, beralih kepercayaannya. Mereka menganggap kepercayaan yang berpusat pada klenteng-klenteng36 sebagai kuno dan tidak keren, dan mereka berangsur-angsur beralih ke agama lain seperti Nasrani, yang dianggap lebih bersifat mutakhir baik dalam bentuk luar dan keimanan37. Walaupun kebebasan beragama makin bertambah di masa pasca Soeharto, tekanan ini telah berlanjut dan berkembang. ( BERSAMBUNG )