Budaya-Tionghoa.Net|Kondisi Taiwan adalah distorsi sejarah yang fatal. Mungkin memang sudah nasib mereka. Kondisi seperti ini juga terjadi pada waktu Qing menaklukkan Ming di Tiongkok. Pada waktu itu, Zheng Cheng-kung atau dalam bahasa barat disebut sebagai Koxinga yang kalah melawan Qing dan memutuskan mundur ke Taiwan , mengusir Belanda dari sana pada tahun 1662 dan menjadikan Taiwan sebagai basis untuk misi “melawan Qing dan mengembalikan Ming” yang kita kenal dengan istilah “Fan Qing Fu Ming”. Istilah yang sering didengar dalam novel Kaki Tiga Menjangan karya Jin Yong. Sayang, Koxinga keburu meninggal sebelum berhasil mempersiapkan penyerangan kembali ke Tiongkok Daratan.
|
Alur waktu kita tarik ke zaman sekarang, ini mirip kondisi Chiang Kai-shek yang juga keburu meninggal sebelum berhasil menguasai kembali Tiongkok Daratan. Bedanya, Taiwan dulu diserang Qing dan dijadikan salah satu propinsinya sedangkan Taiwan sekarang belum diserang Beijing untuk “membebaskan” Taiwan. Untuk masalah Koxinga, saya sedang menyiapkan satu artikel di sela kesibukan membahas tentang fenomena unik bagaimana Koxinga diterjemahkan sebagai seorang pahlawan dengan alasan yang berbeda2 menurut kepentingan masing2 pihak.
Dendam Taiwan-Tiongkok tidak dapat dilihat hanya sebagai dendam 2 belah pihak. Itu terlalu menyederhanakan kekacauan sejarah yang sangat pelik ini. Kalau dulu, pihak yang bertikai hanya 2, komunis Tiongkok dan nasionalis Tiongkok, maka sekarang ini bertambah pelik dengan munculnya kekuatan ketiga yaitu nasionalis Taiwan. Nasionalis Taiwan boleh dikatakan belum muncul ke permukaan sewaktu Chiang berkuasa secara diktatorial di Taiwan, namun orang2 Taiwan yang menerima pendidikan Jepang dilandasi oleh rasa kekecewaan mendalam terhadap Kuomintang menjadikan sentimen anti-daratan berkobar. Ini lumrah dan merupakan satu trend. Chiang Ching-kuo (anak Chiang Kai-shek) sadar akan hal ini dan meletakkan dasar bagi kebebasan politik dan ekonomi di Taiwan. Bila Chiang Kai-shek menganggap Taiwan hanyalah batu lompatan untuk menguasai kembali Tiongkok, maka Chiang Ching-kuo menganggap Taiwan adalah kampung halaman keduanya dan merupakan tanggung jawabnya untuk membangun Taiwan. Itu juga salah satu alasan Chiang Ching-kuo memilih Lee Teng-hui, seorang Taiwan asli untuk menggantikannya. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi di masa Chiang Kai-shek berkuasa.
Nah, masalahnya menjadi pelik bila pihak yang bertikai bertambah dan masing2 punya pemikiran dan pandangan yang berbeda. Komunis Tiongkok menganggap Nasionalis Tiongkok harus menyerah dan menyerahkan Taiwan ke dalam pangkuan Beijing. Nasionalis Tiongkok mengklaim bahwa seluruh Tiongkok daratan bersama Taiwan masih dalam kekuasaan mereka. Nasionalis Taiwan mengklaim bahwa Taiwan adalah wilayah yang merdeka terlepas dari daratan (komunis maupun nasionalis). Nah, pandangan dari ketiga pihak ini tidak ada satupun yang realistis. Mari kita analisa satu per satu.
Banyak yang menganggap bahwa klaim komunis Tiongkok lebih realistis, namun ini ada imperfeksinya. Sampai sekarang Beijing belum pernah benar2 menguasai Taipei. Beberapa kali serangan ke Kinmen dan Matsu belum pernah ada yang berhasil. Serangan terbesar adalah pada tahun 1958 di mana bombardir besar2an dilancarkan oleh pihak Beijing. 44 hari bombardir ke Kinmen, 500000 peluru meriam dihamburkan oleh pihak komunis dari tepi pantai Fujian. Lalu? Pendaratan ke pantai Kinmen tidak pernah berhasil. Sekarang, Tiongkok punya rudal, bisa dengan mudah memborbardir Taiwan, bukan hanya Kinmen. Namun, sama saja, pendaratan ke pantai tetap harus dilakukan untuk merebut Taiwan dan mengganti bendera ROC dengan bendera 5 bintang di istana kepresidenan Taipei. Blokade atas Taiwan yang sering didengungkan juga tidak akan mengalahkan Taiwan serta merta. Pokoknya, pendaratan ke pantai adalah syarat utama untuk merebut Taiwan dan ini masalah PLA terbesar sekarang. Kemampuan PLA belum cukup untuk saat ini. Namun sulit diprediksi beberapa tahun kemudian. Laporan Kementrian Pertahanan Taiwan, kekuatan persenjataan PLA akan mengimbangi Taiwan pada tahun 2012, artinya, PLA akan mengontrol wilayah laut di sekitar Taiwan secara penuh menjelang saat itu. Sebelum PLA benar2 menguasai Taiwan, KMT belumlah kalah dan deadlock tidak akan pernah berakhir dan Beijing tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa secara de-facto, Taiwan adalah dikuasai oleh pemerintah yang lain daripada Beijing. Satu2nya kesempatan PLA menguasai Taiwan adalah pada tahun 1950, sewaktu Chiang Kai-shek baru mundur ke Taiwan dengan tentaranya yang telah hancur2an. Namun, perang Korea menyelamatkan Chiang dari kehancuran.
Klaim nasionalis Tiongkok (KMT) juga tidak realistis. Mereka terang2an secara de-facto sudah kehilangan Tiongkok daratan (sejak 1949) dan Mongolia (sejak 1921), namun daratan Tiongkok masih tetap diklaim sebagai wilayah “negara” ROC. Secara de-yure, KMT masih adalah pemerintah Tiongkok yang sah di dunia internasional sampai pada tahun 1972. Mongolia sudah dikeluarkan dari klaim wilayah ROC beberapa tahun lalu ditandai dengan kunjungan Presiden Mongolia ke Taiwan, namun masih tetap saja ada yang keadaan yang tidak realistis seperti klaim wilayah atas daratan Tiongkok. Saat ini, yang masih de-facto dikontrol oleh ROC hanyalah propinsi Fujian (kabupaten Kinmen dan kabupaten Lianjiang) dan propinsi Taiwan. Sampai sekarang, Taipei juga hanyalah ibukota sementara ROC di dalam UUD mereka, ibukota resmi adalah Nanjing, di mana kantor kepresidenan Chiang Kai-shek masih berdiri dan dijadikan sebagai satu situs sejarah. Klaim seperti ini tidak realistis, lebih tidak realistis dibanding daripada klaim komunis di atas. Tetapi adalah satu kenyataan bahwa Taiwan punya angkatan bersenjata sendiri, pemerintahan sendiri, administrasi sendiri, sistem hukum sendiri, minus pengakuan kedaulatan dari dunia internasional. Kenyataan bahwa ada satu organ ekonomi yang eksis di Taiwan itu realistis adanya.
Klaim nasionalis Taiwan juga kurang realistis karena negara Taiwan juga tidak eksis. Namun kondisi mereka sedikit lebih lumayan daripada klaim nasionalis Tiongkok yang meliputi daratan Tiongkok. Klaim nasionalis Taiwan cuma sebatas wilayah yang sekarang secara de-facto dikuasai oleh ROC yakni Taiwan, Pescadores, Kinmen dan Matsu. Mereka mendasarkan klaim mereka atas kenyataan bahwa dulu Taiwan telah diserahkan kepada Jepang tahun 1895, kenyataan penyerahan kedaulatan Taiwan kepada pemerintahan nasionalis di daratan setelah kekalahan Jepang pada PD-II yang disebutkan dibicarakan oleh Chiang Kai-shek, Churchill dan Roosevelt di Kairo tahun 1943 juga tidak ada bukti hitam di atas putih berupa dokumen. Satu sebab yang menyebabkan trend kaum nasionalis Taiwan lebih populer sekarang dibandingkan dengan pan-nasionalis Tiongkok adalah karena adalah kenyataan bahwa Taiwan tidak dikuasai secara de-facto oleh komunis Beijing. Generasi yang lahir sekarang juga tidak punya kaitan emosional lagi dengan pemikiran Tiongkok Raya. Masalahnya yah tetap itu, Republik Taiwan maupun Republik China (ROC) tidak eksis secara de-yure di dunia internasional.
Dari ketiga klaim yang tidak realistis di atas, maka hanya satu kemungkinan pemecahan yang paling ideal yaitu perundingan damai. Masalahnya, masing2 pihak mempertahankan prinsipnya. Terus terang saja, Kebijakan Satu Negara Dua Sistem yang diterapkan oleh Beijing kepada HK dan Macao tidaklah cocok diterapkan kepada Taiwan. Kedaulatan HK dan Macau itu jelas telah diserahkan kepada Inggris dan Portugis. Kemampuan diplomasi Deng Xiao-ping-lah yang berhasil membuat Inggris dan Portugis mengembalikan HK dan Macao kepada Beijing. Padahal, dalam sejarahnya, tidak ada perjanjian sewa 150 tahun antara Qing dan Inggris atas HK. Jadi Inggris tidak wajib mengembalikan HK kepada Beijing. Taiwan sekarang dikuasai oleh nasionalis yang dulu kalah dalam perang saudara, namun belum kalah telak. Jadi, Beijing harusnya sadar bahwa memaksakan kehendak kepada Taiwan adalah tidak etis karena Taiwan belum “dibebaskan”. Posisi Taipei yang lemah memang menyebabkan Beijing menjadi arogan, namun ini bukan jalan penyelesaian terbaik untuk itu. Arogansi Beijing jelas hanya akan membuat rakyat Taiwan makin lama makin jauh dari daratan, baik yang pro-nasionalis Tiongkok maupun pro-nasionalis Taiwan.
Jadi, ketiga pihak harus lebih realistis dan mengalah untuk mencapai satu kesepatakan untuk penyelesaian Taiwan. Bila tidak mau mengalah, perang jalan satu2nya. Perang tentu adalah situasi yang tidak diinginkan oleh semua pihak, namun mungkin saja terjadi karena ada pihak2 yang gatal berperang yaitu militer garis keras. Bila pernah menonton film “13 Days” yang memfilmkan situasi krisis Kuba tahun 1962, kita akan jelas bahwa banyak sekali perang di dunia ini yang tidak perlu namun akhirnya pecah karena kesalahpahaman membaca situasi dan juga karena ada pihak2 yang ingin mencari keuntungan dari krisis ini. Taiwan dan Korea adalah bom waktu yang tidak berjangka waktu di Asia Timur. Bila meledak, pengaruhnya luas selaras dengan peranan Tiongkok sebagai pabrik dan pasar terbesar dunia saat ini.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua