Budaya-Tionghoa.Net | Topik pembantaian Batavia 1740 tidak pernah ada habisnya karena referensinya pun tersedia untuk digali terus menerus. Tulisan lain tentang Batavia 1740 pernah ditulis oleh salah satu moderator dan tulisan lawas itu sedang dikembangkan karena oleh penulisnya dinilai terlalu singkat . Tulisan dibawah ini adalah salah satu topik tanya jawab tentang pembantaian Batavia 1740 antara pertanyaan-pertanyaan dari Irawan R dan jawaban-jawaban dari Golden Horde. Silahkan disimak.
Admin & Moderator
|
Tanya : Dengan melalui mailing list ini, saya mohon bantuan data dan informasi dari rekan-rekan yang mengetahui tentang perlawanan dan pembantian terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia tahun 1740.
Jawab : Salah satu sumber informasi yang cukup baik yang membahas tentang perlawanan orang Tionghoa terhadap Belanda pada tahun 1740- 1743 adalah sebuah buku yang berjudul “The Chinese War and the Collapse of the Javanese State, 1725-1743” karangan Willem Remmelink yang diterbitkan oleh KITLV-Leiden, 1994. Buku ini ditulis berdasarkan (sebagian besar) hasil penelitian atas sumber data- data, catatan dan arsip dachregister VOC jaman itu. Buku ini pernah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743”, diterbitkan oleh Penerbit Jendela, pada tahun 2002. Selain ini didalam buku yang berjudul “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004” karangan M.C.Ricklefs juga dibahas secara singkat mengenai hal ini.. Benny Setiono juga membahas tentang peristiwa 1740 ini dalam bukunya yang berjudul “Tionghoa dalam pusaran politik”, dengan banyak mengutip dari kedua buku tersebut (terutama dari Remmelink). Semua buku ini sudah diterbitkan di Jakarta
Tanya : Menurut buku-buku sejarah, pembantaian tahun 1740 itu diawali oleh pemberontakan di Gandaria oleh SIPANJANG ( namun menurut Sir Thomas Stamford Raffles kejadian ini terjadi pada tahun 1730 – HISTORY OF JAVA ). Pemberontakan ini sendiri akhirnya digagalkan yang berakhir dengan pembantian oleh Belanda, dan menurut buku sejarah yang lain ada disebutkan kalau Sipanjang kemudian melarikan diri ke arah Timur. Lin Tian You dalam bukunya Riwayat Semarang menyebutkan bahwa di tahun 1628 hidup seorang tokoh silat bernama SOUW PAN JANG yang ikut pemberontakan dalam perebutan kekuasaan kraton Surakarta ( padahal kejadian ini terjadi pada tahun 1743 ). Pemberontakan gagal, Souw Pan Jang melarikan diri, akhirnya tenggelam di kali Tuntang, dan di Semarang sendiri ada daerah yang namanya PANJANGAN.
Jawab : Pembantaian terhadap orang Tionghoa pada tahun 1740, tidak tepat kalau dikatakan diawali oleh pemberontakan dari seseorang yang bernama Sipanjang di Gandaria. Secara singkat dikisahkan bahwa peristiwa pembunuhan 1740 ini diawali oleh berita-berita atau rumor yang merencanakan akan mendeportasi orang Tionghoa tertentu oleh penguasa VOC dibawah Gubernur Jenderal Valckenier ke Ceylon (Sri Lanka), lalu ditengah perjalanan akan dibuang kelaut.
Rumor ini tersebar berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Valckenier pada bulan Juli 1740, yang ingin membatasi jumlah penduduk Tionghoa di Jakarta dengan cara bunuh atau usir. Valckenier memerintahkan untuk memeriksa dan merahasia semua orang Tionghoa , baik yang memiliki ijin menetap atau tidak. Mereka yang tidak mempunyai menetap akan dideportasi ke Ceylon.
Jumlah penduduk imigran Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada waktu itu telah bertambah banyak dengan datangnya para imigran baru dari Tiongkok, dan beberapa dari mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, telah mulai faktor pengganggu keamanan disekitar Batavia. Ketidak puasan orang Tionghoa terhadap Belanda juga karena mereka dijadikan sapi perahan yang selalu diperas untuk mendapatkan setiap ijin oleh para pejabat VOC yang korup, sedangkan sebagian besar orang Tionghoa pada waktu itu berpenghasilan rendah, seperti pedagang kecil, pengrajin, dll.
