Budaya-Tionghoa.Net | Menyorot permasalahan warga Negara Indonesia etnik Tionghoa, barangkali pada tempatnya untuk mengetengahkan peranan Liem Koen Hian, seorang tokoh peranakan Tionghoa Indonesia, sebagai sebuah kaca pembesar. Ia adalah pendiri “Partai Tionghoa Indonesia” (PTI) dalam tahun 1932, yang kearifannya mampu membaca tanda-tanda zaman di mana ia hidup. Liem meninggal pada tahun 1952 dalam usia 56 tahun, tidak lama setelah ia keluar dari penjara.
|
Penjara yang merupakan sebuah bangunan kuno, sekuno keserakahan manusia yang membangunnya, yang kepengapannya kuasa menggiring Liem Koen Hian menyudahi karir politik dan seterusnya mengakhiri hayatnya. Ia melangkah keluar meninggalkan penjara dengan hati yang luka. Luka hati yang mendorongnya melakukan tindakan yang boleh disebut sebagai “bunuh diri” politik. Luka hati bernanah yang dirasakannya itu semakin bernanah saat disadarinya bahwa ia justru dipenjarakan di penjara Republik Indonesia yang ia ikut berjuang mendirikannya.
Sudah sejak masih remaja belia Liem malang melintang di dalam kancah perjuangan politik. Sehingga, sepertinya sungguh tidak masuk akal ketika ia tiba-tiba begitu saja menghentikan seluruh kegiatan pollitiknya. Tapi demikian itulah kenyataan yang mengandung kemustahilan. Hati yang luka, kekecewaan larut yang melarutkan, membawa ia ke akhir hayatnya.
56 tahun adalah sebuah usia yang sungguh belum cukup tua bagi seorang pemikir dan pejuang seperti Liem Koen Hian. Sebagai anak seorang juru tulis, ia seperti kebanyakan anak sebayanya, menamatkan sekolah dasarnya. Yang luar biasa pada Liem ialah, ia seorang otodidak, sehingga ia tumbuh dewasa menjadi seorang cendikiawan. Ia mampu mengembangkan dirinya sampai menjadi seorang redaktur sebuah usaha penerbitan. Dan kemudian ia bahkan mampu menerbitkan mingguan dan sejumlah surat kabar. Pada tahun 1933, ia malah sempat memasuki sekolah tinggi hukum.
Keterbatasan sarana komunikasi pada zamannya, tidak membuat ia malas dan takut ketika harus bersusah payah untuk mengamati berbagai peristiwa penting yang sedang terjadi di dunia semasa itu, khususnya Tiongkok di awal abad ke-20. Tiongkok yang pada kurun waktu itu lagi diolah dan dibangunkan oleh sebuah kebangkitan nasional. Dan bersamaan dengan itu, dengan sendirinya ia juga menyimak apa yang sedang terjadi di Rusia dengan revolusi Oktober 1917 kaum Bolsyewik. Dan tentunya juga kebangkitan nasional Indonesia sendiri, yang pada tahun 1926/1927 memuncak pada pemberontakan kaum komunis Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda, sekaliannya tidak lolos dari simakannya. Pengamatan serangkaian peristiwa dalam dan luar negeri yang membuat pengertian dan pemahamannya terhadap kebangkitan nasional di Tiongkok maupun di Indonesia tampil sangat inovatif untuk masa-masa yang sangat sulit itu.
Indonesia kurun masa itu sepenuhnya berada di bawah telapak kaki penjajah Belanda. Secara politik, ekonomi dan budaya, Indonesia sepenuhnya didominasi oleh kepentingan penjajahan Belanda. Bagi komunitas Tionghoa Hindia Belanda, terutama yang berkecenderungan hanya sekedar mencari kemudahan hidup di mana dan kapan saja, dampak umum sistem kolonial itu membuat mereka mudah menempuh sikap menghamba kepada system kolonial itu. Sikap yang juga banyak diambil oleh kalangan bumi putera sendiri pada masa itu. Sebuah kondisi yang sungguh tidak mudah bagi komunitas Tionghoa Hindia Belanda untuk dituntut dapat mengambil sikap pada masa-masa itu. Termasuk Liem Koen Hian tentunya. Mengingat pada masa itu belum cukup data atau faktor yang mampu memikat dan mendorong anggota komunitas Tionghoa untuk memikir dan memahami status kewarganegaraannya, seperti yang kita temui pada kurun ini.
