Budaya-Tionghoa.Net | Tidak banyak yang tahu dimana letaknya kota Sungailiat. Sungailiat adalah sebuah kota kecil di pulau Bangka yang sekarang telah menjadi sebuah propinsi, dibagian ujung selatan pulau besar Sumatra.
|
Kedua orangtuaku dilahirkan di Sungailiat, demikian juga orangtua mereka dan orangtua mereka sebelumnya.
Pertamakali mengunjungi Sungailiat, aku baru berusia sekitar enam tahun. Pada ketika itu, aku diajak ibu melawat kesana, yang baginya berupa perjalanansentimental penuh dengan pahit getir memori, sebagaimana biasanya denganperjalanan balek kampung.
Ibu menikah ketika berusia lima belas tahun, baru naik remaja. Sebuah perkawinan yang dijodohkan oleh orangtua masing-masing. Suatu kebiasaan yang membudaya padamasanya.
Malangnya, laki laki yang dikawininya adalah seorang sadis dan pemalas. Ditambah lagi dengan kesukaannya berjudi, seringkali menagih uang dari ibu untuk membayar hutang dan berjudi lagi. Kalau tidak diberi, ianya berlaku kasar, bahkan menjadi violent, kaki menendang, tangan menampar.
Ibuku dilahirkan dalam keluarga sederhana, dalam arti kata tidak hidup dalam kemewahan, tapi juga tidak merana kekurangan makanan. Lain halnya dengan ayahku yang berasal dari keluarga kaya, karena ayahnya seorang Kepala parit. Ayahnyaibu bekerja sebagai buruh dipertambangan timah, parit panggilan bahasa lokalnya. Sedangkan ibunya berasal dari campuran darah dari rumpun Melayu.
Seperti juga dengan ibunya ibu, yang kami panggil Apho Chen, karena dari keluarga Chen, ibuku berpakaian sarung kebaya dan rambutnya bersanggul sepanjang hidupnya, sama dengan penampilan wanita Melayu lainnya.
Ibu berpembawaan sangat rajin, disamping bekerja mengurus rumah tangga sehari- hari seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya, ia juga sangat kreatif, belajar sendiri menjahit kebaya dan bordir sulam. Karyanya sangat indah dan banyak yang menyukainya. Semua pekerjaan jahit menjahit dan menyulam dilakukan pada malam hari, terkadang sampai larut malam. Dari penjualan bahan jahitannya, sedikit
demi sedikit ibu dapat menabung, dan uang simpanannya dibelikan gelang kalung emas. Barang kemas itu berupa hasil jerih payah usahanya sendiri. Dengan rasa bangga, barang-barang itu dibalutnya dengan kain sutera, lalu disimpan dibagian bawah laci meja yang berkunci.
Pada suatu hari ibu membuka laci itu untuk menambah koleksi barang kemas yang baru dibelinya dikedai emas. Alangkah terkejutnya ia ketika didapati bungkusan sutera itu sudah tidak berisi lagi. Hilang. Seluruh usaha yang dilakukannya dengan susah payah hilang tak berbekas.
Pertengkaran pun terjadi. Ibu menuduh suaminya mengambil barang simpanannya tanpa permisi. Mencuri itu, kata ibu dengan penuh kemarahan. Sebaliknya sang suami dengan galak mencela ianya menyembunyikan harta benda yang menurutnya adalah haknya juga. Seperti biasa, pertengkaran mulut dengan lekas menjadi tumbukkan yang bertubi-tubi. Babak belur badan ibu ditonjok dan ditendang.
Kejadian tersebut diatas berupa suatu nisan pengukur jalan, dimana ibu mengambil keputusan untuk keluar dari perkawinan yang berupa rumah siksa orang tahanan.
Ibu melarikan diri ke Jakarta membawa dua orang anaknya dari perkawainan itu. Disitu ia bertemu dengan ayahku, yang juga sudah dikenalnya dari Sungailiat. Ketika itu kebetulan ayahku juga berstatus duda. Berdua mereka saling membantu dan memberi perlindungan dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya mereka
mendirikan rumah tangga bersama. Apakah pertemuan mereka di Jakarta sudah direncanakan ketika mereka masih berdiam di Sungailiat, atau memang kebetulan ketemu lagi karena diatur oleh perjalanan nasib, aku kurang tahu.
Tapi betapa pun gagah dan beraninya ibu menantang budaya masyarakat, terlebih pula pandangan picik masyarakat kota kecil seperti Sungailiat, dengan membebaskan diri dari cengkraman perkawinan yang ganas dan penuh dengan tindasan, namun dalam hati kecilnya terasa juga sesuatu ganjelan yang perlu dihadapinya. Maka setelah suaminya yang pertama meninggal, ia pun berkepentingan pulang mengunjungi Sungailiat, untuk bertemu kembali dengan sanak keluarga. Ibu kembali kekampung halamannya untuk menutup lembaran buku sejarah hidupnya di Sungailiat yang terpaksa ditinggalkannya dengan tergesa-gesa beberapa tahun yang lalu.
Aku, sebagai anak sulung dari perkawinannya yang kedua, diajak serta dalam ziarah kunjungan itu.
***