Pada awal bulan Oktober 1740 beberapa orang-orang Tionghoa yang berada diluar kota mendahului tindakan VOC ini dengan menyerang dan membunuh beberapa orang Eropah dipinggiran kota Batavia. VOC khawatir, orang-orang Tionghoa yang berada di didalam kota akan bergabung dengan pihak pemberontak, lalu diberlakukan jam malam dan penggeledahan kesetiap rumah orang Tionghoa untuk mencari senjata. Selanjutnya tidak jelas kronologisnya lalu dimulai pembunuhan masal oleh VOC terhadap penduduk Tionghoa Batavia yang diperkirakan sekitar 10.000 orang Tionghoa yang menjadi korban pembunuhan tersebut.
Orang Tionghoa yang lolos dari pembantaian tersebut melarikan diri ke Timur, pertama-tama ke Bekasi dahulu, lalu menyusur pantai utara Jawa dan sampai ke Jawa Tengah. Rombongan pemberontak orang Tionghoa dari Batavia ini yang melarikan diri ke Jawa Tengah ini dipimpin oleh Que Panjang (Oei Panko).
Tanya : Selain tokoh SIPANJANG, SOUW PAN JANG, ada pula yang menyebut nama KHE PAN JANG, juga terdapat tokoh pemberontakan yang bernama Tay Wan Soei ( diduga gelar kemiliteran ) yang menurut para ahli sejarah beliau adalah saudara sepupu kaisar Qian Long yang dibuang keluar Tiongkok karena berusaha kudeta. Tay Wan Soei sendiri melarikan diri ke Bali dan meninggal di sana.
Jawab : Tidak ada dalam catatan sejarah yang menyebutkan atau mengkaitkan nama Kaisar Chien Lung dengan nama Tan Wan Soei yang disebutkan sebagai pemimpin pemberontakan di Indonesia. Pada tahun 1740, Tiongkok memang dibawah pemerintahan kaisar Chien Lung dari dinasti Ching. Tetapi ironisnya Chien Lung tidak melindungi kepentingan orang Tionghoa di Indonesia atau memprotesnya kepada VOC pada waktu itu, malahan menuduh orang Tionghoa di Indonesia yang menjadi korban pembantaian sebagai warga yang memburu kekayaan yang meninggalkan negeri leluhurnya dan melalaikan kewajiban memelihara kuburan orang tuanya, jadi pantas mendapat hukuman yang layak!.
Nama Tai Wan Soei atau Tai Wan Sai yang disebutkan sebagai seorang pemimpin pemberontakan Tionghoa yang melarikan diri ke Bali, adalah nama yang disebutkan atau ditulis oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam buku sejarahnya yang berjudul “”Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900” yang diterbitkan pada tahun 1993. Dalam buku tersebut Sartono mengulasnya peristiwa 1740 itu secara singkat dan dangkal.
Tetapi dia tidak menyebutkan asal sumber datanya dan dari mana nama tersebut dikutip. Karena Sartono adalah salah satu sejarawan pada jaman Orba, maka pemberontakan Tionghoa disebut sebagai “gerombolan Cina” . Ironisnya Sartono menyebutkan pemberontakan orang Tionghoa terhadap Belanda ini sebagai ” “lebih merupakan pencurian dan perampokan daripada perlawanan terhadap Kumpeni” (hal.224).
Sedangkan peranan Pakubuwono ke II yang oportunis dan berkompromi dengan Belanda serta peranan Cakraningrat ke IV dari Madura yang berkolaborasi dan membantu Belanda dalam menumpas pemberontakan itu dengan membunuh orang Tionghoa di Jawa Timur seperti di Gresik, Tuban dan Sidayu dll. tidak disebutkan atau dibahas dalam tulisan Sartono itu. Dan ketika Belanda tidak membutuhkan kerja sama dengan Cakraningrat IV lagi, maka dia ditangkap dan diserahkan ke pihak Belanda di Banjarmasin pada tahun 1746 dan kemudian dibuang ke Afrika Selatan.
