Budaya-Tionghoa.Net | Dimata Shogunate Tokugawa , Tiongkok memiliki dua arti. Pertama sebagai rival politik, kekaisaran Tiongkok mengecualikan peran Kekaisaran Jepang dari tatanan dunia pada masa itu. Sebagai fungsi kultural, bagaimanapun juga peradaban Tiongkok adalah sentral dari dunia intelektual Jepang. Peran ganda Tiongkok berlanjut sampai era Meiji.
|
Secara politik , Toyotomi Hideyoshi pernah melancarkan suatu kampanye militer terhadap semenanjung Korea di tahun 1590an. Masa itu adalah titik nadir dalam hubungan Tiongkok dan Jepang. Kampanya tersebut berpengaruh terhadap keseimbangan kekuatan di Asia Timur. Dinasti Ming menjelang usia senja , memberi bantuan militer terhadap Korea dengan tenaga penghabisan. Dan turut memberikan kontribusi bagi kejatuhan Dinasti Ming. Sementara itu Tokugawa Ieyasu yang “menyimpan tenaga” disaat kampanye , berhasil memukul kekuatan pro-Toyotomi dalam babak terakhir reunifikasi Jepang di Sekigahara dan mendirikan shogunate Tokugawa.
Tokugawa Ieyasu berusaha memulihkan hubungan dengan Tiongkok untuk alasan otoritas domestik dan juga perdagangan. Di tahun 1607 , Shogun telah menyambut baik kedatangan utusan dari Korea. Hubungan dengan Tiongkok dijalankan dengan setengah hati. Diplomasi dan hubungan perdagangan dilakukan dalam kerangka Tiongkok sebagai “Chinese World Order” , dengan demikian secara tradisi adalah pengakuan Jepang terhadap hegemoni Tiongkok.
Sebaliknya, para penguasa Tokugawa terus membina hubungan internasional yang akan menjamin kedaulatan Jepang dan legitimasi Bakufu, yang semuanya yang tidak sesuai dengan integrasi Jepang ke tatanan Sino-sentris. Dengan demikian penguasa Tokugawa mendirikan ‘tatanan internasional’ mereka sendiri dibawah bayang-bayang hegemoni Tiongkok. Dan tujuan ini mulai menampakkan hasil di tahun 1630an , dalam ketidakhadiran Tiongkok yang menjelang jatuhnya dinasti Qing.
Dalam tatanan baru mereka , Jepang menjalin hubungan dengan Korea dan Kerajaaan Ryukkyu dan juga dengan Belanda , sebagai satu-satunya kekuatan Barat yang masih diijinkan berdagang dengan Jepang , setelah Jepang mengusir misionaris dan bangsa Portugis. Jepang juga membina hubungan internal mereka dengan kawasan “asing” bangsa Ainu di Hokkaido.
Diantara tahun 1634 sampai 1806, Kerajaan Ryukyu mengirim 15 utusan ke shogun Tokugawa. Tetapi hubungan dengan Ryukyu tidak bisa disebut sebagai sebuah negara asing , tetapi sebagai negara boneka. Ryukyu telah dikuasai klan Shimazu , yang tidak lebih daripada seorang daimyo di Kagoshima, sejak tahun 1609. Ryukyu tetap diijinkan menyebut dirinya sebagai satu kerajaan dan juga diijinkan sebagai vassal Tiongkok , sebagai batu loncatan bagi Jepang untuk akses perdagangan internasional.
Demikianlah Jepang menduplikasi tatanan Tiongkok (Chinese Order) , dan melakukan miniaturisasi sebagai tatanan Jepang , yang sama2 terlahir dari dogma defensif. Dogma itu berkata bahwa keamanan nasional hanya bisa dicapai dengan praktek isolasi. Dan pihak manapun yang ingin membangun hubungan dengan Tiongkok harus berlaku sebagaimana halnya negara vassal. Dan keduanya jelas tidak akan memiliki titik temu. Asia Timur terbagi kedalam dua tatanan yang berbeda level. Korea mengirim misi tribut ke Tiongkok setiap tahun , sedangkan ke Jepang , Korea hanya mengirim secara sporadis.
Jika kehadiran pengaruh politik Tiongkok sangat besar , tetapi tidak untuk Tokugawa. Maka kehadiran pengaruh kultural Tiongkok mengada dimanapun di Jepang. Dari berbagai bidang seperti , etika , hukum , ideologi , religi, literatur , seni dan lainnya, di masa Tokugawa sangat berhutang besar pada model Tiongkok. Karya klasik Tiongkok menjadi bacaan wajib kaum elite di Jepang. Masyarakat Edo di masa Tokugawa juga menerima trend kontemporer Tiongkok yang dibawa masuk dari Tiongkok.
Confusianist Jepang adalah kaum elite Jepang pada umumnya menunjukkan semangat kompetisi menghadapi Tiongkok , berusaha terus menjadi yang terbaik. Setelah Tiongkok jatuh ke tangan pemerintahan “barbarian” bangsa Manchu. Jepang mendapat kesempatan untuk klaim sebagai “the real central kingdom”.
Di Tiongkok , Penguasa Qing , dimulai oleh Kangxi(1661-1722) menunjukkan hasrat yang besar sebagai penguasa legendaris dalam confucian-sense dengan melatih diri mereka sendiri dengan karya klasik Tiongkok. Jonathan Spence menggembarkan sebagai “mekarnya budaya Tiongkok” di akhir abad 17, sekalipun Tiongkok di perintah oleh bangsa “alien”.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Referensi :
- The Cambridge History of Japan , Volume 4
- Urs Zachman , “China and Japan in the late Meiji Period” , 2009