Budaya-Tionghoa.Net | Mang Ucup menyoroti optimisme masa depan Tiongkok.[admin : link ] Mari kita lihat juga sisi suram masa depan Tiongkok yang sangat perlu kita perhatikan karena stabilitas Tiongkok sangat mempengaruhi masa depan negara2 sekelilingnya termasuklah Indonesia di dalamnya. Banyak sekali masalah-masalah terpendam yang dihadapi pemerintah Beijing sekarang ini dan di masa depan. Reformasi ekonomi memang membawa economic boosting bagi Tiongkok, namun bukan hanya positive boosting, efek negatif dari economic boosting juga datang serta merta.
|
Reformasi ekonomi di Tiongkok itu sebenarnya cuma dinikmati oleh rakyat di pesisir. Kantung2 kapitalis seperti Shanghai, Guangzhou, Shenzhen, Tianjin itu kemajuannya sangat pesat, rakyat di sana juga sejahtera sekali. Namun sedikit saja kita bergeser ke pedalaman, maka pemandangan sejahtera itu tak akan ada lagi. Kehidupan petani dan pekerja yang dulunya menjadi tulang punggung partai komunis nampaknya tidak dipedulikan lagi sang partai yang dulu dibela mati2an dalam memerangi pemerintah nasionalis yang korup. Pemerintah Beijing perlu pemimpin2 yang tegas seperti mantan PM Zhu Rong-ji untuk menghindari terpuruknya pemerintah komunis ke dalam jurang korupsi. PM Wen Jia-bao yang sekarang nampaknya kurang tegas dalam masalah ini, namun Wen pasti tahu akan seberapa kritisnya masa depan Tiongkok bila keadaan tidak terkontrol ini terus dibiarkan.
Modal asing memang masuk dalam jumlah besar ke Tiongkok dalam kurun beberapa dasawarsa belakangan ini, namun tahukah kita berapa jumlah uang yang dilarikan oleh oknum2 pejabat korup ke luar negeri kembali atas nama pribadi? Jumlahnya tidak ada yang tahu, bahkan oleh Bank Sentral yang menetapkan kuota kepemilikan devisa asing dan transfer modal dari Tiongkok ke luar negeri. Ada lebih sekitar 70% kredit yang macet di Tiongkok. Kredit macet ini nampaknya akan menjadi kredit macet yang disengaja seperti yang lazim di Indonesia. Kredit macet ini dinikmati oleh sekelompok orang yang dekat dengan oknum pemerintah yang punya kontrol atas bank2 pemerintah yang memberikan kredit tadi.
Ekonomi yang tumbuh sangat pesat sebenarnya juga meninggalkan kompensasi yang sangat parah karena kerusakan lingkungan. Ini lazim pada negara berkembang, namun bila harus menunggu sampai lingkungan rusak dan baru diperbaiki dengan modal yang lebih besar, maka alangkah tidak ekonomis pertumbuhan dan kesejahteraan yang dinikmati sekarang ini dibanding dengan modal rekonstruksi lingkungan di masa depan. Tiongkok harus belajar dari Jepang yang beranjak menjadi negara industri tanpa harus merusak lingkungannya. Keadaan di Tiongkok sekarang ini dapat digambarkan dalam sepatah kata, “Orang Tiongkok sekarang ini telah menikmati kesejahteraan yang seharusnya dinikmati anak cucu mereka”. Artinya, anak cucu mereka mungkin akan mewarisi lingkungan dan keadaan ekonomi yang sangat tidak menguntungkan.
Ketimpangan lainnya yang mendesak adalah taraf hidup petani di pedesaan (pedalaman) dan kaum wiraswastawan di kota (pesisir). Komposisi petani di Tiongkok adalah 70% dari seluruh rakyat Tiongkok yang 1.3 milyar itu. Sekarang ini, reformasi ekonomi jelas hanyalah memihak kepada kaum wiraswastawan. Walau ada kemajuan, namun petani dikesampingkan dalam pertumbuhan pesat di pesisir. Terpusatnya industri dan perputaran modal di pesisir jelas tidak menguntungkan bagi kawasan pedalaman yang masih sangat terbelakang. Bagaimana mendorong industri dan modal ke pedalaman adalah satu ujian bagi pemerintah Beijing, karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok sangat tergantung dari ekspor, maka hal ini sangat memusingkan bagi pemerintah Beijing. Pelabuhan2 ekspor dan infastruktur semua ada di pesisir, kalau saya baru mau investasi di Tiongkok dan memusatkan pasar produk untuk ekspor, apakah saya mau membangun pabrik di Lanzhou yang harus menempuh beribu2 km dulu baru sampai ke pelabuhan Tianjin hanya untuk mengekspor produk ke AS? Saingan saya yang pabriknya di Dalian mungkin saja telah sampai produknya di LA jauh sebelum produk saya hanya cuma dengan seperempat harga produk saya.
Ketimpangan di atas telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan petani dan kaum pekerja yang merasa tertindas oleh kaum pemodal. Beberapa kali kerusuhan yang termasuk besar telah pecah di pedalaman (Sichuan dan Hunan) namun tidak terekspos keluar karena disensor oleh pemerintah Beijing. Kaum petani di Tiongkok kurang terorganisir, bila saja mereka punya “Mao” baru dan momentum yang dapat mengorganisir gerakan petani untuk melawan rezim Beijing seperti dulu melawan rezim Nasionalis yang juga tidak memperhatikan kehidupan petani, maka stabilitas politik dan ekonomi Tiongkok akan berubah 180 derajat dari pandangan2 optimisme terhadap ekonomi Tiongkok. Sekarang ini, kehidupan petani di Tiongkok dapat digambarkan dengan satu kata lain, “Menjadi pengemis lebih baik daripada terus menjadi petani”.
Terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah reformasi politik. Reformasi politik ini sangat mendesak untuk dilakukan perlahan2 mulai dari sekarang. Untuk dekade ini, Tiongkok masih diharapkan dapat mempertahankan pertumbuhan ekonominya di atas 8%, namun bila pertumbuhan ekonomi ini tiba2 tersendat, hanya menjadi setengahnya misalnya, maka akan banyak masalah timbul sebagai “kemunduran” tersebut. Lapangan kerja yang tercipta sekarang ini saja tidak mencukupi bagi seluruh 700 juta tenaga kerja produktif di seluruh Tiongkok. Masih ada sekitar 200 juta orang tanpa pekerjaan, belum lagi pengangguran substansial seperti petani yang setengah menganggur karena bertani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi sepesat ini, masih ada begitu banyak pengangguran, bagaimana bila angka pertumbuhan ekonomi tadi menurun? Angka pengangguran ini adalah satu bom waktu yang sewaktu2 akan meledak bila ada momentum yang pas (trigger). Reformasi politik diharapkan dapat menjadi suatu agenda yang dapat mengalihkan perhatian dan meredam ketidakpuasan rakyat yang seperti api dalam sekam.
Untuk ini saya ambil contoh gempa bumi tektonik. Bila energi patahan kerak bumi dapat dilepaskan perlahan2 dalam bentuk beberapa kali gempa bumi kecil, maka tidak akan pernah ada satu kali gempa besar. Namun bila energi tadi tidak pernah dilepaskan dan dibiarkan terkumpul, maka dapatlah dibayangkan berapa besar gempa yang ditimbulkan. Ganti “energi” di atas dengan “ketidakpuasan” dan “gempa bumi” dengan “revolusi”. Lebih baik melakukan reformasi politik daripada harus ada satu kali revolusi politik yang biasanya berdarah2 itu. Agenda reformasi politik sepertinya belum dimasukkan ke dalam rencana dan kebijakan pemerintah Hu Jin-tao karena Beijing malah melakukan yang sebaliknya untuk rakyat Hongkong yang dulu dapat bebas bersuara namun sekarang mulai dibatasi kebebasannya. Bila terus begitu, gerakan pro-demokrasi di HK cuma akan makin berkobar. Reformasi ekonomi dan politik bagai 2 sisi keping uang logam, yang satu harus menyertai yang lain. Tidak mungkin cuma memberikan 1 sisi dan tidak memberikan sisi lainnya.
Mudah2an tulisan ini dapat membuat kita membiasakan diri memandang semua persoalan dari 2 sisi dan berbagai dimensi. Terima kasih.
Rinto Jiang
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa