Tampaknya pasangan Khonghucu di tanah air harus menelan pil pahit lebih dalam lagi. Bagaimana tidak, sebagai pasangan yang telah mengikrarkan diri sehidup semati menjadi suami istri tapi ternyata oleh negara perkawinannya ditolak untuk diakui dan dicatat.
Alasannya karena mereka menikah secara agama Khonghucu. Dan Khonghucu itu sendiri bukan salah satu diantara agama yang resmi di Indonesia. Sudah banyak kasus yang bisa menjadi contoh. Pada tahun 1995, kita ingat bagaimana kasus yang menimpa Budi Wijaya-Lany Guito (baca pula : Pasangan Budi Wijaya-Lany Guito). Salah satu contoh lagi adalah pasangan Hadi Gunawan – Yunike Fong. Didampingi sang istri, Hadi bercerita banyak kepada SINERGI INDONESIA mengenai kasus yang dialaminya.
Sebagai insan ciptaan Tuhan, setiap manusia ditakdirkan memiliki rasa cinta. Hal ini pun dialami oleh Hadi. Rasa cinta yang dimiliki akhirnya ditambatkan pada sang kekasih, Yunike. Setelah menjalin pacaran selama dua tahun, akhirnya pada bulan Desember 2003, keduanya mengikrarkan diri sebagai pasangan suami istri. Pernikahan dilangsungkan di MAKIN Gambang, Bandengan, Jakarta Barat.
Oleh MAKIN kemudian dilakukan pemberkatan (liep gwan). Untuk lebih menguatkan lagi perkawinannya, mereka coba datang ke Kantor Catatan Sipil (KCS) Jakarta Barat. “Karena pertimbangan-pertimbangan, saya ngurusnya sekitar bulan Maret 2003. Saya datang ke KCS Jakbar.
Pada awalnya saya diterima dengan baik oleh bagian pencatatan pernikahan, namun kata salah seorang petugas, perkawinan saya tidak bisa dicatat. Alasannya karena Khonghucu tidak termasuk salah satu agama yang diakui,” kata pria yang punya nama Tionghoa Phan Tet En.
Penolakan tersebut oleh mereka sebelumnya memang sudah diduga dan sudah tahu. Tapi mereka mencoba terlebih dahulu, siapa tahu akan diakui dan dicatat. “Saya sudah tahu, sebab banyak kasus yang menimpa, baik itu keluarganya sendiri ataupun rekan-rekannya di berbagai daerah. Saya pun tahu bahwa yang diakui hanya lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan
Budha,”tutur Hadi
Penjelasan, lanjut anak dari pasangan Phan Khioen Lie dan Fong Jun San ini, sudah diberikan. Saya tidak punya pilihan diantara kelima agama tersebut. Kalaupun dipaksa untuk memilih diantara kelima agama yang diakui, belum tentu mau. Sebab tidak mengerti dengan adat atau peraturan agama lain.
Perhatian dari Amerika Kasus yang menimpa Hadi-Yunike mendapat respon dari Pemerintah Amerika. Melalui Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan, diliris Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2004. Berikut sebagian kutipannya :
“.The civil registration system continued to restrict religious freedom of persons who did not belong to the five officialy recognized faiths. Many animists, Baha’is, Confucians, and members of other minority faiths found it impossible to register their marriage or children’s birth because the government did not recognize their religions. For example, in March a court in West Jakarta refused to register the marriage of Hadi and Yunike Fong, two Confucians who in a traditional Confucian ceremony.”
Laporan yang diliris pada 15 September 2004, diterima oleh Hadi satu bulan kemudian. Kenapa muncul laporan yang intinya mengenai adanya diskriminasi terhadap etnis dan agama di Indonesia? Menurut pengakuan Hadi, setelah ditolak untuk dicatat perkawinannya, dirinya mengadukan ke MATAKIN. Kemudian juga membicarakan ke Chandra Setiawan (salah seorang anggota Komnas HAM). Atas saran Chandra, dirinya ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Beberapa kemudian laporan tersebut keluar.
Menuntut pengakuan Satu hal yang terus dituntut oleh pasangan Hadi-Yunike adalah perkawinannya diakui dan dicatat oleh negara. Hadi tidak ingin seperti orang tua ataupun anggota keluarganya, yang tidak diakui. Demikian juga dengan keluarga Yunike, orang tua ataupun anggota keluarganya mengalami nasib yang sama.
“Seharusnya pemerintah tidak mencampuri urusan orang menikah. Sebab kalau orang menikah dengan agama apapun, itukan urusan orang tersebut. Ini masalah hati,”ungkap Hadi.
Oleh karenanya, sambung pria kelahiran Pangkal Pinang ini, hanya butuh satu saja yakni pengakuan. Kalau selama ini selalu memenuhi kewajiban misalnya membayar pajak maka Saya berharap agar pemerintah mau mengakui dan mencatat kalau saya menikah agar tidak terjadi masalah dengan anak atau keturunan dan istri.
Terjadi masalah? Itulah Ketakutan dan kekhawatiran yang selalu menghantui umat Khonghucu di tanah air. Sebab tidak mustahil mereka akan menemui masalah misalnya di cap ‘kumpul kebo’, ‘anak haram’, status hukum tidak jelas dan sebagainya. Hadi memberi contoh. Ketika membeli rumah ataupun
kendaraan atas nama dirinya. Kalau terjadi apa-apa, misal dirinya meninggal, tentunya harta itu akan
hilang begitu saja sebab dalam hukum bukan istrinya yang resmi. Kemudian juga saat kredit rumah ataupun kendaraan. Tentunya akan ditanya, sudah menikah atau belum? Kalau dijawab belum berarti mengingkari hati nurani. Sementara kalau dijawab sudah, mana surat nikahnya?
Problem-problem seperti itu nampaknya akan terus bermunculan. Untuk itulah, dirinya berharap pada
pemerintahan yang baru. “Saya hanya mengharapkan apa yang dijanjikan tentang keadilan, supaya
direalisasikan. Diskriminasi apapun harus dihilangkan sebab membuat kesenjangan yang sangat besar,”harap Hadi.
Apakah tidak menempuh jalan seperti Budi Wijaya-Lany Guito ataupun demo? Dengan tegas dijawabnya bahwa demo atau apapun bukan jalannya. “Saya secara prinsip belajar agama Khonghucu, percaya. Pemimpin bisa dipercaya adalah hal yang penting. Kalau kita ribut ataupun demo berarti kita tidak percaya dengan pemimpin,”ujar pria berusia 30 tahun ini.
*Tulisan ini ada di Majalah SINERGI INDONESIA Edisi ke-24/Tahun II/Februari 2005
** Wartawan Majalah SINERGI INDONESIA
———————–
Artikel Terkait
{module [26]}
———————–
Budaya-Tionghoa.Net | Sinergi
Referensi :
Photo Credit: