Budaya-Tionghoa.Net| Memperhatikan Bangkitnya Kesadaran Nasional dan dimulainya usaha menyusun kekuatan Rakyat untuk mencapai Kemerdekaan Nasional, orang tentu melihat bahwa Indische Partij yang dibentuk oleh tiga serangkai, Dr. Tjipto Mangunkusumo; Ki Hajar Dewantoro dan Dowers Dekker, adalah organisasi politik pertama di Indonesia yang mempunyai konsepsi paling menyeluruh mengenai wilayah dan mereka yang wajib dinyatakan sebagai warga-negara dan usaha mencapai Kemerdekaanpolitik penuh. Sejak tahun 1912, adanya konsepsi Indische Partij itulah diakui bahwa, hak seseorang yang dilahirkan di Indonesia dan dibesarkan di Indonesia untuk menentukan kewarga-negaraan.
|
Jadi prinsip pikiran ini adalah ius soli dalam menentukan kewarga-negaraan. Prinsip ini tidak pernah disanggah oleh partai2 politik yang lahir dikemudian hari, sampai sekarang. Kenyataan ini patut diperhatikan. Didalam pembentukan Partai Komunis Indonesia; Partai Serikat Islam Indonesia dan Partai Nasional Indonesia tidak pernah dengan tegas mengemukakan perbedaan warga-negara berdasarkan keturunan, sehingga partai2 pelopor di Indonesia ini umumnya memperoleh dukungan dan sympathie dari semua golongan SUKU yang ada di Indonesia. Tidak pernah mengemukakan masalah ‘asli’ atau ‘pribumi’ harus didahulukan kepentingannya. Dan juga tidak pernah mempersoalkan orang2 peranakan asing harus puas dengan perlakukan sebagai ‘anak ngenger’.
Ketika partai2 politik tersebut di’pukul’ oleh penjajah Belanda, diantara mereka yang ditangkap polisi penjajah Belanda, terdapat juga orang2 peranakan asing. Menurut keterangan orang2 yang pernah di’buang’ ke Digul oleh penjajah Belanda, hampir dalam tiap rombongan yang dikirim ke Boven Digul terdapat juga orang2 peranakan Tionghoa, orang2 SUKU Tionghoa. Baik juga dikemukakan apa yang saya ketahui dari Bung Karno, bahwa pada persiapan pembentukan PNI dan Partindo, ia juga memperoleh bantuan dari teman2 seperjuangan SUKU Tionghoa. Antara lain yang sering disebut namanya seperti Tan Ping Tjiat dari Surabaya; Liem Seng Tee dari Pabrik Rokok-kretek Djie Sam Soe dan Sempurna di Surabaya dan Liem Sui Chuan dari Bandung.
Kenyataan2 ini tentu menyangkal adanya pendapat bahwa golongan Tionghoa pasif, golongan Tionghoa tidak menyatukan diri dengan perjuangan Kemerdekaan Indonesia, tidak se-nasib dengan Rakyat Indonesia. Kenyataan sejarah tidak bisa disangkal, adanya kesatuan nasib, merasa senasib diantara banyak SUKU yang ada di Indonesia, termasuk SUKU Tionghoa yang hidup di Indonesia. Sementara orang mengatakan, bahwa Chung Hua Hui sebagai partai politik berdiri dipihak penjajah Belanda. Memang, ada organisasi atau partai politik yang memihak penjajah Belanda dari suku Tionghoa demikian juga dari suku2 lainnya. Tidak aneh. Dan dengan meningkatnya kesadaran nasional, menimbulkan juga organisasi2 politik yang tegas2 memperjuangkan Kemerdekaan Nasional. Atas anjuran dr. Sutomo yang memimpin P.B.I.(Persatuan Bangsa Indonesia), dibentuklah P.T.I.(Partai Tionghoa Indonesia) dibawah pimpinan Liem Koen Hian. Pembentukan PTI dibantu oleh tokoh PBI, Junus D. Syaranamual. Kemudian pembentukan P.A.I (Partai Arab Indonesia) yang dipimpin oleh Abdulrachman Baswedan, juga terjadi dengan bantuan orang2 PBI dan PTI. Ketika itu, pembentukan partai2 politik berdasarkan keturunan dianggap perlu, karena ketentuan hukum penjajah Belanda mengenalperbedaan hak2 dan kewajiban berdasarkan perbedaaan asal keturunan.
Memang patut disayangkan, adanya partai2 politik berdasarkan ke-suku-an. Tapi, kita harus bisa melihat kenyataan sejarah, bahwa ini terjadi sebagai akibat politik penjajah Belanda. Baru pada akhir tahun 30-an dengan pembentukan GERINDO dibawah pimpinan A.K.Gani; Moh.Yamin; Amir Syarifudin; Wilopo dimulai perlawanan terhadap organisasi2 berdasarkan keturunan, kesuku-an. GERINDO meletakkan dasar, yang menghidupkan kembali pendirian Indische Partij bahwa, perbedaan suku tidak seharusnya merintangi perkembangan terwujudnya Persatuan Bangsa di Indonesia. Rasa se-nasib dikembangkan, ‘sense of belonging’ menjadi lebih kuat. Tapi, penyerbuan militer Jepang mengganggu perkembangan ini.
Ketika perintis2 pejuang Kemerdekaan memperoleh kesempatan untuk memikirkan UUD negara Indonesia yang hendak dibentuk, maka dihidupkan kembali pikiran2 tentang siapa yang bisa dinyatakan sebagai warga-negara Indonesia. Dimana perdebatan sudah dimulai dengan adanya petitie Soetardjo di Volksraad pada akhir penjajahan Belanda sebelum Perang Dunia-II. Adanya pikiran mengenai ‘Indonesise Staatsburgerschap’, yang oleh mr.Moh.Yamin diterjemahkan menjadi kewarganegaraan Indonesia’, sejak itulah kita mengenal adanya istilah ‘Kewarga-Negaraan Indonesia’ didalam Volksraad. Menjelang pidato ‘Lahirnya Panca Sila’ dari Bung Karno, terdapat perdebatan2 mengenai masalah Ke-Bangsaan. Tokoh Islam, K.H.Dahlan atau K.H.Mansjur, menyatakan berdasarkan agama Islam tidak dapat menyetujui pembagian umat manusia dalam kotak2 bangsa. Sedang Liem Koen Hian, mengkawatirkan ke-bangsaan bisa meluncur kearah chauvinisme. Oleh karenanya, Bung Karno didalam pidatonya ‘Lahirnya Panca Sila’ menegaskan: bahwa ‘Sila Ke-Bangsaan dalam Panca Sila mengandung unsur kuat Ke-Manusiaan yang adil dan beradab. Oleh karenanya tidak akan mungkin meluncur kearah chauvinisme dan menentang pikiran2 rasialisme’. Panca Sila menentang rasialisme dan chauvinisme, karena prikemanusiaan yang adil dan beradab, tidak menentukan kemampuan seseorang atau kepandaian seseorang berdasarkan asal-keturunan atau asal ras-nya.
Timbul pertanyaan, kalau Paanca Sila menentang rasialisme, mengapa UUD 45, pasal 6 ayat 1, menentukan Presiden RI harus orang ‘asli’? Harus ingat, ketika UUD 45 itu dirumuskan, Indonesia masih berada dibawah kekuasaan militer Jepang. Jadi, diantara perumus UUD timbul kekuatiran kalau nanti militer Jepang ‘menodong’ Rakyat Indonesia untuk menerima seorang Jepang menjadi Presiden Indonesia. Semula, ada 2 syarat untuk menjadi Presiden RI, yang pertama harus ‘Islam’ dan kedua ‘asli’. Tapi, syarat ‘Islam’ akhirnya dicoret dalam musyawarah tanggal 18 Augustus 1945, berhubung dengan dicoretnya ketentuan2 didalam ‘Pembukaan’ UUD yang menyatakan ‘penganut agama Islam harus menjalankan syariat2 agamanya.’ Hal ini bisa terjadi atas usul dari mr.Gde Pudja dari Bali yang didukung oleh mr.Latuhary dari Maluku dan dr.Ratulangie dari Menado, dan demi memperkokoh Persatuan Bangsa tidak memberi kedudukan istimewa pada mereka yang beragama Islam. Mengingat di-daerah2 masih ada suku lain yang beragama Hindu-Bali; Kristen dan Katholik yang harus dipersatukan dalam kesatuan Bangsa Indonesia.
Apakah dengan tidak dicoretnya syarat ‘Asli’ dalam pasal 6 ayat 1, UUD45 itu berarti ‘Asli’ harus diperlakukan lebih ‘ISTIMEWAH’, sedang yang dinyatakan ‘bukan Asli’ boleh dianak-tirikan? Tidak! Didalam rapat DPR-RI hasil pemilihan umum pertama dan juga di konstituante, atas pertanyaan saya sebagai Ketua BAPERKI, Perdana Menteri Juanda ketika itu menegaskan: ‘adanya istilah ‘Asli’ dalam pasal 6 ayat 1, tidak boleh menjadi alasan untuk mengadakan dan mempraktekkan diskriminasi rasial.’ , dan dinyatakan bahwa rumusan ‘asli’ dalam pasal ini hanyalah akibat keadaan sejarah ketika UU dirumuskan. Patut juga dikemukakan, bahwa ketika itu pemerintah mengajukan pada DPR dan Konstituante untuk mengesahkan kembali ke UUD-1945 menurut aslinya, tanpa amandement. Sehingga Peraturan Peralihan yang sudah usang juga tidak dicoret.
Jadi, tidaklah benar dengan UUD 1945 ini Pemerintah lalu dapat mengadakan atau mempraktekkan diskriminasi rasial berdasarkan pasal 6 ayat 1 itu. Memang, pada saat Proklamasi Kemerdekaan dan pada saat2 memperjuangkan tegak kokohnya Republik Indonesia yang baru saja di-Proklamasikan, tidak mengenal adanya perbedaan perlakuan berdasarkan perbedaan keturunan. Sebaliknya, setiap orang tanpa memperhatikan asal keturunan yang hendak dinyatakan sebagai warga-negara Indonesia, dijanjikan akan dikembangkan menjadi demokrat dan patriot Indonesia sejati, yaitu seperti dinyatakan dalam Manifesto Politik R.I., 1 November 1945. Antara lain sbb: ‘…….didalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!’
Untuk melaksanakan janji negara itu, Badan Pekerja dan Pemerintah R.I. pada tanggal 10 April 1946 telah mengundangkan UU Kewarga-negaraan R.I. Undang2 Kewarga-negaraan ini masih sangat dipengaruhi oleh semangat Proklamasi Kemerdekaan yang murni dan berdasarkan:
1. Prinsip ‘Ius Soli’, tempat kelahiran yang menentukan. Dasar yang ditetapkan sejak Indische Patij tahun 1912;
2. Stelsel Passief, yang berarti semua orang dan semua suku menjadi warga-negara pada saat yang sama. Dengan demikian tidak menimbulkan istilah ‘warga-negara Indonesia baru’, semua orang yang dilahirkan di Indonesia dinyatakan menjadi warga-negara Indonesia, kecuali bagi mereka yang menolak warga-negara Indonesia.
3. Meng-indahkan hak menentukan nasib sendiri dengan memberi kesempatan untuk menolak kewarga-negaraan Indonesia. Kesempatan menggunakan hak repudiatie telah mengalami perpanjangan dua kali dalam rangka usaha mengatasi tuntutan fihak Kuo Min Tang yang ketika itu berkuasa di Tiongkok. Yang menuntut supaya stelsel passief dirubah menjadi stelsel aktief. Badan Pekerja tetap mempertahankan stelsel passief untuk kepentingan security nasional dengan menekan rendah jumlah orang asing di Indonesia. Disamping berpendapat stelsel passief juga tidak menghapus hak menentukan nasib sendiri seseorang, tetap memberikan kesempatan bagi mereka yang hendak menolak kewarga-negaraan Indonesia, tetap mempertahankan demokrasi bagi setiap orang untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pendirian Badan Pekerja KNIP kemudian diperkokoh oleh Perjanjian KMB mengenai pemisahan Kewarga-Negaraan. Untuk memenuhi janji negara dalam Manifesto Politik RI itu, tentu saja tidak cukup hanya dengan Undang2 Kewarga-Negaraan. Diperluas kesempatan berparticipatie dengan jalan
menambah jumlah anggota KNIP keturunan asing, kemudian dekrit Presiden No.6 tahun 1946 membuat ketentuan yang menjamin perwakilan untuk golongan kecil. Yaitu, jaminan perwakilan dalam KNIP 9 wakil untuk peranakan Tionghoa; 6 wakil untuk peranakan Europa dan 3 wakil untuk peranakan Arab.
Jaminan perwakilan ini diperluas dengan di-ikutsertakan 3 macam peranakan didalam Badan Pekerja KNIP, disamping itu juga ada peranakan Arab menjadi wakil Menteri Penerangan; peranakan Tionghoa menjadi Menteri Negara dan wakil Menteri Keuangan. Suasana politik nasional dan imbangan kekuatan politik nasional ketika itu ternyata memungkinkan adanya peraturan2 dan tindakan2 yang mempercepat tumbuhnya perasaan senasib dan ‘sense of belonging’.
Tapi, suasana politik international ketika itu tidak menguntungkan perkembangan politik didalam negeri. Golongan minority Tionghoa oleh penjajah Belanda dijadikan ‘dongkrak’ dalam usaha melaksanakan perang urat-syaraf untuk merugikan kedudukan RI didunia dan juga untuk merusak Persatuan Nasional dalam mempertahanan RI.
Catatan Admin : Tulisan ini terdiri dari 10 bagian
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 2484