Budaya-Tionghoa.Net | Bhiksu Ben Qing (Pen Ching) alias ARYAMULA benqingsi (本清寺) (1878-1962)di Gadog Cipanas disebut Aryamularama (asal Aryamula dan arama: vihara utk bhiksu). Diawal abad ke 20, 1901, beliau datang ke Indonesia dan berkeliling banyak kota, dari satu kelenteng ke kelenteng lain. Membabarkan dharma, memberikan pelayanan kepada masyarakat Buddha terutama dalam ritual, beliau kemudian membangun Guang Hua Si di Jakarta. Beliau ini termasuk tokoh besar agama Buddha di Indonesia, mengembangkan ajaran Buddha Chan/Zen. Untuk mengenang beliau, para murid keturunannya mendirikan vihara Ben Qing Si di Pacet. Sayang sungguh sayang org sekaliber beliau dilupakan jasa2nya, padahal jejak keberadaannya bisa dilacak di Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Cirebon, Malang dan banyak kota2 lainnya di Sumatra maupun pulau Jawa. Beliaulah yg membangkitkan kembali benih2 Buddha Mahayana Tiongkok yang merupakan bagian dari San Jiao.
[Pengantar Admin dan Moderator Budaya Tionghua]
***
|
Riwayat Singkat Y.A Sanghanata Aryamula (Maha Bhiksu Pen Ching) 1878-1962
Oleh Tim buddhakkhetta
Sumber : Buku Ksitigarbha Bodhisattva
Y.A Sanghanata Aryamula (Maha Bhiksu Pen Ching) dilahirkan di kabupaten Phu Thien, Propinsi Hokkian pada tahun 1878, di desa Wu Chen Li, Tiongkok. Sejak kecil beliau telah merasa tertarik dengan Ajaran sang Buddha dan juga merasa tertarik dengan pelajaran-pelajaran sejarah dan kesusasteraan. Demikian pula sejak kecil beliau telah menjalankan hidup secara sayuranis (Vegetarian). Karena sejak kecil beliau telah kehilangan ayah yang telah meninggal, beliau disah oleh bibinya. Ketika beliau menginjak dewasa, bibi beliau bermaksud untuk mncarikan pasangan hidup untuk beliau, tetapi beliau menolak.
Pada usia 19 tahun beliau pergi ke Vihara Kuang Hua Sie di Nan Shan dan berguru pada Acharya Thung Chan untuk menjadi seorang sramanera. Pada usia 20 tahun beliau resmi di upasampada kan menjadi seorang bhiksu. Pada usia 23 tahun beliau datang ke Indonesia dan bermukim di Tay Kak Sie Gg. Lombok, Semarang dan bertugas di sana untuk membantu membina selama tiga tahun. Setelah itu beliau kembali ke kampung halaman beliau dan di angkat menjadl pengurus Vihara Kuang Hua Sie, tetapi beliau tidak mau menerima jabatan tersebut dengan mengatakan
bahwa beliau masih terlalu muda untuk menerima jabatan tersebut. Berikutnya beliau menggunakan waktu untuk mengunjungi beberapa vihara, dan bermukim di Yung Chien Shi, Kota Fu Chou selama satu tahun. Setelah itu beliau datang lagi ke Indonesia dan bermukim di Hiap Thian Kiong Jl. Kelenteng, Bandung selama empat tahun. [Catatan Admin : Tulisan lengkap mengenai Hiap Thian Kiong Bandung bisa dilihat di http://web.budaya-tionghoa.net/home/721-klenteng-hiap-thian-kiong-xie-tian-gong-1885-bandung]
Pada waktu itu kebetulan kakak seperguruan beliau, yaitu Maha bhiksu Pen Ru datang ke Indonesia kemudian mengunjungi Bandung, oleh karena itu beliau menyerahkan tugas untuk membina Hiap Thian Kiong kepada Mahabhiksu Pen Ru dan meneruskan pengembaraan beliau ke Cirebon hlngga kota Karawang dan bermukim di Kuan Ti bio. Pada waktu itu Kuan Tio Bio keadaannya porak poranda, di dalamnya tidak ada tempat untuk bermukim, tetapi setelah dibina dan dirawat oleh beliau selama dua tahun, keadaan kuil tersebut berangsur angsur menjadi baik dan mulai
ramai dikunjungi umat. Setelah menyadari bahwa tugas beliau di Kuan Ti Bio telah selesai, maka beliau melanjutkan lagi pengembaraan beliau sebagai Dhutangga Bhiksu, dengan tekun bersamadhi serta menjalankan vinaya dengan baik. Hidup sederhana dengan berpindapata serta makan ada kalanya dengan ubi-ubian serta buah-buahan lainnya. Demikian beliau melewatkan hidup beliau di dalam kesederhanaan dan latihan yang keras.
Pada tahun 1926 beliau tiba di Jakarta, mendapatkan sebuah tempat yang cukup baik dan tenang, yaitu sebuah cetya kecil yang bernama Yii Lien Thang di daerah Petak Sinkian Tangki, Jakarta Barat. Pada waktu itu cetya kecil tersebut hanya berupa sebuah bangunan atap bilik yang memuja Triratna serta para Bodhisattva. Pada waktu itu cetya tersebut dibina oleh seorang viharawati Buddhis yang sudah lanjut usia dan di sekeliiing cetya tersebut banyak pepohonan dan tanah yang cukup luas. Setelah berembuk dan berunding dengan viharawati tua tersebut,
beliau diijinkan untuk membangun sebuah kuti untuk dipakai sebagai tempat berteduh dan latihan. Setiap hari selain melakukan puja bhakti, beliau tidak pergi jauh dari tempat tersebut. Setiap hari beliau bekerja membersihkan halaman, menanam sayur-mayur, buah-buahan, dan tumbuh¬tumbuhan lainnya. Hal tersebut juga diketahui oleh viharawati tua yang bermukim tidak jauh dari tempat tersebut dan viharawati tersebut amat memuji beliau sebagai benar-benar seorang rohaniwan Buddhis yang sejati.
Tidak lama kemudian, viharawati tua tersebut pindah ke tempat lain karena mendapatkan tempat Yang baru untuk melayani kepentingan umat di tempat lain oleh karena itu viharawati tua tersebut dengan tulus memberikan tempat di daerah Tangki tersebut kepada beliau. Berkat usaha yang tekun dan latihan yang seksama, berangsur-angsur tempat tersebut menjadi semakin terkenal. Dan sejak tahun 1936 secara resmi telah dikenal khalayak ramai. Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, semakin banyak orang datang ke cetya tersebut. Di antaranya adalah tokoh masyarakat Tionghoa pada waktu itu Mr. Soong Fa Siang dan seorang Pendeta Kristen Mr. Ceng Sou Thian. Mereka berdua sering mengunjungi beliau dan bercakap-cakap. Betapa kagumnya mereka terhadap beliau, sungguh beliau adalah seorang rohaniwan Buddhis yang saleh dan bijaksana.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, setiap hari minggu banyak orang yang datang mengunjungi cetya tersebut. Pada akhirnya mengingat tanah yang cukup luas dari tempat tersebut dan juga atas persetujuan beliau, maka sebagian tanah tersebut dibangun oleh Yayasan Hock Pou Seng. Pada tahun 1951 cetya yang kecil telah dibangun menjadi Vihara Kuang Hua Sie.
Demikianlah Vihara Kuang Hua Sie semakin hari semakin dikenal oleh masyarakat Buddhis di Jakarta dan demikianlah beliau terus membina siswa-siswa beliau serta umat awam lainnya. Berkat usaha yang tekun dan kerja sama yang baik dari para sesepuh yang te1ah a1marhum, Yayasan Hock Pou Seng dan Vihara Kuang Hua Sie dapat bertahan hingga sekarang.
Bersama Guru Mahayana
Y.A. Sanghanata Arya Mulya Maha bhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang)-tengah foto
The Boan An (Y.M MAHASTHAVIRA ASHIN JINARAKKHITA) salah satu murid dari Y.A. Sanghanata Arya Mulya Maha bhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang). Pada bulan Juli 1953, The Boan An ditahbiskan menjadi seorang sramanera dengan nama Ti Chen oleh beliau. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana.
Pada tahun 1962 bulan Mei atau tanggai 20 bulan keempat menurut perhitungan imlek, beliau berpisah dengan kita untuk selama-lamanya. Menjelang kemangkatan, beliau masih tampak begitu tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Beliau masih sempat berpesan kepada Mr. Co Fu Yan agar dapat menjaga dan meneruskan pembinaan Vihara dan Yayasan tersebut. Beliau bahkan sebelum kemangkatannya masih sempat bersama-sama Yang Arya Bhiksu Ru Sung untuk mengulang dan membaca Amitabha Sutra.
Beliau masih sempat berpesan agar para siswa tekun berlatih dan berpegang teguh pada tata susila. Menjelang dikremasikannya jasad beliau, tampak wajah beliau yang begitu tenang dan memancarkan cinta kasih. Tiga hari setelah dikremasikan, abu jenazah beliau tampak berwama putih bersih. Setelah abu jenazah beliau dikumpulkan, ternyata telah ditemukan sarila panca warna.
Semoga dengan semangat dan contoh baik yang telah diberikan oleh Y.A Sanghanata Aryamula (Maha bhiksu Pen Ching) kita semua akan dapat memperoleh kebahagiaan.
SUMBER :
http://buddhakkhetta.com/User/Kat9/Sub29/Art375/baca.php?com=1&id=375
Baca Juga :
- http://web.budaya-tionghoa.net/religi-filosofi/buddha/1153-bhiksu-ben-qing-yang-terlupakan-1878-1962
- http://web.budaya-tionghoa.net/home/721-klenteng-hiap-thian-kiong-xie-tian-gong-1885-bandung