Budaya-Tionghoa.Net | Membicarakan film Mulan 2020 yang telah dinantikan penayangannya sejak Maret lalu, memang tak lepas dari kontroversi. Karena sejak awal Disney telah mengabarkan kepada para fansnya bahwa Disney akan memberikan sebuah film epic yang sedikit berbeda dengan versi kartunnya, dan akan lebih bernuansa sejarah.
Upaya tersebut antara lain dengan menghilangkan sosok naga kecil Mushu yang merupakan kawan terdekat Mulan seperti halnya tokoh Disney’s princesses lain misalnya Cinderella dengan tikusnya atau Rapunzel dengan bunglonnya. Selain itu kabarnya sutradara Niki Caro dan tim mereka juga melakukan survey ke museum, dan perancang kostumnya juga tinggal di China berminggu-minggu untuk mempelajari kostum tradisional China agar lebih otentik. Juga Disney menghilangkan unsul musikal yang selalu ada di film animasinya.
Namun apakah upaya Disney itu membuat Mulan menjadi sebuah film yang sukses?
Mulan memasang artis cantik Liu Yifei 刘亦菲 sebagai pemeran utama, dan sederet bintang papan atas Mainland sebagai daya tarik antara lain Donnie Yen 甄子丹, Gong Li 巩俐, dan Jet Li 李连杰.
Bagi orang awam deretan nama tersebut ternyata berhasil memukau mereka, dan didukung dengan sinematografi yang tersaji dengan apik, adegan peperangan yang seru, serta koreografi silat di atas bambu untuk menyelamatkan sang raja, film ini mendapat cukup banyak pujian dari kalangan orang Barat.
Sayang sekali sepertinya hal itu tidak berhasil memuaskan pemirsa Asia, termasuk saya. Sebagai seseorang yang dibesarkan di lingkungan budaya Tionghoa, tentunya telah akrab dengan nilai-nilai seperti bakti kepada orang tua (xiao), dan bakti pada negara (zhong). Nilai-nilai tersebut, diusung dalam film Mulan sebagai core cerita, seharusnya bisa digali mendalam lagi, namun sayangnya tidak didukung oleh plot yang baik, juga kurangnya logika yang ada di cerita versi 2020.
Mulan 木兰 diperkirakan hidup di masa kerajaan Wei Utara (386 – 534 M) dari dinasti Utara – Selatan. Kisahnya tercatat dalam sebuah puisi (Mulan Ci) yang kurang lebih hanya 300 kata. Dikisahkan bahwa ia menggantikan sang ayah untuk maju ke medan perang dengan menyamar sebagai pria. Kepahlawanannya membela negeri dari serangan Rouran (sebuah suku di Mongolia) selama lebih dari sepuluh tahun. Mulan menjadi prajurit biasa sampai menjadi jendral yang memimpin pasukan, jasanya akan terus dikenang oleh orang-orang Chinese. Juga baktinya pada sang ayah dan keluarganya, sehingga dia menyembunyikan identitasnya sebagai wanita tanpa diketahui sampai perang selesai dan ia menolak anugerah kaisar untuk menjadi pejabat, memilih pulang ke kampung halamannya. Orang Barat mungkin tak memahami bahwa pada masa tersebut jika Mulan ketahuan sebagai wanita dia bisa dihukum mati karena dianggap telah menipu pimpinan dan kaisar tentunya. Nah penulis merasa bobot dari cerita ini tidak berhasil tampil secara maksimal di layar lebar. Akting Liu Yifei meski telah mengalami kemajuan, namun tak cukup berhasil untuk menyampaikan pergulatan identitas dan konflik batin di sini.
Apalagi Disney justru menghadirkan sosok Gong Li sebagai penyihir yang bisa berubah menjadi elang, yang menurut opini penulis sangat tidak sesuai dengan kisah kepahlawanan Mulan.
Penampilan Gong Li dalam Mulan.
Kekuatan sihir didefinisikan sebagai chi (Qi), dan ternyata Mulan juga menyembunyikan fakta bahwa ia memiliki kekuatan chi ini. Ini seperti konsep force yang ada pada Luke Skywalker, Mulan pun seakan menjelma menjadi sosok Rey Palpatine dalam Star Wars, ketika ia membuka dirinya bahwa ia wanita bersamaan dengan itupun kekuatannya bak super hero ini muncul. Penulis pun hanya menghela napas menyaksikan adegan yang kurang dramatis serta menjadi klise ini. Hal ini tidak sesuai dengan kisah berlatar historical apapun yang ada di Tiongkok kuno. Di Tiongkok kuno tidak memburu penyihir seperti di Eropa pada abad pertengahan. Jadi konsep penyihir ini jelas tidak dapat diterima. Dan chi tidak berarti sihir, konsep chi yang tampil di film Kungfu Panda malah lebih benar kata seorang reviewer Malaysia, dan saya setuju.
Dari segi kostum, dan make up, penulis mendengar bahwa Disney ingin meniru riasan klasik Tang, dan hasilnya dapat dilihat di foto di bawah ini, yang kiri make up dari film drama The Longest Day in Chang’an 2019 yang menceritakan dinasti Tang & telah diakui kemiripannya dengan sejarah.
Penulis sungguh tidak mengerti mengapa Disney membuat riasan aneh seperti ini, jika dilihat di layar lebar akan lebih aneh lagi. Bahkah dibandingkan dengan versi kartunnya, yang kartun Mulannya masih cantik kok.
Tidak ada make-up apalagi untuk acara perjodohan yang dibuat seperti itu, dan hanfu yang dikenakan Mulan penulis juga lebih suka versi kartunnya yang mendekati hanfu jaman Wei.
Belum lagi riasan Zheng Peipei yang terkesan berlebihan, ia berperan sebagai mak comblang yang di kisah ini berkarakter buruk, serta menyalahgunakan kedudukannya sebagai comblang untuk menekan para gadis agar tunduk. Memang pada jaman tersebut perjodohan adalah adat yang penting bagi keluarga Tiongkok kuno, tanpa menggunakan jasa comblang yang baik, anak gadis pada masa tersebut tidak dapat menikah.
Kedudukan comblang (meipo – 媒婆) dalam budaya Tionghoa memang penting, namun Disney seolah telah menciptakan stereotip yang buruk terhadap sosok meipo. Padahal jika Anda membaca kisah-kisah klasik Tiongkok, Anda akan sering menemukan sosok meipo yang baik.
Hal lain yang mengganggu tentu saja rumah di kampung halaman Mulan yang terlihat jelas di adegan awal, rumah itu adalah Tulou yang merupakan rumah khas suku Hakka yang ada di Tiongkok Selatan, dan arsitektur rumah tersebut baru ada pada abad 12.
Kemudian ada sekilas penampilan jurus taiji yang juga baru ada pada abad 13. Dan sepertinya keputusan Jet Li untuk tampil di film ini adalah keliru, karena semula ia telah menolak, namun akhirnya setelah pihak Disney membujuknya dengan mengatakan bahwa film ini memiliki kandungan sejarah, ia menerima peran sebagai raja. Sosok Jet Lee dapat dilihat dari gambar di bawah ini, dengan kostum kaisar Wei berlapis-lapis, sementara baju standar hanfu paling hanya tiga atau empat lapis saja.
Lokasi syuting yang dilakukan di Selandia Baru dan China juga terasa tidak mulus perpindahannya, bangunan-bangunannya seolah tampak memiliki perbedaan arsitektur China yang nyata, antara gaya bangunan yang benar-benar oriental dan dekorasi setting yang bercita rasa Barat namun dengan ornamen Tiongkok.
Singkat kata dari opini penulis, tampaknya Disney tidak memahami cerita ini dengan benar, dan persepsi maupun visual yang ditampilkan masih bercita rasa Barat, banyaknya artis Tiongkok yang terlibat bahkan tidak berpengaruh sama sekali. Penulis juga melihat bahwa nama-nama Chinese yang terlibat dalam tim produksi kebanyakan berada di second unit, bukan unit utama seperti para animator yang membuat Mulan animasi.
Hua Mulan mungkin adalah karakter legenda, namun sebagai kisah berlatar sejarah, semangat keberanian serta kepahlawanannya telah menginspirasi orang Tionghoa beratus-ratus generasi. Menggubahnya menjadi super hero dan membuat kisah peperangannya tanpa logika strategi perang, hanya mengandalkan sihir dalam melawan musuh menurut penulis adalah tindakan yang tidak menghargai karakter dan sejarah itu sendiri. Sekian.
Ling-Ling – 12 September 2020
test