Faktor lain yang pada masa itu juga membuat tidak mudahnya orang-orang berketurunan Tionghoa menentukan posisi kewarganegaraannya ialah “kebangkitan nasional Tiongkok” di bawah kepemimpinan Dr Sun Yat Sen yang tengah menggebu-gebu. Kebangkitan nasional Tiongkok semasa itu seolah bagai hembusan angin segar yang membelai para pejuang yang sedang kelelahan di teriknya padang juang. Ia membangkitkan rasa kagum dan merangsang banyak orang keturunan Tionghoa untuk ikut serta dalam “Romantisme Kebangkitan Nasional Tiongkok Sun Yat Sen” itu. Bangkit untuk menegakkan kepala dan berdiri di atas kaki sendiri. Duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.
Komunitas Tionghoa yang tak berdaya di bawah penindasan kolonialisme Belanda, tentunyalah merupakan sebuah komunitas yang sangat lemah. Dalam ketidakberdayaan posisinya itu, mereka tidak memiliki alternative lain selain memandang gerakan kebangkitan nasional “Tiongkok Sun Yat Sen” seakan “buah dewa” yang berkkhasiat ajaib, dapat memberi tenaga dalam bagi siapa saja yang berhasil memakannya, sehingga logikanya akan dapat meringankan penderitaan hidup di bawah penindasan kolonialisme Belanda Maka,.jadilah mereka menyantap “buah dewa” itu dengan lahap tanpa dikunyah, maksudnya agar segera punya “tenaga dalam yang sakti” untuk dapat melindungi diri dari penindasan kolonial Belanda.
Revolusi 11 Februari 1911 di Tiongkok berhasil menutup riwayat kedinastian yang telah berlangsung selama ribuan tahun di negeri itu, dan mendirikan sebuah republik yang mempesona dunia masa itu. Membuat terutama pandangan mata bagian terbesar orang berdarah Tionghoa dengan sendirinya mengarahkan kiblat pandangannya ke Tiongkok. Tidak terkecuali mereka yang ada di Hindia Belanda. Mereka menyambut revolusi di Tiongkok tersebut dengan penuh gairah. Bahkan oleh pengaruh revolusi tersebut mereka berpendapat bahwa baik-buruknya nasib mereka di Hindia Belanda bersangkut paut erat dengan perkembangan negara baru di Tiongkok.
Terpupuk oleh kegairahan dan harapan akan perbaikan nasib mereka yang tertindas di Hindia Belanda, maka tumbuhlah perasaan nasionalisme Tionghoa yang sesungguhnya mentah. Kementahan yang membawa mereka ke pandangan dan sikap-sikap yang tidak realistik. Nyata-nyata mereka makan-minum, tidur dan beranak pinak di bumi Nusantara, tapi mereka merasa bahwa rumah dan negerinya adalah Tiongkok. Kementahan nasionalisme Tionghoa tersebut membuat pada umumnya mereka jadi Tiongkok sentries.
Namun tidak demikian halnya dengan Liem Koen Hian. Sudah semenjak tahun1925 ia telah merumuskan konsep mengenai “Indische Burgerschap” bagi mereka yang berketurunan Tionghoa. Konsepsi yang kemudian ia kembangkan menjadi kewarganegaraan Indonesia (Indonesierschap”)
Konsepsi kewarganegaraan Indonesia Liem Koen Hian ini menjadi luar biasa penting artinya, karena ia sepertinya menanamkan keyakinan yang bertentangan dengan kondisi sistem penjajahan Belanda semasa itu yang praktis telah membangun anggapan pada kebanyakan penduduk Hindia Belanda yang meyakini bahwa kolonialisme Belanda bagai bukit karang yang tak mungkin tergoyahkan/teruntuhkan. Tapi bertentangan dengan keyakinan umum, dengan konsepsi kewarganegaraan Indonesianya, berpuluh tahun sebelumnya Liem telah melihat dengan pasti bahwa kolonialisme akan runtuh dan sejalan dengan itu Indonesia akan bangun. Karena itu ia membuat konsepsi kewarganegaraan Indonesia. Sebuah pekerjaan yang pada masa itu tidak pernah terpikirkan oleh para tokoh lain di Hindia Belanda, baik mereka yang peranakan maupun yang bumi putera.
Masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda merupakan sebuah komunitas yang sangat lemah. Mereka sangat butuh sandaran dan perlindungan hidup.Oleh sebab itu,di luar rutinitas kesibukan kesehariannya, komunitas Tionghoa ini selalu berharap suatu hari mereka akan menemukan apa yang diharap dan dicarinya. Yaitu sandaran dan perlindungan hidup yang mampu menyelamatkan dan membebaskan mereka dari penindasan kolonialisme Belanda.Oleh sebab itu, dalam kondisi gerakan kebangkitan nasional dalam negeri semasa itu yang belum tampak tanda-tandanya, maka selekas mereka mendengar gegap gempitanya gerakan kebangkitan nasional di Tiongkok hal ini membuat mereka yang berdarah Tionghoa di Hindia Belanda, baik yang totok maupun yang peranakan, menyambut dengan gairah Kebangkitan Nasional Tiongkok di daratan sana.
Bahkan sebagian dari mereka merasa seakan nasib orang Tionghoa di Hindia belanda sangat ditentukan oleh keadaan di tanah leluhurnya. Mereka beranggapan ada dan tumbuh kuatnya sebuah Negara Tiongkok di daratan sana akan berperan turut menentukan nasib orang Tionghoa di Hindia Belanda. Oleh sebab itu sebagian dari komunitas Tionghoa di Hindia Belanda dengan antusias mengerjakan segala sesuatu demi tegak dan kuatnya Negara Tiongkok tersebut. Terbakar oleh nasionalisme Tionghoa mentah ini, sekalipun mereka makan minum, tidur, beranak-pinak di bumi Nusantara, tapi mereka beranggapan rumah dan negerinya adalah Tiongkok.
Di Hindia Belanda mereka tidak merasa perlu perduli dengan status kewarganegaraan mereka seperti halnya yang dipikirkan Liem Koen Hian. Yang mereka rasakan, mereka adalah orang Tionghoa yang mendukung nasionalisme Tionghoa. Sebagai akibat kementahan nasionalisme Tionghoa tersebut, jadinya mereka memperlakukan apa saja yang terjadi di Indonesaia menjadi bukan urusan mereka.
Namun yang demikian itu bukanlah sikap komunitas Tionghoa Hindia Belanda secara keseluruhan. Golongan lain dari mereka yang berdarah Tionghoa semasa itu adalah mereka yang pandangannya berkiblat pada kolonialisme Belanda. Berbeda dengan Liem Koen Hian yang meyakini kolonialisme suatu hari akan runtuh, bagian lain dari komunitas Tionghoa tersebut beranggapan bahwa kolonialisme Belanda di negeri ini, adalah sesuatu yang bagaikan gunung karang yang tidak akan bisa runtuh. Dimungkinkan oleh pandangan demikian, maka tidak perduli golongan penduduk apa saja tidak terkecuali bagian dari komunitas Tionghoa, yang pada dasarnya selalu mencari kemudahan hidup, kapan dan di mana saja, mereka tidak merasa tertindas oleh kolonialisme Belanda. Bahkan lebih gawat lagi mereka menganggap kolonialisme sebagai pohon beringin yang di bawahnya mereka merasa nyaman berlindung.
Lahirnya kedua golongan di atas adalah akibat logis dari situasi dan kondisi yang mereka hadapi di zaman Hindia Belanda. Dari sudut sejarah, komunitas Tionghoa di Hindia Belanda adalah komunitas yang selalu tidak bisa merasakan ketenteraman hidup. Hidup mereka selalu dihantui perasaan was-was. Pembantaian Tionghoa tahun 1740 di Batavia, penyerbuan VOC kepada komunitas Tionghoa di Kalimantan pada tahun 1850-an, kekerasan yang tertuju kepada komunitas Tionghoa baik di Ngawi maupun Jogyakarta kurun masa menjelang dan selama Perang Diponegoro. Di samping sebagaimana kenyataannya, sampai dengan dekade kedua abad ke-20, komunitas Tionghoa di Hindia Belanda masih dipasung kebijakan pas jalan oleh pemerintah kolonial. Kebijakan kolonial yang tidak dialami semua golongan penduduk non Tionghoa.
Dalam situasi dan kondisi demikian Liem Koen Hian mensaripatikan kemilau cahaya kebangkitan nasional di Tiongkok. Ia sadar sesadar-sadarnya dirinya hidup di tanah jajahan Belanda yang diyakininya suatu saat akan merdeka, bukan hidup di Tiongkok. Berkat kearifannya, Liem berhasil menangkap “tanda-tanda zaman”. Bahwa abad ke-20 adalah abad kebangkitan bangsa-bangsa tertindas. Abad nasionalisme melawan kolonialisme-imperialisme. Karena itu Liem sampai pada pada kesimpulan yang diyakininya benar, bahwa nasionalisme adalah idealismenya suatu nasion. Dan nasion itu memiliki bumi tempat ia berpijak dan tumbuh. Maka itu ia menentukan posisinya, bukan sebagai bagian dari nasion Belanda dan bukan pula sebagai bagian dari nasion Tiongkok. Melainkan Liem tampil sebagai bagian kongkrit dari nasion Indonesia yang di zaman Hindia Belanda itu sedang bertumbuh dan berjuang untuk memerdekakan bangsa dan tanah airnya. Api nasionalisme yang diperolehnya dari kebangkitan “Tiongkok Sun Yat Sen”, ia nyalakan bagi nasionl Indonesia, di mana ia berada.
