AGAMA DAN POLITIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
ABSTRAK
Dalam perkembangan politik Indonesia, agama memegang peranan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja, dimana symbol symbol keagamaan masih memegang peranan dalam bidang politik. Agama berbondong-bondong meraih peran dalam dunia perpolitikan dan dunia perpolitikan juga meraih dukungan dari agama. Hanya saja dalam kondisi masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia ini, peranan agama tidak selalu memberikan kontribusi positif dalam dunia perpolitikan ini. Selain berkaitan dengan agama, politik juga berkaitan dengan ekonomi, sehingga dunia politik Indonesia itu memiliki hubungan segitiga antara politik, ekonomi dan agama.
BAB I
PENDAHULUAN
Penulis melihat kenyataan kehidupan sebagai warga negara Indonesia ini penuh dengan intrik politik dan ironisnya institusi agama yang seharusnya memajukan dan memanusiakan manusia terlibat dalam intrik politik, yang mana pada masa modern ini, institusi agama di banyak negara tidak memiliki peranan begitu nyata dalam dunia perpolitikan. Jika hal tersebut dibiarkan terus di Indonesia ini, maka kemajemukan masyarakat akan terancam dan akhirnya bisa menuju perpecahan. Mengurai benang kusut yang melilit antara agama, politik dan ekonomi memang amat sulit, apalagi di Indonesia ini.
Dalam sejarah peradaban manusia, agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat juga dalam masalah perpolitikan negara. Tidak dapat dipungkiri kerajaan-kerajaan dan institusi agama pada jaman dahulu membentuk hubungan mutualisme simbiosis, yang mana kerajaan menjamin keberlangsungan institusi agama dan institusi agama memberikan pengesahan bagi kerajaan tersebut. Tapi dalam perkembangan modern, agama mulai ditinggalkan dan symbol-simbol keagamaan digantikan dengan symbol-simbol negara.
Terjadinya intrik politik yang terkait dengan agama juga membuat penulis menjadi tertarik akan hal itu, dan interaksi fungsional maupun konflik merupakan makanan sehari-hari dalam kancah perpolitikan di Indonesia ini. Tentunya agama memiliki pengaruh positif terhadap kehidupan individu tapi saat bergandengan dengan politik, maka bisa menimbulkan ekses-ekses negatif. Pemberangusan kebebasan beragama atas nama mayoritas bisa terjadi atau juga kemunafikan berjamaah yang amat seru bisa disaksikan pada saat upacara pengambilan sumpah yang menggunakan kitab suci terhadap para pejabat publik. Ada benarnya jika Sudjiwo Tedjo sudah muak dan mengusulkan sumpah yang menggunakan kitab suci diganti dengan sumpah pocong. Ini menunjukkan betapa agama sudah menjadi topeng bagi manusia yang rakus.
Selain masalah kemunafikan juga bicara masalah kekuasaan, sebagai contoh adalah ketika PDI-P memenangkan pemilu 1999. Megawati sebagai ketua partai dijegal habis-habisan dengan issue agama, mulai dari pemimpin wanita yang tidak diperkenankan oleh agama tertentu hingga issue-issue agama yang menerpa para tokoh partai tersebut. Akhirnya jegal menjegal itu menjadi dasar untuk politik dagang sapi dan “Poros Tengah” sebagai pelopor untuk menaikkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden. Istilah poros tengah yang seolah-olah netral sebenarnya memiliki nuansa politisasi agama sebagai tameng untuk melakukan pemaksaan kehendak dari kelompok-kelompok tertentu yang bernafaskan agama.
Situasi perpolitikan di Indonesia ini amat sarat dengan intrik yang berbalut agama, sudah mengganggu proses kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat. Apa yang akan ditulis adalah hubungan antara politik, ekonomi, agama, dimana penulis akan melihatnya mulai dari Undang-undang Dasar 45 dan Pancasila sebagai dasar Republik Indonesia ini, kemudian melihat kondisi dan hubungan yang berkembang dalam masyarakat pluralis ini.
BAB II
AGAMA POLITIK DAN EKONOMI DI INDONESIA
Sebelum membahas masalah agama, politik dan ekonomi di Indonesia, penulis akan menuliskan definisi tentang hal-hal tersebut di atas.
Menurut Lorens Bagus, agama memiliki arti : “Secara khusus istilah agama menunjuk pada sebuah institusi ( lembaga ) dengan sekelompok orang-orang yang berkumpul secara teratur untuk suatu ibadat dan menerima seperangkat ajaran yang menawarkan cara menghubungkan individu dengan sesuatu yang dipandang sebagai hakikat terdalam, tertinggi kenyataan.”[1] Banyak orang yang beranggapan bahwa agama memberikan kontribusi positif dalam masyarakat, itu memang bisa terjadi, tapi peran agama juga bisa memberikan kontribusi negative dan perpecahan. Bertentangan dengan beberapa ahli teori, agama tidak hanya memainkan peranan yang integrative dan menciptakan harmoni sosial saja dalam masyarakat, tapi juga peranan memecah.[2] Membaca pendapat ini, Geertz secara jelas melihat bahwa agama bisa membawa disintegrasi, seperti yang kita lihat sekarang ini.
Agama merupakan lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat, terutama dalam masyarakat seperti di Indonesia. Dia tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner[3]. Bahkan pada awal kemerdekaan, gejala perpecahan tampak pada saat ada tekanan untuk melaksanakan “Piagam Jakarta”, tapi untungnya mendapatkan perlawanan dan hati besar para bapak bangsa yang menempatkan persatuan bangsa jauh lebih penting daripada sekedar syariat Islam yang harus dipaksakan.
Politik memiliki beberapa pengertian[4] :
- Apa yang berhubungan dengan pemerintahan
- Perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bernegara.
- Bidang studi yang berkaitan masalah-masalah sipil-sosial dan mengembangkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-masalah tersebut.
- Aktifitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok sosial lainnya, yang berhubungan dengan perkara penggunaan kekuasaan negara.
Politik merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dalam kegiatan kelompok.[5]
Ekonomi adalah sebuah ilmu sosial yang obyeknya ialah sumber-sumber yang langka, terbatas di satu pihak, dan keinginan atau kebutuhan yang tidak terbatas di lain pihak.[6] Menurut Albert L. Meyers ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia.[7]
Indonesia menggunakan istilah ekonomi Pancasila dan demokrasi Pancasila sebagai basis penggerak negara. Istilah ekonomi Pancasila sendiri menurut penulis amat rancu, karena melihat bahwa basis ekonomi Indonesia sendiri berdasarkan liberalism pasar bebas. Hal ini bisa dilihat dari isi UUD 1945 pasal 33 yang terdiri dari tiga ayat sebagai berikut :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan dasar dari UUD 1945 serta Pancasila, para pemimpin bangsa mencoba merumuskan ekonomi yang khas Indonesia, misalnya Moehammad Hatta yang menggagas konsep koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia.
Sedangkan yang dimaksud dengan demokrasi Pancasila, kurang lebih juga sama berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Secara ringkas, demokrasi Pancasila memiliki pengertian sebagai berikut [8]:
1.Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
2. Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
3. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.
4. Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.
Apa yang dibuat oleh para bapak bangsa Indonesia dalam mendefinisikan serta membuat konsep ekonomi dan politik memang indah dan baik, tapi dalam praktek sering melenceng, sebut saja “Demokrasi terpimpin” yang dicanangkan oleh Soekarno dan “Demokrasi Pancasila” yang dikumandangkan oleh Soeharto. Dalam prakteknya, peran agama tidak dapat dihapuskan begitu saja dan dikotomi mayoritas-minoritas melekat, apalagi agama yang digaungkan sebagai semangat yang mendasari semua aspek kehidupan, sehingga pada awal proses kelahiran republic ini juga terjadi benturan yang mengatas-namakan agama. “Piagam Jakarta”[9] adalah contoh yang tidak lekang hingga hari ini, tidak kurang dari beberapa tokoh, seperti Yusril Ihza Mahendra yang hendak menghidupkan kembali “Piagam Jakarta” menunjukkan bahwa agama tidak begitu saja bisa lepas dari factor politik, karena kata “secular” adalah kata yang tabu bagi beberapa kelompok tertentu. Padahal pasal tentang agama juga ada dalam UUD 1945 pasal 29, yang isinya sebagai berikut :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Agama juga menjadi bagian dari politik dengan dibentuknya departemen agama[10] setelah berdirinya Republik Indonesia dengan berbagai direktorat jendral seperti ditjen Bimas Hindu Buddha, ditjen Bimas Kristen, ditjen Bimas Islam, yang menunjukkan peran negara dalam urusan agama. Dan untuk urusan ekonomi, “Pada dasarnya merupakan ekonomi yang dijalankan oleh dunua usaha swasta walaupun perlu diatur oleh negara” (Widjojo Nitisastro. “The Socio-Economic Basis of the Indonesian State”, 1959 ).[11] Dengan melihat ini maka negara, sebagai lembaga politik memiliki peranan penting dalam ekonomi dan agama di Indonesia.
Ada semacam pandangan di masyarakat tentang tiga hal tersebut diatas, bahwa ada suatu pandangan yang berkembang di masyarakat bahwa presiden Republik Indonesia itu sebaiknya orang Jawa, pelaku ekonomi adalah orang Tionghoa dan mayoritas penduduk Indonesia adalah orang Islam. Tentunya ada yang benar bahwa penguasaan distribusi ekonomi dan industry berada di tangan orang Tionghoa, dan benar adanya bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah orang Islam. Ada hal yang perlu digaris-bawahi, bahwa tidak semua wilayah Republik Indonesia ini orang Muslim menjadi mayoritas, sebut saja Bali, kepulauan Nias, Nusa Tenggara Timur, Menado, orang Muslim tidak menjadi mayoritas. Untuk bidang ekonomi, benar adanya bahwa orang Tionghoa menguasai lini distribusi dan banyak industry yang dikuasai oleh mereka. Tapi ada satu permasalahan yang dilupakan adalah peranan BUMN dalam roda perekonomian serta investor asing, seperti Toyota Astra yang awalnya merupakan perusahaan gabungan antara pengusaha swasta Tionghoa dengan Toyota Motor dari Jepang[12]. Presiden Indonesia sendiri ada yang berasal dari Makasar, yaitu B.J Habibie yang menjabat presiden, menggantikan Soeharto yang lengser pasca kerusuhan Mei 1998. Jika ditarik ke masa 1945-1950, maka ada dua presiden yang bukan orang Jawa, yaitu Assaat, kelahiran Sumatara Barat, selaku pejabat sementara presiden dan Sjarifuddin Prawiranegara, kelahiran Banten, yang juga sebagai pejabat presiden “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia”.[13] Dengan begitu, pandangan masyarakat akan penguasa ekonomi, pejabat presiden dan adanya wilayah kaum mayoritas beragama, perlu ditelaah ulang.
BAB III
HUBUNGAN ANTARA INSTITUSI AGAMA, POLITIK DAN EKONOMI
Agama bisa dikatakan membentuk subjektifitas individu dan akan mempengaruhi pandangan individu itu tentang politik, ekonomi dan agama itu sendiri. Perlu disadari bahwa agama menjadi soko guru ekonomi dan politik selama berabad-abad, kemudian sekularisme, liberalisme berkembang dan memisahkan agama dengan negara. Dalam bentuk masyarakat liberal, merupakan masyarakat yg terbuka, lingkungan yang bebas dan toleran, yang memberikan rentang pengejaran tujuan hidup seluas mungkin bagi anggotanya, serta konsisten dengan prinsip kesetaraan dalam memberi peluang bagi semua orang. Rawls berpendapat bahwa nilai dasar (kebebasan, hak, kesempatan, pendapatan, milik, dan hormat) dijamin dalam masyarakat plural dengan mengakui prinsip kebebasan dan perbedaan. Sebenarnya bangsa Indonesia juga mengenal “Bhinneka Tunggal Ika” yang semestinya bisa menerima dan menampung masyarakat majemuk.
Sarekat Dagang Islam bisa menjadi satu contoh awal bagaimana agama, politik dan ekonomi bergerak menjadi satu kekuatan politik di dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia. Dalam tulisan Benny G Soetiono tentang Sarekat Dagang Islam bisa membuka satu sisi yang lain, “Berdirinya Sarekat Dagang Islam yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan para pedagang Tionghoa yang dianggap menjadi pesaing utama para pedagang Islam. SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya mencapai setengah juta orang. Dalam perkembangannya SI menjadi organisasi yang militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajahan Belanda. Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan-kepentingan pedagang-pedagang Islam yang dipelopori pedagang-pedagang Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya. Persaingan antara pedagang-pedagang batik dan rokok kretek Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan para penasihatnya dari Biro Urusan Bumiputera, Terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara kedua kelompok pedagang tersebut yang mencapai puncaknya pada “Peroesoehan di Koedoes”.”[14] Sarekat Dagang Islam bisa dikatakan adalah suatu gerakan yang berbasiskan agama, politik dan ekonomi, sedangkan pemerintahan colonial Belanda yang menggunakan kaum Tionghoa sebagai bemper untuk mengeruk kekayaan harus mempertahankan status quo sebagai penguasa dan menggunakan perpanjangan tangan kaum Tionghoa itu perlu melakukan suatu tindakan pelemahan terhadap tindakan-tindakan politis yang bisa merongrong kekuasaan Belanda di Indonesia. Pola ini juga digunakan oleh Orde Baru dengan memberikan privilege kepada beberapa konglomerat Tionghoa sebagai sapi perah dan kasir rezim Orde Baru, tapi di sisi lain selalu menebarkan kebencian di kalangan grass root terhadap etnis Tionghoa sebagai pelaku yang menghisap kekayaan Indonesia.
Di saat menjelang kemerdekaan, dibuat rumusan mengenai isi Pancasila, Soekarno menggagas Pancasila dengan tidak menempatkan unsur religious di urutan pertama dan tidak menggunakan kata “Yang Maha Esa” tapi menggunakan “Yang Berkebudayaan”. Namun begitu, penting untuk mengetahui bahwa Soekarno juga mengusulkan redaksi yang berbeda dengan yang kita baca sekarang mengenai sila ketuhanan itu. Yang diusulkan Soekarno adalah “Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain.” [15]
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya terselip pesimisme dari Soekarno sendiri jika negara yang akan dibentuk itu terlalu kental dengan nuansa agama. Pesimisme itu kemudian tampak nyata di kemudian hari. Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana sila pertama digunakan oleh sejumlah kalangan untuk membatasi kebebasan beragama. Sila pertama digunakan untuk mendiskriminasi yang lain.[16] Contoh yang menimpa pertama kali adalah terhadap agama Hindu, pembentukan ditjen Hindu Buddha di Departemen Agama harus melalui perjuangan, tidak serta merta dimasukkan sebagai agama. Di website resmi Ditjen Hindu Buddha ditulis secara jelas bahwa “Dalam periode ini pula di Bali timbul suatu reaksi, didasari oleh karena agama Hindu Bali itu dianggap sebagai suatu aliran/kepercayaan, sehingga timbul perjuangan untuk menyatakan agama Hindu sebagai agama bukan sebagai aliran, sehingga tahun 1952 khususnya untuk penduduk yang beragama Hindu di Bali oleh pemerintah daerah Bali dengan membentuk kantor Dinas Urusan Agama Otonomi. Umat Hindu di Bali tidak ada hentinya untuk terus mengupayakan serta mengusahakan dan memohon kepada pemerintah agar Agama Hindu diberikan tempat di lingkungan Departemen Agama RI. Tuntutan ini baru terlaksana pada tahun 1960 dengan dibentuknya bagian Urusan Hindu Bali pada Departemen Agama Republik Indonesia.”[17] Jadi pesimisme Soekarno sudah terbukti dengan kasus yang menimpa agama Hindu. Apakah penerapan konsep monotheisme dalam Pancasila hanya bernuansa agama ? Bagi penulis, selain bernuansa agama juga bernuansa politik. Karena dengan menempatkan monotheisme dalam Pancasila, maka kekuasaan politis sudah didapat oleh agama-agama montheisme yang mana nantinya akan menjadi dasar hukum tentang agama di Indonesia. Akibatnya adalah termarjinalkannya agama-agama rakyat atau agama-agama asli penduduk di banyak tempat di Indonesia.
Dalam kancah perpolitikan Indonesia, agama juga bertarung di kancah politik. Partai Katholik, Partindo, Masyumi, partai Nahdatul Ulama, adalah contoh partai yang berbasiskan agama di masa Orde Lama, sedangkan di masa Orde Baru, partai Katolik dan Kristen dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia, partai Islam dilebur kedalam Partai Persatuan Pembangunan. Pertarungan antara partai agama non Islam biasanya berkoalisi dengan partai-partai nasional sebagai penyeimbang partai-partai Islam[18] dan pola ini bisa kita lihat pada masa Orde Baru, dimana PDI dan PPP saling bersaing, dan Golkar tidak terkalahkan dalam pemilu yang berat sebelah pada masa Orde Baru.
Ekonomi merupakan salah satu soko guru pembangunan, karena tanpa adanya kekuatan ekonomi, maka institusi politik dan agama juga tidak dapat berkembang, dan juga pelaku ekonomi memerlukan perlindungan dari pelaku politik maupun agama. Ketiga hal itu tidak dapat dipisahkan dan saling terkait dalam masyarakat Indonesia, terutama sekarang ini. “Money to buy power, power to buy money” sangat tepat menggambarkan hubungan antara kekuasaan dan uang, dimana kekuasaan itu tidak selalu kekuasaan yang bersifat politis, juga bersifat agamis dan ekonomi ( uang ) juga merupakan bentuk kekuasaan. Ekonomi juga menjadi salah satu sorotan penting institusi agama. Kapitalisme dikaitkan dengan Kristen Protestan. Tulisan Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika Protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan oleh Calvin, yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka. Keberhasilan kerja dan kemakmuran saat di dunia menentukan apakah masuk surga atau neraka. Jika seseorang sukses secara materi maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka. Karena itu amat wajar jika kapitalisme dikaitkan dengan agama Protestan. Sedangkan Islam juga menganut system ekonomi menurut syari’at agama. Hukum yang mengatur hubungan antar sesame manusia digolongkan dalam bab mu’amalah.[19] Yang mana mempengaruhi pula pertentangan antara agama Kristen dan Islam di bidang ekonomi. Kristen sendiri tidak memiliki konsep ekonomi seperti Islam yang jelas, sehingga banyak kaum Muslim yang berpatokan pada Al Quran dalam membangun konsep ekonominya. Sebagai contoh adalah riba. Riba, apapun bentuknya, dalam syari’at Islam hukumnya haram.[20] Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.[21]
Untuk masalah agama dan politik bisa kita telaah tentang Inpres 14/1967 yang dikeluarkan oleh Soeharto tentang agama dan kepercayaan orang Tionghoa Yang merupakan bentuk pertarungan politik antara dua kelompok yang kemudian lari ke masalah agama. Anggota LPKB selaku penggagas asimilasi dan Baperki yang mendukung integrasi bertarung di ranah politik dan kejadian G30S mengakhiri Baperki. Pertarungan antara dua kelompok di bidang politik merambah hingga masalah kepercayaan. Ada satu hal menarik adalah pengaruh Inpres 14/1967 memberrikan sumbangan terhadap perkembangan agama Kristen Katolik dikalangan etnis Tionghoa yang melejit pasca G30S. Sindhunata mengaku secara gambling bahwa ia yang mengusulkan kepada presiden Soeharto agar seluruh tradisi, adat istiadat, kepercayaan, dan agama etnis Tionghoa dilarang di Indonesia.[22]
Pada masa Orde Baru terjadi sinergi antara orang Tionghoa yang beragama Katolik dengan politik yang jelas terpapar. Benny G Soetiono menulis :
Sementara itu para tokoh peranakan Tionghoa yang pada umumnya berkerumun di sekitar Partai Katholik/PMKRI/LPKB di bawah koordinasi Pater Beek dan dukungan Mayjen Ali Moertopo dan Mayjen Soedjono Hoemardani – keduanya pimpinan Operasi Chusus (Opsus) dan Asisten Pribadi (Spri/Aspri) Presiden Soeharto – pada 1 September 1971 mendirikan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga inilah yang dijadikan “think tank”, peletak dasar konsep pemerintahan dan kebijaksanaan politik Orde Baru.[23]
Setelah CSIS berdiri, banyak tuduhan bahwa CSIS ini berperan menekan kaum Muslim di berbagai bidang dan mengutamakan kemajuan ekonomi pada kelompok Tionghoa. Sehingga pada masa kejatuhan Orde Baru, CSIS sering diejek dengan sebutan “Cina Senang Indonesia Susah”. Untuk mengurai peranan pater Beek dan CSIS ini terus-terang amat sulit mendapatkan data-datanya, sehingga apa yang tersebar adalah rumour, tapi seandainya benar sekalipun, maka ini adalah covert operation intelejen yang tertutup, maka adalah hal yang wajar jika data-data itu tidak tersedia. Pandangan kaum muslim fundamentalis terhadap CSIS dan Benny Moerdani yang diasosiakan sebagai kelompok Kristen Katolik sebagai pelaku penindas agama Islam di Indonesia meninggalkan bomb waktu yang meledak pada masa reformasi dan pasca reformasi. Jejak-jejak itu dapat dilihat betapa kerasnya kaum muslim terhadap umat Kristiani dan pembenaran tindakan radikal mereka itu salah satunya adalah alasan bahwa CSIS sebagai lembaga think-tank orde baru adalah Katolik. Dampak lainnya adalah, jika pada masa awal Orba terjadi kerusuhan rasial yang menimpa etnis Tionghoa, tidak terdengar adanya pembakaran gereja, tapi di tahun 1990an, kerusuhan rasial itu disertai dengan pembakaran gereja. Sehingga pada tahun 1990 lahir Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ( ICMI ) yang kemudian menjadi batu sandaran Soeharto berkuasa. Penulis beranggapan bahwa ICMI dibentuk karena adanya suatu upaya dari kaum muslim untuk merebut pengaruh di bidang politik, kebetulan pada tahun 1980an akhir dan 1990an awal, kekuatan Soeharto sudah mulai melemah dan untuk mempertahankan status quo, Soeharto harus mencari dukungan kaum muslim. Tapi sebagai catatan, tidak semua orang Islam setuju dengan ICMI, salah satunya adalah ketua umum Pengurus Besar Nahdatulul Ulama, K.H Aburrahman Wahid yang mengkritik keras pembentukan ICMI.[24]
Pertarungan elit politik yang merambah di berbagai bidang, memicu kekerasan fisik yang diselubungi agama tapi isinya adalah kepentingan ekonomi. George Aditjondro dalam konflik Ambon atau Maluku mengupas adanya kepentingan ekonomi dibaliknya. Dalam tulisan Geoge J Aditjondro “Orang-Orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku”[25] menuliskan bahwa konflik Ambon atau Maluku bermuasal dari perebutan politik tahun 1999 dan ada yang menarik adalah ternyata orang Maluku menghargai kemajemukan beragama, terutama Kristen dan Islam yang bisa berdampingan tapi dirusak oleh kepentingan politik dan uang. Kondisi pertarungan politik dan agama serta kepentingan ekonomi merusak kemajemukan Indonesia ini. Lihat tindakan Front Pembela Islam yang terkesan setengah hati menindak kemaksiatan di Mangga Besar, Jakarta. Hal itu tidak luput dari setoran bawah meja dan tidak diekspos oleh mass media, pembiaran FPI juga digunakan sebagai unsur “masyarakat” untuk memukul kelompok lain, terutama jika ada kelompok yang beragama Kristen atau kaum kiri ( Marxist ) yang sekarang sudah berani tampil di Indonesia. Kasus pelarangan “Cap Gome” di Ciamis beberapa waktu yang lalu dan tidak diliput oleh mass media juga terkait dengan masalah ekonomi, rumour mengatakan bahwa setoran tidak diberikan kepada kelompok tersebut. Tentu berbeda dengan di Bandung, dimana FPI mendukung perayaan Capgome, dimana ada bisik-bisik yang mengatakan karena FPI mendapat setoran. Jadi dari kasus FPI bisa terlihat adanya kepentingan politik dan ekonomi yang menggunakan nama agama dan pembiaran itu terjadi karena adanya mutualisme simbiosis antara kelompok tersebut dengan elit politik. Selain FPI, partai-partai politik, baik yang nasionalis maupun berbasis agama, berupanya melakukan penguasaan bidang-bidang ekonomi, baik melalui kolusi, korupsi. Karena seperti yang dipaparkan oleh penulis di atas, tanpa adanya uang dan penguasaan ekonomi, maka politik akan lemah, institusi agama juga menjadi lumpuh. Karena itu, tidak mengherankan jika agama maupun politik dalam bentuk institusinya berupaya dengan segala cara merebut akses perekonomian.
Orde Baru yang melahirkan CSIS dan ICMI melahirkan konflik horizontal yang tidak terasa saat itu tapi buahnya kita rasakan sekarang ini, sedangkan sekarang ini banyak daerah yang karena adanya otonomi daerah melahirkan perda yang berbasiskan syariah Islam, sebenarnya itu hanya demi meraih populasi dengan menjual agama. Kasus Perda No.8 Tahun 2005 kota Tangerang yang melarang wanita keluar malam juga memancing kekisruhan dan rasa tidak nyaman bagi kaum wanita, terutama masalah busana bagi kaum non Muslim, selain itu juga bisa menjadi upaya pengalihan issue yang penting, seperti kesejahteraan masyarakat jauh lebih penting daripada sekedar remeh temeh yang terkait dengan busana.
Kita bisa melihat betapa perebutan dan upaya mempertahankan kekuasaan sudah mendarah daging dalam peradaban manusia, sehingga Indonesia sendiri tidak bisa luput dari hal itu. Hubungan antara agama, politik dan ekonomi tidak bisa dipisahkan begitu saja, interaksi simbolisme bisa terjadi dengan mudah, seperti ICMI yang dikaitkan dengan Islam, padahal tidak semua muslim setuju, begitu pula CSIS yang segelintir tokohnya non muslim dan dari etnis Tionghoa bisa melahirkan konflik dan derita di kalangan rakyat jelata yang tidak tahu menahu perilaku para tokoh tersebut, yang mana konflik itu disebabkan issue-issue yang dihembuskan oleh para tokoh yang menentang CSIS. Dan sekarang issue yang lebih parah lagi timbul, Tionghoa adalah Kristen, yang mana akan menyengsarakan Tionghoa non Kristen karena stigma yang dilekatkan itu.
Pancasila dengan sila KeTuhanan Yang Maha Esa, menurut penulis adalah kolaborasi antara agama dan politik, dalam hal ini adalah agama samawi ternyata juga meninggalkan torehan luka mendalam bagi para penganut agama-agama rakyat. Hak-hak beragamanya dilenyapkan dan dipaksa menerima Tuhan Yang Maha Esa, bisa dibayangkan bagaimana kepercayaan suku Dayak yang polytheisme itu harus menganut monotheisme, atau agama Buddha yang menganut nontheisme terpaksa mengadopsi konsep KeTuhanan Yang Maha Esa itu. Ini sudah sangat jelas tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang majemuk juga dengan Bhinneka Tunggal Ika.
KESIMPULAN
Peran agama dalam kehidupan manusia pasti mengandung nilai positif dan juga memiliki kuasa untuk tindak tertentu yang mana agama memiliki kecenderungan orang menjadi memilih. Politik yang memiliki kekuatan mengatur negara juga memiliki kekuasaan yang bisa menyebabkan adanya tindakan tertentu, begitu juga ekonomi. Sebenarnya ke tiga hal itu memiliki kekuatan yang bisa mengubah manusia, tapi agama lebih memiliki power yang transenden ( tidak terbatas ), untuk itu manusia wajib menggunakan rasionalitas dalam memahami agama. Politikus perlu dibatasi demi politik yang sehat dan ekonomi juga perlu ada rambu-rambu yang baik. Jika dilihat, sebenarnya pertarungan politik dan yang melibatkan agama di Indonesia ini bisa dikatakan pertarungan terselubung antara institusi Islam dan insitusi Kristen yang bekerja-sama dengan kaum nasionalis untuk memperebutkan supremasi di bidang politik dan pelaku ekonomi terseret juga bisa menyeretkan diri mereka dalam pertarungan ini. Akibatnya kemajemukan bangsa Indonesia menjadi kabur dan tidak jelas, tujuan negara Indonesia yang salah satu tujuan utamanya adalah memakmurkan rakyat Indonesia menjadi tersendat-sendat.
Sudah selayaknya negara dan agama dipisahkan secara tegas, jangan ada campur tangan agama ke dalam politik. Tempatkan agama sebagaimana layaknya sebagai inspirator bagi individual dalam mengembangkan kemanusiaan yang bersifat horisontal. Semua agama memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat horisontal dan juga kelahiran awalnya adalah kritik sosial atas ketimpangan sosial yang terjadi masa itu. Agama Kristen mengajarkan cinta kasih yang mewajibkan kita menolong sesama, demikian juga agama Islam yang memiliki nuansa yang sama. Sudah saatnya menepiskan kepentingan golongan demi kemajemukan bangsa yang berasaskan Bhinneka Tunggal Ika.
Pemerataan ekonomi juga layak diterapkan, jangan terjadi pembagian kue ekonomi yang tidak adil, ini adalah salah satu tugas para politikus, kaum agamawan maupun pelaku ekonomi itu sendiri. Audit terbuka harus dilakukan terhadap semua lembaga yang bersifat politis, agamis untuk melacak dana-dana yang didapatkan. Apakah secara sah didapatkan atau dengan cara-cara kotor. Ini dengan tujuan agar tidak terjadi praktek ekonomi kotor yang menjadi sumber-sumber dana untuk kegiatan yang merusak kemajemukan masyarakat Indonesia.
Untuk tindak kekerasan yang berselubung SARA, sudah selayaknya KUHP pasal 156 a maupun b diterapkan dengan tegas, tidak perlu berputar-putar. Negara perlu tegas terhadap pelaku lapangan dan juga menangkap actor-aktor dibaliknya. Hapuskan budaya “agama politik”, karena era dunia sudah berbeda, bukan lagi saatnya melakukan homogenisasi di dunia yang heterogen seperti yang dahulu dilakukan oleh agama-agama manapun yang ada di dunia ini, hidupkan semangat “agama kemanusiaan”. Berbeda itu indah, melangkah itu tidak selalu dengan mendongakkan kepala tapi melihat ke depan dan ke samping. Maksudnya adalah hubungan vertical antara manusia dengan Tuhan adalah urusan pribadi, jangan ditarik ke mana-mana, tapi hubungan horizontal manusia sebagai insan Tuhan itu yang harus dilihat, karena semua sama di mataNya, yang berbeda hanya caranya.
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.14, September 2005, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
[2] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, hal.475, 1981, Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya
[3] Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan, Majalah Basis no.01-02, tahun 51, bulan Januari-Febuari 2002. http://sosiologiub.files.wordpress.com/2010/04/kekuasaan-melahirkan-anti-kekuasaan.pdf
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.857, September 2005, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
[5] ibid
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.183, September 2005, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
[7] http://baehaqiarif.files.wordpress.com/2009/12/ilmu-ekonomi.pdf ( diakses pada tanggal 10-5-2012 jam 19:00 )
[8] http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/06/demokrasi-pancasila-demokrasi-liberal/ ( diakses pada tanggal 10-5-2012 jam 21:08 )
[9] Isi Piagam Jakarta sebagai berikut: ( 1 )Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab ( 3 )Persatuan Indonesia ( 4 )Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ( 5 )Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
[10] Sekarang menjadi Kementrian Agama
[11]http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2629/ ( diakses pada tanggal 10-05-2012 jam 22:06 )
[12] Untuk bacaan lebih lanjut, bisa membaca paper J.C.H Chai http://espace.library.uq.edu.au/eserv.php?pid=UQ:10480&dsID=ei_6_99.pdf
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Presiden_Indonesia ( diakses pada tanggal 10-05-2012 jam 22:31 )
[14] Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.331 http://awan05.blogspot.com/2010/01/book-tionghoa-dalam-pusaran-politik.html ( diakses pada tanggal 13 Mei 2015 jam 10:15 )
[15] Saidiman Ahmad, “KeTuhanan Yang Berkebudayaan” http://islamlib.com/id/artikel/ketuhanan-yang-berkebudayaan ( diakses pada tanggal 13 Mei 2015 jam 12:14 )
[16] Loc.cit
[17] http://bimashindu.kemenag.go.id/sejarah-dan-kepemimpinan/ ( diakses pada tanggal 13-05-2012 jam 12:40 )
[18] Lih. Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.642
[19] Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, hal.425, cet.IV, Januari 2010, Bogor : LPKAI “Cahaya Salam”
[20] Ibid, hal.429
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Riba ( diakses pada tanggal 13-05-2012 jam 13:11 )
[22] Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.818
[23] Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.825
[24] Benny G Soetiono, “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, hal.864
[25] George J Aditjondro, “Orang-Orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku” , http://www.michr.net/orang-orang-jakarta-di-balik-tragedi-maluku.html ( diakses tanggal 13-05-2012 jam 14:31 )