Budaya-Tionghoa.Net | Defisit Amerika Serikat dengan Tiongkok mencapai rekor 295 miliar USD tahun 2011. Sentimen proteksionis berjalan tinggi meninggi , dengan keluhan AS yang baru-baru ini diajukan ke WTO disertai paduan suara yang menyerukan revaluasi Yuan untuk menghadapi Tiongkok yang dituduh memanipulasi mata uang agar ekspor tetap murah.
|
Tetapi terlalu berfokus pada mata uang Tiongkok seperti menafikan kisah dibalik surplusnya Tiongkok. Dari perspektif Tiongkok , peringatan bahwa yuan undervalued secara substansial tampaknya tidak logis. Surplus Tiongkok terus menurun 10% GDP lima tahun lalu menjadi kurang dari tiga persen tahun lalu dan akan diperkirakan terus menurun. Pejabat di Beijing juga kehabisan akal bahwa setelah mereka membiarkan apresiasi yuan hampir 30% sejak 2005, para kritikus masih mengatakan mata uang masih undervalued
Tiongkok baru melebarkan perdagangan yuan yang menunjukkan sekarang lebih percaya diri terhadap stabilitas nilai mata uangnya.
Keraguan muncul dari fokus pada ketidakseimbangan perdagangan AS-Tiongkok daripada melihat gambaran perdagangan dari perspektif global. Yang sesungguhnya terjadi adalah surplus Tiongkok tidak mendorong terjadinya defisit AS. Hali ini dapat digambarkan dengan perbedaan waktu perubahan balance antar kedua negara.
Kesenjangan perdagangan AS mulai meningkat sejak 1998 dan mencapai puncaknya di tahun 2005. Surplus Tiongkok baru mulai meningkat sejak 2005 dan mencapai puncaknya pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa surplus Tiongkok dan defisit AS tidak berkaitan langsung melainkan cerminan keadaan negara masing-masing.
Tiga fenomena menjelaskan tentang surplus Tiongkok : (1) kenaikan konsumsi AS dan defisit fiskal yang memicu impor, (2) jaringan produksi Asia Timur yang berpusat di Tiongkok, (3) derasnya tingkat tabungan di Tiongkok.
Asal usul dan konsekuensi peningkatan konsumsi AS diikuti dengan tumbuhnya defisit fiskal . Ini bagian kisah yang tidak ada hubungannya dengan Tiongkok tetapi mencerminkan kemacetan politik AS. Peran jaringan produksi Asia dimulai satu dekade lalu sejak Jepang memindahkan basis produksinya di Asia Tenggara dengan aksesi ke WTO di tahun 2001, yang menawarkan akses yang lebih mudah ke pasar Barat. Pada saat bersamaan , program infrastruktur yang masif memperkuat posisi Tiongkok terhadap persaingan.
Meskipun kenaikan upah riil sekitar 12 persen pertahun di Tiongkok , hal ini juga disertai dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja yang sangat menguntungkan bagi perusahaan multinasional yang menjadikan Tiongkok sebagai basis produksi atau perakitan dunia. Dalam hal ini keseimbangan perdagangan AS-Tiongkok bukanlah isu bilateral melainkan regional.
Pengolahan ekspor — dimana mereka memiliki konten impor tinggi yang difasilitasi oleh tarif impor rendah– sekarang merupakan setengah dari volume perdagangan Tiongkok , tetapi juga berpengaruh terhadap keseluruhan surplusnya. Delapan puluh persen dari nilai tambah komponen ini bagaimanapun juga bersumber di tempat yang lain. Hubungan ini terlihat juga dalam surplus perdagangan Korea Selatan , Jepang , Taiwan dengan Tiongkok. Bersama , mereka naik dari 30 miliar USD ditahun 2000 menjadi lebih dari 200 miliar USD di tahun 2010. Dengan kata lain , surplus perdagangan Tiongkok dengan AS berasal dari tiga negara tersebut.
Ketika presiden Obama menyambut Lee Myung Bak di Washington , dia berkomentar bahwa perdagangan antara AS dan Korea Selatan dalam keseimbangan . Ini menunjukkan , Korea Selatan dan negara lainnya dapat menghindari kritik AS dengan menyembunyikan surplus perdagangan mereka dibalik Tembok Besar Tiongkok.
Daripada mengeluh tentang ekspor Tiongkok yang relatif produk padat karya , AS harus bertanya pada diri sendiri mengapa negara mereka tidak mampu memproduksi teknologi tinggi sebagaimana komponen padat-modal datang ke AS dari Jepang , Korea Selatan dan Taiwan via Tiongkok. Aktivitas ini membutuhkan ketrampilan dan gaji yang cocok bagi para pekerja AS.
Neraca perdagangan tentu saja , perbedaan antara penghematan dan investasi ekonomi. Dalam hal ini terjadi peningkatan tingkat tabungan rumah tangga di Tiongkok yang memiliki dampak signifikan terhadap surplusnya. Urbanisasi yang cepat dan pergerakan sekitar 250 juta pekerja ke kota-kota pesisir Tiongkok telah merubah dinamika tabungan di Tiongkok. Kebijakan restriktif meniadakan hak residensi formal para pekerja dan pada gilirannya menekan naluri konsumtif mereka. Akibatnya dibeberapa kota tabungan pekerja migran melonjak dua kali lipat. Kenaikan upah dalam beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan peningkatan tajam dalam tabungan yang pada gilirannya memperkuat surplus perdagangan Tiongkok.
Sumber : Bloomberg
HZW
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Tionghua Bersatu