Pemimpin pemberontakan yang melarikan diri ke Bali adalah Que Panjang sendiri dan dia tidak meninggal di kali Tuntang. Remmelink menyebutkannya sebagai seorang yang konsekwen dan tidak pernah mau menyerah dengan Belanda. Sesudah kekalahannya di Kartasura dan Jawa Tengah, maka Que bergabung dengan para pemberontak di sekitar Pasuruan, (sisa-sisa dari keturunan dan pengikut Surapati) dan melanjutkan perlawanan terhadap Belanda, sebelum akhirnya terdesak dan pindah ke Bali. Que terakhir kalinya terlihat pada tahun 1758 di istana Gusti Agung yang kemungkinan besar berada di kerajaan Mengwi yang sedang berjaya pada saat itu yang rajanya adalah Gusti Agung Made Alangkajeng.
Tanya : Kalau boleh tahu, Que Pan Jang itu apakah ada hubungannya dengan Syahbandar di Jakarta ketika itu yang juga bermarga Que / Kwee ( Que Hun Ko ).
Jawab : Tidak diketahui apakah Que Panjang ada hubungannya dengan keluarga Que yang ada di Batavia pada waktu itu, karena tidak ada catatan sejarahnya . Memang di Batavia pada akhir abad ke-18 ada seorang Kapiten Tionghoa yang mempunyai nama Marga Que, yaitu Que Koen Qua (Leonard Blusse, Strange Company). Pada tahun 1740, ketika pembantaian terjadi, Kapiten Tionghoa yang Batavia pada waktu itu adalah Nie Hoe Kong dan dia dituduh terlibat serta mendukung pemberontakan orang Tionghoa tersebut. Nie Hoe Kong kemudian ditangkap, disiksa dan kemudian dibuang ke Ambon.
Tanya : Di Semarang sendiri ada klenteng marga Kwee yang memuja Kwee Lak Kwa ( Guo Liu Guan ) yang menurut salah satu sumber dikatakan dia juga salah satu tokoh perlawanan terhadap Belanda ??? juga ada Kapiten Semarang yang bernama Kwee An Say yang ditangkap oleh Belanda karena kalah dalam pemberontakan terhadap Belanda.
Jawab : Pada abad ke-18, keluarga Kwee, atau Que seperti orang Belanda menulis dalam catatan arsipnya, adalah sebuah keluarga terpandang, elit dan terkemuka di Semarang, serta memiliki pengaruh yang besar atas komunitas Tionghoa di Jawa Tengah. Keluarga Kwee ini mulai menanjak posisinya ketika Que Kiau Ko (Kwee Kiaw Loo ?) diangkat untuk menduduki posisi Syahbandar di Semarang pada tahun 1685.
Que Kiau Ko berasal dari Haiting, Fujian. Keberhasilan mendapatkan posisi ini berkat rekomendasi saudaranya (Kwee Djoan menurut Liem Thian Joe atau Que Koen-qua menurut Leonard Blusse) yang menjabat Kapiten Tionghoa di Batavia pada waktu itu. Pada tahun 1695, Que Kiau Ko pindah dari Semarang ke Jakarta, karena akan diangkat menjadi Letnan Tionghoa di Batavia.
Jabatan yang di Semarang ini diserahkan kepada saudaranya juga yang bernama Que Hoen Ko yang menjabat sebagai syahbandar dan Kapiten Tionghoa di Semarang. Pada tahun 1706 Que Hoen Ko menyerahkan jabatannya kepada Que An Ko sebagai Kapiten Tionghoa hingga dia meninggal pada tahun 1741, sedangkan jabatan Letnan Tionghoa dipegang oleh keponakannya Que Yon Ko. (Luc Nagtegaal: Riding The Dutch Tiger).
Kwee An Say adalah nama Kapiten Tionghoa Semarang yang disebutkan oleh Lim Thiam Joe dalam bukunya Riwayat Semarang. Yang dimaksudkan Kwee An Say oleh Lim Thiam Joe kemungkinan besar adalah sama dengan nama Que An Ko yang disebutkan oleh Nagtegaal. Lim Thiam Joe menggunakan arsip dari Kong Kuan sedangkan Nagtegaal menggunakan arsip dan daghregister VOC, ada perbedaan sumber disini. Tetapi kedua-duanya menyebut sebagai Kapiten Tionghoa di Semarang pada waktu itu. (Benny Setiono menyebutnya sebagai orang yang sama).
Kapiten Que An Ko dan keponakannya Letnan Que Yon Ko memang dituduh mendukung pemberontakan Tionghoa oleh gezaghebber Visscher (komandan militer) di Semarang pada waktu itu, tetapi sebenarnya mereka tidak terlibat, malah memberikan informasi kepada Visscher mengenai gerakan pemberontak Tionghoa yang akan terjadi di Semarang dan Jawa Tengah.
Tetapi kalau benar Que An Ko itu adalah nama yang sama dengan nama Kwee An Say yang Raffles dan Lim Thian Joe sebutkan, maka tidak pernah atau belum ditemukan dalam catatan arsip dan daghregister VOC nama ini (Kapiten Tionghoa Semarang) yang diketahui pernah menjadi pemimpin pemberontakan. Apakah yang dimaksud Kwee An Say sebagai seorang pemimpin pemberontak ini sebenarnya Singseh (Tan Sin Ko) tokoh pemberontakan yang paling terkenal ? Apakah terjadi kekeliruan dalam penamaannya?
Kiranya perlu penelitian lebih lanjut mengenai nama ini, supaya tidak rancu. Seperti juga nama Tai Wan Sui atau Tay Goan Swee atau Ta Yuan Sui yang kemungkinan besar bukan nama seseorang melainkan nama jabatan yang mengepalai pasukan. Didalam kelenteng Kwee Lak Kwa (kelenteng marga Kwee), juga tidak terlihat sien-cie (papan nama) dari Kapitan Kwee An Say yang seharusnya ada.
Pemimpin pemberontak yang terkenal dari Jawa Tengah , selain Que Panjang yang dari Batavia adalah “Singseh” (Tan Sin Ko), dipanggil Singseh, mungkin karena berprofesi sebagai sinshe (tabib tradisionil) atau ahli silat., dia ikut bertempur di Kaligawe, Torbaya, Kudus dan Pati. Raden Mas Garendi atau yang disebut juga Sunan Kuning (anak Pangeran Tepasana atau cucu dari Amangkurat ke- III yang diasingkan ke Ceylon) diketahui pernah bersama Singseh didekat Torbaya sebelum dia (waktu itu baru berumur 12 tahun) rencananya akan diangkat oleh pihak pemberontak sebagai Susuhunan yang baru di Kartasura untuk menggantikan Pakubuwono ke-II pada awal 1742.
Di Welahan, Singseh bertempur melawan tentara kumpeni bersama dengan Raden Mas Said (nama lainnya Pangeran Suryakusuma) yang pada waktu itu bergabung dengan pihak pemberontak yang menentang Pakubuwono ke II, dikemudian hari Mas Said ini menjadi Mangkunegara ke-I pada tahun 1757. Pangeran Mangkubumi juga ikut bergabung dengan pemberontakan ini dan kelak dia akan menjadi Hamengkubuwono ke-I di Yogyakarta secara resmi sesudah perjanjian Giyanti 1755.
Pemberontakan ini yang pada awalnya anti kumpeni, sekarang berkembang dan meluas menjadi anti Pakubuwono ke-II, dan kekuatan utamanya lebih banyak terdiri atas orang Jawa daripada orang Tionghoa sendiri, sehingga banyak pangeran terkemuka bergabung dengan pemberontak, seperti Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari dll.
Ketika pemberontak Tionghoa pada tahun 1742 sudah terpukul dan dikalahkan oleh pasukan VOC dengan sekutunya Cakraningrat ke-IV dari Madura, maka Singseh berusaha melarikan diri dengan perahu dari Lasem dengan rencananya pertama-tama ke ke P. Bawean dahulu lalu ke Johor, tetapi dia tidak bernasib baik, karena perahunya tertangkap dan dibunuh oleh seorang bekas budak Belanda yang berasal dari Bali, karena kepalanya dihargai tinggi oleh kumpeni.
Pemimpin-pemimpin pemberontakan Tionghoa lainnya yang dikenal adalah Lim Pin Ko, alias Encik Ping atau Ngabehi Ping dari Bulung (pemilik pabrik gula di Bulung), dan Gouw Ham Ko, seorang pemuka masyarakat Tionghoa dari Kartasura, mati dibokong dan dibunuh dekat jembatan Tuntang, Salatiga oleh Pangeran Pringgalaya, ketika Gouw secara tidak sadar menghampiri Pringgalaya untuk berbicara dan mengajaknya bergabung untuk berperang melawan kumpeni.
Pemberontakan Tionghoa 1741-43 ini adalah peperangan yang terbesar di abad ke-18 melawan Belanda (Ricklefs), dan ini sebenarnya adalah sebuah kesempatan yang besar untuk mengusir Belanda dari Indonesia untuk selamanya sebelum tahun 1942 (Prior to 1942, there was probably no time at which the Javanese appeared more likely to drive the Dutch out of Java than during the years 1740-1743, Luc Nagtegaal).
Ketika itu Belanda pada awalnya hampir tidak dapat menguasai pemberontakan tersebut, karena kekurangan pasukan, uang dan merugi terus VOC-nya (bangkrut di tahun 1799). Pada tahun 1740, Belanda sedang sibuk melancarkan ekspedisi militer ke Wajo di Sulawesi Selatan untuk menumpas perlawanan Arung Singkang (La Madukelleng).. Ketika pasukan kumpeni selesai dengan operasi militernya di Wajo, maka kekuatannya sekarang dapat dialihkan atau ditempatkan di Jawa untuk menumpas pemberontakan Tionghoa itu dan kalau sekiranya juga tidak ada bantuan dan kolaborasi dari Cakraningrat ke-IV dengan pasukan Maduranya , maka jalannya sejarah akan berlainan
Akibat pemberontakan ini maka Pakubuwono ke II mendapatkan tahtanya kembali di Kartasura yang hampir hilang ketika kaum pemberontak merebut Kartasura pada bulan Juni 1942. Pada bulan November 1742 pasukan Cakraningrat ke IV merebutnya kembali dari tangan pemberontak, dan berkat tekanan dari VOC maka Cakraningrat terpaksa menarik pasukannya dari Kartasura sehingga Pakubuwono dapat naik ke singgasananya kembali.
Tetapi ini dibayar mahal oleh Pakubuwono II, karena daerah pesisir utara Jawa sekarang diserahkan dan dikuasai oleh VOC, dan Kartasura kehilangan sumber penghasilannya, kecuali uang sewanya yang dibayar setiap tahun oleh VOC. Selain itu orang Jawa tidak boleh berlayar kemanapun kecuali Pulau Jawa, Madura dan Bali.
Menurut Nagtegaal, pemberontakan yang awalnya sebuah pemberontakan Tionghoa di Batavia yang melawan Belanda, telah berkembang menjadi sebuah pemberontakan yang menentang kekuasaan Mataram, dikarenakan ketidak puasan sosial (social discontent) yang meluas diantara penduduk Tionghoa dari lapisan bawah ( seperti pekerja pabrik gula dan pemotongan kayu, dll) dan penduduk pribumi Jawa kebanyakan terhadap golongan elit kota ( urban elite), yang terdiri atas orang Tionghoa, Belanda dan Jawa elit.
Mereka merasa dieksploitasi oleh kaum elit tersebut. Mereka tidak hanya membenci terhadap VOC tetapi juga terhadap kaum feodal Mataram. Dalam pemberontakan ini asal usul etnisitas bukan lagi menjadi faktor pembatas, batasannya telah menjadi kabur. Pada masa- masa akhir pemberontakan, mayoritas kaum pemberontak terdiri dari orang Jawa dan bukan orang Tionghoa lagi. Dalam batas-batas tertentu telah terjadi suatu solidaritas sosial atau kelas diantara mereka, yaitu kelas yang merasa tertindas melawan kaum elit. Jadi memiliki sisi pemberontakan sosial juga .
Di sisi lain juga adanya persaingan dan kepentingan pribadi diantara para bangsawan Jawa yang berambisi, seperti beberapa pangeran Jawa yang bergabung dalam pemberontakan Tionghoa tersebut dan menentang Pakubuwana II. Pada akhirnya Belanda memanfaatkan perpecahan ini demi politik “divide et impera”nya dan kerajaan Mataram akhirnya terpecah sesudah pertengahan abad ke 18 menjadi Surakarta (Pakubuwana), Yogyakarta (Hamengkubuwana), Mangkunegaran, dan terakhir Paku Alaman.
Salam
Golden Horde
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa