Budaya-Tionghoa.Net | Sin-chia atau Imlek jaman dulu, berbeda jauh dengan jaman sekarang. Apalagi, ketika jaman orde baru Imlek dilarang dirayakan. Memasuki mesin waktu, saya back to back up memory, pada dimensi ruang & waktu sekitar 1960-an.
|
Jaman itu, yang namanya departo, atau toserba yang menjual fashion, boleh dikatakan belum ada. Di Bandung dan Jakarta mungkin ada Toko De Zoon di Pasar Baroe (cikal bakal Matahari Dept. Store?), Jakarta dan Jl. Braga(?), Bandung, dan Toko Lay Oen, di Jl. Ir. H.Juanda, Harmoni (kemudian jadi Sarinah?) yang saya ketahui dari adpertensi mereka di majalah Star Weekly (kemudian jadi Keng-po, cikal bakal Kompas?), yang merupakan toko fashion.
Di Toko Lay Oen, antara lain anda bisa beli Dakocan, satu nama untuk boneka yang terbuat dari plastik PVC, berpentil seperti ban, sebab harus ditiup untuk membentuk boneka berkulit hitam, tangannya bersikap menggemblok seperti orang yang bergelayut di kayu, sehingga bisa di’lekat’kan ke tangan atau kaki anda. Jangan lupa juga matanya yang bisa ber’mata genit’ kedip-kedip terbuat dari plastik bergaris-garis mirip gambar 3-D itu. Kalau dipijat badannya, akan berbunyu tuiit-tuiit, ada peluit di dalamnya. Ada lagu khusus diciptakan oleh Pak Kasur(?) untuk sang boneka plastik ini.
“Kulihat ada boneka baru….. dari karet amat lucu!… Dakocan namanya,…bukan Sarinah!Sayang-sayang.. mahal harganya!” Mestilah si penciptanya memposisikan diri sebagai bagian dari kalangan the haves not (lawan kata the haves), dia bilang: sayang mahal harganya. Ini saya nemu video klip-nya di Youtube:{youtube}uBj6fMixEng{/youtube} yang di-upload oleh http://www.youtube.com/user/mkxfilms Sayang sekali saya belum nemu gambar si Dakocan dan Dakoci itu.
Dakocan ini merupakan boneka yang hanya bisa dibeli oleh kalangan ‘the haves’, satu istilah yang menunjuk ke para ber-uang, orang kaya. Yang laki bernama Dakocan, kemudian menyusul popularitasnya, lahirlah yang wanita bernama Dakoci. Pada masa itu, anak-anak kalangan the haves sering pamer jalan-jalan dengan membawa Dakocan atau Dakoci di tangan dekat bahu, atau di kaki. Mereka berlomba-lomba adu banyak boneka yang menggemblok di tangan dan kakinya. Sampai mereka sulit berjalan.
Ditilik dari namanya, kayaknya sih ini boneka kelahiran Jepang, ‘chan’ merupakan satu panggilan kesayangan (cute) anak-anak Jepang toh? Toto-chan, misalnya. Sayang sekali, ihwal kesukaan si Dakocan dan Dakoci yang suka menggemblok pada orang itu, kemudian dipelesetkan sebagai satu julukan bagi orang (perempuan) yang hobinya menggemblok kepada para lelaki. Konotasinya jadi negatip, jeh! Ini ada satu link yang barusan saya temukan: http://www.balebengong.net/2007/11/24/dakocan-cermin-ketidakberdayaan-perempuan-bali/
Oke, balik ke masalah baju untuk Imlek-an nih ya, sudah mau ngider nih!
Jadi, baju baru untuk Imlek (Sin-chia) biasanya dibuat, digunting dan dijahit , sendiri oleh ibu rumah tangga, atau ke tukang jahit kalau sekirannya sang ibu tidak pandai menjahit. Sesuatu yang jarang terjadi, mengingat seorang calon ibu rumah tangga yang hendak menikah, pada masa itu disyaratkan kudu lolos seleksi bisa melakukan hal-hal pokok dalam rumah: memasak (masakan dan kuwih-muwih), menjahit dan merawat anak-anak (juga menjadi pabrik anak?). kalau tidak lolos seleksi, terpaksalah dieliminasi, dikasih koper gledekan, jeh!
