Budaya-Tionghoa.Net | Dibawah ini saya sampaikan serial berjudul “Sejarah Keturunan Tionghoa Di Asia Tenggara Yang Tak Dikenal Khalayak Ramai”, yang dimuat oleh Indonesia Media di California dalam lima bagian pada tahun 2003. Peranan penting dari pihak orang Tionghoa–bila diketahui umum–akan meninggikan pandangan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Image yang baik dapat mencegah kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
SEJARAH KETURUNAN TIONGHOA DI ASIA TENGGARA YANG TAK DIKENAL KHALAYAK RAMAI
Kutipan dari buku “The 6th Overseas Chinese State”, Nanyang Huaren, CSEAS, J.C.University of North Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok Tjwan tentang: 1) Palembang 2) Demak, Banten, Cirebon 3) Kalimantan Barat (babak 7 halaman 65 – 99).
PALEMBANG [KU-KANG]
Pada tahun 1275 Kertanagara , Raja Singasari terakhir di Jawa Timur , mengirim ekspedisi militer ke Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang). Catatan tahun 1286 menunjukkan serangan tersebut berhasil dan Sriwijaya direbut. Namun tahun 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh pemberontakan Kediri dan Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar, keadaan kacau.
O.W. Wolters menulis dalam buku “The Fall Of Srivijaya In Malay History” pada halaman 73, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa dapat ditujukan peringatan kaisar Tiongkok T’ai-tsu. Tindakan kaum pedagang Tionghoa mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu itu. Mereka telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh Palembang dengan pemerintah Tionghoa Perantauan-nya (with its overseas Chinese government) untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan pandangan bahwa orang Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak dapat dibiarkan dan mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.
Victor Purcell dalam buku “The Chinese In Malaya” halaman 14 menyatakan setelah kerajaan Sriwijaya ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan Canton yang telah menetap disana telah memerintah diri sendiri.
Gambaran tersebut diatas selaras dengan catatan Dinasty Ming Tiongkok, bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-bo-tsai (Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu, demikian catatan Dinasti Ming tersebut, orang Tionghoa setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai (Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin. Beliau menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming menghadap ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k’o berangkat membawak produk-produk setempat sebagai upeti. Mereka pulang dengan membawa hadiah yang berlimpah-ruah. Tahun 1407 atau tak lama setelah Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan masyarakat Islam Tionghoa di Palembang. Tahun 1415 , Palembang oleh kaisar Tiongkok diakui sebagai daerah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pendapat Purcell, bahwa Palembang dikuasai orang2 Tionghoa selama 200 tahun mungkin karena pihak Jawa secara de facto belum dapat mengatasi keadaan dengan betul, mungkin juga karena seperti tersebut dibawah ini penguasa yang dikirim dari Jawa adalah orang Tionghoa.
Disini kami menjumpai buku Prof. Dr. Slamet Muljana “Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa Dan Timbulnja Negara Negara Islam di Nusantara”. Prof. Muljana bukan etnik Tionghoa seperti didesas-desuskan, melainkan seorang Priayi bekas anggauta Tentara Peladjar. Buku ini pada tahun 1971 dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meskipun sumber keterangan dari tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan “Tuanku Rao” yang tersebut didalamnya tak dapat ditrasir, Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan panjang lebar telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen sebagai “The Malay Annals Of Semarang And Cerbon” didalam buku “Chinese Muslims In Java In The 15th And 16th Centuries”. Buku Prof. Muljana sendiri mengandung cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.
Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478 dan sedari itu menjadi sub-state dibawah para penguasa Kerajaan Islam Demak hingga Majapahit tiada lagi, yaitu tahun 1527. Prof. Hoesein Djajadiningrat telah menentukan kehancuran Majapahit sekitar tahun 1518. “Malay Annals” yang masih diperselisihkan itu menyebutkan perkembangan sebagai berikut: Pada tahun 1443 , Swan Leong (Arya Damar) putera almarhum Raja Majapahit dengan seorang wanita Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou (Arya Teja) telah ditunjuk sebagai kapten muslimin Tionghoa di Palembang sekaligus menjadi penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu Suhita dari Majapahit.
Gan Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa Timur. Beliau oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan terhadap jasa-jasanya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tersebut menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap orang Tionghoa. Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang, Amen Budiman juga menunjuk pada dokumen-dokumen sejarah Dinasti Ryukyu dan pada reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinolog yang berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.
Kertanagara, raja Singasari yang terakhir, pada tahun 1289 telah menantang wibawa kaisar Yuan-Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Beliau memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan kemudian mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tersebut Kertanagara pada tahun 1292 telah tewas karena disebabkan pemberontakan Kediri dan Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol atau Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil-wakil Kublai Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan kehilangan 3000 orang di pihak Mongol dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah-hadiah yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara tahun 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit pada tahun 1325 dan sekali lagi pada tahun 1332.
Sifat pemancaran kejayaan Tiongkok jaman lampau “berbeda bumi dan langit” dengan sifat kolonialis Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tersebut.
O.W. Wolters dalam bukunya “The Fall of Srivijaya In Malay history” hal. 50, 52: Pada tanggal 30 oktober 1371 kaisar T’ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan petunjuk untuk para pejabatnya:
“….. menguasai tanah yang terlalu besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan ….. pernyataan-pernyataan T’ai-tsu kepada para penguasa asing mengandung banyak saran kebijaksanaan. Daripada menganjurkan mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, beliau menginginkan mereka berkuasa dengan baik, memelihara hubungan mesra dengan negara tetangganya dan saling mengindahkan tapal-batas masing-masing…..Jika T’ai-tsu curiga ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan maksud yang tidak jujur, beliau lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya, upeti perampas-perampas kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya (were unacceptable to him).
Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran-pembayaran upeti kepada kaisar Tiongkok:
Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau mengandung unsur yang di satu pihak berdasarkan “vanity” (pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar pada “rapacity” (nafsu menggarong, lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan karena terpaksa dan bukan karena berada dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan pembayaran bea bagi kapal2 yang membawa utusan2nya ke Tiongkok. Para utusan tersebut mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar hadiah-hadiah yang jauh lebih berharga sebagai tanda penghargaan. Negara-negara lain yang lemah mengakui kaisar Tiongkok karena sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap gangguan-gangguan dari luar.
Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada tahun 1376 ketika dinasti Yuan (Monggol) sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) , Raja Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, tetapi kawasan yang dipersoalkan menyangkut tanah bekas Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt mungkin putera tersebut adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana beliau ini Maharadja Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang-barang dan binatang-binatang khas dalam negeri. Utusan-utusannya menyampaikan pesanan bahwa putera tersebut segan naik tahta atas wewenang sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar (dengan maksud mendapat perlindungannya).
Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya disertai pengangkatan beliau sebagai Raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun pada waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan raja Majapahit dan tidak mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini lambat-laun San-bo-tsai atau Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari kawasan itu. Catatan tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.
Tentang perang saudara Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam tahun 1405 sida-sida (eunuch) Laksamana Cheng Ho telah diutus ke Majapahit yang dewasa itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan-utusan kaisar kebetulan berada di negara Raja Timur. Ketika pra prajurit Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170 orang dari utusan kaisar terbunuh, hal mana membuat Raja Barat kuatir serta mengirim utusan minta maaf.
Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat mencela Raja Barat dan menuntut pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali lagi diutus ke negara ini dan Raja Barat memberi sepuluh ribu tail mas. Petugas-petugas Dewan Tatacara di Tiongkok melihat jumlah tidak cukup dan bermaksud mempenjara utusan-utusan yang membawanya, tetapi kaisar mengatakan: “Yang saya kehendaki dari orang-orang yang hidup dijauhan ialah mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak ingin memperkaya diri dengan masnya.” Seluruh denda dikembalikan. Sedari itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun, ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng Ho seringkali mengunjungi Majapahit.
LITERATURE
– Morris Rossabi “Khubilai Khan, his life and times” hal. xi, 220, 227, 228.
– Slamet Muljana “A story of Majapahit” hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3, 82, 88, 146, 182, 240.
– W.P. Groeneveldt “Notes on the Malay Archipelago and Malacca” hal. 36, 37, 69, 123.
– V.Purcell “The Chinese in Southeast Asia” hal. xxvii, 122.