Tanpa sedikit pun ragu ia dirikan PTI (Partai Tionghoa Indonesia). Kata Tionghoa di sini, sama sekali tidak mengandung aroma eksklusivitas. Ia wajar saja sewajar dengan “Jong Java”, “Jong Soemateranenbond”, “Jong Ambon” atau “Jong Celebes” dsb Di zaman kebangkitan nasional dulu, tidak ada orang alergi mendengar kata “Tionghoa”seperti setelah zaman berubah menjadi zaman Orde Baru. Bahkan berbeda dengan kekerdilan para pemimpin Orde Baru, Dr Tjipto Mangunkusumo dalam surat ucapan selamatnya, dari tempat pembuangannya, atas berdirinya “Partai Tionghoa Indonesia” berkata: “kaum peranakan Tionghoa berjuang untuk Ibunda Indonesia, tetapi jangan melupakan ayahandanya yang di Tiongkok”.
Demikianlah Liem Koen Hian terus berjuang bahu membahu bersama kaum nasionalis Indonesia untuk mencapai Indonesia merdeka. Dan sejarah membuktikan betapa benar pendirian dan perjuangan Liem Koen Hian dengan Partai Tionghoa Indonesia-nya. Liem serta merta menyatakan bahwa menganggap penjajahan Belanda itu sebagai batu karang yang tidak teruntuhkan adalah keliru. Demikian pula sama kelirunya pendirian komunitas Tionghoa yang nyata-nyata makan-minum, tidur, beranak-pinak di bumi Hindia belanda, tapi mengaku “aikuok” pada tanah leluhurnya di Tiongkok sana.
Oleh karena itu harus disayangkan manakala pendirian dan perjuangan Liem Koen Hian dengan Partai Tionghoa Indonesianya yang sudah mendapat pembenaran sejarah itu, sampai hari ini masih belum saja berhasil mengantarkan orang-orang di Indonesia ke tanah air yang berudara bersih, bebas dari polusi SARA. Tanah air yang mampu memberikan jaminan ketenteraman dan kedamaian hidup bagi segenap warganegaranya yang sampai kini masih terus dihantui oleh berbagai perasaan was-was. Mengingat kenyataannya, kadar rasa tidak tenteram dan was-was tersebut, sepertinya menjadi lebih besar sekarang ketimbang masa-masa penindasan kolonial Belanda dahulu.
Jika pada zaman penjajahan Belanda dahulu orang-orang Tionghoa tidak pernah merasa ragu-ragu untuk mengakui dirinya sebagai orang Tionghoa dan menjalankan segala yang berkaitan dengan tradisi mereka tanpa perasaan was-was serta khawatir akan mendapat kesukaran ini-itu, tapi terutama sejak negeri ini berada dibawah kekuasaan rezim Orba, banyak orang Tionghoa di Indonesia serasa giat menyangkali jati dirinya yang Tionghoa. Seolah-olah ketionghoaannya telah berubah menjadi sesuatu yang merepotkan, yang karenanya cenderung merelakannya terbuang dan mengalir bersama hitam kotornya air kali Ciliwung.
Dan kini di zaman yang biasa disebut era reformasi, rupanya hantu was-was masih terus dirasakan oleh komunitas Tionghoa di negeri ini serasa tak lepas terus nempel di tengkuknya. Mereka merasa meskipun telah berada di era reformasi, namun mereka tetap merasa bulu kuduknya selalu merinding. Mengingat di era reformasi ini pula seorang Bapak yang kini duduk di kursi Wapres bertanya pada dirinya: “Suka mana?” Suka didiskriminasi atau suka dibakarin, diburu-buru?”
Liem Koen Hian adalah tipikal pejuang politik Indonesia berketurunan Tionghoa. Yang umumnya tidak rindu apalagi haus kekuasaan politik bagi dirinya. Ia tidak dirasuk ambisi politik apa lagi gila kuasa. Ia hanya ingin menunjukkan kepada kaumnya, di mana sebenarnya tempat mereka seyogianya. Kepada komunitas bumi putera yang ia akui dan hormati sebagai pemilik sah bumi Nsantara ini, Liem Koen Hian hanya meminta pengertian akan hak-hak asasi mereka yang disebut WNI keturunan Tionghoa, sebagai golongan yang di dalam sejarah sama memikul beban derita penindasan kolonial Belanda dan sama ikut berjuang membangun dan menegakkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia ini. *Pemimpin Redaksi Majalah SINERGI INDONESIA/ Ketua Umum LKSI