Budaya-Tionghoa.Net | Suasana Singapura di awal 1950-an tergambar di serial GagakLodra yang sudah berubah bahasa penuturannya dari melayu-tionghoa menjadi bahasa Indonesia (Courtesy of Hiangphek Tauwtoo dari Hiangphek Am) . Wasalam.
PANTJAWARNA
NJOO CHEONG SENG’S SERIAL
GAGAKLODRA SINGAPURA
Ada suatu masa, dunia aman dan damai. Manusia takut berbuat kedjahatan, karena takut hukum dunia, hukum pengadilan. Takut pula kepada hukum Tuhan, hukum kebathinan. Tetapi sesudah perang dunia ke II, sesudah manusia saling membunuh dengan kebuasan dan kebiadaban jang tiada taranja, sesudah bom Atom meledak, jang dengan sekaligus musnakan ratusan ribu djiwa, maka manusia seakan-akan lupa diri. Berbuat sesuatu semau-maunja. Seperti tidak ada hukum alam dan hukum dunia lagi. Manusia meradjalela dengan kedjahatannja jang berlebih-lebihan, seolah-olah pengadilan manusia dan pengadilan Tuhan tidak berkuasa lagi menghukumnja.
|
Banian Bondan, adalah seorang pemuda Melayu dari Malaya jang telah membikin uang di Singapura. Umurnja belum duapuluhlima tahun, namun ia aktif sekali sepakterdjangnja. Ia mempunjai kantor djual beli rumah dan tanah di Raffles Square dan berumah tinggal di Tandjong Katong. Banian belum kawin. Ia belum mau membeli lembu seekor, selagi ia dapat membeli setengah atau sekilo dikedai sapi. Kota Singapura merupakan Nirvana tanah Melayu. Dengan New World dan Happy World, serta ratusan Night-clubs, tidak kurang hiburan mata dan hati bagi pemuda-pemuda kota singa itu.
Banian pandai mentjari, pandai membuang. Ia bekerdja keras pada pagi dan siang hari, dan melepaskan lelah dimalam hari ditempat-tempat dansa dengan kawan-kawan dan taxi girls. Diantara beberapa favouritnja adalah Maria Mortier, peluru-mas dari Ilo-ilo ; Siti Santi, hidung berlian dari Serawak dan Iris Choong, simata-djeli dari Kuala Kangsar.
Pada hari Saptu kedua dibulan Agustus jang panas, Banian masih sibuk benar dikantornja. Menurut tjatatan di almanak medjanja, ia harus menemui dua langganan pada djam 1 dan djam 2. Njata ia harus bekerdja lembur, tetapi itu tidak mendjadi soal untuk Banian Bondan jang radjin. Djam 12.30 ia pergi makan di Y.M.C.A. dan djam 12.55 ia kembali dikantornja. Pegawai-pegawainja mesti pulang, namun Kim-fat, salah seorang pembantunja jang radjin menawarkan servicenja: „Djika Mr. Bondan masih membutuhkan saja, saja bersedia …” udjarnja.
Banian memandang tersenjum: „Terima kasih atas servicemu. Pekerdjaan extra ini hanja soal djual-beli rumah. Dapat saja mengurusnja sendiri …”
Bondan muda itu meninggalkan kantornja dengan auto Bell-Airnja jang paling baru. Kim-fat menutup kantor, karena ialah jang memegang kuntji pintu.
Pada djam 1.45 ajah Banian, Achmad Bondan di Tanjong Katong, mendapat tilpon dari Banian, supaja ajahnja membatalkan perdjandjiannja dengan Mr. Jose Rappa djika ia menilpon kelak. Banian telah berdjandji djam 2 mesti bertemu di Kebun Bunga jang njata tidak dapat ia penuhi. Ajah itu seperti merasa kurang sedap hati. Ia hendak bertjakap lebih djauh, tetapi pesawat tilpon telah ditutup.
Sampai djam 5 petang Banian belum pulang. Tidak biasanja Banian pulang sampai djauh terlambat. Ia tepat betul mengatur waktu. Djika hendak berweek-end dan keluar kota, selamanja ia pulang dulu dan memberitahukan ajah-ibu atau kakaknja. Bakar, kakak Banian, ketika diberitahukan ajahnja, iapun merasa bimbang.
Tiba-tiba bel pintu berdering. Bakar jang membukanja, tetapi tidak ada orang. Ia terheran. Kemudian pada waktu ia menundukkan kepalanja ia melihat sampul dikakinja. Achmadpun dengan resah sampai dipintu. „Surat untuk ajah. Tetapi …” Bakar menjerahkan sampul itu kepada ajahnja, lalu ia melompat keluar. Ia mentjari kesana-kesini, tidak melihat seorang djua. Ia kembali dengan rasa kuatir. „Pembawa sampul ini menghilang sebagai setan disiang hari,” kata Bakar. Selagi itu sang ajah sedang membatja surat dalam sampul itu. Tampak ia takut dan djari-djari tangannja bergemetar. Kemudian diserahkannja kepada Bakar dan dibatjanja:
AJAH! Kini saja sedang disimpan disebuah rumah entah dimana. Didjaga oleh sembilan orang. Saja tidak akan dibebaskan sebelum mereka dapat tebusan $ 200.000. Dapatkan uang itu dengan segera, djika ajah ingin saja pulang kembali, atau saja tidak akan bertemu ajah lagi. Djangan menarik tangan polisi atau pembesar negeri. Besok pagi djumlah itu harus disediakan, dan kabarkan dalam sebuah iklan ketjil di Sunday Tribune:
Pindjaman uang dapat diberikan djika ada djaminan rumah jang seharga itu.
BANIAN (tanda tangan).
Kemudian ada lain surat terlampir dengan tanda gagak dan keris. Surat itu ditulis dengan ringkas:
Tuan Bakar Bondan. Djika tuan ingin anak tuan pulang dengan selamat, tuan harus tenang, menjediakan uang, masukanlah iklan, dan tuan akan mendapat perintah dimana uang itu harus dikirimkan dengan diam-diam.
Kedua ajah dan anak itu saling pandang takut. Bibir mereka berguntjang tak dapat berkata apapun. Mendengar nama Gagaklodra sudah tjukup bikin njali djadi kuntjup. Berurusan dengan Gagaklodra sama artinja bersua dengan sepuluh hantu.
„Bagaimana kita dapat kumpulkan duaratusribu ringgit sampai besok atau sampai lain bulanpun,” kata Bakar tjemas.
„Bukan soal itu ‘nak,” sahut ajahnja „Akan kudjual dan gadaikan segala apa untuk menjelamatkan Banian. Tetapi apa itu tjukup mendjamin keselamatan djiwanja?”
Ibu Banian sengadja tidak diberitahukan. Wanita kadang-kadang menambahkan suasana djadi lebih katjau. Selagi ajahnja berichtiar mengatur apa jang dapat didajakan mengumpulkan uang, adalah Bakar dengan tjerdik menjembunjikan diri dikantor rumahnja menilpon membuka perhubungan dengan diam-diam. Kemudian Bakar pergi ke Happy World Cabaret dengan pakaian dandy menemui Iris Choong dan Siti Santi. Seperti biasa Bakar dan Banian Bondan disambut meriah dimana sadja.
„Hai, apa Banian bertapa mentjari kesempurnaan bathin malam pandjang ini?” tanja Siti.
Bakar tersenjum riang: „Mengapa selalu Banian. Saja tidak ditanja?”
„Tuan sudah datang. Mengapa mesti ditanja? Djangan lekas makan tjuka?” tertawa Iris dengan sedap sekali.
Setengah djam lamanja Bakar berdansa beberapa kali dengan beberapa taxi girls itu. Kemudian melihat lontjeng: „Hai, djam 9 sudah.
Mengapa Banian belum datang?” katanja. Kemudian ia berdjalan keluar.
Iris Choong mengedjar Bakar dan berpesan: „Banian berdjandji malam ini ke midnight gala show di Cathay.”
Bakar mendjawab dengan suara keras: „Banian tidakmenjia-njiakan malam pandjang.”
Bakar sengadja tinggalkan otonja Mercedes Benz ditempat parkir HappyWorld itu, ia berdjalan pelan-pelan seperti hendak makan angin. Tiba-tiba ia menghilang. Ia masuk kedalam sebuah lorong di Ceylon Road. Tampak seperti Bakar diikuti orang dari djauh. Orang itu djuga melenjapkan dirinja. Lalu Bakar masuk dalam sebuah rumah. Disana ia telah ditunggu oleh empat orang, jang menjambut Bakar dengan serious.
Mereka itupun dipandang Bakar dengan saksama. „Saja tidak mau ada wartawan sekarang ini.”
Mereka memperkenalkan diri: Inche Machmud, kepala detektip Singapura, Gary Goode, kepala urusan kriminil, Mohipal Das dari Straits Settlement Intelligence Service dan Loei Hong Pa, mata-mata rahasia nomor satu.
Bakar kelihatan puas sesudah beberapa menit meneliti.
„Adik saja Banian ditjulik kira-kira siang hari ini. Pendjahatnja minta tebusan duaratusribu ringgit, dengan antjaman kami tidak menarik tangan polisi atau …” kata Bakar, lalu menjerahkan kedua helai surat dalam sampul.
„Atau … Banian akan mati,” teruskan Gary Goode.
„Siapa pendjahatnja?” tanja Mohipal.
Inche Machmud jang membatja surat lalu meneliti: „Tanda gagakhitam dan keris.”
„Gagaklodra?” djerit Loei Hong Pa perlahan.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang jang berbadan tegap berpakaian teluk belanga dan berpitji berdiri gagah.
„Kami tidak membutuhkan wartawan. Siapa tuan?”, kata Bakar Bondan.
„Kami bukan wartawan, tetapi kami hendak menolong tuan-tuan” sahutnja.
„Apa jang tuan tahu?” tanja Inche Machmud singkat.
„Gagaklodra tidak mentjulik Banian. Itulah jang harus diselesaikan,” djawab pendatang rahasia itu.
„Bagaimana tuan tahu?”, tanja Gary Goode. Loei Hong Pa duduk tenang-tenang.
„Gagaklodra tahu segala apa. Dimana ia berada, disana ia mempunjai seribu mata dan seribu telinga!”
Loei Hong Pa sekarang tertawa: „Gagaklodra, kita bertemu lagi. Entah sebagai kawan, atau sebagai lawan?”
„Gagaklodra?” djerit mereka perlahan hampir dengan berbareng.
„Djangan bergerak!” Seru Gagaklodra dengan tenang, tatkala mereka hendak beraksi. „Pertjaja atau tidak pertjaja, perlu tuan-tuan ketahui, pentjulik Banian bukan Gagaklodra. Kami akan membereskan soal ini dalam waktu terbatas. Banian akan pulang dengan selamat …”
Bakar bergemetar karena ia bingung. Ia heran semua tidak bergerak, walaupun tamu-tidak-diundang itu jang dengan samar memperkenalkan dirinja Gagaklodra kelihatan tidak bersendjata.
„Ada djaminan atau ada tarohannja?” tanja Gary Goode jang tjukup paham dengan siapa ia berhadapan.
„Djaminan, Gagaklodra harus membersikan nama Gagaklodra dari suatu perbuatan pentjulikan mesum jang ia tidak berbuat. Tarohan, tidak ada, karena Gagaklodra tidak mentjari hadiah,” katanja dengan tenang. Kelima orang jang tetap duduk menghadapi medja kelihatan saling pandang dengan penuh pertanjaan. Bakar tidak dapat memberi putusan. Dengan diam-diam ia telah menjerahkan soal pentjulikan itu dalam tangan jang berwadjib,
„Saja tidak mempunjai putusan. Terserah tuan-tuan,” kata Bakar.
Mereka sekarang memandang Loei Hong Pa jang tetap menghemat lidah. Di Singapura dan diseluruh tanah Melayu, Loei Hong Pa telah undjuk djasa-djasa baik dengan sempurna. Loei Hong Pa tidak resmi bekerdja dinas, tetapi ia selalu tampil kemuka dalam menjelesaikan perkara-perkara kriminil jang sulit dan berbahaja. Kepertjajaan dan tanggung djawab jang dibahukan kepadanja selalu diberikan penuh.
„Kita harus bekerdja tjepat, djika ingin Banian selamat,” kata Loei Hong Pa. „Djika tuan-tuan setudju, serahkan djiwa Banian dalam tangan Gagaklodra.” Kemudian kepada Gagaklodra. „Bung perlu beberapa waktu?
Tjukup kiranja sampai besok tengah malam? Apa Bung bekerdja sendirian?
Tidak perlu bantuan?”
Gagaklodra tertawa sebentar dan kemudian berudjar: „Gagaklodra bekerdja berlima. Dengan Otong, Bihong, Datuk Inu dan Gipo.”
Ke-empat kawanan Gagaklodra itu lalu masuk dan berdiri memblokir mereka. Bakar jang tadinja bisa berlaku tenang-tenang di tempat dansa dan sebagainja kali ini ia berkeringat.
„Kami membutuhkan penuh bantuan tuan-tuan. Kontak dengan Central tilpon sepenuhnja supaja tiap-tiap sambungan tilpon kerumah tuan Bondan harus ditjatat dengan teliti, dan lantas kontak dgn saja. Tuan-tuanpun boleh tetap bergerak dimana saja bergerak untuk menilik atau mengontrol, asal tidak mengganggu. Wartawan harus tetap diblack-out. Kami minta saudara Loei Hong Pa lebih mendekat saja sewaktu-waktu perlu. Tuan-tuan paham dan puas kiranja?”
Kelima orang itu saling pandang dengan tersenjum.
„Kami kagum dengan rentjana tuan itu. Tuan jakin akan berhasil?” kata Inche Machmud dengan sungguh-sungguh.
„Djangan pudji memudji. Insja Allah akan berhasil. Usaha dalam tangan manusia. Putusan dalam tangan Tuhan …”
Gary Goode memandang djenaka pada Gagaklodra: „Tuhan kata tuan? Kiranja tuan ingat Tuhan pada waktu berbuat kedjahatan …?”
Gagaklodra tertawa seperti dalam senda gurau. „Maaf, tuan Gary Goode.
Pada waktu demikian, saja didjauhi Tuhan dan dirajui setan …”
Pada hari esoknja dalam Sunday Tribune dimuat adpertensi: „Pindjaman uang dapat diberikan djika ada djaminan rumah jang seharga itu.” Tentulah diantara ribuan pembatja mingguan pagi itu adalah kawanan pentjulik Banian, entah siapa mereka dan dimana mereka sedang menjimpan Banian.
Dalam rumah keluarga Bondan tampak sepi sekali. Kadang-kadang ibu Bakar dan Banian merasa heran, mereka selalu berkata kasak-kusuk. Tetapi ibu tidak heran tentang Banian tiada dirumah. Sengadja diberitahukan samar Banian pergi ke Kuala Lumpur dan mungkin terus ke Penang. Achmad Bondan waktu mendengar penuturan Bakar agak lebih gelisah. Gagaklodra bukan pentjulik Banian, dan Gagaklodra akan menangkap Gagaklodra. Apa Gagaklodra itu sebenarnja ajah Bakar bingung tak terdjawab. Gagaklodra, Otong, Bihong, Datuk Inu dan Gipo keluar masuk dalam rumah keluarga Bondan itu. Tetapi kepala rumah tidak tahu siapa mereka.
Sengadja Bakar tidak memperkenalkan mereka supaja ajahnja tidak lebih kawatir dan katjau. Mereka menjaru sebagai apa sadja. Loei Hong Pa bekerdja merdeka. Ia diberi tugas menjelidik dengan samar dan memberikan keterangan. Dikantor Banian, dibuku agenda, dialmanak medja, dan dirumah-rumah orang jang berdjandji pukul 1 dan 2 hari Saptu semua telah diperiksa. Njata kesemuanja telah didahului oleh Gagaklodra dengan tanda parafnja. Ketika Loei Hong Pa melaporkan hasil penjelidikannja, Inche Machmud, Gary Goode dan Mohipal Das menggelengkan kepala.
„Sebagai pendjahat dan sebagai detektip Gagaklodra merupakan manusia istimewa,” kata Inche Machmud kepada kawan-kawannja. Kim-fat dan tiga bidadari Banian tidak terluput dari peperiksaan, tetapi mereka sama sekali menghadapi kabut tebal tidak tahu apa pokok penjelidikan itu.
Bihong tentu jang diwadjibkan kontak dengan bunga-bunga nightclub itu. Dengan gaja Don-juannja Bihong tetap menarik hati dan tidak menghilangkan kesempatan tjolek-menjolek. Djago Siauwlimsi itu tidak rojal, djuga umurnja tidak muda lagi, tetapi ia tetap mendjadi attraksi dengan manis budinja. Ia berdansa, berkelakar, ber-rock&roll,
ber-jitterbug sampai ber-tap-dance a-la Gene Kelly. Maria Mortier hilang mortiernja. Siti Santi djadi djinak. Iris Choong matanja djadi lebih sipit lagi.
„Siapa inche, siapa tuan?” tanja Maria dengan senjum intannja „begitu tjantik, begitu tampan, tetapi segan memberi nama dan alamat jang terang.”
„Aduh Mak, mati beta …” kata Bihong dengan nakal „Kenal nama apa artinja, tanja nama apa gunanja, djika tahu akan ketjewa. Rumahku tidak beratap, pondokku tidak berlantai, hidup bertjetjer nasib dikampung orang.”
Kemudian dengan lirikan jang tadjam mengiris hati, Bihong berlalu dengan lenggang Djakartanja.
Diluar Bihong bertemu Otong. „Apa kabar Bang?” tanjanja melihat Otong murung.
„Aku ngantuk Bihong. Aku ingin berhantam. Siapa menang, siapa petjundang, djadi ketahuan. Bukan seperti sekarang, kajak orang main Lenong.”
Bihong tertawa terbahak-bahak sambil menarik Otong berdjalan. Itulah apa jang terdjadi pada Matine-Dance pada hari Minggu petang. Tetapi apa sudah terdjadi dirumah keluarga Banian selama hari itu, sesudah iklan ketjil dimuat dalam Sunday Tribune?
Pada pagi hari kira-kira djam 10, diantara tilpon-tilpon jang mendering dirumah Bondan, adalah satu untuk Bakar.
Bakar dengan perasaan tegang menghampiri pesawat tilpon, dan Gagaklodra disuatu bilik dan Loei Hong Po dilain tempat, mendapat hubungan bersama dengan alat tilpon jang menjambung Bakar.
Bakar mendengar suara: „Iklan sudah kami batja. Sudah siap dengan djumlah uang itu. Ingat dibungkus dalam kerandjang buah. Akan diberi lain instruksi sebelum malam. Tetapi ingat tidak ada orang polisi, dan tidak ada mata-mata gelap. Djika ketahuan … Banian akan pulang tidak bernjawa. Paham?”
Bakar dengan suara gemetar mendjawab: „Paham benar, tetapi …”
„Apa tetapi? Ingat, djangan main gila! Sedikit sadja Gagaklodra marah berarti Banian hilang kepala,” memotong suara itu.
„Kami telah bersedia uang, tetapi belum tjukup. Hanja ada seratus ribu dollar. Hari ini hari Ahad, kami tak dapat berhubungan dengan bank …” ratap Bakar. Walaupun ia mendapat instruksi dalam hal tawar menawar itu,
ia tetap dalam ketakutan hebat akan djiwa saudaranja.
„Apa? Hanja seratus ribu ringgit? Kalian hendak main gila dengan Gagaklodra ja? Tahu apa akibatnja? Gagaklodra terlalu djahat dan terlalu kedjam. Djika ia naik darah dan kerahkan seluruh kesembilannja, kamu sekeluarga akan mati tidak mendapat bumi …”
Tatkala Bakar dengan gemetar hendak bitjara lebih djauh, tilpon sudah diputuskan.
„Tjelaka …” kata Bakar ditenggorokannja.
Achmad Bondan, ajah Bakar jang djuga mendengar disebelahnja dengan lain pesawat-pendengar mendadak djadi putjat sebagai majat.
Tiba-tiba Gagaklodra muntjul diiringi Datuk Inu dan Gipo.
„Djika Gagaklodra marah”, udjar Bakar dengan gentar „kami sekeluarga akan kiamat”.
„Tenang inche-inche. Lagi satu atau dua djam akan ada tilpon lagi …” kata Gagaklodra.
Achmad Bondan memandang Gagaklodra seperti minta dikasihani getaran djantungnja. „Tuan. Saja mempunjai penjakit djantung, dan saja bisa djatuh mati pada saat saja mendapat kabar tjelaka. Siapa tuan ini dan siapa sebetulnja Gagaklodra? Disana Gagaklodra dan disini Gagaklodra?” Bakar merangkul ajahnja dan minta ia sabar.
Gagaklodra dengan sejumnja menepak bahu orang tua itu. „Djika kami kawanan Gagaklodra jang djahat hari ini. Harta inche sudah saja rampas, djiwa inche sudah kami bunuh, gedung jang tjantik ini sudah mendjadi abu.”
Pada saat itu Loei Hong Pa masuk. „Saja telah mendapat keterangan dari kantor tilpon, sambungan tadi menggunakan public-telephone dari Simpang empat Tandjong Pagar”, lapor Loei Hong Pa.
„Bagus”, kata Gagaklodra „Saudaraku Hongpa, minta Central perhatian lebih teliti tilpon sedjam dua djam ini.”
Lalu ia memandang Datuk Inu dan Gipo. Mereka berlalu … seperti mendapat komando rahasia.
Kemudian Loei Hongpa memandang Gagaklodra, jang menganggukkan kepalanja. Hongpa lemparkan dua revolver besar jang disambut Gagaklodra dengan tangkas. Bakar dan ajahnja memandang terbelalak dan takut.
„Djangan tegang!” udjar Gagaklodra melirik „Sendjata sedapat-dapatnja tidak dipergunakan.”
Dua djam kemudian, bel pintu mendering. Gagaklodra dan Loei Hong Pa jang masih tetap berada dirumah Bondan
melompat seperti terbang dari masing-masing djendelanja. Serupa monjet keduanja seperti bersatu tudjuan terbang kegenteng rumah dengan ilmu mengentengkan tubuh. Keduanja sama merajap dari masing-masing tempatnja mengintai kekebun luar. Tidak tampak seorang djua berkeliaran.
Sementara itu pintu dibuka oleh Bakar dan Anhmad, dan tetap tidak ada manusia jang kelihatan. Mereka menemukan lain surat dibawah pintu. Keduanjapun tidak berani mentjari tahu. Sambil menutup pintu mereka
masuk keruangan tengah dengan surat ditangan Bakar. Dari kedua sebelah djendela seperti ada hembusan angin keras, saat itu berlompat dengan tjepat Gagaklodra dan Loei Hong Pa jang menjeludup masuk. Bakar dan Achmad memandang keduanja itu seperti Setan jang muntjul tidak diketahui dari mana datangnja.
„Tuan-tuan mengedjar pembawa surat ini. Berhasilkah?” tanja Bakar.
„Gagal,” sahut Gagaklodra. „Tetapi kami tidak mengedjar dengan kasar. Kami tidak mau mereka bertjuriga. Tiada seorang kami ketemukan. Mereka lihay sekali …”
„Gagal?” djerit sang ajah dengan putus asa.
Loei Hong Pa mengerti ini. Lalu ia menghampirinja dengan tersenjum:
„Djangan kawatir inche. Djika Gagaklodra mau menolong, Banian tertolong.”
„Djika Loei Hong Pa dan Gagaklodra bekerdja bersama, kami dapat menguasai Singapura, inche!” Gagaklodra temberang.
Bakar membatja surat dan lalu diserahkan kepada Gagaklodra. Ia membatja dengan tenang:
Ajahanda. Bilamana seorang anggota Gagaklodra kembali sesudah pembitjaraan tilpon dengan Bakar, keadaanku buruk sekali. Gagaklodra, kepala gerombolan, berang bukan buatan karena Bakar menawar tebusan
hanja seratus ribu ringgit. Mereka telah bermusjawarat dengan hebat. Saja telah di-ikat dengan keras, mata saja ditutup kain hitam, mulut saja disumpel. Mereka bersiap-siap untuk menghabiskan kisah hidup saja. Ajah, tolonglah saja, djangan tjoba tawar-menawar, karena itu berarti saja tidak akan pulang lagi.
Banian (tanda tangan)
„Harapan bagus,” kata Gagaklodra.
„Harapan mati,” djerit Achmad Bondan dengan sedih. „Keadaan Banian
begitu buruk. Bagaimana ditjari harapan …?”
„Tenang,” kata Gagaklodra. „Harapan akan lebih besar djika datang
kesulitan lebih hebat,” lalu ia melirik Loei Hong Pa. Seperti djuga mata
dengan mata dapat berbitjara, Loet Hong Pa seolah-olah mendapat
perintah. Ia lalu menghilang dengan tjepat tanpa berpamit dan beradat
istiadat.
Gagaklodra berdiri tenang, dan sambil melirik pada Achmad dan Bakar ia
berkata:
„Diantara seperempat dan setengah djam, pendjahat-pendjahat itu akan
menilpon lagi. Ingat pandjangkan pembitjaraan dan djangan lekas memberi
putusan. Selama itu saja akan melenjapkan diri …”
Bakar mengangguk tetapi ajahnja tidak paham dan tetap gelisah. Ia
berdjalan mundar-mandir seperti badan jang tidak lagi bernjawa. Ibu
Banian kelihatan berdiri dipintu, lalu menghampiri suaminja.
„Apa sudah terdjadi Pak? Awak tampak lesu sekali. Bakar …” menoleh
kepada anaknja „Kau kelihatan gugup dan takut. Apa sudah terdjadi? Kapan
Banian kembali?”
Tiba-tiba hati itu seperti kurang sedap, tatkala ia melihat Gagaklodra
menudju keudjung medja menghampiri tilpon. „Siapa inche itu? Belum
pernah kulihat. Seperti orang mata-mata gelap? Ada rahasia apa dirumah
ini? Tampak semua tegang …”
Ibu itu hendak menghampiri Gagaklodra, tetapi Bakar memegang ibunja.
„Tidak apa terdjadi apa djua, ibu. Kami sedang memperbintjangkan soal
kemerdekaan Malaya. Inche itu datang dari Negeri Sembilan …”
„E, sedjak ‘pabilakah kamu mentjampuri politik?” tanja ibu itu dengan
penuh keheran-heranan.
Sambil membawa ibunja masuk, Bakar berkata seperti sungguh-sungguh
„Sebagai anak Melayu asli, kita tak boleh berdiam diri, ibu. Bukankah
begitu?”
Achmad memperhatikan gerak-gerik Gagaklodra dengan tertib benar. Ia
merasa gandjil dan aneh sekali, Gagaklodra mengangkat pesawat tilpon,
tetapi tidak berkata sepata kata djua.
Ketika Bakar kembali dari dalam mengantarkan ibunja, Achmad menjampaikan
kegelisahannja dgn. sikap Gagaklodra jang amat adjaib itu. Bakar paham
akan sepak-terdjang Gagaklodra, tetapi ia harus menjenangkan ajahnja,
walau ia sendiri tetap amat ketakutan.
Ia menghampiri Gagaklodra. „Ajahku amat tjemas dengan perbuatan inche
jang mengherankan …” kata Bakar. Gagaklodra hanja tersenjum sambil
mengangkat tangannja.
Tiba-tiba ia menutup mulut pesawat dan menoleh kepada Bakar. „Bel tilpon
akan berbunji. Mungkin dari pendjahat itu …”
Belum selesai Gagaklodra berkata, bel tilpon diruangan tengah mendering.
Achmad dan Bakar tidak mengerti, tetapi Bakar terus lari kepesawat dan
mulai bertjakap.
„Hallo!” Tjakap dahulu Bakar.
„Dengar! Sudah terima surat Banian? Keadaan akan djadi lebih sukar djika
kamu berputar-putar. Djangan tjoba memperpandjang soal, kamu akan gagal.
Kami tidak mau menerima seratus ribu ringgit … Hallo …” Bakar
mendengar kata-kata tadjam dari suara jang sama seperti tilpon semula.
„Tuan, kami tidak hendak memperpandjang waktu. Kami terus berdaja. Kami
telah berdaja dengan aktif …”
„Bitjara ringkas …”
„Kami dapat menjediakan seratus limapuluh ribu dollar. Tidak lebih lagi.
Bagaimana keadaan Banian? Sungguh ia terdjamin?”
„Banian tetap selamat, tetapi …”
„Dimana adik saja? Saja sangsi, ia masih hidup …” sengadja Bakar
memantjing.
Suara tertawa getir terdengar ditilpon ditelinga Bakar.
„Adikmu disini. Bitjaralah sekedjab.” kata suara itu, kemudian Bakar
dengan gemetar mendengar suara Banian: „Bakar. Saja Banian, kau kenali
suaraku ‘kan? Mereka tak mau ditawar lagi. Tetap duaratus ribu ringgit
dan itu harga mati …”
„Banian …” Bakar berkata dengan takut „Kau … ingat tanda pandumu?
Warna kita? …” Bakar takut suara Banian itu adalah suara tape recorder.
„Saja tahu Bakar. Singa dan merah putih …” sahutnja.
Bakar menarik napas legah. Adiknja masih hidup pada saat itu. Ia tahu
pasti Ajahnja seakan-akan berdiri kedjang dilantai dimana ia berpidjak.
„Dimana kami dapat menjerahkan uang itu?” tanja Bakar.
Suara lain, ialah suara pendjahat itu jang mendjawab: „Djika tuan
sediakan duaratus ribu ringgit, tuan harus telah siap sedia. Dalam waktu
sedjam sesudah saja menilpon, uang itu harus dikirimkan. Inyat, djangan
tjoba tarik tangan polisi …”
Dari sebelah sana pesawat tilpon ditutup.
Achmad dan Bakar saling pandang dengan mulut terbuka. Mereka lalu
memandang kelain seberang ruangan, dimuka medja dengan pesawat tilpon,
disana mereka melthat Gagaklodra tetap duduk dengan pesawat ditelinganja.
„Hei …” kata Bakar dalam hati. „Katanja ia akan melenjapkan diri
selagi kami dalam pertjakapan tilpon. Tetapi ia tetap duduk dengan tenang?”
Belum ia menutup rapat mulutnja dari djendela didekatnja Gagaklodra
lompat masuk dan disusul oleh Loei Hong Pa seperti berkedjar-kedjaran
main petak.
Bakar dan ajahnja memandang mereka dengan aneh betul. Disana Gagaklodra
duduk mendengar tilpon, kini Gagaklodra datang dari djendela. Mereka
tidak mungkin salah lihat. Tidak mungkin ada dua Gagaklodra dirumahnja itu.
Rahasia ketjil itu lekas terselesaikan, waktu si-„Gagaklodra” dimedja
tilpon itu berkata: „Guru, tilpon …”. Lalu Gagaklodra lari kesana.
Tahulah Bakar sekarang bahwa jang menunggu ttlpon itu, bukan Gagaklodra,
tetapi Datuk Inu. Bagaimana penukaran orang dapat dilakukan, ajah dan
anak keluarga Bondan itu tidak dapat mengerti. „Kita berhadapan dengan
setan dan djin disiang hari,” tjomel Achmad seorang diri. Namun demikian
ia mulai menaruh kepertjajaan.
„Okay …” kata Gagaklodra ditilpon, kemudian sambil menutup tilpon
Gagaklodra tertawa: „Kawanan Gagaklodra Singapura itu amat goblok …”
udjarnja. „Memakai tilpon jang sama, dan berani membawa Banian. Rupanja
keluarga Bantan dipandang ringan sekali …”
„Anggapan mereka, karena takut, kami bekerdja seperti kalde,” kata Bakar
agak legah hati, dan seperti menemui sinar harapan untuk Banian.
„Petang ini, sebelum malam tiba, tentu ada tilpon lagi. Mungkin lebih
tjepat, tetapi mereka akan minta penukaran uang dan djiwa pada gelap
malam …” udjar Gagaklodra.
„Kelihatan seperti inche tahu segala sesuatu. Seakan-akan inchelah jang
mengatur pentjulikan ini. Djangan marah …” kata Bakar sesudah
memandang beberapa saat.
„Tuan-tuan, saja bukan manusia biasa. Bukan alim-ulama dan bukan pula
pendeta. Saja seorang manusia pedjadjaran jang tidak takut menumpuk
dosa. Bertahun-tahun saja djadi manusia hantu melakukan segala
kedjahatan diluar undang-undang. Kini saja mulai bosan …” kata kepala
bitjokok besar itu.
Achmad Bondan memandang tidak paham, model manusia Gagaklodra, jang
namanja tjukup bikin ia bergemetaran seluruh tubuhnja, kini ia
berhadapan sebagai seorang adjaib.
„Inche telah insjaf, inche telah tobat.
Tiap-tiap manusia dapat diampuni Tuhan dalam perdjalanannja kembali …”
kata orang tua itu.
„Belum tahu, tuan. Saja belum sanggup mengendalikan diri sendiri.
Sebagai manusia biasa, saja belum berani berkata tobat, karena saja
belum tahu dapatkah saja kembali kepada Tuhan. Saja manusia tidak
berkelas …”
Tampak berubah warna wadjah Gagaklodra. Tetapi lalu ia tersenjum.
Memandang Datuk Inu dan Gipo, ia memberi isjarat. Kemudian Ia lalu
melirik Loei Hong Pa dan berkata kepada Bakar dan Achmad Bondan.
„Hari Minggu ini akan pandjang sekali dan merambat perlahan dalam
pikiran tuan. Biarlah saja tinggalkan rumah ini sampai datang petang
…” katanja.
Bakar seperti kelihatan sangsi dan tjemas lagi.