Dan, supaya praktis, bahan cita (kain) untuk baju baru Imlek-an, dibeli satu corak dan warna yang sama, satu gulung untuk dibuat baju ramai-ramai dalam satu keluarga.
Mirip apa? Kalau anda ingat suster pengasuh keluarga tentara dalam The Sound of Music, anak-anak yang banyak itu dibuatkan baju dari bahan gorden, jadi semua corak dan warnanya sama, baik lelaki maupun perempuan, dibedakan dari modelnya saja. Jangan-jangan, ide seragam pada anak-anak di film itu, terilhami dari kebiasaan masyarakat Tionghoa di Cirebon pada masa 1950-1960-an ya? Sopo ngerti? Who knows toh?
Umumnya anak-anak pada masa itu bersaudara banyak, bisa 7-12 orang dari satu ibu dan ayah. Foto yang saya lampirkan adalah foto terakhir kami dengan kehadiran ibu (1959), sebab pada tahun 1960, ketika melahirkan adik bungsu kami, ibu kami meninggal dunia. Suatu pengorbanan seorang ibu demi anaknya.
Lihatlah, semuanya ada 9 anak bukan? Yang paling kanan adalah ie-ie gede kami, adik mamah langsung. Kami punya saudara dari mamah yang berturut-turut dipanggilnya: twa-ku, ji-ku, ie-ie gede, engku, dan ie-ie kecil. Jadi mamah saya berapa bersaudara? Lihatlah baju yang kami kenakan, seragam yang lelaki dan yang perempaun. Lihat juga sepatu kami: seragam juga ‘kan? Dua anak yang besar tidak berseragam adalah saudara tiri kami, beda ibu. Saudara dari papah tidak berada di Indonesia, hanya ada satu keponakan papah yang tinggal di Cirebon.
Nah, berseragamlah kami pada satu Imlek. Dan, sebagaimana tradisi yang diturunkan turun menurun, kamipun biasanya mencharter per, atau delman. Yaitu kendaraan yang dihela kuda berroda dua, mirip andong yang berroda empat. Muatan anak-anak bisa 6 orang. Saya paling suka duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, mengendali kuda supaya baik jalannya, duk-dik-dak-dik-duk….dik-dak-dik-duk….. suara sepatu kuda! Begitu biasanya kami bernyanyi berramai-ramai mengikuti lagu “Naik Delman” ciptaan Bu Kasur(?).
Semua famili biasanya kami sambangi, secara door-to-door. Ritualnya sama: datang, menjura (kiong-hie) kepada senior kami, tua-ku, tua-ie, eng-ku, eng-kim, toa-pek, encek, lantas masing-masing kami menerima angpau. Angapau (amplop merah) jaman itu dibuat dari kertas minyak warna merah, jadi samar-samar bisa nampak gambar uang kertas yang dibungkusnya. Kami kadang-kadang mencuri lihat dulu berapa nilai isinya. Milih. Hehehe….
Patut dicatat, bahwa pada prinsipnya, misi muhibah mengunjungi sanak saudara adalah dari junior menyambangi senior, dalam umur tapi terutama dalam ‘rangking’ silsilah hubungan tali saudara. Walau saya berusia muda, misalnya, tapi saya ‘menang abu’ berpangkat ‘engku’, seorang keponakan harus menyambangi saya ke rumah, menjura lebih dulu, dan saya wajib memberinya angpao. Jadi, pada masa itu, kalau anda tinggal bersama orangtua, ema atau engkong, anda mujur sekali tidak usah ngider lagi, sebab mereka-lah yang akan datang ke rumah anda. Bukan hendak menyambangi anda, tapi orangtua yang tinggal bersama kita.
Tidak lazim saling meminta maaf di hari Imlek, sebab sesama saudara, keluarga dan kerabat, handai tolan dan relasi, kesalahan tak perlu dimintakan maaf, sebab sudah secara otomatis dimaafkan, dimaklumi. Sesama sodara sih pan cincai wae-lah, atuh. Jadi saat perayaan Imlek merupakan saat kita bersukacita saling mendoakan kesehatan, kebahagiaan dan kejayaan!
Oh ya, anda punya waktu 15 hari terhitung hari Imlek, untuk membagi-bagi rejeki berupa angpao kepada sanak-saudara dan keponakan dan relasi bisnis anda. Setelah hari ke 15, cap go meh, akan terasa wagu (aneh) kalau anda masih saja berusaha membagi rejeki anda kepada mereka. Jadi, mumpung masih ada waktu, bagi-bagilah rejeki berupa angpao yang hanya setahun sekali, supaya anda diberkati dan didoakan untuk mendapat rejeki yang berlimpah-limpahan sepanjang tahun! Hehehe………
Sesudah terima angpau, kami berbasa-basi, biasanya ditanyakan apakah sekolah kami baik nilainya (dapet ekstra angpao kalau ya), koq sudah besar ya? Koq sekarang kurusan? Sedang diet ya? Akupuntur kepada dokter siapa nih? Kamu makin gemuk, makin makmur dan sugih dong? Lantas dilanjutkan dengan acara makan kuwih muwih kering, kukis, yang biasanya berupa nastar setengah bulatan dengan gagang tangkai cengkih, lidah kucing, atau bentuk kembang biasa warna soklat (ndak ada rasa coklatnya, cuma warnanya doang), kuweh jepit (mirip crepes, dipanggang dengan jepitan di atas bara arang).
Dikemas dalam stoples beling yang bertutup dari beling juga, dengan gagang pengangkat berupa bulatan mirip kelereng. Biasanya penutupnya dihias kertas minyak warna merah, dibuat berornamen. Saya cukup ahli dalam hal menggunting hiasan tutup stoples itu, secara saya suka sekali membantu mamah saya membakar kukis, menjaga oven tangkring supaya panasnya stabil, kemudian menata hasilnya di dalam stoples dan menghias tutupnya. Upahnya? Kukis gosong yang diapkir, tidak lulus seleksi masuk lodong (stoples). Ora ilok dijadikan suguhan buat tamu-tamu terhormat. Ngisin-isini bae-lah, jeh!
Eh, tapi kemaren saya ke Pasmo, di toko yang menjual ham dari Paskal (Pasir Kaliki) Bandung, juga bakso dan makanan jajanan lain-lain, ada dijual biskuit gosong buatan Bandung. Katanya cukup populer dan digemari oleh orang-orang Bandung(?). Haiiyaaa, sekarang apa-apa saja bisa dijual jadi duwit menghasilkan cwan ya!
Back to ritual ngider ngalap angpaonya.
Ada naastar ada katetong, lantas kaastengesl-nya manna? Hehehe… in your dream! Jaman itu yang namanya kiju itu barang langka, adapun mesti dibayar dengan mahal dan indent (?). Mana mampu rumah dari keluarga kebanyakan seperti kami (dan kerabat handai tolan kami) mampu? Suguhan wajib lain adalah minumannya, pastilah Limun Cap Buddha. Jaman itu, jangan harap dapat Coca Cola atau Fanta atau Pepsi Cola (dua-dua kudu disebut ya, biar adil dan merata). Atau kalau sirup, Cap Tjampolay! Kayaknya merek ini masih exist sampai sekarang ya? Hebat tuh!
Limun Cap Buddha itu merupakan status simbol bagi orang kebanyakan di Cirebon, pada masa itu. Juga ada merek lain yang agak inferior, Cap Cupido atau apa gitu. Sebab tidak ada pilihan lain ‘kan. Biasanya merek limun itu secara lokal saja. Misalnya, Cap Badak yang populernya di P.Siantar dan Medan, sekarang masuk dan cukup banyak beredar di kawasan Little Medan di Pluit-Muara Karang, Jakarta, sono. Mungkin anda juga ingat merek limun apa di kota anda? Sebelum mereka tergusur oleh gelombang tsunami merek-merek limun internasional dari Amrik! Limun Sang Buddha itu kayaknya juga sudah tiada ada lagi.
Jaman saya sekolah, paling senang jadi panitia perayaan sekolah. Walau repot dan melelahkan, mesti mendekor, membuat udangan yang ditulis tangan dan digambari satu-persatu, namun kami senang sebab akan mendapat bonus berupa: minum limun sepuasnya ketika memesan dan ketika mengembalikan botol-botol ke pabriknya. Rasanya puas sekali bisa minum limun di pabriknya, gratis, mau rasa apa saja boleh, sepuasnya, semampu perut kita: orange crush dan sarsaparilla adalah 2 rasa paling favorit pada masa itu. Rasa lain sudah terlupakan susah dicari di memori. It’s hard to retrive the unpopular brands, right? Sarsaparilla itu aromanya mirip minyak gandapura, minyak gosok untuk segala bentuk rasa sakit di badan, yang kemudian entah bagaimana caranya lantas koq jadi patent milik dunia dengan nama: Root Beer.
Root beer = akar bir? Hehehe… saya jadi ingat waktu masuk dimensi ruang & waktu di Pontianak (1979-1980), disuguhi Root Beer kalengan impor dari Kuching, Sarawak, Malaysia (di Jakarta belum ada), saya tolak dengan tegas, sebab saya bukan peminum bir! Norak, jeh!
Sayang sekali, tradisi ngider door-to-door ngalap angpao itu kemudian hilang ditelan peraturan pemerintah pada jaman orde baru. Yang saya ingat, terakhir kali kami pernah bertandang ke satu famili dari ayah, yang bersanak dengan kami adalah pihak lelaki, waktu itu saya hendak download di kamar kecil (kakus, namanya, tanpa closet, hanya lubang buatan tangan), tanpa sengaja saya mendengar dialog isteri kerabat kami, yang intinya dia bilang ndak usah dikeluarkan limun cap Buddha-nya. Menghemat. Tapi sang suami merasa ndak enak hati. Jadi kamipun tetap mendapat limun dengan gelas ukuran lebih kecil.
Anak saya ketika sekolah di Singapura, masuk kelas 2 SMP lagi, oleh gurunya diundang untuk datang ke rumah guru-gurunya pada Imlek-an, ngider bareng-bareng dengan teman-teman sesama penerima beasiswa dari Indonesia dan negara-negara lain di Asia. Guru-gurunya sudah menyiapkan angpao untuk murid-murid, dengan amplop merah berdesain cantik, berbahan kertas mahal. isinya mungkin tidak seberapa, tapi simbolisnya yang hendak ditekankan. Mereka dianggap kerabat sendiri oleh guru-gurunya. Diajarkan adat istiadat makan Imlek, sayurnya, dagingnya, makna simbolis pemilihan bahan lauk, sayur dan buah-buahan. Bagus juga gaya Singapura ya!
Memang sih, dalam hal saingan adu gengsi di kalangan saudara, bisa saja terjadi ada yang memberi angpao secara jor-joran untuk menunjukkan ke’mampu’an dirinya. Jadi, misal kakak tertua memberi angpao 1.000 perak, diketahui oleh kakak kedua (koq bisa bocor ajah ya?), lantas kakak kedua merasa mampu, dia kasih 1.100 perak untuk para keponakannya. Saya jadi curiga, jangan-jangan yang membocorkan rahasia isi angpao juga kami, para keponakannya, jadi kami bisa mengharap dapat isi angpao yang lebih besar dan banyak toh? Hehehe… young might be our age, yet we are smart, right?
Yah, manusiawi sekali sih. Jaga gengsi, jaga muka.
Bagaimana sekarang? Rasanya anak-anak di Indonesia sudah tidak mengalami tradisi ngider ngalap angpao lagi. Mana mereka kenal? Juga ada perasaan tidak enak hati dari orangtua terhadap sesama saudara, takut memberatkan pemberi angpao. Padahal, angpao tidak dinilai dari besar dan kecilnya nilai isi angpao. Niat baiknya yang harus dihargai. Niat baik, bo! It’s the goodwill that counts! Right, or left?
Gong-xi fa-chai! Happy Lunar New Year! Met taun baru Imlek! Semoga sehat, bahagia dan sukses selalu menyertai anda, keluarga dan semua teman-teman anda!
Ophoeng Loupez
http://ophoeng.multiply.com/journal/item/78/Ngider_Door-to-door_Ngalap_Angpao_di_Hari_Sin-chia
http://www.facebook.com/groups/budaya.tionghoa/10150548832467436/
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghua