Budaya-Tionghoa.Net | Persoalan ini sampai kini belum dapat dipastikan ketentuannya, mau pakai yang mana. Tetapi mengapa tahu-tahu ada persoalan, sedangkan dulunya tidak. Ada sejarahnya, dan itu tertumpuk pada kekuasaan rezim Orba-Suharto. Ketika itu sudah merata ada suasana anti-Tiongkok. Kedutaan-Besar Republik Rakyat Tiongkok diserbu – diobrak-abrik – semua sekolah Tiongkok dilarang – semua penerbitan – siaran dalam bahasa Tionghoa dilarang. Dan sebutan yang dulunya RRT = Republik Rakyat Tiongkok harus diubah menjadi RRC = Republik Rakyat Cina. Nama-nama yang berbau Tiongkok sedapat mungkin harus diubah menjadi serupa nama Indonesia. Lalu sebenarnya dibalik semua itu mau merendahkan nama Tiongkok – menghinanya. Penamaan yang dulu buat bahan adu-domba dari pemerintah kolonial Belanda mau dihidupkan lagi.
|
Yang beranggapan penamaan Cina itu adalah penghinaan. Sama dengan anggapan penamaan Melayu. Cina itu berkonotasi yang serba jorok – berludah sembarangan – berdahak tidak peduli di sebelah orang yang sedang makan dan lain dan lain. Sedangkan penamaan Melayu, berkonotasi yang serba bodoh – begok. Jadi pasa suatu waktu tertentu kebanyakan orang akan marah kalau dimaki dengan kata Cina ataupun Melayu. Ini dulunya, ketika zaman jaya-jayanya pemerintah kolonialisme Belanda,- semua ini buat adu-domba antara penduduk asli dan penduduk pendatang – terutama keturunan Cina.
Tetapi sesudah itu, tak ada soal – tak ada perkara hina-menghina – rendah merendahkan. Lama sekali – puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Tetapi setelah rezim Orba-Suharto berkuasa dengan merajalelanya – anti-Tiongkok dibangkitkan lagi. Inilah sebenarnya sejarah yang kita alami bersama.
Saya ingin dan terpaksa merasa harus menuliskan ini. Saya lahir dan besarnya sampai tamat SD ada di Belitung. Masarakat perkotaan – suasana pasaran di ibukota Tanjungpandan – Belitung – semuanya pada pokoknya “dikuasai” orang Cina. Dan kami menamainya ya Cina – orang Cina. Di Belitung ada nama pasaran Pasar-Cina – Kampung Cina. Yang jualan ikan – sayuran – barang-barang keperluan sehari-hari, pada pokoknya semua Cina. Yang jualan tahu – paria – timun – bawang – kacangpanjang dan lain, dan lain, semuanya Cina. Ini tahun yang saya tahu benar – antara tahun 1940 – 1960. Sudah itu saya sudah pindah ke Jakarta.
Mau nongkrong minum teh – kopi, makan nyami’an – roti bakar pakai mentega – dan kue basah lainnya, kami selalu ke toko Aloy atau warung Alung, semua Cina! Tetapi saya belum pernah mendengar ada suasana dan nafas yang anti Cina di kampung saya Belitung selama hidup saya di sana. Kalau Tahun Baru – Imlek dan Lebaran – Hari Raya Idulfitri, kami penduduk saling mengantar makanan. Kami mengantarkan makanan basah – makanan jadi, seperti ketupat – lauk-pauk – ayam – daging – ikan yang semuanya sudah masak-matang, kepada orang-orang Cina itu. Sebaliknya mereka mengantarkan kue-keranjang – di Jawa jadi kue-ranjang – dan bahan makanan mentah, seperti gula – beras -kacanghijau dan lainnya – bahkan mereka memberikan sumbangan uang. Karena mereka tahu benar, bahwa penduduk Belitung rata-rata Islam – tidak makan babi. Karena itu mereka tidak mungkin akan mengantarkan makanan jadi seperti yang kami lakukan terhadap mereka.
Lalu ketika di Jakarta, pergaulan saya lebih banyak di kalangan orang-orang keturunan Cina ini. Saya mengajar di Pa-Hwa = THHK = Tjung Hua Hui Koan. Saya menjadi Sekretaris Lembaga Persahabatan- Indonesia Tiongkok ke- tika ketuanya adalah Prof Dr Priyono, yang ketika itu merangkap jadi Dosen Fakultas Sastra dan Menteri PD dan K. Lalu berganti dengan ketuanya Henk Ngantung yang jadi Gubernur Jakarta-Raya. Lalu ketuanya Pak Djawoto, Ketua PWI Pusat yang akhirnya jadi Dubes RI di Beijing. Lalu saya juga salah seorang pimpinan di Baperki Pusat bersama Pak Siauw Giok Tjan, dan sebagai catatan, ketika mendirikan universitas Res Publica – yang akhirnya jadi universitas Tri Sakti, saya turut membicarakan dan merundingkan ketika mendirikan Laboratoriumnya. Saya ingat benar dengan orangtua yang sangat saya hormati seperti Ang Yang-goan – Ma Tjiok San – Tjoa Ma Tjun – dll dll.
Termasuk orang yang sangat sulit ngomong, tapi kalau dia sudah menulis – adalah jurnalis jempolan pada masanya, – Kwee Kek-Beng, alias garem di pojoknya Sin Po,- Ketika itu saya anggota pimpinan yang paling muda – masih beras kencur atau kulit bawang.
Saya tuliskan semua ini, hanya dengan maksud bahwa saya lebih banyak hidup dan bergaul dengan masyarakat yang dikatakan Cina itu! Ketika saya dengan teman-teman saya, sama-sama guru, ada seorang teman saya, menjadi bingung ketika begitu banyak murid saya yang semua namanya dengan tiga suku nama, nama Cina – ratusan banyaknya. Teman saya itu lalu bertanya, bagaimana kau menghapalkan nama-nama dengan tiga suku kata itu. Apa kamu tahu benar mana yang bernama Liau Peng Beng dan Gouw Luk Ning dan Siau Bok Liang? Saya katakan, semua nama murid, saya kenali dan juga namanya sekaligus. Dia, teman saya itu benar-benar heran, kok tahu saja nama-nama yang begitu banyak dengan tiga suku kata. Saya katakan – alah bisa karena biasa, pasar lalang karena ditempuh,-
Holland,- 22 april 04,-
Di kampung kami Belitung, sebutan kata Tionghoa maupun Tiongkok terasa sangat asing dan agak aneh. Karena sudah sangat dalam tertanam kata Cina. Namun sebutan kata Cina samasekali tidak mengandung ada isi penghinaan. Kata itu sangat biasa – normal ya memang begitu adanya. Tetapi memang harus diakui, berdasarkan pengaruh agama ( Islam ) ada terkandung kata Cina itu adalah bukan kaum seperti penduduk biasa, karena tidak satu agama ( Islam ). Ada pengertian yang mengandung bahwa Cina itu adalah kaum kafir – lebih sadisnya lagi, orang-orang yang akan masuk neraka, bukan seperti “kita” ini. Jadi yang lebih terasa, bukannya dalam pengertian politik buat menghinakan, tetapi terasa lebih mempersoalkan karena tidak satu agamanya.Hari sudah lebih tengah-hari, tetapi ibu saya belum juga pulang. Beliau ke Rumah Sakit-Cina di kota Tanjungpandan. Belum ada yang menyediakan makanan siang. Hari sudah lewat jam 13.oo. Saya sudah sangat lapar. Saya menunggu ibu – menunggu siapnya makan-siang. Dari jauh saya lihat ibu saya menuju rumah. Sesampainya di rumah, dengan muka asam dan cemberut, lalu saya tanya…..”lama amat sih ma di rumahsakitnya…memangnya banyak orangnya…?”
“Orangnya sih sebenarnya tidak banyak…yang banyaknya juga Cina……”
Kata-kata itu ketika diucapkan demikian, bagi telinga saya ketika itu adalah biasa saja. Tetapi setelah saya sudah menjelang dewasa dan setelah bersekolah di Batavia…..terasa sangat aneh! Apa Cina bukannya orang! Seperti kita juga! Tetapi itulah yang ada ketika itu di kampung saya. Dan ketika puluhan tahun kemudian……..anaknya nggak pulang-pulang dari negeri Cina selama belasan tahun! Dan mantunya yang orang Aceh itu (istri saya) meninggalnya di Cina, dan cucunya ( anak saya Nita ) lahirnya di Cina! Dalam batin saya, rasain ngatain Cina bukannya orang!
Sekarang pada pikiran dan perasaan saya, bagaimana kini! Ada persoalan. Apa yang akan kita sebutkan! Kata Cina – Tionghoa – Tiongkok. Ini mengenai sebutan kata yang tadinya mengandung pengertian menghinakan – merendahkan – ada terkandung isi politiknya yang oleh rezim Orba-Suharto buat menyuarakan anti-Cina-nya. Padahal dulunya, sebelum rezim ini berkuasa dengan ketebalan anti-Cina-nya, tidak ada perkara hina-menghinakan – rendah-merendahkan. Kecuali pada pemerintahan kolonialisme Belanda buat mengadu-domba antara penduduk asli dan para pendatang terutama buat keturunan Cina. Dalam beberapa seruan LSM yang ada kaitannya dengan kata Cina – Tiongkok – Tionghoa, ada himbauan agar kata Cina semua diganti dengan Tiongkok atau Tionghoa.
Kalau sebutan RRC yang diciptakan oleh rezim Suharto lalu diganti atau dikembalikan ke RRT ketika zaman Sukarno, saya sangat setuju. Tetapi menurut saya tidak semua kata yang dulu sudah biasa kita katakan Cina lalu semua harus diubah menjadi Tiongkok atau Tionghoa. Mengapa tokh harus semua? Bukankah sebenarnya kata Cina itu dari Chine – China – Chinese dan kata ini, sebenarnya berasal dari sejarah-lamanya yang sebutannya berasal dari negeri dan negara Chin – yang memang ada dinastinya. Negeri dan negara Chin inilah yang dapat mempersatukan negara Cina yang tadinya porak-poranda karena terus menerus mengalami perang dalam negerinya sendiri.
Buat menghindari pengertian dari rasa hina-menghinakan – rendah-merendahkan, lalu semua kata Cina harus kita ubah menjadi Tiongkok dan Tionghoa? Saya sampai kini belum sependapat. Kecuali memang sudah ketentuan secara baku dan ditetapkan oleh pemerintah dengan undang-undang melalui suatu badan resmi, misalnya Balai Bahasa. Artinya memang sudah suatu keputusan yang ilmiah ditinjau dari banyak segi budaya dan keilmuan. Rasanya yang dulu selalu kita ucapkan ” ayo kita cari restoran Cina ” “Nah, bukan main enaknya makanan – masakan Cina ini” “Ini kan bumbu Cina” “nah inilah teh Cina, sangat enak rasanya” “Nah, begini kalau memegang sumpit….inilah cara pegangan Cina……” “Pandai sekali dia berbahasa Cina……” dan banyak lagi yang sudah terbiasa dan enak diucapkan. Tahu-tahu kini semua kata itu harus diganti
menjadi restoran Tiongkok atau restoran Tionghoa atau masakan dan makanan Tiongkok atau inilah bumbu Tiongkok….enak ya mendengarkan lagu-lagu Tiongkok. Saya berkecenderungan, kita kembali ke masa sebelum rezim Orba- Suharto berkuasa – biarkan ada sebutan Cina – ada sebutan Tiongkok dan memang ada sebutan Tionghoa. Negeri Cina, bisa diganti dengan Negeri Tiongkok. Bahasa Cina bisa diganti dengan bahasa Tionghoa. Tetapi masakan Cina dan restoran Cina, biarkan saja menjadi tetap begitu. Rasanya agak aneh mengganti dengan kata restoran Tiongkok atau masakan Tiongkok.
Sekarang menurut saya tidak ada lagi manfaatnya buat mengganti kata-kata yang sebenarnya tidak ada maksud buat hina-menghinakan – rendah-merendahkan. Maksud yang tersembunyi yang lalu dilarang buat diucapkan atau harus diganti dengan ucapan yang dikeluarkan ketika zaman Orba-Suharto itu, kita kembalikan ke zaman ketika zamannya Sukarno, yang tidak ada maksud buat merendahkan dan melecehkan. Inilah pendapat saya sementara, dan saya tidak ngotot pada pendapat yang satu ini. Masih bisa berubah asal saja alasannya kuat – masuk-akal dan ilmiah,-
————————————————
Holland,- 23 april 04,-
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 2317
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 2168