Gagaklodra lekas dapat menebak pikiran orang: „Rupanja tuan berkawatir
pendjahat-pendjahat Singapura itu akan melihat kami. Djangan takut.
Gagaklodra dan kawan-kawannja bisa datang dan pergi dengan tidak diketahui.”
Kemudian mereka berlalu. Bukan dari pintu depan tetapi dari djendela.
Achmad dan Bakar Bondan mulai tegang kembali. Rasa takut dan rasa besar
harapan sllih berganti berdansa dalam hatinja.
Tepat pukul 5.50 petang, tilpon dirumah keluarga Bondan mendering
sesudah beberapa djam sepi. Bakar lontjat
kemedja tilpon.
„Hallo, hallo, hallo …” sahut Bakar dengan gugup. „Suara dalam tilpon
agak aneh, tetapi Bakar kenali suara itu seperti tilpon pertama dan kedua.
„Uang sudah sedia. Bagaimana diserahkannja? Dimana kami dapat kembalikan
Banian? Pukul berapa? Kami telah liap sekarang djuga …” kata Bakar
jang terus menjerbu gugup dengan kata-katanja.
„Tunggu … Ada orang lewat. Kami akan menilpon lagi …” Kemudian
tilpon hilang perhubungan. Mendadak terputus. Hal ini seolah-olah
menghentikan djalan napas Bakar. Ajahnja berdiri dengan lemas melihat
tingka-laku anaknja jang ketakutan.
Sesudah itu tidak ada tilpon lagi.
Apa sebetulnja sudah terdjadi?
Bandit jang goblok itu pada waktu menilpon dikotak public telephone di
Tanjong Pagar, ia seperti mendapat firasat dirinja di-intjar oleh
seorang jang berkumis. Tiba-tiba dimuka tilpon, seorang hendak masuk,
tetapi tidak djadi masuk, karena pesawat tilpon sedang terpakai. Kini
badjingan itu dapat tjium bau-busuk.
Ia hendak keluar, tiba-tiba ia ditjolek dari belakang oleh Bi-hong,
orang tadi jang beraksi hendak menilpon. Si-bitjokok raba sakunja dimana
terdapat sebuah sendjata api. Bi-hong mana mau beri hati lagi.
Sekali ia teradjang, pendjahat itu terguling. Njata ia masih tjukup
gesit untuk lari lagi, dan si-kumis-melintang pelok ia dari samping:
„Bung, djangan main petak. Beladjar kenal dulu dengan Otong,” katanja,
dan sekali towel si-buaja tjium tanah.
Lekas sekali ia diringkus dan dibawa kesuatu pondokan ketjil. Orang
tidak sempat mentjari tahu, karena Otong dan Bi-hong bekerdja terlalu
tjepat. Kemudian mereka dihadapan pada Gagaklodra dan Loei Hong Pa.
Tidak terlalu susah untuk bikin ia mengaku. Pendjahat ini rupanja masih
hidjau mendjalankan prakteknja.
Bakar tetap menunggu. Achmad gugup tak tahu bagaimana mengendalikan
dirinja. Mereka tidak berani keluar. Ia telah menilpon kantor polisi,
tetapi mendapat djawaban semua orang keluar.
Mereka berputusan ingin meninggalkan rumahnja, tetapi djika ia mendapat
tilpon lagi? Mereka heran jang Gagaklodra, Loei Hong Pa dan
kawan-kawannja tidak mengabarkan diri dan tidak diketahui dimana rimbanja.
Banian di-ikat disebuah randjang ketjil, ditutup matanja dan ditutup
mulutnja. Seorang jang berbadan tinggi besar berkata sambil bermain-main
dengan revolvernja dan menjentuh-njentuhkan ditelinga Banian ia berkata:
„Banian, Gagaklodra sudah tjukup sabar. Rupanja keluargamu kurang akal.
Sekedjab lagi, kawanku kembali dengan tidak berhasil, kau kukirim ke
Malaekat Djibrail …”
Banian tidak berdaja. Ia tetap menjerah.
Dait luar kamar, terdengar suara ketokan pintu.
„Siapa?” tanja kepala pendjahat itu.
„Jose kembali, Che …” sahutnja.
Dengan tjepat, kepala gangster itu, membuka pintu dan keluar sesudah
menutup kembali dengan hati-hati dan dikuntji. Ia memandang kesana-sini
tetapi belum kelihatan Jose Rappa. „Mana dia?” tanjanja.
„Ia menunggu diluar …” djawab seorang dari lima pendjahat jang sedang
mendjaga itu.
„Mengapa diluar?” tanja pula ketua bandit itu.
„Ia ingin bitjara supaja tidak terdengar oleh Banian …” bisik
si-bitjokok jang lain.
Dengan tidak sabar ia berdjalan keluar dari lain pintu. Ia dapatkan Jose
Rappa seperti tampak bingung. „Ada kedjadian apa?” Tanjanja dengan
firasat tak sedap.
„Keluarga Bondan akan menjerahkan uang itu dikebun bunga, sesudah ia
melihat Banian dalam selamat …” udjar Jose.
„Hm …” ia mendehem dan hendak kembali kepintu. Sekonjong-konjong ia
membalikkan badannja dengan mengeluarkan kedua revolvernja. „Mengapa kau
bergemetar? Kau di-intai atau kau berchianat …”
Jose Rappa terkedjut tapi lekas ia perbaiki diri, katanja: „Orang gila
berani mengchianati Gagaklodra …”
Si-Gagaklodra Singapura itu tersenjum. Masukkan kembali kedua
revolvernja dan berdjalan masuk. Lewat ruangan jang lain ia masih tetap
bertjuriga. Ia berhenti sekedjab dan berkata kepada kawan-kawannja
supaja tetap berwaspada. Lalu ia masuk kembali kekamarnja dimana Banian
di-ikat
Pada waktu itu langit sudah mulai guram, lama sudah matahari telah
silam. Keadaan kamar mulai gelap. Bukan main terkedjutnja kepala
pendjahat itu melihat randjang telah kosong dan djendela terbuka. Ia
lalu lari kedjendela tetapi ia tidak melihat suatu tanda apa djuga. Ia
kembali kepintu hendak memanggil kawan-kawannja, tetapi tatkala pintu
dibuka, ruangan telah kosong. Kelima kawan-bitjokok itu telah menghilang
bagaikan setan.
„Mentjari siapa Bung?” tanja satu suara keran.
„Apa kau dan siapa kau? Buaja atau mata-mata?” djerit sikepala bitjokok
kalap dan kedua revolvernja lalu memberondong.
Njatalah ia menembak angin, kedua revolvernja tiba-tiba djatuh ditanah
dan kedua tangannja berdarah. Njata sang lawan telah menggagalkan
aksinja dan melukai kedua tangannja, selagi mereka berduel berhadapan
dua revolver lawan dua revolver.
„Dua Gagaklodra berhadapan, djangan terlalu kedjam, kawan,” kata
Gagaklodra dengan tersenjum. „Berbuatlah lebih tjerdik dan tangkas,
djika mau mengaku Gagaklodra.”
Kemudian Gagaklodra Singapura jang bukan lain adalah Hassan Temberang,
tjabang-atas Pulau Seribu telah dibekuk.
Apa sudah terdjadi dikamar sebelah?
Lima kawanan pendjahat itu dipantjing Jose Rappa keluar markasnja.
Mereka diserbu oleh Otong, Bihong, Datuk Inu dan Gipo. Mereka telah
diringkus hanja dalam berapa detik sadja. Kawanan Gagaklodra terlalu
kuat dan diatas satu kelas dengan kawanan bitjokok kota singa itu.
Apalagi ada Loei Hong Pa, bekas hweesio Kelenteng Ayer Hitam Penang,
mereka sama sekali mati kutunja.
Inche Machmud, kepala detektip Singapura, Gary Goode kepala urusan
kriminil dan Mohipal Das dari Straits Settlement Intelligence Service
menerima matang.
Banian Bondan dibawa pulang dengan selamat oleh Loei Hong Pa dan kawanan
Gagaklodra, dengan auto Bel-Airnja sendiri jang disembunjikan digarage.
Achmad dan Bakar Bondan bukan main girangnja sesudah mereka menunggu
berdjam-djam dengan djantung berdenjut dan hilang harapan.
Mereka saling pelok dan sama mengeluarkan air mata. Kemudian Banian,
dengan diapiti oleh kedua ajah dan kakaknja berkata dengan suara
bergemetar karena amat gembira:
„Tuan-tuan budiman, saja seperti seorang rnati jang dihidupkan kembali.
Tatkala saja dibikin tidak berdaja oleh mereka jang berpura-pura hendak
berhubungan dagang, saja tahu saja menghadapi suatu kesulitan besar.
Tatkala sikepala pendjahat mengenalkan dirinja Gagalrlodra, lebih
pastilah saja, bahwa kematian akan pasti tidak dapat saja elakkan lagi.
Saja tidak gembira, ketika saja disuruh menulis tentang uang tebusan.
Saja tahu siapa Gagaklodra, dan lebih tahu sesudah saja berhadapan muka
dengan perlakuannja. Walaupun uang tebusan dapat dibajar, rasanja djiwa
sajapun tidak dapat ditolong lagi.
Dalam keadaan tidak berdaja, saja terkenang dengan ibu. Pada waktu saja
diadjak berbitjara tilpon, saja berputusan hendak mendjerit, supaja
Bakar tidak mentjari uang, dan biarlah saja dibunuh pada waktu itu
djuga. Lagi-lagi terbajang wadjah ibu saja. Saja terpengaruh seakan-akan
saja melihat harapan walaupun amat ketjil hendaknja.
Njatalah polisi Singapura telah bekerdja tjepat dan tangkas, hingga saja
dapat tertolong dengan lekas. Terutama tuan jang berbadan tegap itu,
jang membawa saja lari dari djendela, mengempit saja dengan sebelah
tangannja, berlompat-lompat dari satu djendela kelain djendela diatas
loteng bertingkat tiga dalam keadaan berbahaja. Siapa inche jang gagah itu?”
Inche Machmud tertawa berkata dengan gembira.
„Incbe itulah Gagaklodra, Gagaklodra jang tuan takutkan, jang tuan
pandang sebagai Setan pedjadjaran atau Malaikat maut. Pendjahat
Singapura jang mengaku Gagaklodra itu adalah Hassan Temberang dari Pulau
Seribu …”
Tiba-tiba pintu tengah terbuka. Dari pintu itu keluar Ibu Banian dengan
tindakan gagah menudju kepada mereka.
„Sudah kudengar semua kisah Banian itu. Njata suamiku Achmad dan anakku
Bakar telah mendustai aku. Tetapi kedustaan itu adalah baik, untuk
menghiburi isteri dan ibu … O, Banian …” udjar ibu itu.
Banian lalu menubruk dan mentjium kaki ibunja. Ibu itu lalu mengangkat
Banian dan adjak dia menghampiri Gagaklodra.
„Kepada inche budiman inilah kau harus mentjium kakinja …” Sambil
berkata begitu, Ibu itupun hendak berdjongkok mengikuti anaknja. Tetapi
Gagaklodra itu mengangkat keduanja dengan wadjah jang tenang.
„Djangan ibu, djangan Banian. Berterima kasihlah kepada Tuhan. Walaupun
manusia hendak menolong, tidak dengan bantuan Tuhan, perbuatan manusia
itu tak’kan tertjapai …”
Ibu dan Banian berdiri dengan air mata berlinang dipipinja.