Budaya-Tionghoa.Net | Dalam adat tradisional Tionghoa mengenai kematian, sering kita lihat keluarga yang ditinggalkan mendiang akan mengenakan pangkat di lengan atau di topi. Apa perbedaan masing-masing pangkat? Apa maknanya?
|
Yah, di dalam tradisi kematian orang Tionghoa memang banyak pernak-pernik simbolisasi. Pangkat di lengan anggota keluarga yang ditinggalkan bermacam-macam, namun pada dasarnya adalah kain goni, kain polos warna biru tua, biru muda, kuning maupun merah muda. Sebenarnya pangkat di lengan ini adalah penyederhanaan dari pernak-pernik ritual asalnya. Ini erat kaitannya karena di Indonesia beriklim tropis sehingga tidak cocok mengenakan baju berlapis-lapis.
Kapan tradisi ini mulai dilaksanakan?
2500 tahun lalu pada zaman Zhou, anggota keluarga yang ditinggalkan harus mengenakan pakaian dari kain goni dan pakaian warna lainnya selama bertahun2 sesuai tingkat hubungan dengan mendiang. Anak kandung harus mengenakan baju berkabung selama tiga tahun berturut-turut, anak perempuan yang telah menikah boleh menanggalkan baju berkabung setelah 1 tahun, cucu-cucu dan keponakan / kemenakan boleh menanggalkan baju berkabung setelah 3 bulan. Seluruhnya ada 5 tingkat dengan jangka waktu dan tingkatan perkabungan yang berbeda2. Di masa berikutnya, ritual ini mengalami penyederhanaan.
Tradisi pangkat yang paling sering ditemukan sekarang?
Sekarang ini, yang sering ditemukan di Indonesia adalah anggota keluarga yang berkabung memakai pakaian putih2 dari kain blacu lalu mengenakan pangkat di lengan. Ada keluarga yang mengenakan dengan aturan “laki2 di kiri, perempuan di kanan”, namun ada pula yang mengenakan secara seragam di kiri atau di kanan saja. Ini adalah penyederhanaan dari ritual ribuan tahun lalu, yang diharuskan mengenakan baju dari kain goni sebagai tanda berkabung.
Perbedaan dan tingkat generasi dari masing-masing pangkat?
Pada dasarnya ada 6 jenis pangkat di lengan atau di topi bagi anggota keluarga dekat dari mendiang:
– Potongan goni kasar, untuk anak laki2 dan menantu perempuan.
– Potongan goni halus, untuk anak perempuan yang telah menikah keluar.
– Potongan kain biru tua, untuk cucu dalam (anak dari anak laki2).
– Potongan kain biru muda, untuk cucu luar (anak dari anak perempuan).
– Baju kaos berwarna kuning, untuk cicit dalam (cucu dari anak laki2).
– Baju kaos berwarna merah muda, untuk cicit luar (cucu dari anak perempuan).
Tambahan, dalam keluarga tertentu, bila mendiang mempunyai cicit biasanya pada prosesi pemakamannya dilengkapi dengan sebuah kereta tandu dari kertas dengan 4 orang cicit sebagai penandu. 2 orang cicit dalam di depan dan 2 orang cicit luar di belakang, penandu harus merupakan cicit laki2. Saya sendiri punya pengalaman menjadi penandu di depan bersama adik laki2 saya sepeninggal kakek dan nenek buyut. Namun tentunya karena jarak antara rumah duka dan pemakaman relatif dekat, bila jauh sekali tetap saja tandu harus diikat di mobil jenis pick-up untuk diantar sampai ke pemakaman.
Ada pula pangkat lain untuk anggota keluarga yang lebih jauh.
– Potongan goni halus + kain biru tua, untuk keponakan (yang semarga dengan mendiang).
– Potongan goni halus + kain biru muda, untuk keponakan (yang tidak semarga dengan mendiang).
– Baju kaos berwarna biru, untuk anak dari keponakan.
– Baju kaos berwarna kuning, untuk cucu dari keponakan.
Lebih kurang seperti di atas, namun pada suku2 tertentu atau keluarga tertentu ada perbedaan sedikit di dalam realisasinya.
Bila telah memeluk agama lain, apakah tradisi ini harus ditinggalkan?
Ini adalah sebuah peninggalan budaya, ritual budaya, jadi tidak ada hubungannya dengan ritual keagamaan sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan warisan tradisi ini. Tradisi khas ini menunjukkan bakti dari anggota keluarga yang ditinggalkan kepada mendiang.
Presiden ROC (Taiwan), Chiang Kai-shek dan Chiang Ching-kuo adalah pemeluk agama Kristen yang taat, pada masa perkabungan mereka, seluruh instansi pemerintah dan rakyat yang ikut berkabung mengenakan kain pangkat sebagai tanda berkabung sepeninggal mereka. Demikian pula sepeninggal Mao Zedong atau Zhou Enlai, banyak rakyat yang mengenakan pangkat seperti ini sebagai ungkapan tanda belasungkawa. Jadi tidak ada hubungannya dengan keagamaan. Analoginya adalah pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di Indonesia. Saya melihat terkadang ada orang Tionghoa yang telah menganut agama lain lalu merasa segala tradisi kuno leluhur harus ditinggalkan karena tidak bersesuaian dengan agama yang dianutnya. Menurut saya, ini adalah sedikit pemikiran kebablasan dikarenakan ketidakmengertian akan makna dari tradisi Tionghoa.
Rinto Jiang
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa | Facebook Group Tionghoa Bersatu