Budaya-Tionghoa.Net | Barangkali tahun 1980 – 1981 adalah puncak rasa kesedihan dan rasa kehilangan yang paling besar dalam kehidupan saya. Saya kehilangan istri pada tahun 1980, dan kehilangan pekerjaan. Tentu saja bukan seperti bentuk PHK. Tetapi selesainya kontrak-kerja dengan pemerintah RRT. Artinya tidak lain, tidak ada lagi pekerjaan buat saya. Artinya lagi, ya saya harus pergi meninggalkan Tiongkok. Nah, lalu mau ke mana? Ini masalah besar. Baru saja kehilangan istri -meninggal di Beijing, kini kami harus meninggalkan Tiongkok. Yang mengatakan harus meninggalkan Tiongkok itu, adalah saya – kami, samasekali bukan tuan-rumah kami = pemerintah Tiongkok.
|
Selama itu saya terus-menerus mencari akal, mau ke mana. Tujuan ketika itu adalah mau ke negara-negeri yang berbahasa Inggris. Ke Australia – Kanada – Hongkong – Singapura bahkan ke AS sendiri! Tentu saja tidak mungkin pulang ke Indonesia! Jauh panggang dari apilah! Tidak ada bermaksud ke Eropa Barat – baik ke Belanda apa- lagi ke Perancis. Tetapi pada akhirnya skenario dalam kepala berlainan dari kenyataan sesungguhnya. Yang begini ini, sangat banyak saya temui dalam kehidupan saya! Yang sebenarnya saya harus bersukur “untung tak jadi ke Hongkong” dulu itu. Dan ternyata negara- negeri yang samasekali tak tercatat dalam bayangan kepala saya, justru negara-negeri itulah yang sudah begitu baik memberi kehidupan
kepada kami – kepada saya.
Ketika masa menunggu mau ke mana itulah, perasaan tersiksa – terkatung-katung tak keruan. Pulang ke rumah, terasa sangat sepi – dia yang paling saya cintai, sudah meninggalkan kami ketika Agustus 80 itu. Ada dua putri yang sedang menanjak dewasa yang harus sangat saya perhatikan. Dan saya harus merangkap jadi ayah dan jadi ibu sekaligus – dan jadi pengasuh secara kejiwaan. Bunga-bunga dalam pot yang berjejer di depan jendela – harus diperhatikan. Kalau dulu dia sangat rajin menyiramnya, kini saya harus menggantikannya. Bunga-bunga tanaman hias yang dulu berkembang – berseri – mewangi ke seluruh ruangan, bagaikan turut bersedih kehilang ibu-dewinya yang dulu setiap hari menyiraminya. Kini bunga-bunga tanaman dalam pot yang begitu banyak – subur – mekar mewangi – kini harus saya pelihara baik-baik. Walaupun saya menyadari sepenuhnya, bahwa bunga-bunga tanaman hias itu tahu dan akan terasa benar, orang yang menggantikannya ini tidaklah secinta- sesayang ibu-dewinya dulu itu.
Ketika masa-masa itulah, perasaan kehilangan saya sangat merubungi kehidupan saya. Rasanya setiap hari selalu sedih – selalu berduka. Buat menghilangkan semua itu, saya berusaha melakukan pekerjaan apa saja asal bisa sekedar melupakan kesedihan itu. Hampir setiap menjelang sore saya bersepeda mengelilingi kota Beijing. Kota Beijing adalah dataran yang rata, tak ada tanjakan – tak ada jalan yang menurun. Semuanya datar dan rata. Jadi sangat enak buat bersepeda secara santai. Jalan rayanya sangat mulus. Besar – lebar dan tak ada lobang-lobang di tengah jalanan. Terpelihara dengan baik.
Biasanya saya mulai meninggalkan rumah pada jam 14.00 terkadang pada jam 15.00 paling lambat. Ke mana? Saya taktahu. Tak ada tujuan tertentu. Pokoknya membunuh waktu – kalau sudah mau senja dan mendekati malam, barulah pulang ke rumah. Pulang ke rumah hanyalah menyiram zat-asam ke dalam luka perasaan – hanya akan memperlebar rasa kedukaan dan kesedihan. Tetapi dalam pada itu, ada hal-hal dan perkara yang sangat harus saya perhatikan. Tak boleh terlalu lama meninggalkan dua anak saya. Dia perlu asuhan ayahnya. Dan ayahnya tidak boleh hanya memperhatikan dirinya sendiri. Ada orang lain – ada anak yang harus diasuh – di-emong. Ketika itu kehidupan saya benar- benar sempit – sumpek – selalu dalam kesedihan. Tetapi kehidupan ini tetap harus berjalan di atas rel yang sebenarnya. Ketika itu saya selalu berdoa dan minta agar Tuhan menguatkan perasaan – hati dan jiwa saya. Saya tidak hanya sendirian – ada dua putri saya yang sama dengan saya – dia kehilangan ibunya yang paling dicintainya – dan saya kehilangan istri yang paling saya cintai. Kami bertiga sama kehilangan. Dan kini sedang menunggu putusan terakhir – akan mau ke mana dan pindah ke negara – negeri mana? Kami sama sekali tidak tahu akan bagaimana nasib kami? Semua kami dalam keadaan serba gelap. Rasanya tak ada hari depan yang cerah dan bersinar bagi kami bertiga. Begitu banyak kami kehilanganKehilangan kampunghalaman – kehilangan pekarangan – kehilangan negeri dan negara – kehilangan keluarga,sanak-saudara – dan kehilangan istri, kehilangan ibu buat dua anak saya dan kini kehilangan bumi buat berpijak dan berteduh! Karena kami harus pergi dan kemana sampai detik itu kami belum tahu harus ke mana. Semua serba gelap. Tak ada bayangan bagaimana hari depan kami! Tapi kami harus hidup dan harus berjuang agar bisa hidup dan dengan tujuan utama – bahwa semua ini demi agar bisa pulang ke tanahair yang bagaimana caranya, tentu saja kami belum tahu,-
Holland,- 10 april 04,-
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 1958