Budaya-Tionghoa.Net | Mengenal Tiongkok! Bisa sederhana. Bisa juga pelik dan rumit. Banyak tergantung dari situasi per individu. Bagaimana titik tolak dan latar belakang sejarah yang bersangkutan. Last but not least, bagaimana pula kecenderungan politiknya. Banyak yang bukan orang Tiongkok, memperoleh gambaran atau ide tentang Tiongkok dari berita atau literatur. Dari pelajaran sejarah di sekolah ataupun di perguruan tinggi. Bisa juga dari ceitera orang yang pernah berkunjung atau tinggal di Tiongkok. Ada juga yang dirinya sendiri pernah berkunjung atau bahkan tinggal di Tiongkok dalam waktu tertentu. Tetapi, akhirnya tokh, tergantung pilihan yang bersangkutan. Apa maunya. Apa yang ia ingin ketahui atau hendak kenal tentang Tiongkok. Mau mencari yang negatifnya (saja), pasti akan menjumpainya. Mau mencari yang positifnya juga pasti banyak. Mau berusaha obyektif juga bukan tidak mungkin.
|
Nanti kita lihat bersama, bagaimana seorang jurnalis Amerika, wartawan UPI, Jack Belden, menulis buku terkenal ‘CHINA SHAKES THE WORLD’ (1949), — ‘Tiongkok Menggemparkan Dunia’ (Edisi Bahasa Indonesia: ‘NAGA MERAH’). Bagaimana pula Jung Chang, orang Tiongkok dan suaminya orang Inggris, Jon Halliday, menulis tentang Mao: ‘Mao, Ceritera yang Tidak Dikenal’, 2005..
* * *
Bisa juga kukenangkan kembali bagaimana aku sendiri mula mengenal Tiongkok. Ini kasus lebih sederhana, karena itu pengalamanku sendiri. Pada suatu ketika, awal tahun 1950-an, sesudah tercapainya perdamaian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda (akhir 1949), banyak buku dan literatur luarnegeri masuk Indonesia. Tidak sedikit literatur yang mengisahkan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, yang diproklamasikan pada tanggal 1 Oktober 1949. Ketika itu banyak ‘breaking news’ tentang Tiongkok. Umumnya mengisahkan keheibatan tentara Komunis di bawah pimpinan Mao Tsetung (Mao Zedong) dan Chu Teh (Zhu De) , yang berhasil memusnahkan tentara Kuomintang di bawah pimpinan Jenderalisimo Chiang Kai-sjek, dengan jumlah jutaan dan peralatan serta persenjataan modern dari AS. Diberitakan bagaimana sisa-sisa kekuatan KMT yang korup dan bobrok serta bangkrut itu lari terbirit-birit ke Taiwan. Diberitakan pula bagaimana pemerintah Tiongkok Baru, pemerintah RRT, mengatasi inflasi, memulihkan ketenteraman serta menjalankan kembali roda ekonomi negeri, melakukan pembagian tanah kepada kaum tani, melaksanakan landreform, serta mengakhiri kriminalitas, pelacuran, perjudian, dll kemaksiatan dalam masyarakat lama Tiongkok di bawah kekuasaan Kuomintang.
Tak kujumpai ada pemberitaan yang membantah kebobrokan KMT yang kalah didaratan Tiongkok dan lari ke Taiwan. Juga tidak ada berita yang menyanggah bahwa tentara Komunis di bawah pimpinan Mao Tsetung (Mao Zedong) dan Chu Teh (Zhu De) , telah berhasil membereskan negeri dan memulihkan perdamaian di Tiongkok.
* * *
‘China Shakes The World’ (1949), karya Jack Belden. Entah dari siapa pertama-tama aku mendengar tentang buku Jack Belden itu . Tak ingat lagi. Tapi kuingat buku itu kubeli di Toko Buku ‘Indira’ di Menteng, Jakarta. Buku Jack Belden, wartawan UPI, yang terkenal: ‘China Shakes The World’ (1949) – ‘Tiongkok Menggoncangkan Dunia’, segera menjadi ‘bestseller’. Lakunya seperti pisang goreng, kata orang kita. Kuingat, kemudian nama buku itu kudengar lagi, dari sahabatku Sidharta pimpinan SBKB, Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, salah seorang pendiri Lekra . S.Dharta, atau Klara Akustia, nama penanya, menganjurkan aku agar membaca buku itu sampai selesai. S. Dharta memuji ketelitian dan kegairahan Jack Belden menulis tentang revolusi Tiongkok. Baik dari segi fakta-faktanya, analisisnya, maupun dari segi profesionalismenya sebagai wartawan. Dharta menyatakan padaku, bahwa ia tidak pernah membaca buku tentang perkembangan revolusioner di Tiongkok sebagus buku Jack Belden.
Bagiku, membaca buku Jack Belden ‘China Shakes The World’ ketika itu, melengkapi gambaran yang kuperoleh dari pemberitaan dan literatur lainnya mengenai Tiongkok di bawah KMT, dan bagaimana kaum Komunis Tiongkok telah berhasil membebaskan serta mempersatukan Tiongkok. Membaca buku Jack Beldn, seakan-akan pembaca dibawa ikut menyaksikan sendiri dari tahap ke tahap, perkembangan revolusi Tiongkok yang menggemparkan dunia sampai mencapai kemenangan gemilang dan historis.
Dulu, Barat menamakan Tiongkok ‘orang sakit Asia’ – ‘The sick man of Asia’. Berkat suatu proses revolusioner, Tiongkok lahir kembali sebagai raksasa yang segar bugar. Dalam pada itu masih jelas dalam ingatanku sebuah toko buku milik perusahaan Tionghoa di Glodok, yang dalam tahun 1950-an, banyak menjual buku-buku tentang revolusi Tiongkok dan Tiongkok Baru. Toko buku itu sering sekali kukunjungi untuk membeli literatur terbaru mengenai Tiongkok Baru. Inilah sebabnya antara lain sejak muda, aku menaruh simpati terhadap perjuangan revolusioner rakyat Tiongkok dan terhadap Tiongkok Baru.
Kesanku sama seperti kesan seorang pembaca di Amerika, bernama Zhou Bi Liang, graduate student State College, PA, USA. Ia menulis: Sesudah membaca edisi bahasa Tionghoa buku ‘China Shakes The World’ , saya berterimakasih kepada Jack Belden (meninggal 1989 di Paris dalam usia 79 tahun). Jack Belden secara hidup dan setia pada fakta mencatat Perang Saudara Tiongkok, yang secara fundamental telah menghancurkan masa lampau Tiongkok dan membuka jalan ke arah modernisasi.
Pembaca lainnya, Zhang Yinshu , Herdon, Virginia, AS, menyatakan tentang buku CHINA SHAKES THE WORLD, sbb: Buku ini yang telah amat menyentuh hatiku, begitu uniknya, betapa telah membelokkan pandangan umum di Amerika, meskipun penulisnya tidak bermaksud demikian. Sedemikian jauh, apa yang kita ketahui tentang Partai Komunis Tiongkok (ketika itu) tidak lebih dari suatu partai yang anti hak-hak azasi manusia, biadab, yang maniak dan berakal busuk. Tetapi sementara dari kalian mungkin bertanya-tanya, tulis Zhang, barangkali dalam fikiran anda ada suatu pertanyaan yang sayup-sayup sampai: bagaimana orang-orang Komunis Tiongkok itu bisa memenangkan perang saudara di Tiongkok dalam tahun 1940-an; bagaimana mereka bisa mengalahkan tentara PBB dalam tahun 1950 . . . . . . Bila masih ada pertanyaan lagi, akan anda temukan dalam buku Jack Belden. Bolehlah saya katakan bahwa inilah satu-satunya buku yang akan membikin anda memahami Tiongkok masa lampau dan masa kininya.Demikian Zhang.
Satu lagi komentar terhadap buku Jack Belden ‘China Shakes The World’ dari J. Michael Showalter, Tennesee, AS, sebagai berikut :
Buku ini benar-benar hebat. Ia mencatat Tiongkok di bawah pemerintah Nasionalis Tiongkok, ditulis oleh seorang wartawan Amerika, yang akhirnya terpesona oleh Tentara Pembebasan Rakyat di bawah pimpinan Mao, bukan disebabkan oleh ideologi, tetapi oleh daya tarik rakyat Tiongkok . . . . yang menderita. . . Benarlah, karya Jack Belden mengisahkan bagaimana melalui Komunisme, rakyat Tiongkok telah membebaskan dirinya dari penindasan feodalisme . . . . . dan memberikan arah untuk memahami MENGAPA rakyat masih dapat menghormati Mao Tjetung sebagai pemimpin dan pembebas bangsa . . .
* * *
Sehubungan dengan usaha untuk bisa mengerti dan mengenal Tiongkok dan juga dengan membaca bahan-bahan dari sumber yang antagonis terhadap sistim politik dan pemerintahan Tiongkok sekarang ini, hal itu dewasa ini tidaklah sukar. Sering-sering buku sejenis itu, malah laris, menjadi ‘bestseller’.
Buku yang tergolong baru terbit, yang kritis terhadap pemerintahan Tiongkok sekarang, antara lain, adalah yang ditulis oleh Jung Chang dan Jon Halliday. Jung Chang adalah penulis novel ‘Angsa-angsa Liar’, yang bestseller. Jon Halliday, adalah suami Jung Chang, seorang historikus berbangsa Inggris.
Judul buku: ‘Mao, — Cerita Yang Tidak Dikenal” dengan judul aslinya : ‘MAO, The Unknown Story’. Yang ada di tanganku adalah edisi bahasa Belanda, berjudul: ‘MAO, Het Onbekende Verhaal’. Menurut penerbitnya, Jung Chang dan suaminya sejarawan Inggris John Halliday, menulis buku mereka atas dasar penelitian dan studi selama 11 tahun. Maksud Jung Chang dan Halliday adalah mengungkap ceritera tentang Mao yang, katanya, belum dikenal orang. Buku itu terbit dalam tahun 2005. Penerbit: Jonathan Cape, London. Tebal: 942 halaman. Netto isi: 795 halaman. 152 halaman terdiri dari a.l., ucapan terima kasih; daftar orang-orang yang diwawancarai; catatan; kepustakaan dari sumber-sumber Tiongkok; bibliografi dari sumber bukan-Tiongkok dan register. Dihiasi dengan 39 foto dan pada cover buku, 1 sebuah foto potret-Mao. Juga terdapat4 halaman peta Tiongkok.
* * *
Bila menemukan buku tsb di toko buku atau di perpustakaan, dari luar memang tampaknya ‘bukan sebarang buku’. Menurut penerbitnya, buku Jung Chang (terjemahan bebas, I.I.) ‘adalah sebuah biografi tentang Mao. Suatu karya yang paling terdokumentasi yang pernah terbit mengenai Mao. Menurut Jung Chang dan Halliday, Mao bukan seorang yang dikhayati oleh idealisme atau ideologi. Mao adalah seorang tukang intrik, yang meracuni dan memeras orang. Tujuan rahasia yang diperjuangkan Mao adalah menguasai dunia’.
Apa yang ditulis oleh penerbitnya tentang buku Jung Chang, ditegaskan lagi oleh Jung Chang sendiri dalam awal Bab 1, bukunya, sbb:
‘Mao Tjetung (Mao Zedong) , yang selama puluhan tahun menguasai peri kehidupan seperempat penduduk dunia, adalah yang bertanggung-jawab atas matinya kira-kira 70 juta orang di masa damai, suatu tanggungjawab yang lebih besar terbanding tanggungjawab pemimpin manapun dalam abad ke-21 ‘ . Selanjutnya pada halaman 25 edisi bahasa Belanda, Jung Chang menulis sebagai berikut : ‘Latar belakang tani Mao, tidak menyebabkan ia dikhayati oleh idealisme tentang memperbaiki nasib kaum tani Tiongkok’.
Sedangkan dalam ‘Epilog’ pada halaman 795, Jung Chang dan Halliday, mengakhiri penulisannya dengan menandaskan: ‘Juga sekarang ini, potret Mao dan jenazahnya masih mendominasi Lapangan Tiananmen, ibukota Tiongkok. Rezim komuis yang sekarang ini masih menamakan dirinya pewaris Mao dan dengan cara yang agresif meneruskan mitos Mao’.
Kiranya jelaslah apa tujuan Jung Chang dan suaminya historikus Jon Halliday, menulis buku itu. Buku Jung Chang dan Halliday terkenal, menjadi bestseller, diterjemahkan entah dalam berapa bahasa. Ada yang memujinya, ada pula yang mempersoalkan, mengeritik dan menyanggahnya. Baik dimulai dengan pujian terhadap buku Jung Chang.
Pujian Perry Link, profesor pada East Asian Studies, Princeton University, menulis suatu review di penerbitan The Times Literary, August 2005. Ia menilai positif buku Jung Chang.
Seorang Profesor Emeritus pada London School of Economics, Prof Michael Yahuda, menyatakan sokongannya pada buku Jung Chang. Dalam s.k. ‘The Guardian’ Yahuda menyebut buku Jung Chang itu sebuah ‘buku cemerlang’ dan suatu ‘karya yang menakjubkan’. Banyak lagi komentar yang memuji buku Jung Chang dan Jon Halliday.
* * *
KRITIK-KRITIK terhadap buku Jung Chang. Penulis-penulis dan akademisi-akademisi lainnya mengkritik atau mempertanyakan tentang buku Jung Chang itu. Umumnya para pengeritisi itu mempermasalahkan sekitar sifat (maksudnya barangkali: mutu. I.I.) sumber-sumber yang digunakan buku itu. Teristimewa, karena sumber-sumber tsb tidak bisa diakses atau samasekali tidak bisa dipercaya. Point lainnya yang berulang-kali diajukan pengeritisi ialah bahwa imago Mao, seperti yang digambarkan oleh Jung Chang dan Halliday, terlalu dangkal, atau fokusnya terlalu disasarkan pada orangnya dan bukan pada Partai Komunis.
Salah seorang dari pengeritisi buku Jung Chang, Philip Short, seorang penulis buku ‘Mao, Suatu Kehidupan’, termasuk yang pertama yang memberikan reaksi terhadap buku Jung Chang. Philip Short yakin bahwa, Jung Chang berat sebelah dalam pandangannya bahwa hanyalah Mao yang disalahkan untuk segala musibah yang diderita Tiongkok.
Pengkritisi lainnnya lagi, Andrew Nathan, Profesor dan Chair pada Departemen Ilmu Politik pada Universitas Columbia, menulis (penilaian yang menyeluruh) dalam London Review of Books. Prof Nathan khawatir bahwa banyak dari penelitian yang dilakukan oleh Jung Chang, sangatlah sulit dikonfirmasi, atau samasekali tak bisa dipercaya. Prof Nathan menilai bahwa, banyak sumber yang dikemukakan oleh Jung Chang dan Halliday, tidak bisa dicek, sedangkan lainnya terang-terangan spekulatif atau didasarkan atas bukti-bukti tak langsung dan sambil lalu saja , dan sementara tidak benar. Menurut Prof Nathan, kemarahan penulis, halamana bisa dimengerti sepenuhnya, telah membentuk buku baru ini.
Pengeritisi lainnya lagi, Profesor Thomas Bernstein dari Columbia University, menganggap buku Jung Chang dan Halliday sebagai suatu ‘bencana besar’ bagi usaha penelitian tentang Tiongkok dewasa ini . . . . . . Karena penulis menggunakan aparat penelitian yang menakjubkan, maka klaim-klaim mereka, dikira akan diterima orang ….. Namun kesarjanaan mereka itu digunakan sepenuhnya untuk menghancurkan secara total reputasi (jasa) Mao. Maka hasilnya ialah sama, yaitu kutipan-kutipan menakjubkan yang diambil diluar konteks samasekali, pemalsuan fakta-fakta dan dihilangkannya banyak hal. Yaitu fakta-fakta yang sebenarnya telah membentuk Mao, sebagai seorang pemimpin yang kompleks, kontradiktif dan banyak seginya.( A Swan little book of Ire, 07.10.2005)
* * *
Bagiku, untuk mengenal siapa Mao, pasti tidak mungkin bila itu hendak diperoleh hanya dari ceritera-ceritera, yang dikatakan diperoleh dari orang yang pernah dekat dengan Mao. Atau dari dokumen-dokumen yang ternyata banyak yang tidak bisa dicek kebenarannya. Atau dari ucapan-ucapan Mao yang terlepas dari konteksnya.
Untuk mengetahui siapa Mao, ide-idenya, tidak bisa lain, harus membaca sendiri karya-karya yang ditulisnya. Selama periode Mao memimpin Partai Komunis dan negara, paling sedikit ia telah menulis karya politik teori dan ideologi, terkumpul dalam PILIHAN KARYA MAO TJETUNG, yang terdiri dari empat jilid. Itu adalah karya-karya pilihan. Belum lagi lainnya terpisah-pisah yang tidak termasuk pilihan. Selain itu banyak pembicaraan Mao dalam perbagai periode, yang didokumentasi oleh CC PKT. Melihat daftar bibliografi/kepustakaan asal Tiongkok dalam buku Jung Chang dan Jon Halliday – paling tidak ada 21 bahan, buku dan dokumen yang dengan nama Mao, pembaca berasumsi semua bahan-bahan itu dibaca dan dipelajari oleh Jung Chang dan Halliday.
Dengan (cukup) membaca empat jilid ‘Pilihan Karya Mao Tjetung’ , sebagai dasar, orang sudah bisa menyimpulkan bahwa, apa yang ditulis Mao itu adalah teori dan praktek suatu revolusi. Oleh penulisnya dinamakan REVOLUSI DEMOKRASI BARU. Revolusi Demokrasi Baru, menurut teori dan praktek revolusi Tiongkok, hakikatnya adalah revolusi tani. Hakikatnya perubahan tanah untuk memperbaiki nasib kaum tani. Siapa bisa menyangkal bahwa ketika Republik Rakyat Tiongkok berdiri, 1 Oktober 1949, itu adalah sangkakala kemenangan Revolusi Demokrasi Baru Tiongkok.
Bagaimana pula sang novelis Jung Chang dan sejarawan Halliday bisa menyimpulkan bahwa: ‘Latar belakang tani Mao, tidak menyebabkan ia dikhayati oleh idealisme tentang memperbaiki nasib kaum tani Tiongkok’. Aku tidak heran mengapa Prof. Thomas Bernstein, sesudah mempelajari buku Jung Chang dan Halliday, menyimpulkan bahwa buku itu merupakan ‘bencana besar’ bagi usaha penelitian tentang Tiongkok dewasa ini Terserahlah kepada pembaca yang ada tekad untuk membaca tulisan Jung Chang dan Jon Halliday, menyimpulkan sendiri, sampai dimana nilai dan mutu buku Jung Chang dan Jon Halliday itu.
Ibrahim Isa , 23.03.5
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
A Philippine gunboat harassed 12 Chinese fishing boats that were taking refuge from harsh weather in a lagoon near China’s Huangyan Island last month, triggering the current standoff between China and the Philippines.
The Philippines never disputed China’s sovereignty over the island until 1997, and a 1978 map sanctioned by the Philippines’ National Mapping and Resource Information Authority placed Huangyan Island outside the Philippines’ territorial limits. However, in May 1997, the Philippine navy intercepted two vessels carrying a group of amateur radio enthusiasts from China, Japan and the United States, who had planned an expedition to Huangyan Island. Before long, a group of Philippine congressmen sailed to the island and posed for photos under a Philippine flag, and later the Philippines navy arrested 21 Chinese fishermen near the island and filed an illegal entry charge against them.
Manila bases its claim on proximity and insists that the island is within its exclusive economic zone. The United Nations Convention on the Law of the Sea allows a coastal state to claim a 200-nautical-mile exclusive economic zone, but the state has no right to change the ownership of territory by doing so.
China is the first country to name Huangyan Island and incorporate it into its territory and exercise jurisdiction over it. In 1935, the then Chinese government included the island with the name Scarborough Shoal as part of the Zhongsha Islands into Chinese territory. In 1947, the government announced a new list of South China Sea islands, in which Scarborough Shoal was also included and renamed as Democratic Reef, and in 1983, China released a list of some South China Sea islands and began to use Huangyan Island as the island’s standard name.
While China has legal foundations for its sovereignty over Huangyan Island, the Philippines’ claim that Huangyan Island is within its exclusive economic zone lacks legal basis. Back in 1997, Judge Eliodoro Ubiadas of the regional trial court of Olongapo in Zambales province dismissed the illegal entry charges filed against the Chinese fishermen, invoking a provision in the Presidential Decree No 1599, a law issued in 1978 to establish an exclusive economic zone of the Philippines. The provision stipulated that even though the Philippines’ exclusive economic zone extends to a distance of 200 nautical miles beyond and from the baseline, provided that where the outer limits of the zone as thus determined overlap that of an adjacent or neighboring state, the common boundaries shall be determined by agreement with the state concerned. The judge thus ruled that the accused “were apprehended in a place over which there is yet no agreement between the Chinese and the Philippine governments” and thus there is no legal basis to conclude that “the accused entered Philippine territory illegally”.
Although the bilateral agreement to resolve the issue diplomatically makes war unlikely, the Philippines continues to escalate tensions. For instance, the Philippines has declared that it will unilaterally bring the dispute to the International Tribunal for the Law of the Sea, and it has confirmed its plans to open an elementary school on Zhongye Island, which belongs to China’s Nansha Islands in the South China Sea.
In this way the Philippines is attempting to turn its claimed sovereignty over Huangyan Island into reality and intensify nationalistic sentiments as a means of re-channeling dissatisfaction with domestic problems. The Philippines is also trying to play off the members of the Association of the Southeast Asian Nations against China.
The ongoing standoff might leave China facing some disconcerting questions about its foreign policy and its ability to defend its interests in the South China Sea, but it also offers an opportunity for Beijing to gain the upper hand, as the ongoing crisis initiated by the Philippines serves as a good chance for China to enforce its jurisdiction over the island.
The confrontation is actually to China’s advantage, as Beijing is better equipped than the Philippines, and once the Philippines withdraws its ships, China should thereafter block entry to the lagoon and better excise its jurisdiction over the island.
Last but not the least, China should send construction teams and equipment to the island and speed up the building of shelters for fishermen, lighthouses and military outposts. Once these are established, military units can be stationed on the island to further safeguard the country’s sovereignty and maritime interests in the area.
The author is a professor at the Center for Southeast Asia Studies, Xiamen University.