Budaya-Tionghoa.Net | Tidak seperti bangsa-bangsa lain di dunia, di usianya yang masih sangat muda , masyarakat Tongkok sudah tidak lagi hidup dalam dunia mitologi. Dimulai pada masa dinasti Zhou dan memuncak pada zaman Negeri berperang (zhanguo / warring states) , para filsuf telah membuat interpretasi rasional terhadap mitologi purba.
|
Raja dengan empat wajah pun dijabarkan sebagai raja dengan empat wakilnya. Gerakan rasional ini diawali dari wilayah utara dan dengan perlahan merambah ke selatan.
Kita bisa menyaksikan aneka kitab yang ditulis para empu yang berasal dari utara, seperti Confucius, Menzius, Han feizi yang sangat analitis, dibandingkan dengan gaya empu selatan seperti Zhuangzi yang intuitif. Tapi cara pandang kedua-duanya tetap sudah jauh meninggalkan dunia mistik.
Tradisi berpikir rasional ini juga berimbas terhadap pemikiran terhadap alam semesta, terhadap kehidupan dan kematian.
Suatu saat, murid Confusius bertanya ke gurunya: “bagaimana tentang kematian?” Jawabnya:” Kita masih belum cukup memahami hidup, untuk apa bicara tentang kematian?”
Dan lihatlah Zhuangzi: “Saya akan senang menyaksikan perkembangan fisik saya, dari tubuh yang bugar lama kelamaan menyusut, berubah bentuk lama kelamaan terpuruk, melebur dengan alam semesta.”
Dua empu dari dua faham yang sering bertentangan, memandang dari dua sisi yang berlainan, ternyata berujung pada titik yang sama saat bicara tentang kematian.
Jika kematian tak lagi menakutkan dan tak lagi menarik untuk dibicarakan, faham agama yang manapun akan sulit tumbuh dengan subur.
Murid Confusius akan disemprot jika masih membicarakan tentang dewa dan iblis. Murid Tao akan ditertawai jika masih mempermasalahkan hidup mati.
Memang, orang Tionghoa adalah orang yang sangat “profan”, semua dilihat dari kacamata duniawi , sangat mementingkan nilai praktis.
Mereka tidak pernah terjebak kepada fanatisme agama. Saat agama Buddha masuk, awalnya sangat menonjolkan warna tragedinya, yang ditonjolkan adalah kehadiran neraka, dan pesan-pesan untuk menanggalkan unsur duniawi segera.
Pandangan-pandangan yang sangat militan ini jelas tak sesuai dengan hati kecil orang Tionghoa. Maka mereka mengadakan revisi dan penyesuaian di sana sini.
Pertama, mereka tak lagi serius membicarakan neraka, kedua, mereka mendekatkan agama Buddha kearah ajaran Confusius, agar lebih memperhatikan kehidupan sekarang dari pada bicara tentang kehidupan nanti.
Maka lahirlah Buddha Mahayana, yang memberi nilai lebih pada manusia yang ingin mengabdi pada masyarakat, bersedia menolong sesama. Perjuangan individu dialihkan ke perjuangan untuk sesama.
Tidak hanya dibidang praktis, di bidang filosofis inti ajaran Buddha pun, mereka mengadakan pemikiran Dekontruksi. Maka lahirlah Zen Buddhisme ( Chan ).
Kali ini yang berperan banyak adalah pemikiran Tao. Boleh dibilang, Chan adalah infiltrasi Taoisme ke dalam Budhisme. Ajaran dogmatis yang sangat ketat dan menuntut ketaatan umum, mereka cairkan dengan konsep kesadaran yang sangat pribadi ( mirip dengan gerakan para Sufi di agama Islam).
Dari luar kita sering melihat masyarakat Tionghoa khusuk menjalankan upacara ritual. Seakan akan mereka adalah orang yang sangat taat menganut suatu ajaran “agama”.
Namun sebenarnya mereka hanya menjalankan “agama” nya ini pada saat upacara-upacara singkat tersebut. Setelah itu, mereka tak lagi memusingkan hal-hal diatas.
Mereka tetap menjalankan kehidupan praktis mereka tanpa sedikitpun memikirkan agamanya. Mereka hanya memandang agama dari segi manfaat praktis, saat mereka sembahyang yang paling banyak diminta pasti berbagai rejeki duniawi.
Jika ada kepercayaan lain yang dapat mendatangkan rejeki, mereka pasti akan menyambutnya dengan antusias pula. Jangan heran kalau melihat orang Tionghoa di Jawa wajib melakukan upacara selamatan ala Islam di Jawa.
Dan lihatlah, Gunung Kawi begitu laris didatangi mereka, padahal yang dimakam adalah beragama islam. Sikap sinkretisme inilah yang mendasari lahirnya Tri Dharma atau Sam kauw atau San Jiao.
Di kuil, orang Tionghoa menaruh para tokoh Buddha, Tao dan Khonghucu sama tingginya. Maka jika orang Tionghoa hanya disebut sebagai penganut ajaran Khonghucu, sangatlah bias.
Pernah pada suatu waktu, seorang teman yang beragama Islam bertanya: ” Mengapa sangat sulit membujuk orang Tionghoa masuk Islam?”
Saya hanya berkata: ” Jika kamu tidak menghujat kepercayaan orang Tionghoa, pasti mereka dengan mudah menerima ajaranmu.”
Saya pun percaya, jika dibiarkan secara alamiah, tidak dengan sikap bermusuhan, apa lagi perang, di Indonesia akan lahir Tetra dharma, akan ada tokoh agama lain yang masuk dalam altar klenteng. Tapi mungkin hal ini akan memancing amarah umat militan dari agama yang bersangkutan.
Salam,
Zhou Fy
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa