Budaya-Tionghoa.Net | Liatwi Hengte Cimue, Di tengah kontroversi tentang pemakaian istilah Mandarin danTionghoa (maaf saya terlambat), di bawah ini izinkanlah saya menyampaikan kembali tulisan saya yang pernah dimuat dalam Kita Sama Kita, No 7 Tahun II Maret 2002, hlm. 10-11. Mudah-mudahan tulisan ini masih tetap menarik untuk dijadikan bahan perenungan. Kiongchiu
|
MANDARIN DAN TIONGHOA
David Kwa Kian Hauw
Geli sekaligus sedih, ketika membolak-balik daftar menu makanan di sebuah restoran. Di sana disajikan bermacam – macam jenis masakan: ada masakan Indonesia, masakan Eropa dan ada pula masakan Mandarin.
Tapi kekeliruan itu ternyata tidak hanya terdapat di kalangan masyarakat kebanyakan, bahkan dalam acara-acara televisi pun kekeliruan itu terjadi.
Penulis teringat, dalam tayangan acara penyambutan Tahun Baru dan sekaligus Abad Baru dan Millenium Baru 2001 dua tahun lalu, sebuah stasiun televisi Tribahasa (Indonesia, Inggris, dab Mandarin) melaporkan beberapa acara yang digelar masyarakat dalam menyambut detik-detik bersejarah dalam perjalanan hidup manusia itu dalam dua bahasa, Mandarin dan Indonesia.
Si pembawa acara pertama-tama melaporkan dalam bahasa Mandarin bahwa di sebuah hotel di bilangan Ancol tengah berlangsung acara penyambutan Tahun Baru dalam suasana yang penuh aroma budaya Tionghoa, yang ia katakan dalam bahasa Mandarin chongman Zhonghua wenhua secai 充滿中華 文化色彩.
Tetapi ketika ditanya oleh si pembawa acara bahasa Indonesia, serta-merta Zhonghua wenhua secai 中華文化色彩; ia terjemahkan sebagai suasana Mandarin.
Istilah Zhonghua memang identik dengan istilah Tionghoa” yang kita kenal di sini, istilah yang berasal dari dialek Hokkian selatan (Minnan ;).
Sedangkan istilah Mandarin berasal dari bahasa Sansekerta mantri yang artinya tidak lain dari Menteri” dalam bahasa Indonesia. Istilah ini berubah menjadi mandarin di lidah kaum misionaris dan sinolog Barat yang sejak dahulu sudah banyak berdatangan dan bermukim di Cina.
Buku-buku abad ke-19 yang mereka tulis banyak menggunakan istilah mandarin ini untuk menyebut para pejabat dari masa dinasti Qing 清朝; (1644-1911). Sedangkan bahasa Tionghoa dialek Beijing 北京話; yang digunakan para pejabat (mandarin) ketika beraudiensi dengan kaisar di istana adalah yang kemudian disebut guanhua 官話; (bahasa para pejabat/bahasa para menteri) atau bahasa Mandarin.
Seperti kita ketahui di Cina, seperti juga di Indonesia, terdapat banyak bahasa daerah (dialek) yang kesemuanya hanya merupakan bahasa lisan, sebab bahasa tulisan tetap hanya satu, yakni huruf atau aksara Han (Hanzi 漢字). Hingga runtuhnya dinasti Qing ; atau Manchu, Cina masih belum mempunyai bahasa nasional. Akibatnya komunikasi antar anggota masyarakat dari berbagai propinsi yang berbeda dialek menjadi sangat sulit.
Ketika Revolusi Tahun 1911 berhasil mencapai kemenangan dan didirikan Republik Tionghoa (Zhonghua Minguo 中華民國), maka guanhua 官話 (bahasa para menteri/mantri/mandarin) atau Mandarin ini di jadikan bahasa nasional (guoyu 國語).
Bahasa inilah kemudian yang dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di seluruh Cina. Begitu pula lagu-lagu Tionghoa dalam bahasa ini yang mulai marak semenjak Shanghai mulai berkembang menjadi kota „modern” seperti Hong Kong di kemudian hari disebut lagu guoyu 國語歌曲 atau oleh bangsa-bangsa non- Tionghoa disebut lagu Mandarin.
Di Indonesia sendiri, selain lagu-lagu Mandarin, akhir-akhir ini juga beredar lagu-lagu Kwongfu 廣夫; (Cantonese) yang popular di Hong Kong contohnya, Shanghai Tan 上海灘 ; serta lagu-lagu Hokkian selatan (Minnan 閩南) yang sangat digemari di Taiwan, contohnya, lagu Ai Bnia Ziah E Yna 愛拼才會贏 yang terkenal itu, yang pernah penulis dengar dinyanyikan oleh Alm. Kasino Warkop.
Dengan demikian, jelaslah bahwa istilah „Mandarin” adalah hanya mengacu kepada bahasa nasional Tiongkok. Yang bisa disebut Mandarin hanyalah bahasa, yaitu bahasa Mandarin, atau kalau masih ada paling- paling hanya sisa-sisa para menteri dinasti Qing yang masih hidup, yakni para mandarin. Maka adalah kesalahan besar yang konyol bilaistilah ini dijadikan sebagai pengganti istilah „Tiongkok” (China) atau „Tionghoa” (Chinese) atau „Cina.”
Sebagaimana diketahui, akibat penindasan terhadap budaya Tionghoa dan etnis Tionghoa Indonesia selama periode Orde Baru, dimana istilah „Tiongkok” dan „Tionghoa” secara paksa diganti dengan istilah „Cina” melalui Surat Edaran No SE-06/PresKab/6/67, maka pada sebagian orang di dalam masyarakat Tionghoa telah timbul keenggananterhadap istilah „Cina” yang dianggap berkonotasi pejoratif (menghina) itu.
Akibatnya mereka lebih senang memilih istilah Chinese sebagai pengganti „Tionghoa” dan China untuk „Tiongkok” yang dirasakan lebih netral. Di lain pihak film-film Cina dari Hong Kong dan Taiwan diberi label film Mandarin yang sebenarnya tidak juga salah sebab film-film tersebut memang menggunakan bahasa Mandarin. Namun perlu diketahui bahwa, selain film-film (berbahasa) Mandarin, ada pula film-film (berbahasa) Kwongfu 廣夫 (Cantonese) produksi Hong Kong.
Film jenis ini beredar luas sampai ke berbagai China Town di Australia, negara-negara Eropa dan Amerika dimana banyak penduduk Tionghoanya yang berbahasa Kwongfu 廣夫;. Dan film-film jenis ini jelas bukan film Mandarin, lantaran tidak berbahasa Mandarin. Tetapi dengan begitu kemudian telah timbul salah pengertian yang kaprah dalam masyarakat (baik di kalangan Tionghoa maupun non- Tionghoa) bahwa istilah „Mandarin” adalah identik dengan „Cina,” atau dapat saling dipertukarkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Akibatnya timbullah cerita-cerita sebagaimana dipaparkan di bagian muka tulisan ini. Rumah makan dengan daftar menu „masakan Mandarin,” perayaan penyambutan Tahun Baru dalam „suasana Mandarin” dan sebagainya, dan sebagainya. Dan cerita-cerita tersebut masih terus berlanjut hingga kini.
Seandainya istilah salah kaprah ini dikembangkan terus sebagai alternatif istilah Tionghoa/Tiongkok/ Cina, maka tak usah heran apabila di kemudian hari akan timbul istilah „Bidara Mandarin,” (Bidara Cina), „Pondok Mandarin” (Pondok Cina, nama sebuah stasiun di jalur kereta api Jakarta-Bogor), „kayumanis Mandarin,” (kayumanis Cina) „pete Mandarin” (pete Cina) „negeri Mandarin” (negeri Cina), „orang Mandarin” (orang Cina), „Putri Mandarin” (Putri Cina, salah seorang istri Sunan Gunung Jati di Cirebon), „Mandarin Muslim” (Cina Muslim), „huruf Mandarin” (huruf Cina), „budaya Mandarin” (budaya Cina), „obat Mandarin” (obat Cina), „kesusastraan Melayu Mandarin” (kesusastraan Melayu Tionghoa, padahal jelas istilah- istilah Tionghoa yang dipakai dalam kesusastraan itu kebanyakandiambil dari dialek Hokkian selatan, bukan Mandarin!) dan seterusnya, dan seterusnya.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua