Kami adalah keluarga yang telah mengikuti Dizigui sejak batch II. Pada waktu kelulusan yang dilakukan pada masa covid, kami memutuskan untuk tetap mengikutsertakan anak-anak kami di batch III demi masa depan mereka untuk lebih memahami dinamika pendidikan moral dan budi pekerti dalam teori dan praktiknya.
Bagi keluarga kami, Dizigui diperkenalkan awalnya oleh beberapa teman diskusi saya di Grup Budaya Tionghoa (mailing-list yahoo pada saat itu) sebagai pelajaran moral Tionghoa yang dimulai sejak jaman Confucius dan menjadi dasar falsafah hidup menyeluruh yang berkembang secara horisontal (dengan sesama manusia dan makhluk hidup) maupun secara vertikal (hubungan keTuhanan dan alam semesta).
Ketertarikan saya waktu itu menyebabkan saya mencari tahu dimana di Jakarta kami dapat mempelajari hal ini. Oleh karena kami saat itu melakukan pendidikan sekolah rumah, maka kami tidak dapat mengakses Dizigui yang diselenggarakan secara formal di sekolah-sekolah yang mengajarkannya, sehingga akhirnya kami mendapatkan informasi adanya kelas ini di Pro Mandiri Building, jalan Latumenten, Jakarta Barat. Sayangnya ketika berkunjung kesana, kami diminta menghubungi sekretariat di Pluit – yang kemudian mengatakan bahwa kelas sudah berlangsung sebulan lebih dan anak yang diijinkan ikut adalah yang sudah usia sekolah minimal setingkat SD. Kami membatalkan keinginan untuk turut serta karena terlambat.
Tiga tahun berlalu, saya sudah melupakan keinginan untuk ikut serta karena kesibukan yang padat. Suatu hari saya mendapat telpon dari nomor yang tak saya kenal, yang menanyakan apakah keluarga kami masih menginginkan ikut serta di kelas Dizigui yang akan dibuka 2 minggu lagi. Saya terkejut, dan mulai mendiskusikan kemungkinannya dengan keluarga. Diberitahukan oleh penelpon, yang belakangan kami kenal sebagai Zhang Laoshi, bahwa kali ini pelajaran akan dilakukan di Sekolah Diakonia Pluit, sedangkan kami tinggal di luar Jakarta. Akhirnya kami memutuskan untuk mendaftar dan diterima dengan catatan orang tua harus menyertai anaknya belajar. Awalnya saya heran, mengapa kami harus ikut belajar Pelajaran moral yang diperuntukkan bagi anak kecil? (apakah kami kurang ‘bermoral’? hahaha).
Sejak saat itu saya belajar memahami betapa pentingnya kerja sama orang tua, anak, dan laoshi / guru dalam menyelenggarakan pendidikan hidup – sesuatu yang saya tidak pernah dapatkan sebagai guru, sebagai orang tua yang punya anak, dan sebagai anak. Orang tua tidak cukup hanya memantau pelajaran yang didapat anak di sekolah dan mempercayakan pendidikan kepada guru saja, tetapi harus terlibat penuh di dalamnya untuk membuat proses pendidikan lebih efektif, efisien, dan sevisi, serta mengurangi kemungkinan kesalahpahaman dari ketiga pihak yang terlibat tersebut (anak – orang tua – guru). Bimbingan laoshi kepada anak dan orang tua seminggu sekali, praktek anak dan orang tua di rumah sehari-hari, menjadi satu kesatuan yang tidak terbantahkan.
Pada saat orang tua terlibat langsung dalam pendidikan anak, bukan hanya anak belajar, tapi juga orang tua belajar menerima kesalahan diri sebagai manusia yang tidak sempurna.
qīn yǒu guò jiàn shǐ gēng
親 有 過 諫 使 更
jika orang tua melakukan kesalahan berilah pandangan agar mereka bisa berubah
yí wú sè róu wú shēng
怡 吾 色 柔 吾 聲
Dengan raut wajah ramah dan suara yang lemah lembut.
Pada bait ini saya sangat terkesan pada ketidakberpihakan Dizigui terhadap moralitas yang seharusnya timbal balik dan patuh pada hukum fairness tanpa mengurangi wibawa orang tua. Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa ajaran bakti dan moralitas Tionghoa selalu ke satu arah, membebani anak pada semua kewajiban dunia sebelum waktunya. Bakti berlangsung dua arah, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang setara. Jika hal ini dilakukan dan diamalkan, hubungan anak dan orang tua menjadi lebih baik dan harmonis serta mengurangi gap generation. Kami sebagai orang tua berkesempatan untuk belajar dari anak-anak kami dan teman-temannya.
Pada awal Batch III saya sudah bersiap diri membantu, tetapi nasib berkata lain. Saya mengalami serangan stroke pada saat suami sedang keluar kota. Saya hanya dibantu anak-anak saya dan telpon suami saya untuk mengatasi jam pertama serangan sebelum keluarga saya datang membantu. Kesigapan mereka yang baru berusia SD dan ketidakpanikan mereka sangat menolong. Sejak saat itu saya berusaha keras untuk pulih dan beraktivitas seperti biasa.
Keluarga kami mulai menata kembali kehidupan dan saya merasa terbantu dengan dukungan penuh dari suami, anak-anak, dan keluarga besar kami. Walaupun saya gagal membantu proses Dizigui, saya tetap merasakan dukungan dari keluarga besar Dizigui, terutama para laoshi dalam mendidik anak-anak saya. Masa remaja mereka terasa lebih mudah dihadapi kami sebagai orang tua karena pemahaman kami terhadap gejolak kehidupan masa ini lebih baik. Masa pra-remaja sesudah mengenal Dizigui membuat gejolak yang seharusnya ada tidak menjadi setajam pisau, atau tidak dapat diprediksi, dan lebih mudah diantisipasi karena dasar perilaku bakti mereka sebagai anak dan sebagai manusia sudah lebih stabil dibanding teman seusianya.
Kami memutuskan untuk mengganti metode pendidikan kami menjadi sekolah formal karena saya tidak dapat lagi penuh waktu mendampingi pendidikan anak-anak saya. Pengakuan yang kami terima dari guru-guru sekolah mereka bahwa anak kami memiliki sikap yang baik dan perilaku yang lebih dewasa merupakan bukti penting akan keberhasilan kerja sama tim laoshi Dizigui dengan orang tua dan anak. Anak-anak saya lebih mudah memahami kondisi saya dan berempati terhadap keterbatasan yang saya miliki.
Mempersiapkan anak menjadi manusia yang tidak terbawa arus trend di jaman serba cepat dan mencegah mereka mengalami tingkat stress yang tidak perlu ( dan tidak penting di mata orang tua! ) akan menjadi bekal terpenting mereka dalam menjalani kehidupan yang lebih seimbang di segala bidang yang ingin dan akan mereka tempuh ke depannya. Kami sangat bersyukur mengenal tim dizigui Yayasan Bakti Putra Handal Indonesia.
Siklus proses yang kelihatannya kecil dan tidak signifikan ini mungkin terlihat sederhana, tetapi saya pribadi berani menjamin, setelah menamatkan lebih dari satu siklus dizigui, keluarga kami dan keluarga-keluarga lain pasti menghasilkan anak-anak yang tertanam pola Dizigui di dalam kehidupannya sekarang dan masa mendatang. Mereka akan datang kembali sebagai orang tua yang menginginkan anak-anak mereka mengalami pola yang sama seperti saat mereka bertumbuh. Siklus ini tidak terhenti setelah mereka tamat pelajaran Dizigui. Siklus ini akan bertambah besar dan tidak terputus selama umat manusia masih membutuhkan pelajaran moral Confucius.
Terima kasih para laoshi, teman-teman, dan anak-anak Dizigui.
Keren, pengalaman yang memberikan pengajaran yang bijak , bekal penting di masa depan no 1 moral dan kesadaran utk mau belajar dan memahami secara mendalam penghargaan diri dan rasa syukur berjalan sesuai restu Tuhan