Budaya-Tionghoa.Net | Kami tinggal jauh di pedalaman Tiongkok. Di Tiongkok Selatan. Bagian tanah Tiongkok Selatan – akan selalu ada di selatan Sungai Yangtse. Nama provinsinya yalah : Jiangxi, dan nama ibukotanya yalah Nanchang. Tetapi kami tinggal jauh dari ibukota – masih ratusan km. Biasanya kalau kami berangkat dari desa kami menuju kota – di mana kami selalu berobat di rumahsakit militer – selalu makan-waktu selama 4 jam bermobil. Kira-kira 200 km lebih. Dan jalannya, maklumlah provinsi di mana kami tinggal, masih agak terbelakang – jalannya belum diaspal – masih jalan merah. Sepanjang perjalanan menuju ibukota – masih hutan. Melalui perkampungan penduduk.
|
01. Gunung Kepala Ayam
Desa di mana kami tinggal namanya Chi Gong-san, kami namakan saja Desa Gunung Kepala Ayam – arti Chi di sini memang ayam. Tetapi penamaan itu hanya bagi kami para melayu ini saja – orang Tiongkok mana pula akan tahu dan tak bakalan ngerti. Kenapa kami namai begitu? Dari jauh – dari puluhan km, sudah tampak sebuah gunung meninggi dengan puncaknya agak melengkung seperti seekor ayam jago yang sedang melihat ke arah jauh. Dan kami pabila pulang dari ibukota – Nanchang – akan sangat merasa gembira bahwa kami sudah setengah sampai di pedesaam kami. Ke kota – ibukota provinsi – bagi kami seperti setengah piknik. Kami orang-orang desa masuk kota – ber-rekreasi – walaupun sebenarnya kami datang ke ibukota semata-mata buat berobat. Bagi yang berobat gigi – akan paling banyak bolak-balik masuk kota. Bisa satu minggu satu kali. Pada mulanya memang agak enak juga – orang desa pelesiran ke kota. Tetapi pabila keseringan – ada juga rasa bosannya dan capek naik mobil begitu lama dengan jalannya seperti daerah Banten di Jabar ketika pertengahan tahun 1950-an – di mana saya juga turut membangun jalan sekitar Malingping – Baya yang diurus oleh Kantor Petera ( Pengerahan Tenaga Rakyat ).
Ke ibukota akan selalu berurusan dengan penyakit. Tetapi disamping itu sekalian belanja – belanja apa saja yang di pedesaan kami tidak ada barangnya. Dan teman-teman lain yang mau nitip beli sesuatu yang sifatnya agak rahasia dan agak langka – akan dititipkan kepada seseorang yang sangat dapat dipercaya – se-ideologi-lah – kira-kira begitu! Jangan dibayangkan seperti kalian naik mobil di mana saja di Pulau Jawa! Sebab sepanjang jalan yang ratusan km itu, tidak ada warung – tidak ada toko – semua kampung pedesaan dengan penduduk petani – termasuk petani miskin. Yang jarang bersepatu walaupun dalam musimdingin. Kami melihat para petani inipun – tanpa sepatu ketika musimdingin – kami sendiri merasa kedinginan!
Tetapi walaupun kami di-perkampungkan jauh di pedesaan – tak jauh dari Gunung Kepala Ayam – perumahan kami itu samasekali baru – kami nganyari kata orang Jawa – baru kamilah penduduk yang mula-mula mendiaminya. Rumah kami samasekali baru – tetapi biar bagaimanapun – namanya saja di desa – jauh di kampung – tetap bersuasana sederhana. Pemanas dalam rumah dengan sistim perapian yang model agak kuno – pakai arang-batu. Jadi kami membakar batu-arang dan berdiang – berpemanas model lama. Model begini masih tetap bertahan sampai diibukota negara – Beijing. Ketika musimdingin, kami punya keasyikan tersendiri – kerjanya angkat batu-arang dan badan penuh asap dan hitam. Dan menyalakan tungku batu-arang itu. Menyalakan dan merawat pemanas-dapur batu-arang ini tidak mudah. Kami sendiri pada mulanya juga belajar – dan pernah gagal juga. Tetapi lama-lama jadi biasa. Dan rumah akan menjadi hangat. Tadinya tanpa batu-arang, dalam rumah bisa sampai 10 – 15 dC ( derajat Celcius ) – dingin sekali. Tetapi dengan batu arang, rumah akan hangat dan hawa jadi 22 sampai 26 dC. Lebih dari itu sudah terlalu panas. Dan kalau terlalu panas, tidak baik bagi kesehatan. Perbedaan antara dalam dan luar tidak boleh terlalu tinggi dan menyolok.
Tinggal di pedesaan kami – Desa Kepala Gunung Ayam, sebenarnya sangat enak. Cuacanya bersih – tidak ada polusi – namanya saja desa bahkan sekelilingnya hutan dan gunung dan beberapa sungai. Dan rasa airnya sangat segar – terasa agak manis malah. Kata penduduk sekitar pedesaan kami dan juga orang-orang Tiongkok yang sangat mengenal tanahairnya – memang diakui – bahwa rasa air di pedesaan kami sangat segar – enak dan bersih. Pabila musimpanas, kami minum air dari sungai yang mengalir atau telaga yang bersih. Dan rasanya sangat segar – sedap, bagaikan minum air-es di kala panas-panasnya. Habis bekerja badan atau sehabis olahraga – kami langsung cari air ke aliran sungai atau telaga, dan minum sepuasnya. Sehabis menembak burung di hutan, badan berkeringat karena kelelahan – dan sangat haus, lalu cari air secara alamiah dan minum sepuasnya. Rasanya segar kembali dan badan jadi bersemangat lagi.
Apa lalu yang tidak enaknya – apa yang lalu jadi bebannya? Satu-satunya yang sangat menjadi pikiran kami, tidak tahu akan nasib masa depan kami! Kami tidak tahu kapan kami bisa pulang ke tanahair. Kami tidak tahu – kapan kami bisa keluar Tiongkok – dan hidup di negara dan negeri yang normal. Maksud normal di sini, yalah seperti orang-orang lain itu – bebas dan cari makan sendiri – bekerja buat kehidupan dan tak tergantung pada siapapun. Kami kan sangat tergantung pada tuanrumah kami. Dan kami bukan orang bebas – ke mana-mana dikawal – diawasi, dan dikasi makan tanpa bekerja dalam pengertian makan-gaji. Enak? Pada mulanya barangkali ada orang atau teman yang merasa enak. Tetapi kalau lama-lama dan berumur-umuran begini, kan samasekali tidak normal! Tidak bisa mau ke mana-mana semaunya – harus minta izin – harus ada pengawalan. Tuanrumah kami harus tahu mau apa – ada keperluan apa – apa alasannya – kuat tidak alasannya.
Misalnya seseorang mau ke kota lain, karena mau jalan-jalan – mau berpelesiran – mau lihat-lihat sebagaimana orang-orang normal – dan juga barangkali mau shopping. Ya sudah pasti no way-lah! Bahkan ada di antara teman-teman kami yang merasa kehidupan kami secara begitu itu, mereka namakan sama saja dengan di penjara! Syukurlah, saya belum pernah berpendapat demikian. Tetapi perasaan tidak bebas sebagaimana manusia normal – itu ada! Sudah pasti ada!