TRADISI MENGANTAR
DEWA DAPUR
SEBAGAI SARANA PERTOBATAN
Ardian Cangianto
Setiap budaya dan kepercayaan mengenal suatu sistem “penyesalan dan merevisi diri”. Tujuannya agar membangun masyarakat yang tertib dan damai. Mengarahkan manusia agar mengingat kelakuannya dan merevisi diri. Tanpa adanya revisi dan penyesalan, manusia sulit untuk bergerak maju ke depan menuju lebih baik lagi dalam kehidupan dan kualitas hidup duniawinya. Sedangkan dari sudut spiritualitas dan religiusitas, laku “penyesalan dan revisi diri” meningkatkan spiritualitasnya.
Buddhisme Mahayana Tiongkok dan Taoisme mengenal “doa penyesalan” 懺悔文. Penyesalan menjadi amat penting dalam ritual maupun praktek kehidupan sehari-hari bagi manusia. Praktek ini diperlukan karena manusia memiliki nafsu-nafsu indriawi yang perlu dikontrol, selain itu manusia memiliki dasar-dasar kebaikan yang perlu dipupuk serta dipelihara. Jika perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang lain itu tidak disadari dan disesali, maka hati manusia yang baik itu menjadi meredup dan lenyap. Nafsu-nafsu indirawi semakin menguat dan memperbudak diri manusia.
Penyesalan dan pertobatan juga berkaitan dengan “renyi” 仁義 yang bermakna keadilan dan kemanusiaan. Banyak manusia yang ditindas dan dianiaya tanpa mendapatkan keadilan dari para pelaku. Betapa banyak amarah yang terpendam karena tidak adanya keadilan dan kemanusiaan ini dan kemudian menimbulkan bencana. Penyesalan dan pertobatan para pelaku yang melakukan ketidak adilan dan perbuaatan tidak manusiawi ini bisa membantu meredam bencana ini. Dan dengan penyesalan maka bisa menjadikan diri menyadari apa yang diperbuat itu merugikan orang lain. Dengan demikian bisa mengarahkan manusia agar berproses untuk semakin mendekati, syukur jika bisa melaksanakan kemanusiaan secara utuh dan memahami apa yang dimaksud “adil”.
Hubungan manusiawi yang mendalam merupakan salah satu kebutuhan yang terpokok manusia. Dengan penyesalan dan pertobatan juga bisa meningkatkan hubungan antar pribadi yang mendalam. Dan hubungan itu memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber kesejahteraan mental manusia. Juga perlu diingat bahwa manusia memiliki kecenderungan kearah aktualisasi atau menempatkan diri sesuai dengan kemampuannya. Tapi bukan berarti tidak ada perkembangan karena kecenderungan manusia adalah bergerak ke arah pertumbuhan, kesehatan, penyesuaian, sosialisasi, realisasi diri, kebebasan dan otonomi. Kebebasan dan otonomi ini bukan berarti bertindak seenaknya, karena kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari bayang-bayang ketakukan akan perbuatan buruknya. Jika seseorang tidak merasa menyesal atas semua perbuatan buruknya maka manusia itu sudah tidak bisa otonomi lagi karena diperbudak oleh nafsu-nafsu indriawi.
Banyak orang yang beranggapan bahwa budaya Tionghoa tidak mengenal pertobatan dan penyesalan. Sebenarnya semua itu ada dalam budaya masyarakat Tionghoa. Tapi yang sering tampak itu adalah habitus ( kebiasaan, cara berpikir , pola perilaku ) yang bukan esensi dan makna yang menjadi isi dalam budaya itu. Salah satunya adalah habitus dalam mengantar dewa dapur 灶君. Dan menurut penulis, habitus itu sudah menyimpang jauh dari makna sesungguhnya dalam upacara mengantar dewa dapur. Ironisnya habitus itu diperkuat lagi dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh sebagian pelakunya. Hal ini harap dimaklumi karena kurangnya penggalian kitab-kitab suci maupun filsafat yang ada di sekeliling mereka. Pada umumnya lebih bersifat pragmatis dan pengetahuan yang dimiliki sebatas apa yang mereka dengar.
Pada umumnya orang yang menganut kepercayaan Tionghoa melakukan upacara mengantar dewa dapur pada tanggal 23 atau 24 bulan 12 bahkan ada yang pada tanggal 25. Pada jaman dahulu, para pejabat mengantar dewa dapur pada tanggal 23, dan rakyat jelata pada tanggal 24. Sedangkan mereka yang tinggal di perahu atau yang menjadi pelaut biasanya melakukan upacara itu pada tanggal 25. Tapi masyarakat pada umumnya melakukan upacara itu pada tanggal 23 dengan harapan bisa mendapatkan kewibawaan pejabat. Kemudian masyarakat Guangdong umumnya menyambut kedatangan dewa dapur pada tanggal 30 malam bulan 12 atau pada tanggal 4 bulan 1 pada masyarakat Minnan.
Pada umumnya masyarakat mengantar dewa dapur dengan memberi manisan yang lengket-lengket. Contohnya adalah kue keranjang yang bisa disaksikan di masyrakat Tionghoa di pulau Jawa atau kue thiam pan 甜粄 yang dilakukan oleh masyarakat Khe maupun Konghu. Kue keranjang atau thiampan ( yang cara pembuatannya sama seperti membuat kue keranjang ) itu sebenarnya kue yang dipersembahkan untuk dewa dapur. Dengan harapan pada saat naik ke kahyangan tidak menceritakan hal-hal buruk yang dilakukan oleh keluarga dan anggota-anggotanya.
Tradisi penyembahan dewa dapur sudah berlangsung ribuan tahun tapi tradisi yang mengupayakan agar dewa dapur menceritakan yang baik-baik itu tercatat pada masa dinasti Tang. Pada masa itu ada tradisi menuangkan arak pada patung atau tablet dewa dapur. Tradisi ini dipercaya bisa membuat dewa dapur menjadi mabuk dan otaknya tidak jernih saat melapor. Selain itu ada yang menempelkan manisan yang lengket pada mulutnya bahkan ada yang menggunakan lem untuk menglem mulut dewa dapur. Jika melihat 4 gambar di atas, maka upacara itu tidak harus selalu wah dan mewah. Upacara sederhana juga bisa dilakukan dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi.
Tradisi ini sebenarnya adalah suatu upaya manusia dalam mensiasati hukuman yang harus diterima akibat perbuatan buruknya. Ironisnya mayoritas masyarakat pelaku kepercayaan Tionghoa ini tidak memahami makna dewa dapur yang benar sehingga mereka melakukan hal-hal itu tanpa disertai pengetahuan yang benar. Saat mereka ditanya oleh pihak lain, mereka dengan tanpa beban dan rasa malu menyatakan bahwa tindakan itu adalah menyogok dewa dapur. Sehingga penulis pernah melihat satu acara tv nasional yang meliput Imlek itu, seorang pengurus kelenteng dengan enteng dan tanpa perasaan berdosa mengatakan bahwa ini tradisi menyogok dewa dapur. Bisa anda bayangkan ditayangkan secara nasional dan seorang pengurus kelenteng bisa berkata seperti itu. Artinya pengetahuan para pengurus kelenteng itu amat parah dan minim. Hal ini diperparah dengan tidak adanya kemauan dari para petinggi-petinggi keleteng untuk memperbaiki dan menambah pengetahuan yang benar. Sungguh ironis.
Dewa Dapur Sebagai Kontro Perilaku
Pada masa paternalistic menguat sehingga perempuan direndahkan, dewa dapur bisa menjadi sarana untuk kaum perempuan yang ditindas. Perlu diingat bahwa para ibu itu melakukan aktifitas memasak di dapur dan jika ditindas bisa mengadu kepada dewa dapur atas perbuatan suaminya yang tidak baik. Para suami atau kepala keluarga harus sadar bahwa semua gerak geriknya dicatat oleh dewa Dapur. Karena itu dewa dapur bisa menjadi “control” perilaku kepala keluarga. Hal ini mungkin tidak disadari oleh banyak orang bahwa dewa dapur bisa menjadi “alat” untuk membantu psikologis ibu rumah tangga yang ditekan atau diperlakukan semena-mena.
Pepatah Tiongkok mengatakan,” Diatas kepala 3 inchi ada dewata.” Ini sering tidak dipahami maknanya. Artinya adalah di atas kepala kita ada dewata yang mencatat semua perilaku kita. Hal ini diyakini oleh Buddhisme Mahayana Tiongkok maupun Taoisme.
Agama Buddha Mahayana Tiongkok juga mengenal dewa dapur dan melakukan upacara ritual untuk dewa dapur itu dalam vihara-vihara yang berkiblat pada Buddhisme Mahayana Tiongkok. Selain hal itu, dalam agama Buddha Mahayana Tiongkok juga mengenal dewa yang disebut Ju Sheng Shen 俱生神 atau dewa Saha. Kitab-kitab yang mengupas dewa ini antara lain Yaoshi Benyuan Jing 藥師琉璃光如來本願功德經, Hua Yan jing 華嚴經. Dewa Saha ini ada dua, satu bernama Tongsheng 同生 satunya bernama Tongming 同名. Dewa ini ada saat kita lahir dan selalu mendampingi diri kita. Tugasnya mencatat semua perilaku kita.. Tongming secara berkala dalam satu bulan melapor perbuatan baik kepada Si Da Tianwang. Perbuatan buruk dilaporkan oleh Tongsheng pada Giam Lo Ong.
Taoisme dalam Taishang Ganying Bian 太上感應篇juga mengenal yang disebut sansi shen 三屍神 yang selalu menggoda dan mencatat perbuatan buruk manusia untuk dilaporkan pada Yudi setiap hari Gengshen 庚申日,selain itu masih ada dewa-dewa lain yang bertugas melaporkan perbuatan manusia. Antara lain San Taixing 三台星, Beidou Xing dan dewa dapur. Mereka secara berkala dalam satu bulan itu berkali-kali melaporkan semua perbuatan baik maupun buruk kepada Yudi. Jadi tidak ada orang yang bisa menghapus catatan perbuatan buruk yang dilakukan. Termasuk menyogok dewa Dapur. Karena dewa Dapur secara berkala setiap bulan melaporkan kepada Yu Di seperti yang dituliskan dalam Baopuzi maupun Taishang Ganying Pian. Karena itu habitus yang mencoba “menyogok” pada saat mengantar dewa dapur adalah hal yang sia-sia. Menurut kitab Siming Zaojun Quanshi Wen司命灶君勸世文 dan Zaojun Zhenjing 灶君真經 dikatakan mereka yang tidak bisa berbuat baik dan menyesalinya tidak akan bisa mendapatkan pengampunan. Setiap perbuatan buruk kecil diberikan waktu 3 hari untuk melakukan penyesalan dan 100 hari untuk perbuatan buruk yang besar. Jika terlupakan maka saat mengantar dewa Dapur itu adalah kesempatan terakhir untuk melakukan doa penyesalan. Umumnya upacara itu dipimpin oleh kepala keluarga, karena kepala keluarga dianggap sebagai pemimpin yang harus bisa memberikan contoh yang baik bagi anggota keluarganya. Selain itu adalah konsep yinyang yang terkait dengan api yang mewajibkan bapak sebagai kepala keluarga untuk memimpin upacara.
Beberapa umat Taoisme pada saat upacara pengantaran itu biasanya melakukan upacara penyesalan dan ucapan terimakasih kepada dewa Dapur atas berkah dan rahmatnya selama setahun ini yang memberikan makanan dan menjaga kesehatan. Biasanya diikuti dengan membaca 108 kali “Yuhuang Shuzui tianzun” 玉皇贖罪天尊. Dengan mengharapkan Yuhuang Sangdi mengampuni semua kesalahan kita. Kemudian pada saat penyambutan turunnya dewa Dapur disertai janji memperbaiki diri.
Selain itu Kongzi sudah mengatakan dengan jelas dalam dialognya denganWang Sunjia,” Daripada memuja Ao ( dewa tiongcit yang tempat pemujaannya ada di barat daya rumah dan satu dewa yang penting karena penyangga rumah ), lebih baik memuja dewa Dapur ( karena dewa dapur berkaitan dengan makanan ), bagaimana ?” Kongzi menjawab,”Tidak bisa, berbuat salah pada Surgawi, segala doa tiada guna.” ( 王孫賈問曰 : ”與其媚於奧,寧媚於灶.何謂也? “子曰:”不然!獲罪於天,無所禱也.” Dialog pendek dalam Lunyu ini dalam sejarahnya beragam tafsir terutama masalah Ao dan Zao, apakah ditujukan pada dewa atau pribadi Wang dan majikannya Wei Jun. Yang jelas bisa kita ambil pernyataan Kong Zi bahwa orang yang melakukan kesalahan itu tidak bisa ditebus dengan segala macam doa atau persembahan. Semua itu hanya bisa ditebus dengan penyesalan dan pertobatan. Karena dua hal inilah yang bisa mendorong manusia sadar akan kesalahannya dan memperbaiki diri dengan berbuat baik pada yang lain. Baik pada manusia maupun lingkungan alam sekitarnya.
Mo Zi mengatakan bahwa konsep dewa dan ritual bisa menjadi suatu konsep kontrol sosial masyarakat Karena itu menurut Zhuxi 朱熹( 1130-1200 CE ) penghormatan terhadap dewa dapur juga bisa dikatakan merupakan kontrol sosial.
Karena itu sebagai umat kelenteng harus selalu mawas diri dan ingat bahwa semua perbuatannya diawasi. Tiada seorangpun yang bisa luput dari catatan perbuatan buruknya. Ganjaran yang diterima tidak bisa dihindari jika tidak menyesali dan bertobat. Karena itu saat menngantar dewa Dapur, lakukanlah refleksi diri atas semua perilaku diri yang buruk dan sesalilah. Saat menjemput dewa Dapur, berjanjilah tidak akan melakukan lagi hal-hal yang buruk. Karena waktu yang disediakan untuk merenung dan berjanji itu cukup panjang sebelum menyambut Beliau. Dan keharusan membangun keluarga harmonis sehingga keberuntungan melimpah ( lihat gambar 2 ). Jika sehari-hari selalu bertengkar, minimal dalam satu tahun itu ada 3 minggu keluarga itu damai dan tidak bertengkar ( mulai tanggal 23 bulan 12 hingga tanggal 15 bulan 1 ). Jika hal ini bisa dilakukan, maka niscaya rentang waktu keharominsan itu bisa menjadi lebih panjang lagi. Syukur jika bisa sepanjang hayat
Xinchun Gongxi Wanshi Ruyi 新春恭喜萬事如意
Selamat Tahun Baru Imlek 4717 Huangdi Era (4716 Dao Era)