Budaya-Tionghoa.Net| Kalau kebetulan mampir ke Gang Lombok Semarang, anda akan menjumpai bangunan tua yang masih tegak dan kokoh di tengah-tengah menjamurnya gedung-gedung yang bergaya masa kini. Inilah kelenteng Tay Kak Sie, kelenteng yang awal mulanya diperuntukkan Yang Mulia Dewi Welas Asih Koan Sie Im Po Sat (Avalokitesvara Boddhisatva), lalu kemudian berkembang menjadi sebuah kelenteng besar yang memuja berbagai dewa-dewi aliran Tao dan Konfusianisme, jadi tidak hanya para dewata dari aliran Hud (Buddha) saja.
|
Nama Tay Kak Sie, yang tertulis pada sebuah papan nama besar di pintu masuk dengan catatan tahun pemerintahan kaisar Dao Guang (Too Kong Hokkian) 1821–1850, dari Dinasti Qing (Ching- Hokkian), adalah sebuah nama bernafaskan Buddhisme yang berarti KUIL KESADARAN AGUNG. Seorang teman dari luar negeri yang kebetulan seorang Sinolog pernah menter-jemahkan kepada penulis dalam bahasa Inggris dengan nama yang cukup keren yaitu “The Temple of The Great Conciousness”. Memang pada mula tujuan mendirikan Tay Kak Sie adalah untuk memuja Koan Im Po Sat yang berasal dari aliran Buddhisme. Sebutan Sie adalah istilah khusus yang dipakai untuk kuil-kuil Buddha, antara lain nama-nama kuil Buddha terkenal di Tiongkok Daratan seperti Siauw Lim Sie, Leng In Sie, Po Kok Sie dan lain-lain.
BAGIAN TULISAN
Singa Batu
Harimau Putih & Naga Hijau
Cuplikan Cerita Hong Sin dan Sam Kok
Burung Bangau dan Menjangan
Bunga Teratai, Mei Hua, Seruni dan Peony
Malaikat Pintu
Benda-benda Upacara
Dewata yang Dipuja
Ruangan Tengah
Buddha Mahayana
Ruang Samping Kiri
Ruang Samping Kanan
Singa Batu
Yang pertama kali tertumbuk di mata kita kalau masuk pintu Tay Kak Sie adalah sepasang Ciok Say atau singa batu, yang menjaga di kiri dan kanan pintu besar, seperti di kelenteng lainnya. Dalam benak anda tentu bertanya, apa sih maknanya singa batu itu? Kenapa selalu dipasang berdampingan. Cerita tentang singa ini memang cukup menarik.
Singa batu yang diletakkan di kanan-kiri pintu terdiri dari sepasang yaitu jantan dan betina. Yang jantan membawa bola bersulam, mulutnya menyeringai, biasanya di sebelah kiri pintu (kalau dari dalam kelenteng menghadap keluar). Yang satunya betina juga dengan wajah menyeringai, kelihatan bermain dengan seekor anaknya. Singa batu biasanya dipahat dari batu hijau, marmer atau batu granit, diletakkan di atas landasan yang berukir. Tampangnya yang garang dimaksudkan untuk menolak pengaruh roh-roh jahat yang akan mengganggu kesucian kelenteng. Sedang singa melambangkan keadilan dan kejujuran hati.
Model Ciok Say bermacam-macam. Yang utama mengikuti dua aliran, yaitu aliran utara dan aliran selatan. Aliran utara yang dimaksud adalah sebelah utara Sungai Yangzi. Bentuknya garang, badannya tegap, mulutnya persegi, seperti yang kita lihat di kompleks istana kekaisaran di Beijing. Sedang aliran selatan adalah yang terdapat di sebelah selatan Sungai Yangzi, bentuknya lebih bervariasi, lebih luwes, tapi kurang gagah, aliran selatan inilah yang dominan di kelenteng-kelenteng Indonesia, termasuk Tay Kak Sie.
Mungkin anda bertanya mengapa bentuk singa ini aneh sekali, tidak mirip sama sekali dengan wujud singa sebenarnya. Maklum di Tiongkok tidak ada singa. Bentuk singa batu itu diambil dari anjing Pekingese, yang pada waktu itu merupakan peliharaan kaisar dan hanya ada di keraton saja, karena dianggap suci. Baru sesudah tentara ekspedisi Inggris dan Perancis pada masa perang Candu ke II (1856) menyerbu Beijing dan mengobrak-abrik istana, maka anjing itu dibawa berimigrasi ke Eropa dan kemudian dikenal di seluruh dunia.
Harimau Putih dan Naga Hijau
Masih di luar pintu, kalau kita menengok ke kiri dan kanan pada dinding serambi depan terdapat lukisan atau relief yang melukiskan seekor naga hijau di sebelah kiri dan seekor harimau (mestinya putih) di sebelah kanan. Lukisan naga hijau dan harimau putih ini hampir terdapat pada kelenteng-kelenteng manapun. Lukisan naga harimau ini pun bermakna untuk menentang pengaruh jahat yang mengganggu kelenteng. Kecuali itu, naga melam-bangkan kekuatan yang penuh dengan keluwesan. Harimau disukai karena merupakan lambang anak berbakti, karena harimau adalah binatang yang berbakti kepada induknya.
Menurut legenda, naga hijau adalah roh dari seorang jendral pada zaman Dinasti Siang (Shang), dimasa pemerintahan kaisar Siang terakhir yaitu Tiu Ong / Zhou Wang (1123 SM) yang bernama Teng Kui Kong. Dalam novel Hong Sin dikisahkan bahwa dalam pertempuran lengan Teng Kiu Kong terluka oleh Lo Cia (Nezha) salah seorang panglima perang dari Jenderal Kiang Cu Ge (Jiang Ziya). Kemudian ia menakluk ke kubu Kiang Cu Ge dan selanjutnya berperang untuk menumbangkan Kaisar Tiu Ong bekas atasannya yang terkenal lalim. Tapi kemudian tertawan dan dihukum mati. Pada saat pelantikan dewa-dewa, setelah peperangan selesai, dia di angkat menjadi Bintang Naga Hijau.
Akan halnya macan putih, menurut legenda adalah berasal dari roh In Jing Sin putra seorang pejabat tinggi dari Kerajaan Ciu (1122 SM). Ayahnya dibunuh pada saat mengadakan usaha perundingan untuk meredakan peperangan antara kerajaan Siang dan Ciu, oleh Kian Bun Hoan seoang raja muda bawahan Tiu Ong. Dalam pertempuran untuk membalas dendam ayahnya, In Jing Sin terbunuh secara mengenaskan. Untuk mengenang dan menghormati pengabdian dan baktinya pada orang tua, dia diangkat sebagai Bintang Macan Putih. Kisah ini juga diambil dari novel Hong Sin.
Ada beberapa kelenteng, gambar naga hijau dan macan putih ini tidak tampak, sebagai gantinya adalah dua buah papan atau apa saja dengan tulisan Long Yin atau naga bersiul dan Hu Xiao yang berarti harimau menggeram, di pasang di kiri dan kanan dinding kelenteng dengan maksud yang sama.
Cuplikan Cerita Hong Sin dan Sam Kok
Kisah-kisah novel dari karya jaman dinasti Bing (Ming) yaitu Hong Sin (Feng Shen) merupakan sumber legenda yang banyak kaitannya dengan pemujaan di kelenteng. Petilan-petilan kisah ini banyak menghiasi dinding-dinding kelenteng dan tiang yang menambah semaraknya bangunan tersebut. Masih diserambi, jadi belum memasuki pintu besar, di atas balok tarik serambi kelenteng ini terlukis beberapa adegan dari novel kenamaan Hong Sin. Antara lain dilukiskan adegan pada waktu Bun Tiong sedang berpamitan dengan Kaisar Tiu Ong untuk berangkat ke medan perang melawan angkatan perang Kerajaan Ciu di bawah komando Jenderal Kiang Cu Ge yang sudah semakin mendekati ibukota. Bun Tiong adalah seorang yang setia kepada negerinya, meski tahu kejatuhan Dinasti Siang tidak mungkin terelakkan lagi. Dan semua ini diakibatkan oleh kekejaman Tiu Ong. Toh dia tetap berangkat menunaikan tugas sebagai seorang pahlawan yang membela negerinya.
Sebuah lukisan lain masih pada balok tarik menggambarkan adegan pada saat kaisar Bun Ong dari Kerajaan Ciu sedang mengundang Kiang Cu Ge. Kiang Cu Ge adalah seorang cendekiawan kenamaan, karena melihat keadaan negara yang kacau balau akibat kekejaman kaisar Tiu Ong, dia lebih memilih hidup menyendiri di pegunungan dengan memancing ikan sebagai pengisi waktu. Kaisar Bun Ong mencarinya setelah memperoleh petunjuk dari mimpi. Maka terjadilah kisah Kiang Thay Kong Pat Sip Gi Bun Ong (Kiang Cu Ge umur delapan sepuluh tahun bertemu Bun Ong). Kisah ini sering menjadi tema lukisan dan ukiran kayu.
Di tembok serambi, terdapat empat lukisan yang merupakan mosaik dari pecahan keramik, tapi kali ini adegan-adegan yang terlukis di situ di ambil dari novel sejarah kenamaan karya seorang penulis yang hidup pada akhir jaman dinasti Yuan, Lu Kuan Chung (Lo Guanzhong), yaitu Sam Kok.
Sam Kok (San Guo – Kisah Tiga Kerajaan) adalah satu mahakarya klasik Tiongkok yang termasyur di dunia. Novel ini sudah di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, dan menjadi satu di antara mutiara sastra klasik Tiongkok, disamping Sui Houw Thoan (Shui Hu Zhuan – Kisah Tepi Air).
Di dalam salah satu lukisan mosaik keramik di serambi Tay Kak Sie dilukiskan, adegan pada saat Lauw Pi (Liu Bei) sedang minum Arak bersama Co Coh (Cao Cao) di sebuah paseban sambil membicarakan situasi negara. Ketika merundingkan siapa sesungguhnya yang layak disebut sebagai “pahlawan” pada masa itu, Co Coh berkata pada Lauw Pi bahwa sesungguhnya yang berhak dapat sebutan “pahlawan” hanyalah mereka berdua.
Mendengar perkataan Co Coh, Lauw Pi terperanjat sampai cawan Arak yang dipegangnya terlepas, ia mengira Co Coh telah menduga ambisi yang terkandung dalam hatinya. Kebetulan pada saat itu, terdengar suara guntur menggelegar. Lauw Pi bilang dia kaget karena mendengar suara guntur, Co Coh tertawa melihat Lauw Pi ternyata begitu penakut. Sementara itu, di luar taman tampak Thio Hwi (Zhang Fei) dan Kwan I (Guan Yu) datang mencari Lauw Pi karena menguatirkan keselamatannya.
Burung Bangau dan Menjangan
Di bawah lukisan keramik yang mengambil adegan cerita Sam Kok itu, antara lain, lukisan cat minyak yang menggambarkan burung bangau, disebelah kanan dua ekor menjangan jantan dan betina, disebelah kiri. Kedua binatang ini merupakan simbol yang sangat disukai.
Menjangan atau rusa adalah lambang sukses dalam kepangkatan. Memangku jabatan kenegaraan yang tinggi memang merupakan idam-idaman orang jaman dahulu. Ini tercermin pada usaha yang tak mengenal lelah untuk bisa lulus dalam ujian kesusasteraan yang diadakan oleh kerajaan.
Kemajuan dalam kepangkatan menurut bahasa Tionghoa disebut Lok (Hokkian) atau “Lu” (Mandarin). Sedangkan rusa dalam bahasa Tionghoa juga “Lok” (Hokkian) atau “Lu” (Mandarin). Jadi suaranya sama, hanya hurufnya saja yang berbeda. Karena persamaan suara inilah, lok (kemajuan dalam kepangkatan) dilambangkan dengan bentuk rusa yang mempunyai suara sama.
Burung bangau melambangkan umur panjang. Konon umur burung bangau memang panjang, sebab itu dengan gambar burung bangau dikandung doa dan pengharapan agar diberi berkah berumur panjang. Kadang-kadang panjang umur dilambangkan dengan buah persik yang punya khasiat dapat memberi umur panjang pada siapa yang memakannya. Burung ini sering di gambarkan berada di tengah pohon cemara yang juga lambang Jung Mia.
Bunga Teratai, Mei Hua, Seruni dan Peony
Sejajar dengan lukisan bangau dan rusa itu, terdapat lukisan yang menggambarkan empat ma-cam bunga yaitu teratai, plum, botan dan seruni.
Bunga dan tempat bunga teratai meng-gambarkan kesucian, tidak terpengaruh akan keko-toran lingkungan sekelilingnya lambang merah panas dan penuh daya guna. Sedangkan Mei Hua atau bunga plum melambangkan keteguhan hati, tidak gentar menghadapi dinginnya musim salju. Bunga seruni dan peony atau botan (lambang cinta dan kecantikan, lambang pertanda baik) juga mempunyai maksud yang sama.
Jadi secara bersama-sama lukisan tersebut melambangkan panjang umur, kebajikan, kearifan dan ketabahan.
Lukisan rusa, burung bangau, bunga teratai, Mei hua, seruni dan botan ini merupakan tema yang paling sering dijumpai di bangunan-bang-unan Tionghoa tradisional, tidak hanya kelenteng saja. Biasanya dalam bentuk ukiran kayu, sulaman kain dan lukisan cat air ataupun minyak.
Malaikat Pintu
Masuk pintu besar klenteng Tay Kak Sie kita bertatapan dengan gambar sepasang panglima perang yang terlukis pada daun pintu besar kelenteng.
Itulah gambar malaikat pintu. Untuk kelenteng yang umum biasanya dipasang sebagai malaikat pintu adalah dua orang panglima terkenal yang pernah hidup pada jaman Dinasti Tong yaitu Oet-ti Kiong dan Cin Siok Poo.
Pada saat Kaisar Tong Thay Cong menderita sakit, seakan melihat roh-roh jahat menghampirinya. Atas saran tabib istana yang merawatnya di haruskan dua orang jendral tersebut menjaga di pintu kamarnya. Kedua jendral itu, Oet-ti Kiong dan Cin Siok Poo dengan pakaian perang lengkap senjata di tangan berdiri di muka pintu kamar sebagai malaikat pintu. Setelah sang Kaisar sembuh, rakyat percaya bahwa malaikat pintu dapat menolak roh jahat. Sejak itu, maka gambar kedua jendral itu sering ditempelkan di muka pintu, sebagai malaikat pintu.
Tapi di kelenteng Buddha seperti Tay Kak Sie, yang dipasang sebagai malaikat pintu adalah Ka-lam Po-Sat dan Wi-to Po-Sat, keduanya adalah Bodhisatva pelindung agama Buddha.
Khusus tentang Wi-to Po-Sat biasanya dipuja ter-sendiri atau ditempatkan di samping Koan Im Po-Sat. Dia digambarkan dalam pakaian perang lengkap dengan memegang gada penakluk iblis. Kwan Kong sering kali digambarkan sebagai Ka Lam Po-Sat yang juga sering dipakai sebagai malaikat pintu.
Benda-benda Upacara
Perlengkapan Sembahyang dalam kelenteng umumnya adalah Hio, lilin, lampu minyak, juga vas yang berisi bunga, buah-buahan, uang emas dan perak dari kertas.
Hio digunakan untuk mengadakan kontak deng-an para arwah suci yang dipuja.
Lilin adalah lambang penerangan, yang secara simbolis di lambangkan penerangan batin. Lilin ini dipasang berpasangan melambangkan dua unsur berlainan yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan seperti Im-Yang, Negatif dan positif, Siang malam dan lain-lain. Warna lilin ini berwarna merah karena melambangkan kehidupan, sebab darah yang menjadi unsur utama kehidupan berwarna merah.
Ada juga yang disebut Bun Pwee yaitu dua keping kayu yang berbentuk keping biji kacang yang digunakan untuk mengadakan komunikasi dengan yang dipuja. Untuk mem-peroleh jawaban dari beliau, kepingan itu dilemparkan ke lantai oleh si pemohon sambil berlutut dan berdoa.
Kalau salah satu kepingan itu terletak dengan bangun yang cekung menghadap ke atas dan yang satu lagi dengan bagian cembung menghadap ke atas, jawaban-nya adalah positif, tapi bila keduanya tergeletak dengan bagian cekung menghadap atas, jawabannya adalah negatif..
Alat lain yang digunakan komunikasi dengan makco atau kongco adalah Ciam-si. Ciam-si adalah batang-batang bambu yang ditempatkan dalam sebuah bumbung. Kalau bumbung itu digoncang-goncang oleh si pemohon, maka salah satu batang bambu akan meloncat keluar. Dengan melihat nomor yang tertulis di batang bambu yang meloncat keluar tadi, kita bisa memperoleh jawaban berupa syair yang telah disiapkan terlebih dahulu.
Dewata yang Dipuja
Seperti telah disinggung pada halaman terda-hulu, kelenteng Tay Kak Sie adalah kelenteng aliran Buddha. Tapi setelah perkembangannya berpuluh puluh tahun, Sinbeng (Dewata) dari aliran Taoisme yang dipuja di dalam kelenteng ini, juga yang dari aliran Khong Hu Cu (Konfusianisme).
Dewata yang berasal dari aliran Buddhisme adalah :
– Sam Po Hud atau Tri Ratna Buddha yaitu :
Sekia Moni Hud : atau Buddha Sakyamuni yaitu Siddharta Gautama Buddha.
Yok Soe Hud (Bhaisajya Guru Buddha)
Buddha yang punya kemampuan me-nyembuhkan penyakit dan menying-kirkan pengikut jahat.
O Mi To Hud (Amitabha Buddha)
Buddha penguasa surga sebelah barat (Sukhavati).
– Koan Sie Im Po-Sat :
Yaitu : Boddhisatva Avalokitesvara atau Dewi Welas Asih.
Di kelenteng Tay Kak Sie. Koan Im Po Sat di dampingi oleh Wi To Po-Sat dan Sian Tjay.
– Tee Tjong Ong Po-Sat atau Boddhisatva Kshitigarbha.
Tjap Pwee Lohan atau 18 Arhat.
Para dewata dari aliran Taoisme adalah Hian Thian Siang Tee atau Siang Tee Kong.
Thian Siang Seng Bo atau Ma Co Po
Sam Koan Tay Te
Poo Seng Tay Te atau Toa Too Kong
Dari aliran Khong Hu Cu dan kepercayaan kalangan rakyat adalah :
Kwan Tee Koen
Hok Tek Ceng Sien atau Tho Te Kong
Seng Hong Loo Ya
Kong Tek Cun Ong atau Kwee Seng Ong
Jay Sin Ya
Jing Cui Co Soe atau Co Soe Kong
Khong Hu Cu.
Warna campuran antara Buddhisme, Konfu-sianisme dan Taoisme tampak hampir pada semua kelenteng yang ada di Indonesia. Menandakan bahwa sesungguhnya kelenteng adalah campuran dari tiga aliran utama itu yang secara umum disebut Sam Kauw (Tri Dharma) ditambah kepercayaan yang ada di kalangan rakyat.
Kelenteng Tay Kak Sie mencerminkan Sam Kauw ini, meskipun di ruang utama tetap dipuja Tri Ratna Buddha, bersama sama Koan Im Po-Sat.
Ruangan Tengah
Ruang tengah adalah tempat pemujaan utama kelenteng Tay Kak Sie. Di sini dipuja Koan Im Po-Sat, dengan didampingi Wie To Po Sat dan Sian Cay Tong Cu. Di belakangnya, terletak altar utama tempat pemuja Tri Ratna Buddha (Sam Poo Hud).
Altar dan meja pemujaan untuk Sam Poo Hud sudah tua, pada tulisan yang tertera di situ menunjukkan tahun pembuatan Kong Si (Guang Xu 1875–1908) ke 29 yaitu 1904. Altar ini menunjukkan suatu hasil seni ukir yang sangat tinggi mutunya. Penyumbangnya adalah Deng A Chuan dan He Song An, keturunan Konghu.
Ternyata barang yang punya usia panjang tertua di ruang tengah ini adalah Papan Pujian yang berbunyi Nan Hay Liu Fang (Harum semerbak di lautan selatan), buatan tahun Jian Qing ke 19 (1815 Masehi)
Di bagian kiri terdapat altar pemujaan untuk Thian Siang Seng Bo, yang populer dengan nama Ma Co Po. Beliau adalah pelindung para nelayan dan orang-orang yang mengadakan pelayaran dilautan. Patung Thian Siang Seng Bo tidak diketahui masa pembuatannya, tidak begitu bagus dan agak kasar, lain dengan yang ditempatkan di kelenteng See Ho Kiong, Sebandaran yang menunjukkan suatu hasil seni yang tinggi. Kham tiruan rumah atau ruangan tempat duduknya seorang pembesar, yang biasanya terbuat dari kayu dan terukir sangat indah, di tempat ini biasanya arca dewata ditempatkan di atas altar pemujaan menunjukkan tahun pembuatan Khong-tju 2524 atau tahun 1973.
Di depan pemujaan Thian Siang Seng Bo merapat di dinding menghadap utara terdapat pemujaan 9 orang tokoh dalam Cap Pwee Lo Han.
Di bagian kanan altar utama Sam Poo Hud ter-dapat altar pemujaan Sam Poo Tay Jin. Patung Sam Po Tay Jin sebaliknya merupakan hasil seni yang tinggi, sayang tidak diketahui tahun pem-buatannya juga pembuatnya.
Kham Sam Poo adalah hasil buatan tahun 1969, sumbangan Go Boen An.
Patung Kongco Sam Poo inilah yang setiap tahun diarak ke kelenteng Gedung Batu.
Merapat ke dinding menghadap ke Timur terdapat pemujaan 9 tokoh Cap Pwee Lo Han.
Buddha Mahayana
Tay Kak Sie adalah kelenteng dari aliran Buddha Mahayana.
Aliran Buddha Mahayana menyebar dari India ke Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea, Jepang, Nepal dan Vietnam.
Sedang aliran Theravada atau yang seringkali dikatakan Hinayana menyebar terutama ke Sri Langka, Burma, Thailand, Kamboja dan Malaysia lalu di Indonesia pada masa lalu.
Kedua aliran utama agama Buddha ini dikukuhkan berdirinya pada pertemuan Dewan Agama Buddha di Vaisali, yang dilaksanakan 100 tahun setelah wafatnya Buddha Gautama. Kaum Hinayana atau Theravadins mengikuti norma-norma dalam bahasa Pali, sedang kaum Mahayana mempelajari kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Kedua aliran ini sama-sama memakai ajaran Buddha Gautama sebagai dasar, tapi ada perbedaannya dalam penafsiran tentang cita-cita dan pelaksanaan. Kaum Theravada memusatkan pada tercapainya tingkat arahat, sedang Mahayana yang lebih profresif, liberal dan berpandangan luas, berjuang tidak hanya untuk pembebasan pribadi, tapi juga membantu umat manusia dengan aktif untuk mencapai tingkatan Boddhisatva. Mahayana mengakui kelemahan-kelemahan manusia dan menawarkan penyelamatan dengan uluran tangan para Boddhisatva. Karena perhatian dan sikapnya inilah maka aliran ini dinamakan Mahayana yang berarti “Kendaraan besar”.
Aliran ini terbuka untuk siapa saja yang akan mempraktekkan agama Buddha, baik orang biksu atau orang biasa, sehingga dalam waktu tidak lama berhasil merebut hati jutaan orang, terutama di Tiongkok. Dalam penyebarannya Mahayana menyerap berbagai macam budaya dan kepercayaan setempat, sehingga memungkinkan “kendaraan besar” ini menyesuaikan bentuk ajaran Buddha dan berasimilasi dengan rakyat setempat. Karena itulah kita mendapat banyak cabang-cabang Mahayana yang mempunyai praktek pengajaran berbeda tapi dengan tujuan yang sama.
Setelah memasuki Tiongkok kira-kira pada jaman Dinasti Han, Agama Buddha bercampur dengan agama-agama asli Tiongkok seperti Taoisme, sehingga mempunyai bentuk baru yang khas Tiongkok.
Ruang Samping Kiri
Ruang samping kiri ditempati oleh pemujaan-pemujaan Po Seng Tay Te, Seng Hong Lo Ya, Kong Tek Cun Ong.
Pemujaan terhadap Po Seng Tay Te, Dewa Pengobatan yang sangat populer di propinsi Hokkian, Guangdong, Hongkong, Taiwan dan Asia Tenggara, berawal dari tahun 1860 atas prakarsa Mayor Tan Tjong Hoay. Patung Po Seng Tay Te didatangkan khusus dari Tiongkok pada tahun itu juga. Kham untuk sinbeng ini sangat bagus buatannya, diduga juga didatangkan dari Tiongkok atau paling tidak buatan tukang dari sana, bisa jadi sumbangan Mayor tersebut. Di antara semua yang ada di Tay Kak Sie, kham Po Seng Tay Tee bisa dianggap yang paling bagus.
Ruang pemujaan untuk Seng Hong Lo Ya mengalami pemugaran berkali-kali, yang terakhir pada tahun 1986. Kham ini dibuat tahun 1975, hasil karya tukang lokal.
Patung Seng Hong Loya beserta peng-awalnya sumbangan Sia Yu Sing yang mem-belinya dari Hongkong pada tahun 1976, meng-gantikan patung lama yang dirasa terlalu kecil dibanding dengan ruang dan khamnya.
Ruang pemujaan Kong Tek Cun Ong juga beberapa kali mengalami pemugaran. Kham untuk pemujaan sinbeng ini dibikin sekitar tahun 1975, buatannya bagus dan halus meskipun karya dari tukang lokal.
Hio Lo (pedupaan) yang terbuat dari ku-ningan di ruang ini sumbangan dari Tan Khing Thay. Beliau juga menyumbang sebagian besar Hio Lo yang ada di Tay Kak Sie ini, termasuk Thi Kong Lo di ruang tengah.
Tahun 1998 di tempat ini ditambahkan altar pemujaan untuk Tai Shang Laojun atau Thay Siang Loo Kun (Hokkian), dewa tertinggi bagi kalangan Taoist, dan didampingi oleh Mahadewi Jiu Tian Xian Nu dan Er Lang Shen.
Ruang Samping Kanan
Di ruang ini dipuja Hok Tek Ceng Sin yang secara umum dipanggil Tho Te Kong. Koan Tee Kun atau secara umum dipanggil Koan Tee Ya, Hian Thian Siang Te atau Siang Te Kong, Jing Cui Co Soe, Te Cong Ong Po dan Khonghucu.
Di dalam ruangan pemujaan Te Cong Ong Po Sat terdapat pemujaan Cap Pwe Lo Han. Bentuk arca Cap Pwe Lo Han ini lebih kecil dari yang berada di ruangan tengah, tapi buatannya lebih bagus dan hidup. Kabarnya patung-patung ini sumbangan Sih Khay Hie, dengan mendatangkan tukang ukir dari Tiongkok sekitar tahun 1940-an.
Kham tempat pemujaan Tee Tjong Ong Po Sat hasil pembuatan tahun 1974, pembuatnya tukang lokal yang cukup halus. Hanya sayang sekali banyak pola hias yang tidak lasim, misalnya penempatan ukiran burung Hong yang melilit tiang.
Sekitar tahun 1979 tempat pemujaan Hok Tek Ceng Sien dipugar dan ditambah pemujaan untuk Jay Sien Ya. Prakarsa penempatan pemujaan ini oleh ketua Yayasan pada waktu itu Lie Kian Dju, sedang lukisan Ngo Lo Jay Sien adalah sumbangan dari So Kiat Ho, Petekan. Kemudian Soen Gwan Hong menyumbang patung Jay Sien Ya yang dibelinya dari Taiwan.
Sekitar tahun 1989 ruangan ini mengalami kebakaran , untung tidak meluas sehingga ruang yang bersebelahan bisa diselamatkan. Ruang Hok Tek Ceng Sien ini dibangun kembali, Patung dan kham-nya diganti baru, hasil sumbangan dari Lilik Gunawan. Altar Jay Sin Ya dipindahkan ke ruang samping kiri, menempati bekas gudang.
Pemujaan Jing Cui Co Su juga belum lama sekitar tahun 1978, juga atas prakarsa Lie Kian Dju. Abunya diambil dari kelenteng Tanjung Kait, Tangerang. Oleh serombongan panitia kerja yang terdiri antara lain : Lie Kian Dju, Liem Tjien Ho, Sia Yu Sing, Imam, Kwee Giok Sie dan Tan Heng Tiong.
Kham pemujaan Co Su Kong adalah sumbangan Soen Kwie Hong. Lukisan kaca yang menjadi latar belakang patung Co Su Kong dilukis oleh pelukis kenamaan dari Semarang yaitu Be Thong Ling, tahun 1984.
Di depan altar Tee Cong Ong Po-Sat terletak di ruang terbuka, terdapat sebuah patung orang tua yang duduk terpekur sambil memancing ikan. Sepintas saja kita tahu, orang tua tersebut adalah Kiang Thay Kong alias Kiang Cu Ge tokoh negarawan besar yang hidup pada permulaan jaman dinasti Ciu (Zhou 1122 – 247 SM). Kisahnya telah kami uraikan pada bagian depan dari buku ini, yang merupakan petilan paling indah dari Novel Hong Sin.
Penulis yang kebetulan menangani pembuatan patung tersebut, pernah menanyakan kepada ketua Tay Kak Sie pada waktu itu, sekitar tahun 1978 yaitu Lie Kian Djoe, tentang apa makna yang tersirat dengan penempatan patung Kiang Thay Kong. Menurut beliau, pemasangan patung tersebut sebagai kias (atau Ci Soak) agar semua pengurus Tay Kak Sie dikarunai watak yang sabar dan penuh tepo selira dalam menjalankan tugasnya, sehingga terhindar dari segala macam keributan karena masing-masing pihak tidak bisa menahan diri. Anjuran pemasangan ini datang dari seorang suhu dari Temanggung. Kelihatannya tujuan pemasangan ini tercapai, karena sejak itu tidak pernah lagi terjadi percecokan antar pengurus yang berkobar menjadi pertengkaran.
Selain patung Kiang Thay Kong, penulis pada tahun 1984 juga menangani pembuatan patung Jing Cui Co Su yang di tempatkan di altar Co Su Kong, atas pesanan Lo Cu pada masa itu yaitu Tjan Siang Thay.
Pada permulaan tahun 60-an, pemujaan Hian Thian Siang Tee dan Kwan Tee Kun semula menjadi satu dengan pemujaan Tee Cong Ong Po Sat. Sedangkan tempat pemujaan Kwan Tee Kun yang sekarang dulunya adalah Kantor Tji Lam Tjay. Sedangkan tempat pemujaan untuk Hian Thian Siang Tee yang sekarang, dahulu adalah tempat abu para Hwee Shio dari kelenteng Tay Kak Sie, Hwesio terakhir meninggal pada tahun 1957 dan abunya dibawa ke Bandung. Atas prakarsa Liem Yu Kiat, pemujaan Hian Thian Siang Tee di pindah di tempat yang sekarang dan abu para Hwesio dipindahkan ke Kong Tek Soe bersama-sama abu dari Tong Kwie. Sedang kantor Tjie Lam Tjay dipindahkan, tempatnya dipakai untuk pemujaan Kwan Seng Tee Kun, pada tahun 1967. Meja altar pemujaan Hian Thian Siang Tee cukup bagus buatannya hasil sumbangan dari Liem Yu Kiat. Kham buatan tahun 1966 sumbangan juga. Patung Hian Thian Siang Tee sangat gagah dan bermutu tinggi, hasil buatan seorang rahib atau hwesio yang tinggal di klenteng Tay Kak Sie pada masa itu, sekitar tahun 1930-an.
Penempatan pemujaan Nabi Khong Cu adalah prakarsa Lie Hoo Soen. Pembuatan patung ditangani seorang pelukis dari Solo Tan Bian Khing, di luar dugaan orang, ternyata mampu menghasilkan sebuah karya yang begitu bagus. Patung Khong Hu Cu itu terbuat dari kayu jati utuh, hasil sumbangan dari seorang pedagang kayu dari Semarang yaitu Tan Khiem Yang, tampak hidup dan menyentuh sanubari para umat. Tiap kali sebelum mulai memahat, Tan Bian Khing melakukan ciak jay dan bersembahyang lebih dahulu disamping patung yang sedang dikerjakan. Patung itu selesai dipahat dalam waktu 5 bulan. Sebetulnya akan ditempatkan di ruang atas klenteng, tapi karena untuk mengangkatnya ke tempat itu tidak mungkin, maka akhirnya ditempatkan di ruang khusus yang sekarang.
Patung selesai dipahat tanggal 10–7–68. Sayang setahun kemudian 1969, Tan Bian Khing meninggal dunia.
Ditulis oleh Kwa Tong Hay, dan dimuat dalam Buku Peringatan 240 tahun Kelenteng Tay Kak Sie serta Buku Peringatan 600 tahun Zheng Ho – 2005.
-
KELENTENG TAY KAK SIE SELAYANG PANDANG
By Chendra Ling Ling in Mod BT · Edit DocDitulis oleh : Kwa Tong Hay
Kalau kebetulan mampir ke Gang Lombok Semarang, anda akan menjumpai bangunan tua yang masih tegak dan kokoh di tengah-tengah menjamurnya gedung-gedung yang bergaya masa kini. Inilah kelenteng Tay Kak Sie, kelenteng yang awal mulanya diperuntukkan Yang Mulia Dewi Welas Asih Koan Sie Im Po Sat (Avalokitesvara Boddhisatva), lalu kemudian berkembang menjadi sebuah kelenteng besar yang memuja berbagai dewa-dewi aliran Tao dan Konfusianisme, jadi tidak hanya para dewata dari aliran Hud (Buddha) saja.
Nama Tay Kak Sie, yang tertulis pada sebuah papan nama besar di pintu masuk dengan catatan tahun pemerintahan kaisar Dao Guang (Too Kong Hokkian) 1821–1850, dari Dinasti Qing (Ching- Hokkian), adalah sebuah nama bernafaskan Buddhisme yang berarti KUIL KESADARAN AGUNG. Seorang teman dari luar negeri yang kebetulan seorang Sinolog pernah menter-jemahkan kepada penulis dalam bahasa Inggris dengan nama yang cukup keren yaitu “The Temple of The Great Conciousness”. Memang pada mula tujuan mendirikan Tay Kak Sie adalah untuk memuja Koan Im Po Sat yang berasal dari aliran Buddhisme. Sebutan Sie adalah istilah khusus yang dipakai untuk kuil-kuil Buddha, antara lain nama-nama kuil Buddha terkenal di Tiongkok Daratan seperti Siauw Lim Sie, Leng In Sie, Po Kok Sie dan lain-lain.
Singa Batu
Yang pertama kali tertumbuk di mata kita kalau masuk pintu Tay Kak Sie adalah sepasang Ciok Say atau singa batu, yang menjaga di kiri dan kanan pintu besar, seperti di kelenteng lainnya. Dalam benak anda tentu bertanya, apa sih maknanya singa batu itu? Kenapa selalu dipasang berdampingan. Cerita tentang singa ini memang cukup menarik.
Singa batu yang diletakkan di kanan-kiri pintu terdiri dari sepasang yaitu jantan dan betina. Yang jantan membawa bola bersulam, mulutnya menyeringai, biasanya di sebelah kiri pintu (kalau dari dalam kelenteng menghadap keluar). Yang satunya betina juga dengan wajah menyeringai, kelihatan bermain dengan seekor anaknya. Singa batu biasanya dipahat dari batu hijau, marmer atau batu granit, diletakkan di atas landasan yang berukir. Tampangnya yang garang dimaksudkan untuk menolak pengaruh roh-roh jahat yang akan mengganggu kesucian kelenteng. Sedang singa melambangkan keadilan dan kejujuran hati.
Model Ciok Say bermacam-macam. Yang utama mengikuti dua aliran, yaitu aliran utara dan aliran selatan. Aliran utara yang dimaksud adalah sebelah utara Sungai Yangzi. Bentuknya garang, badannya tegap, mulutnya persegi, seperti yang kita lihat di kompleks istana kekaisaran di Beijing. Sedang aliran selatan adalah yang terdapat di sebelah selatan Sungai Yangzi, bentuknya lebih bervariasi, lebih luwes, tapi kurang gagah, aliran selatan inilah yang dominan di kelenteng-kelenteng Indonesia, termasuk Tay Kak Sie.
Mungkin anda bertanya mengapa bentuk singa ini aneh sekali, tidak mirip sama sekali dengan wujud singa sebenarnya. Maklum di Tiongkok tidak ada singa. Bentuk singa batu itu diambil dari anjing Pekingese, yang pada waktu itu merupakan peliharaan kaisar dan hanya ada di keraton saja, karena dianggap suci. Baru sesudah tentara ekspedisi Inggris dan Perancis pada masa perang Candu ke II (1856) menyerbu Beijing dan mengobrak-abrik istana, maka anjing itu dibawa berimigrasi ke Eropa dan kemudian dikenal di seluruh dunia.
Harimau Putih dan Naga Hijau
Masih di luar pintu, kalau kita menengok ke kiri dan kanan pada dinding serambi depan terdapat lukisan atau relief yang melukiskan seekor naga hijau di sebelah kiri dan seekor harimau (mestinya putih) di sebelah kanan. Lukisan naga hijau dan harimau putih ini hampir terdapat pada kelenteng-kelenteng manapun. Lukisan naga harimau ini pun bermakna untuk menentang pengaruh jahat yang mengganggu kelenteng. Kecuali itu, naga melam-bangkan kekuatan yang penuh dengan keluwesan. Harimau disukai karena merupakan lambang anak berbakti, karena harimau adalah binatang yang berbakti kepada induknya.
Menurut legenda, naga hijau adalah roh dari seorang jendral pada zaman Dinasti Siang (Shang), dimasa pemerintahan kaisar Siang terakhir yaitu Tiu Ong / Zhou Wang (1123 SM) yang bernama Teng Kui Kong. Dalam novel Hong Sin dikisahkan bahwa dalam pertempuran lengan Teng Kiu Kong terluka oleh Lo Cia (Nezha) salah seorang panglima perang dari Jenderal Kiang Cu Ge (Jiang Ziya). Kemudian ia menakluk ke kubu Kiang Cu Ge dan selanjutnya berperang untuk menumbangkan Kaisar Tiu Ong bekas atasannya yang terkenal lalim. Tapi kemudian tertawan dan dihukum mati. Pada saat pelantikan dewa-dewa, setelah peperangan selesai, dia di angkat menjadi Bintang Naga Hijau.
Akan halnya macan putih, menurut legenda adalah berasal dari roh In Jing Sin putra seorang pejabat tinggi dari Kerajaan Ciu (1122 SM). Ayahnya dibunuh pada saat mengadakan usaha perundingan untuk meredakan peperangan antara kerajaan Siang dan Ciu, oleh Kian Bun Hoan seoang raja muda bawahan Tiu Ong. Dalam pertempuran untuk membalas dendam ayahnya, In Jing Sin terbunuh secara mengenaskan. Untuk mengenang dan menghormati pengabdian dan baktinya pada orang tua, dia diangkat sebagai Bintang Macan Putih. Kisah ini juga diambil dari novel Hong Sin.
Ada beberapa kelenteng, gambar naga hijau dan macan putih ini tidak tampak, sebagai gantinya adalah dua buah papan atau apa saja dengan tulisan Long Yin atau naga bersiul dan Hu Xiao yang berarti harimau menggeram, di pasang di kiri dan kanan dinding kelenteng dengan maksud yang sama.
Cuplikan Cerita Hong Sin dan Sam Kok
Kisah-kisah novel dari karya jaman dinasti Bing (Ming) yaitu Hong Sin (Feng Shen) merupakan sumber legenda yang banyak kaitannya dengan pemujaan di kelenteng. Petilan-petilan kisah ini banyak menghiasi dinding-dinding kelenteng dan tiang yang menambah semaraknya bangunan tersebut. Masih diserambi, jadi belum memasuki pintu besar, di atas balok tarik serambi kelenteng ini terlukis beberapa adegan dari novel kenamaan Hong Sin. Antara lain dilukiskan adegan pada waktu Bun Tiong sedang berpamitan dengan Kaisar Tiu Ong untuk berangkat ke medan perang melawan angkatan perang Kerajaan Ciu di bawah komando Jenderal Kiang Cu Ge yang sudah semakin mendekati ibukota. Bun Tiong adalah seorang yang setia kepada negerinya, meski tahu kejatuhan Dinasti Siang tidak mungkin terelakkan lagi. Dan semua ini diakibatkan oleh kekejaman Tiu Ong. Toh dia tetap berangkat menunaikan tugas sebagai seorang pahlawan yang membela negerinya.
Sebuah lukisan lain masih pada balok tarik menggambarkan adegan pada saat kaisar Bun Ong dari Kerajaan Ciu sedang mengundang Kiang Cu Ge. Kiang Cu Ge adalah seorang cendekiawan kenamaan, karena melihat keadaan negara yang kacau balau akibat kekejaman kaisar Tiu Ong, dia lebih memilih hidup menyendiri di pegunungan dengan memancing ikan sebagai pengisi waktu. Kaisar Bun Ong mencarinya setelah memperoleh petunjuk dari mimpi. Maka terjadilah kisah Kiang Thay Kong Pat Sip Gi Bun Ong (Kiang Cu Ge umur delapan sepuluh tahun bertemu Bun Ong). Kisah ini sering menjadi tema lukisan dan ukiran kayu.
Di tembok serambi, terdapat empat lukisan yang merupakan mosaik dari pecahan keramik, tapi kali ini adegan-adegan yang terlukis di situ di ambil dari novel sejarah kenamaan karya seorang penulis yang hidup pada akhir jaman dinasti Yuan, Lu Kuan Chung (Lo Guanzhong), yaitu Sam Kok.
Sam Kok (San Guo – Kisah Tiga Kerajaan) adalah satu mahakarya klasik Tiongkok yang termasyur di dunia. Novel ini sudah di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, dan menjadi satu di antara mutiara sastra klasik Tiongkok, disamping Sui Houw Thoan (Shui Hu Zhuan – Kisah Tepi Air).
Di dalam salah satu lukisan mosaik keramik di serambi Tay Kak Sie dilukiskan, adegan pada saat Lauw Pi (Liu Bei) sedang minum Arak bersama Co Coh (Cao Cao) di sebuah paseban sambil membicarakan situasi negara. Ketika merundingkan siapa sesungguhnya yang layak disebut sebagai “pahlawan” pada masa itu, Co Coh berkata pada Lauw Pi bahwa sesungguhnya yang berhak dapat sebutan “pahlawan” hanyalah mereka berdua.
Mendengar perkataan Co Coh, Lauw Pi terperanjat sampai cawan Arak yang dipegangnya terlepas, ia mengira Co Coh telah menduga ambisi yang terkandung dalam hatinya. Kebetulan pada saat itu, terdengar suara guntur menggelegar. Lauw Pi bilang dia kaget karena mendengar suara guntur, Co Coh tertawa melihat Lauw Pi ternyata begitu penakut. Sementara itu, di luar taman tampak Thio Hwi (Zhang Fei) dan Kwan I (Guan Yu) datang mencari Lauw Pi karena menguatirkan keselamatannya.
Burung Bangau dan Menjangan
Di bawah lukisan keramik yang mengambil adegan cerita Sam Kok itu, antara lain, lukisan cat minyak yang menggambarkan burung bangau, disebelah kanan dua ekor menjangan jantan dan betina, disebelah kiri. Kedua binatang ini merupakan simbol yang sangat disukai.
Menjangan atau rusa adalah lambang sukses dalam kepangkatan. Memangku jabatan kenegaraan yang tinggi memang merupakan idam-idaman orang jaman dahulu. Ini tercermin pada usaha yang tak mengenal lelah untuk bisa lulus dalam ujian kesusasteraan yang diadakan oleh kerajaan.
Kemajuan dalam kepangkatan menurut bahasa Tionghoa disebut Lok (Hokkian) atau “Lu” (Mandarin). Sedangkan rusa dalam bahasa Tionghoa juga “Lok” (Hokkian) atau “Lu” (Mandarin). Jadi suaranya sama, hanya hurufnya saja yang berbeda. Karena persamaan suara inilah, lok (kemajuan dalam kepangkatan) dilambangkan dengan bentuk rusa yang mempunyai suara sama.
Burung bangau melambangkan umur panjang. Konon umur burung bangau memang panjang, sebab itu dengan gambar burung bangau dikandung doa dan pengharapan agar diberi berkah berumur panjang. Kadang-kadang panjang umur dilambangkan dengan buah persik yang punya khasiat dapat memberi umur panjang pada siapa yang memakannya. Burung ini sering di gambarkan berada di tengah pohon cemara yang juga lambang Jung Mia.
Bunga Teratai, Mei Hua, Seruni dan Peony
Sejajar dengan lukisan bangau dan rusa itu, terdapat lukisan yang menggambarkan empat ma-cam bunga yaitu teratai, plum, botan dan seruni.
Bunga dan tempat bunga teratai meng-gambarkan kesucian, tidak terpengaruh akan keko-toran lingkungan sekelilingnya lambang merah panas dan penuh daya guna. Sedangkan Mei Hua atau bunga plum melambangkan keteguhan hati, tidak gentar menghadapi dinginnya musim salju. Bunga seruni dan peony atau botan (lambang cinta dan kecantikan, lambang pertanda baik) juga mempunyai maksud yang sama.
Jadi secara bersama-sama lukisan tersebut melambangkan panjang umur, kebajikan, kearifan dan ketabahan.
Lukisan rusa, burung bangau, bunga teratai, Mei hua, seruni dan botan ini merupakan tema yang paling sering dijumpai di bangunan-bang-unan Tionghoa tradisional, tidak hanya kelenteng saja. Biasanya dalam bentuk ukiran kayu, sulaman kain dan lukisan cat air ataupun minyak.
Malaikat Pintu
Masuk pintu besar klenteng Tay Kak Sie kita bertatapan dengan gambar sepasang panglima perang yang terlukis pada daun pintu besar kelenteng.
Itulah gambar malaikat pintu. Untuk kelenteng yang umum biasanya dipasang sebagai malaikat pintu adalah dua orang panglima terkenal yang pernah hidup pada jaman Dinasti Tong yaitu Oet-ti Kiong dan Cin Siok Poo.
Pada saat Kaisar Tong Thay Cong menderita sakit, seakan melihat roh-roh jahat menghampirinya. Atas saran tabib istana yang merawatnya di haruskan dua orang jendral tersebut menjaga di pintu kamarnya. Kedua jendral itu, Oet-ti Kiong dan Cin Siok Poo dengan pakaian perang lengkap senjata di tangan berdiri di muka pintu kamar sebagai malaikat pintu. Setelah sang Kaisar sembuh, rakyat percaya bahwa malaikat pintu dapat menolak roh jahat. Sejak itu, maka gambar kedua jendral itu sering ditempelkan di muka pintu, sebagai malaikat pintu.
Tapi di kelenteng Buddha seperti Tay Kak Sie, yang dipasang sebagai malaikat pintu adalah Ka-lam Po-Sat dan Wi-to Po-Sat, keduanya adalah Bodhisatva pelindung agama Buddha.
Khusus tentang Wi-to Po-Sat biasanya dipuja ter-sendiri atau ditempatkan di samping Koan Im Po-Sat. Dia digambarkan dalam pakaian perang lengkap dengan memegang gada penakluk iblis. Kwan Kong sering kali digambarkan sebagai Ka Lam Po-Sat yang juga sering dipakai sebagai malaikat pintu.
Benda-benda Upacara
Perlengkapan Sembahyang dalam kelenteng umumnya adalah Hio, lilin, lampu minyak, juga vas yang berisi bunga, buah-buahan, uang emas dan perak dari kertas.
Hio digunakan untuk mengadakan kontak deng-an para arwah suci yang dipuja.
Lilin adalah lambang penerangan, yang secara simbolis di lambangkan penerangan batin. Lilin ini dipasang berpasangan melambangkan dua unsur berlainan yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan seperti Im-Yang, Negatif dan positif, Siang malam dan lain-lain. Warna lilin ini berwarna merah karena melambangkan kehidupan, sebab darah yang menjadi unsur utama kehidupan berwarna merah.
Ada juga yang disebut Bun Pwee yaitu dua keping kayu yang berbentuk keping biji kacang yang digunakan untuk mengadakan komunikasi dengan yang dipuja. Untuk mem-peroleh jawaban dari beliau, kepingan itu dilemparkan ke lantai oleh si pemohon sambil berlutut dan berdoa.
Kalau salah satu kepingan itu terletak dengan bangun yang cekung menghadap ke atas dan yang satu lagi dengan bagian cembung menghadap ke atas, jawaban-nya adalah positif, tapi bila keduanya tergeletak dengan bagian cekung menghadap atas, jawabannya adalah negatif.
Alat lain yang digunakan komunikasi dengan makco atau kongco adalah Ciam-si. Ciam-si adalah batang-batang bambu yang ditempatkan dalam sebuah bumbung. Kalau bumbung itu digoncang-goncang oleh si pemohon, maka salah satu batang bambu akan meloncat keluar. Dengan melihat nomor yang tertulis di batang bambu yang meloncat keluar tadi, kita bisa memperoleh jawaban berupa syair yang telah disiapkan terlebih dahulu.
Dewata yang Dipuja
Seperti telah disinggung pada halaman terda-hulu, kelenteng Tay Kak Sie adalah kelenteng aliran Buddha. Tapi setelah perkembangannya berpuluh puluh tahun, Sinbeng (Dewata) dari aliran Taoisme yang dipuja di dalam kelenteng ini, juga yang dari aliran Khong Hu Cu (Konfusianisme).
- Dewata yang berasal dari aliran Buddhisme adalah :
– Sam Po Hud atau Tri Ratna Buddha yaitu :
- Sekia Moni Hud :
atau Buddha Sakyamuni yaitu Siddharta Gautama Buddha.
- Yok Soe Hud (Bhaisajya Guru Buddha)
Buddha yang punya kemampuan me-nyembuhkan penyakit dan menying-kirkan pengikut jahat.
- O Mi To Hud (Amitabha Buddha)
Buddha penguasa surga sebelah barat (Sukhavati).
– Koan Sie Im Po-Sat :
Yaitu : Boddhisatva Avalokitesvara atau Dewi Welas Asih.
Di kelenteng Tay Kak Sie. Koan Im Po Sat di dampingi oleh Wi To Po-Sat dan Sian Tjay.
– Tee Tjong Ong Po-Sat atau Boddhisatva Kshitigarbha.
Tjap Pwee Lohan atau 18 Arhat.
- Para dewata dari aliran Taoisme adalah Hian Thian Siang Tee atau Siang Tee Kong.
Thian Siang Seng Bo atau Ma Co Po
Sam Koan Tay Te
Poo Seng Tay Te atau Toa Too Kong
- Dari aliran Khong Hu Cu dan kepercayaan kalangan rakyat adalah :
Kwan Tee Koen
Hok Tek Ceng Sien atau Tho Te Kong
Seng Hong Loo Ya
Kong Tek Cun Ong atau Kwee Seng Ong
Jay Sin Ya
Jing Cui Co Soe atau Co Soe Kong
Khong Hu Cu.
Warna campuran antara Buddhisme, Konfu-sianisme dan Taoisme tampak hampir pada semua kelenteng yang ada di Indonesia. Menandakan bahwa sesungguhnya kelenteng adalah campuran dari tiga aliran utama itu yang secara umum disebut Sam Kauw (Tri Dharma) ditambah kepercayaan yang ada di kalangan rakyat.
Kelenteng Tay Kak Sie mencerminkan Sam Kauw ini, meskipun di ruang utama tetap dipuja Tri Ratna Buddha, bersama sama Koan Im Po-Sat.
Ruangan Tengah
Ruang tengah adalah tempat pemujaan utama kelenteng Tay Kak Sie. Di sini dipuja Koan Im Po-Sat, dengan didampingi Wie To Po Sat dan Sian Cay Tong Cu. Di belakangnya, terletak altar utama tempat pemuja Tri Ratna Buddha (Sam Poo Hud).
Altar dan meja pemujaan untuk Sam Poo Hud sudah tua, pada tulisan yang tertera di situ menunjukkan tahun pembuatan Kong Si (Guang Xu 1875–1908) ke 29 yaitu 1904. Altar ini menunjukkan suatu hasil seni ukir yang sangat tinggi mutunya. Penyumbangnya adalah Deng A Chuan dan He Song An, keturunan Konghu.
Ternyata barang yang punya usia panjang tertua di ruang tengah ini adalah Papan Pujian yang berbunyi Nan Hay Liu Fang (Harum semerbak di lautan selatan), buatan tahun Jian Qing ke 19 (1815 Masehi)
Di bagian kiri terdapat altar pemujaan untuk Thian Siang Seng Bo, yang populer dengan nama Ma Co Po. Beliau adalah pelindung para nelayan dan orang-orang yang mengadakan pelayaran dilautan. Patung Thian Siang Seng Bo tidak diketahui masa pembuatannya, tidak begitu bagus dan agak kasar, lain dengan yang ditempatkan di kelenteng See Ho Kiong, Sebandaran yang menunjukkan suatu hasil seni yang tinggi. Kham tiruan rumah atau ruangan tempat duduknya seorang pembesar, yang biasanya terbuat dari kayu dan terukir sangat indah, di tempat ini biasanya arca dewata ditempatkan di atas altar pemujaan menunjukkan tahun pembuatan Khong-tju 2524 atau tahun 1973.
Di depan pemujaan Thian Siang Seng Bo merapat di dinding menghadap utara terdapat pemujaan 9 orang tokoh dalam Cap Pwee Lo Han.
Di bagian kanan altar utama Sam Poo Hud ter-dapat altar pemujaan Sam Poo Tay Jin. Patung Sam Po Tay Jin sebaliknya merupakan hasil seni yang tinggi, sayang tidak diketahui tahun pem-buatannya juga pembuatnya.
Kham Sam Poo adalah hasil buatan tahun 1969, sumbangan Go Boen An.
Patung Kongco Sam Poo inilah yang setiap tahun diarak ke kelenteng Gedung Batu.
Merapat ke dinding menghadap ke Timur terdapat pemujaan 9 tokoh Cap Pwee Lo Han.
Buddha Mahayana
Tay Kak Sie adalah kelenteng dari aliran Buddha Mahayana.
Aliran Buddha Mahayana menyebar dari India ke Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea, Jepang, Nepal dan Vietnam.
Sedang aliran Theravada atau yang seringkali dikatakan Hinayana menyebar terutama ke Sri Langka, Burma, Thailand, Kamboja dan Malaysia lalu di Indonesia pada masa lalu.
Kedua aliran utama agama Buddha ini dikukuhkan berdirinya pada pertemuan Dewan Agama Buddha di Vaisali, yang dilaksanakan 100 tahun setelah wafatnya Buddha Gautama. Kaum Hinayana atau Theravadins mengikuti norma-norma dalam bahasa Pali, sedang kaum Mahayana mempelajari kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Kedua aliran ini sama-sama memakai ajaran Buddha Gautama sebagai dasar, tapi ada perbedaannya dalam penafsiran tentang cita-cita dan pelaksanaan. Kaum Theravada memusatkan pada tercapainya tingkat arahat, sedang Mahayana yang lebih profresif, liberal dan berpandangan luas, berjuang tidak hanya untuk pembebasan pribadi, tapi juga membantu umat manusia dengan aktif untuk mencapai tingkatan Boddhisatva. Mahayana mengakui kelemahan-kelemahan manusia dan menawarkan penyelamatan dengan uluran tangan para Boddhisatva. Karena perhatian dan sikapnya inilah maka aliran ini dinamakan Mahayana yang berarti “Kendaraan besar”.
Aliran ini terbuka untuk siapa saja yang akan mempraktekkan agama Buddha, baik orang biksu atau orang biasa, sehingga dalam waktu tidak lama berhasil merebut hati jutaan orang, terutama di Tiongkok. Dalam penyebarannya Mahayana menyerap berbagai macam budaya dan kepercayaan setempat, sehingga memungkinkan “kendaraan besar” ini menyesuaikan bentuk ajaran Buddha dan berasimilasi dengan rakyat setempat. Karena itulah kita mendapat banyak cabang-cabang Mahayana yang mempunyai praktek pengajaran berbeda tapi dengan tujuan yang sama.
Setelah memasuki Tiongkok kira-kira pada jaman Dinasti Han, Agama Buddha bercampur dengan agama-agama asli Tiongkok seperti Taoisme, sehingga mempunyai bentuk baru yang khas Tiongkok.
Ruang Samping Kiri
Ruang samping kiri ditempati oleh pemujaan-pemujaan Po Seng Tay Te, Seng Hong Lo Ya, Kong Tek Cun Ong.
Pemujaan terhadap Po Seng Tay Te, Dewa Pengobatan yang sangat populer di propinsi Hokkian, Guangdong, Hongkong, Taiwan dan Asia Tenggara, berawal dari tahun 1860 atas prakarsa Mayor Tan Tjong Hoay. Patung Po Seng Tay Te didatangkan khusus dari Tiongkok pada tahun itu juga. Kham untuk sinbeng ini sangat bagus buatannya, diduga juga didatangkan dari Tiongkok atau paling tidak buatan tukang dari sana, bisa jadi sumbangan Mayor tersebut. Di antara semua yang ada di Tay Kak Sie, kham Po Seng Tay Tee bisa dianggap yang paling bagus.
Ruang pemujaan untuk Seng Hong Lo Ya mengalami pemugaran berkali-kali, yang terakhir pada tahun 1986. Kham ini dibuat tahun 1975, hasil karya tukang lokal.
Patung Seng Hong Loya beserta peng-awalnya sumbangan Sia Yu Sing yang mem-belinya dari Hongkong pada tahun 1976, meng-gantikan patung lama yang dirasa terlalu kecil dibanding dengan ruang dan khamnya.
Ruang pemujaan Kong Tek Cun Ong juga beberapa kali mengalami pemugaran. Kham untuk pemujaan sinbeng ini dibikin sekitar tahun 1975, buatannya bagus dan halus meskipun karya dari tukang lokal.
Hio Lo (pedupaan) yang terbuat dari ku-ningan di ruang ini sumbangan dari Tan Khing Thay. Beliau juga menyumbang sebagian besar Hio Lo yang ada di Tay Kak Sie ini, termasuk Thi Kong Lo di ruang tengah.
Tahun 1998 di tempat ini ditambahkan altar pemujaan untuk Tai Shang Laojun atau Thay Siang Loo Kun (Hokkian), dewa tertinggi bagi kalangan Taoist, dan didampingi oleh Mahadewi Jiu Tian Xian Nu dan Er Lang Shen.
Ruang Samping Kanan
Di ruang ini dipuja Hok Tek Ceng Sin yang secara umum dipanggil Tho Te Kong. Koan Tee Kun atau secara umum dipanggil Koan Tee Ya, Hian Thian Siang Te atau Siang Te Kong, Jing Cui Co Soe, Te Cong Ong Po dan Khonghucu.
Di dalam ruangan pemujaan Te Cong Ong Po Sat terdapat pemujaan Cap Pwe Lo Han. Bentuk arca Cap Pwe Lo Han ini lebih kecil dari yang berada di ruangan tengah, tapi buatannya lebih bagus dan hidup. Kabarnya patung-patung ini sumbangan Sih Khay Hie, dengan mendatangkan tukang ukir dari Tiongkok sekitar tahun 1940-an.
Kham tempat pemujaan Tee Tjong Ong Po Sat hasil pembuatan tahun 1974, pembuatnya tukang lokal yang cukup halus. Hanya sayang sekali banyak pola hias yang tidak lasim, misalnya penempatan ukiran burung Hong yang melilit tiang.
Sekitar tahun 1979 tempat pemujaan Hok Tek Ceng Sien dipugar dan ditambah pemujaan untuk Jay Sien Ya. Prakarsa penempatan pemujaan ini oleh ketua Yayasan pada waktu itu Lie Kian Dju, sedang lukisan Ngo Lo Jay Sien adalah sumbangan dari So Kiat Ho, Petekan. Kemudian Soen Gwan Hong menyumbang patung Jay Sien Ya yang dibelinya dari Taiwan.
Sekitar tahun 1989 ruangan ini mengalami kebakaran , untung tidak meluas sehingga ruang yang bersebelahan bisa diselamatkan. Ruang Hok Tek Ceng Sien ini dibangun kembali, Patung dan kham-nya diganti baru, hasil sumbangan dari Lilik Gunawan. Altar Jay Sin Ya dipindahkan ke ruang samping kiri, menempati bekas gudang.
Pemujaan Jing Cui Co Su juga belum lama sekitar tahun 1978, juga atas prakarsa Lie Kian Dju. Abunya diambil dari kelenteng Tanjung Kait, Tangerang. Oleh serombongan panitia kerja yang terdiri antara lain : Lie Kian Dju, Liem Tjien Ho, Sia Yu Sing, Imam, Kwee Giok Sie dan Tan Heng Tiong.
Kham pemujaan Co Su Kong adalah sumbangan Soen Kwie Hong. Lukisan kaca yang menjadi latar belakang patung Co Su Kong dilukis oleh pelukis kenamaan dari Semarang yaitu Be Thong Ling, tahun 1984.
Di depan altar Tee Cong Ong Po-Sat terletak di ruang terbuka, terdapat sebuah patung orang tua yang duduk terpekur sambil memancing ikan. Sepintas saja kita tahu, orang tua tersebut adalah Kiang Thay Kong alias Kiang Cu Ge tokoh negarawan besar yang hidup pada permulaan jaman dinasti Ciu (Zhou 1122 – 247 SM). Kisahnya telah kami uraikan pada bagian depan dari buku ini, yang merupakan petilan paling indah dari Novel Hong Sin.
Penulis yang kebetulan menangani pembuatan patung tersebut, pernah menanyakan kepada ketua Tay Kak Sie pada waktu itu, sekitar tahun 1978 yaitu Lie Kian Djoe, tentang apa makna yang tersirat dengan penempatan patung Kiang Thay Kong. Menurut beliau, pemasangan patung tersebut sebagai kias (atau Ci Soak) agar semua pengurus Tay Kak Sie dikarunai watak yang sabar dan penuh tepo selira dalam menjalankan tugasnya, sehingga terhindar dari segala macam keributan karena masing-masing pihak tidak bisa menahan diri. Anjuran pemasangan ini datang dari seorang suhu dari Temanggung. Kelihatannya tujuan pemasangan ini tercapai, karena sejak itu tidak pernah lagi terjadi percecokan antar pengurus yang berkobar menjadi pertengkaran.
Selain patung Kiang Thay Kong, penulis pada tahun 1984 juga menangani pembuatan patung Jing Cui Co Su yang di tempatkan di altar Co Su Kong, atas pesanan Lo Cu pada masa itu yaitu Tjan Siang Thay.
Pada permulaan tahun 60-an, pemujaan Hian Thian Siang Tee dan Kwan Tee Kun semula menjadi satu dengan pemujaan Tee Cong Ong Po Sat. Sedangkan tempat pemujaan Kwan Tee Kun yang sekarang dulunya adalah Kantor Tji Lam Tjay. Sedangkan tempat pemujaan untuk Hian Thian Siang Tee yang sekarang, dahulu adalah tempat abu para Hwee Shio dari kelenteng Tay Kak Sie, Hwesio terakhir meninggal pada tahun 1957 dan abunya dibawa ke Bandung. Atas prakarsa Liem Yu Kiat, pemujaan Hian Thian Siang Tee di pindah di tempat yang sekarang dan abu para Hwesio dipindahkan ke Kong Tek Soe bersama-sama abu dari Tong Kwie. Sedang kantor Tjie Lam Tjay dipindahkan, tempatnya dipakai untuk pemujaan Kwan Seng Tee Kun, pada tahun 1967. Meja altar pemujaan Hian Thian Siang Tee cukup bagus buatannya hasil sumbangan dari Liem Yu Kiat. Kham buatan tahun 1966 sumbangan juga. Patung Hian Thian Siang Tee sangat gagah dan bermutu tinggi, hasil buatan seorang rahib atau hwesio yang tinggal di klenteng Tay Kak Sie pada masa itu, sekitar tahun 1930-an.
Penempatan pemujaan Nabi Khong Cu adalah prakarsa Lie Hoo Soen. Pembuatan patung ditangani seorang pelukis dari Solo Tan Bian Khing, di luar dugaan orang, ternyata mampu menghasilkan sebuah karya yang begitu bagus. Patung Khong Hu Cu itu terbuat dari kayu jati utuh, hasil sumbangan dari seorang pedagang kayu dari Semarang yaitu Tan Khiem Yang, tampak hidup dan menyentuh sanubari para umat. Tiap kali sebelum mulai memahat, Tan Bian Khing melakukan ciak jay dan bersembahyang lebih dahulu disamping patung yang sedang dikerjakan. Patung itu selesai dipahat dalam waktu 5 bulan. Sebetulnya akan ditempatkan di ruang atas klenteng, tapi karena untuk mengangkatnya ke tempat itu tidak mungkin, maka akhirnya ditempatkan di ruang khusus yang sekarang.
Patung selesai dipahat tanggal 10–7–68. Sayang setahun kemudian 1969, Tan Bian Khing meninggal dunia.
Ditulis oleh Kwa Tong Hay, dan dimuat dalam Buku Peringatan 240 tahun Kelenteng Tay Kak Sie serta Buku Peringatan 600 tahun Zheng Ho – 2005.